Kajian Bab Sholat - Ustadz Abu Qotadah

Ustadz Abu Qotadah - Bab Solat-Masalah Solat

Powered by mp3skull.com
Ustadz Abu Qotadah - Bab Solat 03 Hukum Meninggalkan Solat

Powered by mp3skull.com
Ustadz Abu Qotadah - Bab Solat-Waktu2 Solat

Powered by mp3skull.com


Al Ustadz Abu Qotadah: beliau adalah murid dari Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i.

Shaf Dalam Shalat Jamaah

Gambar bisa diperbesar

Khutbah Shalat Gerhana Syaikh Sholeh Al Fauzan

Dalam halaman ini kami transkrip dan terjemahkan khutbah singkat Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhahullah(anggota Al Lajnah Ad Daimah) saat terjadi gerhana bulan di kota Riyadh KSA, Sabtu kemarin, 15 Muharram 1433 H, 10/12/2011 setelah shalat Maghrib. Semoga kita bisa mengambil nasehat beliau sebagai pelajaran berharga.
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
Dulu di zaman jahiliyah, orang-orang menyembah matahari dan bulan. Allah Ta’ala berfirman,
 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah.” (QS. Fushilat: 41)
Di zaman jahiliyah dahulu juga terdapat anggapan ketika terjadi gerhana matahari atau bulan, itu terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Dan memang dahulu terjadi gerhana di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamkarena kematian anaknya, Ibrahim. Jadi orang-orang mengira gerhana itu terjadi karena kematian anaknya. Itulah keyakinan jahiliyah yang masih ada dahulu. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan,
 “Matahari dan bulan adalah di antara tanda yang membuktikan kebesaran Allah. Gerhana itu muncul bukan karena sebab kematian seseorang”.[HR. Bukhari no. 1044] Ketika terjadi gerhana, Allah ingin menakuti hamba-hamba-Nya. Terjadinya gerhana bukanlah karena kematian seseorang. Allah hanya ingin menakuti hamba-Nya kala itu. Ketika gerhana itu terlihat, maka segeralah shalat dan berdo’alah sampai gerhana tersebut berakhir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang.” (HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904). Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam di sini mengingkari aqidah jahiliyah yang keliru ketika terjadinya gerhana matahari dan bulan. Dan hendaklah ketika terjadinya gerhana tadi, setiap orang shalat dan perbanyak do’a kala itu sampai gerhana berakhir.
Gerhana di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah sekali terjadi di Madinah setelah hijrah. Ketika itu beliau keluar dengan rida’ (selendang) dengan penuh khusyu’ dalam keadaan takut pada Allah Ta’ala. Keadaan beliau kala itu seakan-akan terjadi kiamat. Perlu diketahui bahwa tidak ada yang mengetahui hari kiamat selain Allah Ta’ala. Beliau kemudian shalat bersama para sahabatnya, yaitu shalat kusuf (shalat gerhana). Beliau memperpanjang bacaan, ruku’ dan sujudnya. Lama bacaan beliau seperti sedang membaca surat Al Baqarah. Setelah membaca surat, lalu beliau ruku’ dengan ruku’ yang panjang seperti berdiri. Setelah ruku’, (beliau tidak langsung sujud) namun melanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang yang lebih ringan dari yang pertama. Lalu setelah itu beliau ruku’ dengan ruku’ yang lebih ringan dari yang pertama. Setelah itu beliau melakukan dua kali sujud. Kemudian beliau berdiri dan melanjutkan raka’at kedua sama dengan cara pada raka’at pertama namun dengan tata cara yang lebih ringan. Kemudian setelah selesai raka’at kedua (seperti shalat lainnya), beliau salam. Gerhana pun selesai, lantas beliau pun memberikan nasehat pada para sahabatnya. Beliau memberi nasehat sesuai kondisi saat itu.
Intinya di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sebanyak dua raka’at. Setiap raka’at terdapat 2 kali ruku’ dan 2 kali sujud. Jadi keseluruhan raka’at shalat gerhana terdapat 4 kali ruku’ dan 4 kali sujud. Demikianlah tata cara shalat gerhana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan inilah riwayat yang shahih yang lebih kuat dari riwayat lainnya. Namun memang ada berbagai riwayat yang menerangkan shalat kusuf (gerhana). Akan tetapi, yang tepat adalah shalat gerhana yang beliau lakukan cuma sekali. Sehingga tidak mungkin kita katakan kadang beliau melakukan cara yang ini dan waktu lain beliau melakukan cara yang lain lagi. Ingatlah bahwa beliau hanya shalat gerhana sekali saja, sehingga tata cara yang menerangkan shalat gerhana hanyalah satu. Tata cara yang lebih tepat adalah seperti yang diterangkan dalam hadits yang telah kami sebutkan. Siapa yang telah melakukan seperti itu, maka alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah.
Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang yang malah ketika terjadinya gerhana, mereka menanti-nanti datangnya gerhana di padang pasir dan meninggalkan shalat gerhana. Ini sungguh perbuatan orang bodoh dan tanda kurangnya iman mereka. Padahal mereka bisa saja shalat.
Perlu dipahami bahwa boleh saja gerhana ini tanda awal-awal datangnya musibah. Perlu dipahami, siapa yang mampu membuat sinar matahari akan terus bersinar, begitu pula dengan rembulan? Siapa pula yang bisa menjamin bahwa sinar matahari yang tertutup tadi bisa kembali, begitu pula rembulan? Bukankah jika sinar keduanya itu hilang menandakan hari kiamat? Bukankah bisa jadi peristiwa ini adalah awal-awal datangnya adzab? Nas-alullaha al ‘afiyah (kita meminta pada Allah keselamatan).
Seorang muslim tentu tidak bisa campur tangan dalam hal-hal tadi, namun ia hanya bisa tunduk dan pasrah serta beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Para pakar memang bisa memperkirakan kapan gerhana itu datang, dapat diketahui dengan perhitung-perhitungan ketika melihat pergerakan bulan dan matahari. Hal ini dapat dikenal dari ilmu falak. Namun hal ini tidaklah menghalangi manusia untuk shalat sebagaimana diperintahkan. Gerhana juga menandakan bahwa sesuatu bisa berubah dengan kehendak Allah, Dia-lah yang menjadikan gerhana tersebut ada.
Ringkasnya, kita wajib yakin, patut, dan takut pada Allah saat keadaan seperti ini. Dan sekali lagi perlu dipahami bahwa gerhana adalah di antara tanda-tanda kiamat. Perlu diketahui bahwa setelah nabi berhijrah, gerhana hanya terjadi sekali, itu baru terjadi selama 10 tahun. Coba lihat sekarang, gerhana terjadi setiap tahun, yaitu terjadi gerhana matahari dan bulan silih berganti. Ini semua dengan kehendak Allah demi menakut-nakuti hamba-Nya.Nas-alullaha as salaamah wal ‘afiyah (kita meminta pada Allah keselamatan).
Namun ada sebagian orang yang menyangka terjadinya gerhana hanyalah peristiwa alamiah karena perputaran matahari dan bulan saja. Lalu mereka nyatakan bahwa yang meyakini gerhana itu terjadi karena Allah ingin menakut-nakuti hamba-Nya sehingga diperintahkan shalat (gerhana), itu hanyalah anggapan khurafat. Sungguh mereka yang menyatakan semacam ini, berarti mengutarakan sesuatu kekufuran, tidak lain dan tidak bukan itu adalah pernyataan kufur. Masa’ mereka menyatakan ini khurofat? Dan ini berarti menyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebarkan khurofat? Kita berlindung pada Allah dari pemahaman sesat semacam itu. Lihatlah bagaimana yang mengutarakan pernyataan sesat di atas benar-benar telah tertipu dan benar-benar bodoh.
Kita mohon pada Allah keselamatan dan moga kita dihilangkan dari berbagai kejelekan. Semoga Allah menganugerahkan pada kita taubat yang ikhlas, dan moga Allah beri kita taufik dalam perkataan dan perbuatan.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.
[Khutbah Syaikh Shalih di atas diambil dari rekaman di tangan penulis saat membahas kitab fikih “Muntaqal Akhbar”, Bab “Batasan Aurat Laki-Laki”, di Masjid Jaami’ Al Amir Faishol bin Fahd di Hayy Malqo, Riyadh KSA, di hari Sabtu, 15 Muharram 1433 H, 10 Desember 2011. Khutbah berlangsung pada menit 46:33 – 56:15. Durus sementara dihentikan untuk pelaksanaan shalat gerhana kurang lebih setengah jam, dilanjutkan dengan khutbah dari Syaikh Shalih Al Fauzan. Yang menjadi imam shalat gerhana adalah salah satu murid senior beliau dan di dalam shalat gerhana dibacakan tiga surat dalam dua raka’at: surat Al ‘Ankabut, surat Ar Ruum dan setengah surat Luqman. Rekaman khutbah gerhana Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah dapat didengar secara langsung di web site pribadi beliau di sini]

