Rumah,
merupakan salah satu nikmat besar dari Allah Ta’ala bagi setiap Muslim. Allah Ta’ala telah mengingatkan besarnya
nikmat ini dan fungsi pentingnya bagi para penghuninya. Jiwa-jiwa dan hati
mereka akan merasa tenang ketika sudah berada di dalamnya. Rumah akan menjadi
tempat melepas lelah, menutup aurat dan menjadi tempat menjalankan berbagai
aktifitas yang bermanfaat, untuk dunia maupun akhirat.
Allah Ta’ala mengingatkan besarnya nikmat
rumah bagi manusia dengan berfirman :
Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai
tempat tinggal (QS. an-Nahl / 16:80)
Termasuk
pertanda bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat rumah tempat
naungan ini, hendaknya Allah Ta’aladitaati di dalamnya dengan
menjadikannya sebagai tempat ibadah, dzikir, sholat-sholat sunnah dan
ibadah-ibadah lainnya. Bukan sebaliknya, malah menjadi pusat maksiat kepad
Allah Ta’ala, dipenuhi berbagai perangkat yang melalaikan orang dari beribadah
kepada-Nya.
Di
antara faktor yang mendukung keluarga untuk beribadah, dibuat tempat khusus
untuk beribadah bagi seluruh penghuni rumah, sebagai tempat berdzikir dan
tempat mengerjakan sholat-sholat sunnat. Satu tempat yang mereka gunakan untuk
menikmati bermunajat dengan Rabb mereka, Allah Dzul jalali
wal ikram.
MEMBUAT MASJID DI DALAM RUMAH, MUSTAHAB
Yang
dimaksud dengan masjidul bait seperti tertera dalam judul
tulisan ini berdasarkan penjelasan Ulama yaitu tempat atau ruangan yang
dikhususkan dan peruntukkan oleh pemilik rumah sebagai tempat mengerjakan
sholat-sholat sunnah dan ibadah-ibadah nafilah lainnya.[1]
Bagaimanakah
sebenarnya hukum membuat masjidul bait dalam rumah bagi seorang Muslim?.
Membuat tempat khusus di dalam rumah sebagai tempat menjalankan sholat sunnat
dan mengerjakan amalan-amalan ibadah lainnya mustahab (dianjurkan). Para Ulama telah
membicarakan pembahasan ini dalam kitab-kitab fikih dan hadits karya mereka.
Dari
Ummu Humaid radhiyallahu ‘anha, istri Abu Humaid al-Sa’idi radhiyallahu
‘anhu,
bahwasanya ia mendatangi Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, aku sangat suka sholat (berjamaah) bersamamu”. Beliau berkata, “Aku
sudah tahu engkau menyukai sholat bersamaku, (akan tetapi) shalatmu di masjid
rumahmu (tempat paling dalam-red) lebih baik daripada sholatmu di kamar,
sholatmu di kamarmu lebih baik daripada sholatmu di dalam rumahmu, sholatmu di
rumahmu lebih baik daripada sholatmu di masjid kaummu, sholatmu di masjid
kaummu lebih baik daripada sholatmu di masjidku (masjid Nabawi)”. Selanjutnya
Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat sholat) di tempat paling ujung
dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan sholat di situ sampai
menjumpai Allah (ajal datang).[2]
Amirul
Mukminin dalam Hadits, Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah menyatakan dalam kitabShahihnya : “Bab masjid-masjid di
dalam rumah dan sholatnya al-Bara bin Azib radhiyallahu ‘anhu di masjid rumahnya dengan
berjamaah”.
Sehubungan
dengan fungsinya sebagai tempat ibadah, maka harus diperhatikan aspek
kebersihan dan keharumannya.[3] Apalagi mengingat fungsi-fungsi
positifnya dalam membina dan mendidik anak-anak serta menanamkan nilai-nilai
Islam yang luhur pada generasi yang akan datang tersebut.
