Oleh: USTADZ ABU
ABDILLAH AL-ATSARI
PENDAHULUAN
Suatu ketika Salman Al-Farisi pernah
ditanya oleh seorang musyrik: “Apakah benar Nabi kalian mengajarkan
perkara-perkara agama ini hingga adab buang hajat? Salman menjawab dengan
tegas: Benar! Beliau صلي
الله عليه وسلم melarang
kita istinja dengan tangan kanan, dan melarang kita untuk menghadap kiblat
[saat buang hajat]”. Sebuah hadits yang agung menggambarkan betapa sempurnanya
agama islam ini, tidak hanya menjelaskan perkara-perkara yang besar dan urgen,
namun juga perkara yang sering disepelekan oleh kebanyakan orang yaitu adab
buang hajat. Berikut ini adab-adab dalam buang hajat yang coba kami kupas,
semoga bermanfaat..
1. TIDAK DISEMBARANG TEMPAT
Membung hajat disembarang tempat,
tidak hanya mengotori dan mengganggu orang lain namun juga menyebabkan
pelakunya mendapat la’nat, Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min
dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka
telah memikul kebohongan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58).
Rosulullah صلي الله
عليه وسلم bersabda:
"Takutlah kalian dari dua
perkara yang menyebabkan pelakunya mendapat la’nat, para sahabat bertanya: Apa
dua perkara itu wahai Rosulullah? Rosulullah صلي الله عليه وسلم menjawab: Yaitu orang yang buang hajat ditempat-tempat yang dilalui
manusia dan tempat perteduhan mereka". (HR. Muslim 269, Abu Dawud 25,
Ahmad 8636).
Berkata Syaroful Haq ‘Adzim Abadi:
“Hadits ini menunjukkan haromnya buang hajat di jalan-jalan yang dilalui oleh
manusia atau tempat perteduhan mereka, karena orang yang lewat akan merasa
jijik dan terganggu dengan najisnya”. (Aunul Ma’bud 1/31).
2. LARANGAN KENCING PADA AIR YANG TENANG
Berdasarkan hadits:
“Janganlah kalian kencing pada air yang tenang
lagi tidak mengalir.” (Bukhori 239 dan Muslim 282).
Imam Nawawi berkata: “Jika airnya
banyak dan mengalir maka tidaklah diharamkan kencing didalamnya, akan tetapi
menjauhinya lebih utama”.(Syarah Shohih Muslim 3/523).
3. TIDAK MEMBAWA SESUATU YANG BERTULISKAN NAMA ALLAH
Yang demikian sebagai bentuk
pemuliaan dan penjagaan nama Allah dari penghinaan, karena itu tidaklah layak
bagi seorang muslim ketika buang hajat membawa sesuatu yang bertuliskan lafadz
Allah, kecuali karena dhorurat. Adapun mushaf Al-Qur’an tidak diragukan lagi
larangannya untuk dibawa ketika buang hajat, dan inilah pendapat ahlu ‘ilmi.
(Lihat Syarah Mumti’ 1/91 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
Perhatian:
Hadits yang menjelaskan bahwasanya
Nabi apabila buang hajat beliau melepas cincinnya yang bertuliskan lafadz
Allah, hadits ini adalah dho’if, riwayat Abu Dawud no.19, dan dia berkata: “Ini
adalah hadits munkar”, Tirmidzi 1746, 47-Syamail, Ibnu Majah 303,Nasa’i 5210,
dan dia berkata: “Hadits ini ‘Ghoiru Mahfudz”’ (Syadz-pent), Baihaqi 1/95,
Hakim 1/187, Ibnu Hibban 1413, Qurthubi dalam Tafsirnya 10/88, Imam Nawawi
berkata: “Hadits ini ditolak keabsahannya!” ( At-Talkhis 1/160). Al-Albani
berkata: “Apa yang dikatakan Abu Dawud adalah benar, karena jumhur ‘ulama telah
mendho’ifkan hadits ini”, (lihat Al-Misykah 343, Mukhtasor Syamail
Muhammadiyah 75).
4. MASUK DENGAN MENDAHULUKAN KAKI KIRI DAN BERDO’A
Berdasarkan hadits:
"Dari ‘Aisyah dia berkata:
Adalah Rosulullah صلي الله
عليه وسلم mencintai untuk mendahulukan yang kanan ketika
memakai sandal, bersisir, bersuci dan pada perkara mulia lainnya". (HR.