Masjidul Bait (Masjid Di Dalam Rumah) Urgensi & Fungsinya


Rumah, merupakan salah satu nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi setiap Muslim. Allah Ta’ala telah mengingatkan besarnya nikmat ini dan fungsi pentingnya bagi para penghuninya. Jiwa-jiwa dan hati mereka akan merasa tenang ketika sudah berada di dalamnya. Rumah akan menjadi tempat melepas lelah, menutup aurat dan menjadi tempat menjalankan berbagai aktifitas yang bermanfaat, untuk dunia maupun akhirat.
Allah Ta’ala mengingatkan besarnya nikmat rumah bagi manusia dengan berfirman :
Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal (QS. an-Nahl / 16:80)
Termasuk pertanda bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat rumah tempat naungan ini, hendaknya Allah Ta’aladitaati di dalamnya dengan menjadikannya sebagai tempat ibadah, dzikir, sholat-sholat sunnah dan ibadah-ibadah lainnya. Bukan sebaliknya, malah menjadi pusat maksiat kepad Allah Ta’ala, dipenuhi berbagai perangkat yang melalaikan orang dari beribadah kepada-Nya.
Di antara faktor yang mendukung keluarga untuk beribadah, dibuat tempat khusus untuk beribadah bagi seluruh penghuni rumah, sebagai tempat berdzikir dan tempat mengerjakan sholat-sholat sunnat. Satu tempat yang mereka gunakan untuk menikmati bermunajat dengan Rabb mereka, Allah Dzul jalali wal ikram.
MEMBUAT MASJID DI DALAM RUMAH, MUSTAHAB
Yang dimaksud dengan masjidul bait seperti tertera dalam judul tulisan ini berdasarkan penjelasan Ulama yaitu tempat atau ruangan yang dikhususkan dan peruntukkan oleh pemilik rumah sebagai tempat mengerjakan sholat-sholat sunnah dan ibadah-ibadah nafilah lainnya.[1]
Bagaimanakah sebenarnya hukum membuat masjidul bait dalam rumah bagi seorang Muslim?. Membuat tempat khusus di dalam rumah sebagai tempat menjalankan sholat sunnat dan mengerjakan amalan-amalan ibadah lainnya mustahab (dianjurkan). Para Ulama telah membicarakan pembahasan ini dalam kitab-kitab fikih dan hadits karya mereka.
Dari Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, istri Abu Humaid al-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia mendatangi Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sangat suka sholat (berjamaah) bersamamu”. Beliau berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai sholat bersamaku, (akan tetapi) shalatmu di masjid rumahmu (tempat paling dalam-red) lebih baik daripada sholatmu di kamar, sholatmu di kamarmu lebih baik daripada sholatmu di dalam rumahmu, sholatmu di rumahmu lebih baik daripada sholatmu di masjid kaummu, sholatmu di masjid kaummu lebih baik daripada sholatmu di masjidku (masjid Nabawi)”. Selanjutnya Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat sholat) di tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan sholat di situ sampai menjumpai Allah (ajal datang).[2]
Amirul Mukminin dalam Hadits, Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah menyatakan dalam kitabShahihnya : “Bab masjid-masjid di dalam rumah dan sholatnya al-Bara bin Azib radhiyallahu ‘anhu di masjid rumahnya dengan berjamaah”.
Sehubungan dengan fungsinya sebagai tempat ibadah, maka harus diperhatikan aspek kebersihan dan keharumannya.[3] Apalagi mengingat fungsi-fungsi positifnya dalam membina dan mendidik anak-anak serta menanamkan nilai-nilai Islam yang luhur pada generasi yang akan datang tersebut.
TIDAK MESTI RUANGAN ATAU KAMAR KHUSUS
Ada dua bentuk masjidul bait pada masa lalu seperti tertuang pada beberapa nash dan atsar berikut :
1.      Berbentuk kamar khusus di dalam rumah
Bentuk pertama ini berdasarkan riwayat dari Ummu Humaid  radhiyallahu ‘anha yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwasanya ia mendatangi Nabi seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sangat suka sholat (berjamaah) bersamamu”. Beliau berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai sholat bersamaku, (akan tetapi) sholatmu di tempat paling dalam di rumahmu lebih baik daripada sholatmu di kamar … Selanjutnya Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan sholat di situ sampai menjumpai Allah (ajal datang).[4]
2.      Tempat khusus di salah satu pojok kamar
Jika kurang memungkinkan bagi seorang Muslim untuk mengadakan ruangan khusus sebagai masjidul bait untuk tempat sholat sunnah dan ibadah-ibadah nafilah lainnya, maka tidak masalah bila ia hanya menentukan pojok tertentu dri kamar yang dapat dipergunakan untuk tujuan tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu bahwa seorang lelaki dari kaum Anshar memohon Rasulullah datang (ke rumahnya) untuk berkenan menggarisi tempat sebagai masjid di dalam rumahnya untuk dia jadikan tempat sholatnya. Itu dilakukan setelah ia mengalami kebutaan dan kemudian Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam memenuhinya.[5]