TIDAK MESTI RUANGAN ATAU KAMAR KHUSUS
Ada
dua bentuk masjidul bait pada masa lalu seperti
tertuang pada beberapa nash dan atsar berikut :
1. Berbentuk kamar
khusus di dalam rumah
Bentuk
pertama ini berdasarkan riwayat dari Ummu Humaid radhiyallahu
‘anha yang
sudah disebutkan sebelumnya, bahwasanya ia mendatangi Nabi seraya berkata,
“Wahai Rasulullah, aku sangat suka sholat (berjamaah) bersamamu”. Beliau
berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai sholat bersamaku, (akan tetapi)
sholatmu di tempat paling dalam di rumahmu lebih baik daripada sholatmu di
kamar … Selanjutnya Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di
tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan sholat
di situ sampai menjumpai Allah (ajal datang).[4]
2. Tempat khusus di
salah satu pojok kamar
Jika
kurang memungkinkan bagi seorang Muslim untuk mengadakan ruangan khusus sebagai
masjidul bait untuk tempat sholat sunnah dan ibadah-ibadah nafilah lainnya,
maka tidak masalah bila ia hanya menentukan pojok tertentu dri kamar yang dapat
dipergunakan untuk tujuan tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairahradhiyallahu
‘anhu bahwa seorang lelaki dari kaum Anshar memohon Rasulullah datang (ke
rumahnya) untuk berkenan menggarisi tempat sebagai masjid di dalam rumahnya
untuk dia jadikan tempat sholatnya. Itu dilakukan setelah ia mengalami kebutaan
dan kemudian Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam memenuhinya.[5]
Dalam al-Musnad, Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Itban bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, air bah telah
menghalangiku untuk mendatangi masjid di kampung (untuk sholat fardhu). Aku
ingin engkau mendatangiku dan kemudian mengerjakan sholat di suatu tempat (yang
nantinya) aku jadikan sebagai masjid (masjidul bait)”. Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam menjawab, “Baiklah”. Keesokan harinya, Rasulullah mendatangi Abu Bakar dan
memintanya untuk mengikuti beliau. Ketika memasuki (rumah Itban), Rasulullah Shallallahu
’alaihi wa sallam berkata, “Dimana tempat yang engkau inginkan?” Maka aku (Itban), menunjuk
ke satu pojok rumahnya. Kemudian Rasulullah berdiri sholat (di situ). Dan kami
berbaris di belakang beliau. Beliau mengerjakan sholat dua rakaat bersama
kami”.[6]
Dalam
riwayat al-Bukhari, “Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam meminta izin (masuk rumah),
kemudian beliau aku persilahkan (masuk). Beliau tidak duduk sampai berkata,
“Dimana tempat yang engkau ingin aku sholat di rumahmu?”. Kemudian ia (Itban)
menunjuk tempat yang ia ingin Nabi sholat di situ…”.[7]
DAHULU, SEMUA RUMAH PUNYA MASJIDUL BAIT
Generasi
Salaf dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi
wa sallam dan Tabi’in, mereka berada di puncak tinggi dalam ibadah, menghambakan diri
kepada Allah Ta’ala, dan konsentrasi meraih akhirat. Begitu banyak ibadah
sunnat yang mereka kerjakan, sementara di malam hari, mereka isi dengan
berdiri, ruku; dan sujud yang sangat panjang. Ketaatan mereka sangat besar. Di
antara faktor yang mendukung mereka untuk keperluan tersebut ialah adanya masjidul
bait, di
rumah-rumah mereka.
Ternyata
mereka telah memiliki masjidul bait di rumah mereka masing-masing.
Hal ini berdasarkan pernyataan Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berikut
: Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya.[8]
Hal
ini dikarenakan konsentrasi mereka yang besar terhadap kehidupan akhirat, yang
telah memenuhi relung hati mereka paling dalam. Meski rumah tinggal mereka
sederhana dan tidak luas, mereka masih mengkhususkan satu tempat dari bagian
rumah mereka sebagai tempat menjalankan ibadah-ibadah sunnat dan nafilah. Malam
mereka lalui di dalamnya dalam keadaan berdiri, ruku dan sujud, mengharapkan
rahmat Allah Ta’ala dan takut siksa-Nya,
mengingatkan mereka akan tujuan hidup mereka, dan kampung akherat. Bahkan
sebagian dari mereka, seperti Abu Tsalabah al-Khusyanni meninggal di dalam masjidul
bait dalam
keadaan bersujud.
