Masalah jahar (bukan zahar) dan sirr ketika membaca basmallah di
dalam sholat ada dua pendapat ulama. Yang rajih Insya Allah adalah imam membaca
basmalah dengan sir. Karena demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallama.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu
ia berkata, “Aku sholat di belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama,
di belakang Abu Bakar dan di belakang Umar. Maka aku tidak pernah mendengar
seorangpun dari mereka membaca Bismillahir rohmanir rahim”.[1]
Selain itu karena dia bukanlah termasuk ayat Al-Fatihah[2].
Akan tetapi jika sesekali imam menjaharkannya tidak mengapa. Karena ada
riwayat yang mengisyaratkan demikian sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim
Al-Jauziyyah di dalam kitab Zaadul Ma’ad, akan tetapi kata beliau Rasulullah
shollallahu ‘alahi wa sallama lebih sering men-sirr-kannya.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan kalau imam menjaharkan dalam
rangka menghindari fitnah atau ta’liif orang-orang yang mazhabnya jahar,
maka itu tidak apa-apa.[3]
Imam Az-Zaila’I menuturkan, “Sebagian ulama menjaharkan basmalah guna menghindari
hal yang tidak baik (Saddan Lidz-Dari’ah). Ia melanjutkan, “Boleh bagi
seseorang meninggalkan yang afdhol untuk Ta’liiful Qulub dan menyatukan, serta
menghindari sesuatu yang membuat orang lari. Sebagaimana Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallama meninggalkan pemugaran ka’bah dan membangunnya kembali di
atas pondasi Ibrahim, dengan alasan orang-orang qurasiy baru meninggalkan
jahiliyyah, beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama khawatir itu akan membuat
mereka lari. Dan beliau memandang mendahulukan maslahah bersatu sekalipun
membiarkan ka’bah seperti itu.
Dan tatkala Ar-Robi’ mengingkari Ibnu Mas’ud yang menyempurnakan sholat di
belakang Ustman[4], Ibnu Mas’ud menjawab, “Perselisihan itu adalah
buruk”.
Ahmad dan lainnya telah menegaskan itu dalam masalah basmalah, menyambung
witir dan lainnya. Yang mana seseorang meninggalkan yang afdhol kepada sesuatu
yang boleh tetapi tidak utama. Dalam rangka menjaga kesatuan hati
makmum atau untuk mengenalkan mereka kepada sunnah dan semisalnya, dan ini
merupakan landasan besar dalam (masalah) Sadd Adz-Dzari’ah”.[5]
Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, “Yang benar dikatakan, “Masalah ini
adalah masalah yang lapang. Dan pendapat yang membatasi pada satu tidak
mungkin. Dan setiap yang berpegang kepada satu riwayat[6] dia benar dan
berpegang kepada As-Sunnah. Yang sempurna adalah mengikuti Al-Mushthofa
shollallahu ‘alaihi wa sallama dalam segala keadaan. Maka kadang dijaharkan dan
lebih sering di sirr-kan. Kepada Allah kita meminta tolong, dan Dialah yang
menunjuki kepada jalan yang lurus”.[7]
[1] Dikeluarkan oleh
Muslim no. (399) kitab Ash-Sholah bab. Hujjah Man Qola Laa Yajhar bil Basmalah.
[2] Fatawa Ibnu
Utsaimin 13/109.
[3] Ibid.
[4] Ketika di Mina.
Padahal Ibnu Mas’ud berpendapat sholat dilakukan dengan qoshor sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar rodhiyallahu ‘anhum ajma’in.
[5] Nasbur Royah
(1/328).
[6] Dalam masalah ini.
[7] Al-Qowlul Mubin
hal. (234).
(Sumber: telagahati.online)
0 komentar:
Posting Komentar