Dalam al-Musnad, Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, air bah telah menghalangiku untuk mendatangi masjid di kampung (untuk sholat fardhu). Aku ingin engkau mendatangiku dan kemudian mengerjakan sholat di suatu tempat (yang nantinya) aku jadikan sebagai masjid (masjidul bait)”. Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab, “Baiklah”. Keesokan harinya, Rasulullah mendatangi Abu Bakar dan memintanya untuk mengikuti beliau. Ketika memasuki (rumah Itban), Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, “Dimana tempat yang engkau inginkan?” Maka aku (Itban), menunjuk ke satu pojok rumahnya. Kemudian Rasulullah berdiri sholat (di situ). Dan kami berbaris di belakang beliau. Beliau mengerjakan sholat dua rakaat bersama kami”.[6]
Dalam riwayat al-Bukhari, “Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam meminta izin (masuk rumah), kemudian beliau aku persilahkan (masuk). Beliau tidak duduk sampai berkata, “Dimana tempat yang engkau ingin aku sholat di rumahmu?”. Kemudian ia (Itban) menunjuk tempat yang ia ingin Nabi sholat di situ…”.[7]
DAHULU, SEMUA RUMAH PUNYA MASJIDUL BAIT
Generasi Salaf dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dan Tabi’in, mereka berada di puncak tinggi dalam ibadah, menghambakan diri kepada Allah Ta’ala, dan konsentrasi meraih akhirat. Begitu banyak ibadah sunnat yang mereka kerjakan, sementara di malam hari, mereka isi dengan berdiri, ruku; dan sujud yang sangat panjang. Ketaatan mereka sangat besar. Di antara faktor yang mendukung mereka untuk keperluan tersebut ialah adanya masjidul bait, di rumah-rumah mereka.
Ternyata mereka telah memiliki masjidul bait di rumah mereka masing-masing. Hal ini berdasarkan pernyataan Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud  radhiyallahu ‘anhu berikut : Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya.[8]
Hal ini dikarenakan konsentrasi mereka yang besar terhadap kehidupan akhirat, yang telah memenuhi relung hati mereka paling dalam. Meski rumah tinggal mereka sederhana dan tidak luas, mereka masih mengkhususkan satu tempat dari bagian rumah mereka sebagai tempat menjalankan ibadah-ibadah sunnat dan nafilah. Malam mereka lalui di dalamnya dalam keadaan berdiri, ruku dan sujud, mengharapkan rahmat Allah Ta’ala dan takut siksa-Nya, mengingatkan mereka akan tujuan hidup mereka, dan kampung akherat. Bahkan sebagian dari mereka, seperti Abu Tsalabah al-Khusyanni meninggal di dalam masjidul bait dalam keadaan bersujud.
MANFAAT MASJIDUL BAIT
Keberadaan masjidul bait mendatangkan berbagai macam manfaat dan dampak positif bagi keluarga itu sendiri. Inilah yang memotivasi generasi Salaf dalam mengkhususkan tempat untuk itu. Di antara manfaatnya :
Sebagai tempat menguatkan hubungan dengan  Allah Ta’ala.
Sebagai tempat membina jiwa untuk lebih ikhlas dalam berbicara dan berbuat. Sebab ibadah yang dikerjakan jauh dari pandangan manusia akan lebih mendatangkan ikhlas.
Sebagai tempat mengajarkan shalat bagi keluarga.
Sebagai tempat pembinaan anak-anak untuk lebih taat beragama dan rajin beribadah.
Sebagai pendorong untuk beribadah dan mengingatkannya.
Menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam
Sebagai media mengokohkan hubungan keluarga.
Sebagai tempat sholat fardhu bagi yang memiliki udzur.
SHOLAT-SHOLAT SUNNAT DI MASJIDUL BAIT
Sholat fardhu telah menjadi salah satu kewajiban terpenting atas setiap Muslim dan Muslimah. Dan khusus bagi para lelaki, syariat telah menetapkan pelaksanaan sholat fardhu tersebut secara berjamaah di masjid. Adapun sholat nafilah, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam menganjurkan pelaksanaannya di dalam rumah.
Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : Sholatlah kalian di dalam rumah kalian. Sungguh sebaik-baik sholat seseorang adalah (yang dikerjakan) di dalam rumahnya kecuali sholat fardhu.[9]
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : Jika salah seorang kalian telah menyelesaikan sholat di masjid, maka hendaknya ia memberikan bagian sholatnya di dalam rumahnya. Sesungguhnya Allah akan menjadikan kebaikan di dalam rumahnya melalui sholatnya (yang dilakukan di rumah).[10]
Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Sahabat Hizam bin Hakim          perihal tempat mengerjakan sholat, apakah di rumah atau di masjid. Meski rumah beliau dengan masjid sangat dekat, beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab dengan berkata : Aku mengerjakan sholat di dalam rumahku lebih aku sukai daripada sholat di masjid kecuali sholat fardhu.[11]