MANFAAT MASJIDUL BAIT
Keberadaan masjidul
bait mendatangkan
berbagai macam manfaat dan dampak positif bagi keluarga itu sendiri. Inilah
yang memotivasi generasi Salaf dalam mengkhususkan tempat untuk itu. Di antara
manfaatnya :
Sebagai
tempat menguatkan hubungan dengan Allah Ta’ala.
Sebagai
tempat membina jiwa untuk lebih ikhlas dalam berbicara dan berbuat. Sebab
ibadah yang dikerjakan jauh dari pandangan manusia akan lebih mendatangkan
ikhlas.
Sebagai
tempat mengajarkan shalat bagi keluarga.
Sebagai
tempat pembinaan anak-anak untuk lebih taat beragama dan rajin beribadah.
Sebagai
pendorong untuk beribadah dan mengingatkannya.
Menghidupkan
sunnah Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam
Sebagai
media mengokohkan hubungan keluarga.
Sebagai
tempat sholat fardhu bagi yang memiliki udzur.
SHOLAT-SHOLAT SUNNAT DI MASJIDUL BAIT
Sholat
fardhu telah menjadi salah satu kewajiban terpenting atas setiap Muslim dan
Muslimah. Dan khusus bagi para lelaki, syariat telah menetapkan pelaksanaan
sholat fardhu tersebut secara berjamaah di masjid. Adapun sholat nafilah, Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam menganjurkan pelaksanaannya di dalam rumah.
Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam bersabda : Sholatlah kalian di dalam rumah kalian.
Sungguh sebaik-baik sholat seseorang adalah (yang dikerjakan) di dalam rumahnya
kecuali sholat fardhu.[9]
Dalam
hadits lain, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : Jika
salah seorang kalian telah menyelesaikan sholat di masjid, maka hendaknya ia
memberikan bagian sholatnya di dalam rumahnya. Sesungguhnya Allah akan
menjadikan kebaikan di dalam rumahnya melalui sholatnya (yang dilakukan di
rumah).[10]
Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam pernah ditanya oleh Sahabat Hizam bin
Hakim perihal tempat
mengerjakan sholat, apakah di rumah atau di masjid. Meski rumah beliau dengan
masjid sangat dekat, beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam menjawab dengan berkata : Aku
mengerjakan sholat di dalam rumahku lebih aku sukai daripada sholat di masjid
kecuali sholat fardhu.[11]
Penekanan
sholat wajib di masjid secara berjamaah atas kaum lelaki akan bertambah jelas
melalui nasehat Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berharga berikut ini.
Beliau mengatakan, “Barang siapa di antara kalian yang mau bergembira berjumpa
dengan Allah besok dalam keadaan Muslim, hendaknya memelihara sholat lima waktu
yang telah diwajibkan saat diserukan untuk menjalankannya. Sesungguhnya sholat
lima waktu termasuk jalan-jalan hidayah, dan sungguh allah telah menetapkan
bebagai macam jalan hidayah. Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam
rumahnya. Jika kalian mengerjakan sholat (lima waktu) di masjid rumah kalian
seperti mutakhollif (orang yang tidak terbiasa
datang ke masjid untuk sholat berjamaah) yang suka menjalankan sholat (fardhu)
di rumahnya (saja), berarti kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam kalian, dan jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu
’alaihi wa sallam kalian niscaya kalian akan tersesat.