Bukhori 168, Ahmad 6/187).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata: "Telah tetap dalam kaidah syar’i bahwa perbuatan yang didalamnya
mungkin untuk dilakukan antara kanan dan kiri, maka hendaklah mendahulukan yang
kanan pada perkara-perkara yang baik dan mulia semisal: memakai sandal, masuk
masjid, keluar WC dan lainnya, adapun perkara-perkara yang hina dan kotor
seperti: masuk WC, keluar masjid, melepas sandal maka hendaklah kaki kiri
didahulukan". (Majmu Fatawa 21/109).
Kemudian berdo’a:
Ibnu Batthol berkata: “Do’a ini
tidak hanya dibaca pada tempat-tempat buang hajat (semisal kakus, jamban-pent)
namun juga pada tempat-tempat lainnya”. (semisal tanah lapang, kebun-pent) .
(lihat Subulus Salam 1/154).
5. LARANGAN MENGHADAP KIBLAT
Dalam masalah ini ada beberapa
hadits yang menjelaskan,
Hadits Abu Ayyub Al-Anshori,
bahwasanya Rosulullah صلي الله
عليه وسلم bersabda:
“Apabila salah seorang diantara kalian buang
hajat, maka janganlah ia menghadap kiblat atau membelakanginya!” (HR. Bukhori
144, Muslim 264).
Dari Jabir bin Abdullah dia berkata:
“Nabi صلي الله عليه وسلم melarang
kami menghadap kiblat ketika buang hajat, akan tetapi aku melihatnya menghadap
kiblat setahun sebelum wafatnya.” (HR. Tirmidzi 9, Abu Dawud 13, Ibnu Majah
325, Ibnu Khuzaimah 58, Ahmad 5/515, Ibnu Hibban 1320, Ibnu Jarud 31,
dihasankan oleh Al-Albani dalam shohih sunan Abu Dawud.)
Hadits Abdullah bin ‘Umar dia
berkata:
“Sesungguhnya manusia berkata; apabila buang hajat
janganlah menghadap kiblat atau baitul maqdis, padahal suatu hari aku pernah
naik rumah saudara perempuanku(Hafshoh), dan aku melihat Rosulullah صلي الله
عليه وسلم buang hajat dengan menghadap Baitul Maqdis.” (HR.
Bukhori 145, Muslim 266).
Hadits-hadits diatas nampaknya
bertentangan satu sama lain, karena itu para ‘ulama berselisih tajam dalam
masalah ini, apakah hukum menghadap kiblat dan membelakanginya ketika buang
hajat bersifat mutlak, baik pada bangunan maupun tanah lapang??!. Hadits Abu
Ayyub berfaidah larangan menghadap kiblat dan membelakanginya secara mutlak,
sedangkan hadits Jabir menjelaskan bahwa akhir perkara Rosulullah صلي الله
عليه وسلم menunjukkan bolehnya menghadap kiblat, sementara
hadits Abdullah bin ‘umar menunjukkan bolehnya membelakangi kiblat tidak
menghadapnya pada bangunan atau yang semisalnya. Yang benar dalam masalah ini,
adalah pendapat jumhur ‘ulama yang mengkompromikan dali-dalil yang ada, bahwa
menghadap kiblat dan membelakanginya dilarang pada tanah lapang atau tempat yang
tidak ada penutup dan pembatasnya, adapun pada bangunan atau tempat yang ada
penutup dan pembatasnya maka dibolehkan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Al-‘Abbas
bin Abdul Mutholib, Abdullah Bin ‘Umar, Sya’bi, Ishaq Bin Rohawaih, Imam Malik
dan Syafi’i. (Lihat Syarah Shohih Muslim 2/497). Juga pendapat para ‘Ulama
lainnya seperti Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzzab (2/93),
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (1/323), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni
(1/221), As-Shon’ani dalam Subulus Salam (1/162), Syaikh Ibnu Baz dalam Fatawanya
(10/35), Lajnah Daimah (5/95, no.4480) dan Ibnu Utsaimin dalam Fatawanya
(11/111). Wallahu ‘Alam.
6. MENJAGA AUROT
Berkata Imam Ibnu qudamah: “Disukai
untuk menutup aurot ketika buang hajat, jika ia mendapati kebun, rerimbunan,
pohon atau lainnya hendaklah ia menutup diri dengannya, jika tidak maka
hendaklah ia menjauh hingga tidak dilihat seorangpun”. (Al-Mughni 1/222).