Penekanan sholat wajib di masjid secara berjamaah atas kaum lelaki akan bertambah jelas melalui nasehat Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berharga berikut ini. Beliau mengatakan, “Barang siapa di antara kalian yang mau bergembira berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan Muslim, hendaknya memelihara sholat lima waktu yang telah diwajibkan saat diserukan untuk menjalankannya. Sesungguhnya sholat lima waktu termasuk jalan-jalan hidayah, dan sungguh allah telah menetapkan bebagai macam jalan hidayah. Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya. Jika kalian mengerjakan sholat (lima waktu) di masjid rumah kalian seperti mutakhollif (orang yang tidak terbiasa datang ke masjid untuk sholat berjamaah) yang suka menjalankan sholat (fardhu) di rumahnya (saja), berarti kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam kalian, dan jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam kalian niscaya kalian akan tersesat.
Aku sudah menyaksikan bahwa yang sudah terbiasa tidak ke masjid (untuk sholat berjamaah) ialah orang munafik yang telah memaklumi kenifakannya. Aku dahulu menyaksikan seseorang dipapah oleh dua orang agar bisa berdiri di shaf (sholat fardhu)”.[12]
Disebutkan dalam Hasyiyah Ibni Abidin (2/441), “… Sesungguhnya dianjurkan bagi seorang lelaki untuk mengkhususkan satu tempat dari rumahnya sebagai tempat mengerjakan sholat nafilah. Adapun, sholat fardhu dan I’tikaf, sudah dimaklumi hanya dikerjakan di masjid”
Dengan demikian kebaikan dan keberkahan dari Allah Ta’ala akan mendatangi rumah yang bercahaya dengan ibadah dan dzikir tersebut, sehingga rumah bercahaya tidak gelap seperti kuburan. Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : Kerjakanlah sebagian sholatmu di dalam rumah-rumah kalian. Jangan menjadikan rumah seperti kuburan (Muttafaqun ‘alaih).
SHOLAT NAFILAH (SUNNAT) BERJAMAAH DI MASJIDUL BAIT
Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk mengerjakan sholat sunnat berjamaah dengan anggota keluarganya, bahkan hukumnya mustahab. Manfaatnya sebagai ajang pembinaan bagi keluarga pun tampak jelas. Akan tetapi, tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan dan rutinitas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  rahimahullah berkata : “Berkumpul dalam menjalankan sholat sunnat secara berjamaah termasuk perkara yang dianjurkan selama tidak dijadikan sebuah kebiasaan…”[13]
Diriwayatkan Imam al-Bukhari rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :”Aku dan seorang anak yatim yang ada di rumah pernah mengerjakan sholat di belakang Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam, sementara ibuku dan Ummu Sulaim di belakang kami”.[14]
Imam al-Bukhari  rahimahullah  menyimpulkan satu judul bab dalam kitab Shahihnya dengan judul bab shalatul nawafili jama’atan. (Bab shalat sunnat yang dikerjakan secara berjamaah).
MENYEDIAKAN MUSHAF DAN BUKU DI MASJIDUL BAIT
Tujuan disyariatkannya mengadakan masjidul bait dirumah ialah sebagai tempat menjalankan ibadah sunnat dan nafilah, dzikir, serta membaca al-Qur’an.
Untuk itu, perlu disediakan hal-hal yang akan mendukungnya seperti adanya mushaf al-Qur’an yang seyogyanya sesuai dengan jumlah anggota keluarga, ditambah dengan buku-buku agama dan buku dzikir.
Tempat ini juga tepat untuk mengajari anak-anak dan orang-orang tua belajar membaca al-Qur’an, Hadits, hukum-hukum fikih dan adab-adab Islam.
MENGAPA SEBAGIAN MELUPAKANNYA?
Namun, mengapa perkara ini terlupakan? Padahal bangunan-bangunan rumah kian luas, berisi banyak kamar : kamar tidur, kamar (tempat) makan keluarga, kamar tamu, tempat untuk mencari nafkah (toko), kamar keluarga yang terkadang dihiasi dengan TV dan perangkat hiburan lainnya, tempat santai keluarga, kamar mandi, kolam ikan, tempat berolahraga, bahkan terkadang juga ada kolam renang di dalam rumah. Atau sebagian kamar bahkan juga disewakan untuk orang lain. Mana ruangan khusus untuk ibadah di rumah tersebut? Kenapa tidak disediakan tempat khusus dimana keluarga akan menjalankan aktifitas ibadah di situ?
Perhatian dan orientasi (sebagian) manusia telah berubah. Ketika dunia menjadi bidikan utama dan perkara yang paling meliputi jiwa, maka rumah disesaki oleh hal-hal yang melalaikan Allah Ta’ala dan akherat.
Mari menghidupkan salah satu sunnah Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam ini di dalam rumah-rumah kita. Wallahul muwaffiq.
Sumber: Majalah As-Sunnah edisi: 04-05/THN XV/Ramadhan/Syawal 1432H/Agustus 2011M