Aku
sudah menyaksikan bahwa yang sudah terbiasa tidak ke masjid (untuk sholat
berjamaah) ialah orang munafik yang telah memaklumi kenifakannya. Aku dahulu
menyaksikan seseorang dipapah oleh dua orang agar bisa berdiri di shaf (sholat
fardhu)”.[12]
Disebutkan
dalam Hasyiyah Ibni Abidin (2/441), “… Sesungguhnya dianjurkan bagi seorang
lelaki untuk mengkhususkan satu tempat dari rumahnya sebagai tempat mengerjakan
sholat nafilah. Adapun, sholat fardhu dan I’tikaf, sudah dimaklumi hanya
dikerjakan di masjid”
Dengan
demikian kebaikan dan keberkahan dari Allah Ta’ala akan mendatangi rumah yang
bercahaya dengan ibadah dan dzikir tersebut, sehingga rumah bercahaya tidak
gelap seperti kuburan. Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : Kerjakanlah
sebagian sholatmu di dalam rumah-rumah kalian. Jangan menjadikan rumah seperti
kuburan (Muttafaqun ‘alaih).
SHOLAT NAFILAH (SUNNAT) BERJAMAAH DI MASJIDUL
BAIT
Disyariatkan
bagi seorang Muslim untuk mengerjakan sholat sunnat berjamaah dengan anggota
keluarganya, bahkan hukumnya mustahab. Manfaatnya sebagai ajang pembinaan bagi
keluarga pun tampak jelas. Akan tetapi, tidak boleh menjadikannya sebagai
kebiasaan dan rutinitas.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Berkumpul dalam
menjalankan sholat sunnat secara berjamaah termasuk perkara yang dianjurkan
selama tidak dijadikan sebuah kebiasaan…”[13]
Diriwayatkan
Imam al-Bukhari rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu :”Aku
dan seorang anak yatim yang ada di rumah pernah mengerjakan sholat di belakang
Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam, sementara ibuku dan Ummu Sulaim di belakang
kami”.[14]
Imam
al-Bukhari rahimahullah menyimpulkan satu judul
bab dalam kitab Shahihnya dengan judul bab shalatul
nawafili jama’atan. (Bab shalat sunnat yang dikerjakan secara berjamaah).
MENYEDIAKAN MUSHAF DAN BUKU DI MASJIDUL BAIT
Tujuan
disyariatkannya mengadakan masjidul bait dirumah ialah sebagai tempat
menjalankan ibadah sunnat dan nafilah, dzikir, serta membaca al-Qur’an.
Untuk
itu, perlu disediakan hal-hal yang akan mendukungnya seperti adanya mushaf
al-Qur’an yang seyogyanya sesuai dengan jumlah anggota keluarga, ditambah dengan
buku-buku agama dan buku dzikir.
Tempat
ini juga tepat untuk mengajari anak-anak dan orang-orang tua belajar membaca
al-Qur’an, Hadits, hukum-hukum fikih dan adab-adab Islam.
MENGAPA SEBAGIAN MELUPAKANNYA?
Namun,
mengapa perkara ini terlupakan? Padahal bangunan-bangunan rumah kian luas,
berisi banyak kamar : kamar tidur, kamar (tempat) makan keluarga, kamar tamu,
tempat untuk mencari nafkah (toko), kamar keluarga yang terkadang dihiasi
dengan TV dan perangkat hiburan lainnya, tempat santai keluarga, kamar mandi,
kolam ikan, tempat berolahraga, bahkan terkadang juga ada kolam renang di dalam
rumah. Atau sebagian kamar bahkan juga disewakan untuk orang lain. Mana ruangan
khusus untuk ibadah di rumah tersebut? Kenapa tidak disediakan tempat khusus
dimana keluarga akan menjalankan aktifitas ibadah di situ?
Perhatian
dan orientasi (sebagian) manusia telah berubah. Ketika dunia menjadi bidikan
utama dan perkara yang paling meliputi jiwa, maka rumah disesaki oleh hal-hal
yang melalaikan Allah Ta’ala dan akherat.
Mari
menghidupkan salah satu sunnah Nabi Shallallahu ’alaihi
wa sallam ini di dalam rumah-rumah kita. Wallahul muwaffiq.
Sumber: Majalah
As-Sunnah edisi:
04-05/THN XV/Ramadhan/Syawal 1432H/Agustus 2011M
0 komentar:
Posting Komentar