Dari ‘Abdullah Bin Ja’far dia
berkata: “Rosulullah صلي الله
عليه وسلم pernah memboncengku pada suatu hari, dan beliau
menceritakanku sebuah hadits yang tidak aku ceritakan kepada seorangpun,
bahwasanya beliau paling suka untuk menjaga ‘aurot ketika buang hajat dengan
pergi ketempat yang tinggi atau yang sepi.” (HR. Muslim 342, Abu Dawud 2549,
Ibnu Majah 340).
Juga berdasarkan hadits:
Dari Mughiroh Bin Syu’bah dia
berkata: “Adalah Rosulullah صلي الله عليه وسلم apabila
buang hajat, menjauh ketempat yang sepi.” (HR.Abu Dawud 1, Tirmidzi 20, Ibnu
Majah 331, Nasa’I 17, Darimi 666. Al-Albani menghasankannya dalan As-Shohihah
[1159]).
Imam Nawawi berkata: "Didalam
hadits terdapat anjuran untuk menjaga ‘aurat ketika buang hajat, baik di tempat
sepi, terlindung atau yang lainnya, yang dapat menutupi dari pandangan
orang". (Syarah Shohih Muslim 3/29).
7. KENCING BERDIRI?
Dari ‘Aisyah dia berkata: “Barang
siapa yang menceritakan [kepada] kalian bahwasanya Nabi صلي الله
عليه وسلم kencing berdiri janganlah dipercaya! Tidaklah Nabi
kencing kecuali dengan duduk.” (HR. Tirmidzi 12, Nasa’i 29, Ibnu Majah 307,
Ahmad 6/192). Dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah (201).
Hudzaifah bin Yaman berkata:
“Aku pernah pergi bersama Nabi صلي الله
عليه وسلم, kemudian beliau berhenti pada suatu tempat dan
kencing dengan berdiri. (HR. Bukhori 226, Muslim 273).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Yang
dzhohir bahwa perbuatan nabi diatas menunjukkan bolehnya hal itu, sekalipun
beliau paling sering kencing dengan duduk, adapun perkataan ‘Aisyah hanya
sebatas pengetahuannya didalam rumah, yang dia tidak tahu pada selainnya. (Fathul
Bari 1/430).
Kesimpulannya: kencing dengan
berdiri atau duduk dibolehkan, yang terpenting adalah aman dari percikan air
kencingnya. (lihat As-Shohihah 1/393)
Perhatian:
Hadits yang berbunyi:
Dari Umar dia berkata: “Nabi
melihatku kencing dengan berdiri maka beliaupun menegurku seraya berkata: Hai ‘Umar
janganlah kamu kencing dengan berdiri!” (HR.Tirmidzi 12, Ibnu Majah 308, Ibnu
Hibban 135, Baihaqi 1/102).
Ini adalah hadits yang dho’if, didho’ifkan
oleh Tirmidzi dalam Sunannya 12, Al-Albani dalam Ad-Dho’ifah 934.
8. LARANGAN MENGGUNAKAN TANGAN KANAN
Imam Ibnu Qoyyim berkata:
"Adalah Nabi Istinja dan Istijmar dengan tangan kirinya". (Zaadul
Ma’ad 1/166).
Dari Abu Qotadah dari bapaknya
bahwasanya Rosulullah صلي الله
عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang diatara kalian
kencing maka janganlah ia memegang kemaluannya dan beristinja dengan tangan
kanannya. (HR. Bukhori 154, Muslim 267).
Imam Nawawi berkata: "‘Ulama
bersepakat atas haramnya beristinja dengan tangan kanan". (Syarah
Shohih Muslim 2/498).
9. ISTINJA
Istinja adalah bersuci dengan
menggunakan air, batu atau yang lainnya. hal ini wajib dilakukan untuk
mensucikan segala sesuatu yang keluar dari dua jalan [seperti air kencing,
berak, madzi-pent]. (Lihat Al-Mughni 1/206, Majmu’ Syarah Muhadzzab
2/110.) Adapun dalil istinja dengan air, berdasarkan hadits:
Dari Anas Bin Malik dia berkata:
Adalah Nabi apabila hendak buang hajat, maka aku dan seorang anak sebayaku
membawakan seember air untuknya. (HR. Bukhori 150).