Keutamaan Dzikir - Abdullah Shaleh Hadrami

Abdullah Shaleh Hadrami - Keutamaan Dzikir 01

Powered by mp3skull.com

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Berikut adalah keutamaan-keutamaan dzikir yang disarikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Al Wabilush Shoyyib. Moga bisa menjadi penyemangat bagi kita untuk menjaga lisan ini untuk terus berdzikir, mengingat Allah daripada melakukan hal yang tiada guna.
(1) mengusir setan.
(2) mendatangkan ridho Ar Rahman.
(3) menghilangkan gelisah dan hati yang gundah gulana.
(4) hati menjadi gembira dan lapang.
(5) menguatkan hati dan badan.
(6) menerangi hati dan wajah menjadi bersinar.
(7) mendatangkan rizki.
(8) orang yang berdzikir akan merasakan manisnya iman dan keceriaan.
(9) mendatangkan cinta Ar Rahman yang merupakan ruh Islam.
(10) mendekatkan diri pada Allah sehingga memasukkannya pada golongan orang yang berbuat ihsan yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihatnya.
(11) mendatangkan inabah, yaitu kembali pada Allah ‘azza wa jalla. Semakin seseorang kembali pada Allah dengan banyak berdzikir pada-Nya, maka hatinya pun akan kembali pada Allah dalam setiap keadaan.
(12) seseorang akan semakin dekat  pada Allah sesuai dengan kadar dzikirnya pada Alalh ‘azza wa jalla. Semakin ia lalai dari dzikir, ia pun akan semakin jauh dari-Nya.
(13) semakin bertambah ma’rifah (mengenal Allah). Semakin banyak dzikir, semakin bertambah ma’rifah seseorang pada Allah.
(14) mendatangkan rasa takut pada Rabb ‘azza wa jalla dan semakin menundukkan diri pada-Nya. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir, akan semakin terhalangi dari rasa takut pada Allah.
(15) meraih apa yang Allah sebut dalam ayat,
 “Maka ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian.” (QS. Al Baqarah: 152). Seandainya tidak ada keutamaan dzikir selain yang disebutkan dalam ayat ini, maka sudahlah cukup keutamaan yang disebut.
(16) hati akan semakin hidup. Ibnul Qayyim pernah mendengar gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
 “Dzikir pada hati semisal air yang dibutuhkan ikan. Lihatlah apa yang terjadi jika ikan tersebut lepas dari air?”
(17) hati dan ruh semakin kuat. Jika seseorang melupakan dzikir maka kondisinya sebagaimana badan yang hilang kekuatan. Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sesekali pernah shalat Shubuh dan beliau duduk berdzikir pada Allah Ta’ala sampai beranjak siang. Setelah itu beliau berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal ini-.
(18) dzikir menjadikan hati semakin kilap yang sebelumnya berkarat. Karatnya hati adalah disebabkan karena lalai dari dzikir pada Allah. Sedangkan kilapnya hati adalah dzikir, taubat dan istighfar.
(19) menghapus dosa karena dzikir adalah kebaikan terbesar dan kebaikan akan menghapus kejelekan.
(20) menghilangkan kerisauan. Kerisauan ini dapat dihilangkan dengan dzikir pada Allah.
(21) ketika seorang hamba rajin mengingat Allah, maka Allah akan mengingat dirinya di saat ia butuh.
(22) jika seseorang mengenal Allah dalam  keadaan lapang, Allah akan mengenalnya dalam keadaan sempit.
(23) menyelematkan seseorang dari adzab neraka.
(24) dzikir menyebabkan turunnya sakinah (ketenangan), naungan rahmat, dan dikelilingi oleh malaikat.
(25) dzikir menyebabkan lisan semakin sibuk sehingga terhindar dari ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dusta, perbuatan keji dan batil.
(26) majelis dzikir adalah majelis para malaikat dan majelis orang yang lalai dari dzikir adalah majelis setan.
(27) orang yang berzikir begitu bahagia, begitu pula ia akan membahagiakan orang-orang di sekitarnya.
(28) akan memberikan rasa aman bagi seorang hamba dari kerugian di hari kiamat.
(29) karena tangisan orang yang berdzikir, maka Allah akan memberikan naungan ‘Arsy padanya di hari kiamat yang amat panas.
(30) sibuknya seseorang pada dzikir adalah sebab Allah memberi untuknya lebih dari yang diberikan pada peminta-minta.
(31) dzikir adalah ibadah yang paling ringan, namun ibadah tersebut amat mulia.
(32) dzikir adalah tanaman surga.
(33) pemberian dan keutamaan yang diberikan pada orang yang berdzikir, tidak diberikan pada amalan lainnya.
(34) senantiasa berdzikir pada Allah menyebabkan seseorang tidak mungkin melupakan-Nya. Orang yang melupakan Allah adalah sebab sengsara dirinya dalam kehidupannya dan di hari ia dikembalikan. Seseorang yang melupakan Allah menyebabkan ia melupakan dirinya dan maslahat untuk dirinya. Allah Ta’ala berfirman,
 “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 19)
(35) dzikir adalah cahaya bagi pemiliknya di dunia, kubur, dan hari berbangkit.
(36) dzikir adalah ro’sul umuur (inti segala perkara). Siapa yang dibukakan baginya kemudahan dzikir, maka ia akan memperoleh berbagai kebaikan. Siapa yang luput dari pintu ini, maka luputlah ia dari berbagai kebaikan.
(37) dzikir akan memperingatkan hati yang tertidur lelap. Hati bisa jadi sadar dengan dzikir.
(38) orang yang berdzikir akan semakin dekat dengan Allah dan bersama dengan-Nya. Kebersamaan di sini adalah dengan kebersamaan yang khusus, bukan hanya sekedar Allah itu bersama dalam arti mengetahui atau meliputi. Namun kebersamaan ini menjadikan lebih dekat, mendapatkan perwalian, cinta, pertolongan dan taufik Allah. Sebagaimana AllahTa’ala berfirman,
 “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An Nahl: 128)
 Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 249)
 Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69)
 Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At Taubah: 40)
(39) dzikir itu dapat menyamai seseorang yang memerdekakan budak, menafkahkan harta, dan menunggang kuda di jalan Allah, serta juga dapat menyamai seseorang yang berperang dengan pedang di jalan Allah.
Sebagaimana terdapat dalam hadits,
 “Barangsiapa yang mengucapkan ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku, wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syain qodiir dalam sehari sebanyak 100 kali, maka itu seperti memerdekakan 10 budak.[1]
(40) dzikir adalah inti dari bersyukur. Tidaklah bersyukur pada Allah Ta’ala orang yang enggan berdzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Mu’adz,
 “Wahai Mu’adz, demi Allah, sungguh aku mencintaimu. Demi Allah, aku mencintaimu.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menasehatkan kepadamu –wahai Mu’adz-, janganlah engkau tinggalkan di setiap akhir shalat bacaan ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah tolonglah aku untuk berdzikir dan bersyukur serta beribadah yang baik pada-Mu).[2] Dalam hadits ini digabungkan antara dzikir dan syukur. Begitu pula Allah Ta’alamenggabungkan antara keduanya dalam firman Allah Ta’ala,
 Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al Baqarah: 152). Hal ini menunjukkan bahwa penggabungan dzikir dan syukur merupakan jalan untuk meraih bahagia dan keberuntungan.
(41) makhluk yang paling mulia adalah yang bertakwa yang lisannya selalu basah dengan dzikir pada Allah. Orang seperti inilah yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Ia pun menjadikan dzikir sebagai syi’arnya.
(42) hati itu ada yang keras dan meleburnya dengan berdzikir pada Allah. Oleh karena itu, siapa yang ingin hatinya yang keras itu sembuh, maka berdzikirlah pada Allah.
Ada yang berkata kepada Al Hasan, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan padamu akan kerasnya hatiku.” Al Hasan berkata, “Lembutkanlah dengan dzikir pada Allah.”