Imam Asy-Saukani berkata:
"Hadits ini menunjukkan tetapnya istinja dengan air" (Nailul
Author 1/96, lihat pula Al-Mugni 1/208).
10. ISTIJMAR
Termasuk keindahan agama islam,
bahwasanya agama ini datang dengan membawa kemudahan dan menghilangkan
kesukaran, Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqoroh: 185)
Diantara kemudahan tersebut adalah
bolehnya bersuci dengan menggunakan air, batu, daun atau selainnya. Adapun
Istijmar adalah bersuci dengan menggunakan batu. Orang yang akan beristijmar
hendaklah ia menjauhi tulang dan kotoran, berdasarkan hadits:
Dari Abu Hurairoh dia berkata:
“Suatu ketika aku pernah berjalan dibelakang Rosulullah صلي الله
عليه وسلم tatkala ia hendak buang hajat, maka beliaupun
berkata: Carikanlah untukku beberapa batu yang aku dapat bersuci dengannya! Dan
janganlah engkau memberiku tulang atau kotoran, maka akupun memberinya beberapa
batu dengan ujung bajuku, yang aku letakkan disisinya, tatkala aku berpaling
maka Rosulullah-pun memakai batu-batu tersebut. (HR. Bukhori 155).
11. SUNNAHNYA ISTIJMAR DENGAN BILANGAN GANJIL
Berdasarkan hadits:
Dari Abu Hurairoh bahwasanya
Rosulullah صلي الله
عليه وسلم bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian
istijmar maka istijmarlah dengan bilangan yang ganjil”. (HR. Bukhori 161,
Muslim 237 dan ini lafadznya). Dan hendaklah bilangan tersebut tidak kurang
dari tiga, berdasarkan hadits:
Dari Salman bahwasanya dia ditanya
seorang musyrik: “Apakah Nabi kalian mengajarkan segala sesuatu hingga adab
buang hajat?” Salman menjawab: “Ya! Sungguh beliau melarang kami ketika buang
hajat untuk menghadap kiblat, istinja dengan tangan kanan, istinja kurang dari
tiga batu, istinja dengan kotoran atau tulang”. (HR. Muslim 262, Tirmidzi 16,
Abu Dawud 7, Ibnu Majah 316).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Berdasarkan hadits ini Imam Syafi’i, Ahmad, dan Ahli hadits mensyaratkan bahwa
istijmar tidak boleh kurang dari tiga, dengan tetap menjaga kebersihannya, bila
kurang bersih boleh lebih dari tiga dan disunnahkan ganjil. (Fathul Bari
1/336 lihat pula Al-Mughni 1/209, Majmu’ Syarah Muhadzzab 2/120 Tuhfatul
Ahwadzi 1/67).
12. DIBENCINYA BERBICARA KETIKA BUANG HAJAT
Berdasarkan hadits:
Dari Abdullah Bin ‘Umar dia berkata:
“Adalah seorang laki-laki memberi salam kepada Rosulullah صلي الله
عليه وسلم tatkala beliau kencing, maka beliaupun tidak
menjawabnya.” (HR. Muslim 370, Abu Dawud 16, Tirmidzi 90, Nasa’i 37, Ibnu Majah
353, Lihat Al-Irwaa-ul Ghalil 54).
Berkata Imam Nawawi: “Didalam hadits
ini terdapat faidah bahwasanya seorang muslim yang sedang buang hajat tidak
wajib menjawab salam, dan faidah yang lain adalah dibencinya berbicara ketika
buang hajat terkecuali ketika terpaksa”.(Syarah Shohih Muslim 3/51).
13. DO’A KELUAR WC
Ketika selesai buang hajat,
hendaklah keluar dengan mendahulukan kaki kanan seraya berdo’a:
“Yaa… Allah aku mohon ampunan-Mu.” (HR.Tirmidzi
7, Abu Dawud 30, Ibnu Majah 300, Ahmad 24694, Ibnu Sunni dalam Amal Yaum wa
Lailah 23, Hakim 1/158, Baihaqi 1/97), di shohihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwaa-ul
Ghalil 52.
Demikianlah pembahasan kali ini,
semoga Allah menjadikannya ikhlas mengharap wajah-Nya dan bermanfaat bagi kita
semua. Amiin, Wallahu ‘Alam
0 komentar:
Posting Komentar