Karena hati  ketika semakin lalai, maka semakin keras hati tersebut. Jika seseorang berdzikir pada Allah, lelehlah kekerasan hati tersebut sebagaimana timah itu meleleh dengan api. Maka kerasnya hati akan meleleh semisal itu, yaitu dengan dzikir pada Allah ‘azza wa jalla.
(43) dzikir adalah obat hati sedangkan lalai dari dzikir adalah penyakit hati. Obat hati yang sakit adalah dengan berdzikir pada Allah.
Mak-huul, seorang tabi’in, berkata, “Dzikir kepada Allah adalah obat (bagi hati). Sedangkan sibuk membicarakan (‘aib) manusia, itu adalah penyakit.”
(44) tidak ada sesuatu yang membuat seseorang mudah meraih nikmat Allah dan selamat dari murka-Nya selain dzikir pada Allah. Jadi dzikir adalah sebab datangnya dan tertolaknya murka Allah. Allah Ta’ala berfirman,
 “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7). Dzikir adalah inti syukur sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan syukur akan mendatangkan nikmat dan semakin bersyukur akan membuat nikmat semakin bertambah.
(45) dzikir menyebabkan datangnya shalawat Allah dan malaikatnya bagi orang yang berdzikir. Dan siapa saja yang mendapat shalawat (pujian) Allah dan malaikat, sungguh ia telah mendapatkan keuntungan yang besar. Allah Ta’ala berfirman,
 “Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ahzab: 41-43)
(46) dzikir kepada Allah adalah pertolongan besar agar seseorang mudah melakukan ketaatan. Karena Allah-lah yang menjadikan hamba mencintai amalan taat tersebut, Dia-lah yang memudahkannya dan menjadikan terasa nikmat melakukannya. Begitu pula Allah yang menjadikan amalan tersebut sebagai penyejuk mata, terasa nikmat dan ada rasa gembira. Orang yang rajin berdzikir tidak akan mendapati kesulitan dan rasa berat ketika melakukan amalan taat tersebut, berbeda halnya dengan orang yang lalai dari dzikir. Demikianlah banyak bukti yang menjadi saksi akan hal ini.
(47) dzikir pada Allah akan menjadikan kesulitan itu menjadi mudah, suatu yang terasa jadi beban berat akan menjadi ringan, kesulitan pun akan mendapatkan jalan keluar. Dzikir pada Allah benar-benar mendatangkan kelapangan setelah sebelumnya tertimpa kesulitan.
(48) dzikir pada Allah akan menghilangkan rasa takut yang ada pada jiwa dan ketenangan akan selalu diraih. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir akan selalu merasa takut dan tidak pernah merasakan rasa aman.
(49) dzikir akan memberikan seseorang kekuatan sampai-sampai ia bisa melakukan hal yang menakjubkan. Itulah karena disertai dengan dzikir. Contohnya adalah Ibnu Taimiyah yang sangat menakjubkan dalam perkataan, tulisannya, dan kekuatannya. Tulisan Ibnu Taimiyah yang ia susun sehari sama halnya dengan seseorang yang menulis dengan menyalin tulisan selama seminggu atau lebih. Begitu pula di medan peperangan, beliau terkenal sangat kuat. Inilah suatu hal yang menakjubkan dari orang yang rajin berdzikir.
(50) orang yang senantiasa berdzikir ketika berada di jalan, di rumah, di lahan yang hijau, ketika safar, atau di berbagai tempat, itu akan membuatnya mendapatkan banyak saksi di hari kiamat. Karena tempat-tempat tadi, gunung dan tanah, akan menjadi saksi bagi seseorang di hari kiamat. Kita dapat melihat hal ini pada firman Allah Ta’ala,
 “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 1-5)
(51) jika seseorang menyibukkan diri dengan dzikir, maka ia akan terlalaikan dari perkataan yang batil seperti ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), perkataan sia-sia, memuji-muji manusia, dan mencela manusia. Karena lisan sama sekali tidak bisa diam. Lisan boleh jadi adalah lisan yang rajin berdzikir dan boleh jadi adalah lisan yang lalai. Kondisi lisan adalah salah satu di antara dua kondisi tadi. Ingatlah bahwa jiwa jika tidak tersibukkan dengan kebenaran, maka pasti akan tersibukkan dengan hal yang sia-sia.[3]
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.
(Sumber: rumasyo)
Diberdayakan oleh Blogger.