Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51:56).
Banyak orang yang
salah paham dalam memahami arti dari ibadah. Mereka menganggap ibadah hanyalah
terbatas pada 5 hal yang tercantum dalam rukun Islam, yaitu syahadat, shalat,
puasa, zakat dan haji. Padahal sebenarnya ibadah sendiri tidak mempunyai arti sesempit
itu. Ibadah secara bahasa, menurut kamus al-Muhith tulisan Imam
al-Fairuz Abadi, artinya
adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana dijelaskan
oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasaat
fi al-Fikri al-Islami,
memiliki dua arti: umum dan khusus. Arti ibadah secara umum “ inilah yang
dimaksud oleh ayat 56 dari surah Adz-Dzariaat “ adalah mentaati segala
ketentuan Allah baik menyangkut perintah maupun larangan. Secara khusus, ibadah
berarti tiap kegiatan ritual dalam hubungan antara manusia dengan Allah,
seperti shalat, puasa, doa, tilawah, sujud syukur, haji dan sebagainya (ibadah
mahdah). Makna ibadah dalam arti khusus inilah yang dipakai dalam pembahasan
kaidah-kaidah fiqih.
Syarat diterimanya ibadah ada 2:
1) Ikhlas. Meniatkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata, tidak diselipkan keinginan-keinginan duniawi yang lain. Misalnya ingin mendapat pujian, ingin menarik hati lawan jenis, dll
“Bahwasan-nya segala amal perbuatan itu tergantung pada niat, …” (HR. Bukhari-Muslim)
2) Sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul
Ajaran Islam sudah sempurna. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai agama bagimu. (QS Al-Maidah:3). Qur’an dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)). Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Qur’an dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bid’ah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu ‘anhu)
Syarat diterimanya ibadah ada 2:
1) Ikhlas. Meniatkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata, tidak diselipkan keinginan-keinginan duniawi yang lain. Misalnya ingin mendapat pujian, ingin menarik hati lawan jenis, dll
“Bahwasan-nya segala amal perbuatan itu tergantung pada niat, …” (HR. Bukhari-Muslim)
2) Sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul
Ajaran Islam sudah sempurna. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai agama bagimu. (QS Al-Maidah:3). Qur’an dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)). Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Qur’an dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bid’ah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu ‘anhu)
Coba antum
bayangkan bila ada yang mengerjakan shalat Shubuh 4 rakaat, apakah ada dalil
yang melarangnya? Tidak. Tapi hal tersebut tidak ada tuntunannya, dan tuntunan
yang jelas mengatakan Shalat Shubuh 2 rakaat. Maka bila ada yang mengerjakan
shalat shubuh 4 rakaat sesatlah dia. Mengenai batasan bid’ah, ada beberapa perbedaan pendapat. Secara garis
besar dibedakan menjadi 2 kelompok :
Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. ”
Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. ”
Kelompok Kedua
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Selain pembagian
di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit
berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua;
a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
Namun dalam
kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para
ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian :
Pertama : Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I’tiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Pertama : Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I’tiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Saudaraku, mari kita
evaluasi kembali ibadah kita. Apakah selama ini ibadah yang kita lakukan sudah
sesuai tuntunan? Apakah didasari dalil yang shahih? Atau cuma sekedar
ikut-ikutan saja? Atau cuma asal-asalan saja? Mari pelajari Islam lebih
mendalam. (fmipaugm)
� + p a 0� �ߕ u nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai
agama bagimu. (QS
Al-Maidah:3). Qur’an dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama
yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah
ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum
sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya
dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)).
Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa
yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Qur’an dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bid’ah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah
kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru
adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR.
Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah
(no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu
‘anhu)
Coba antum
bayangkan bila ada yang mengerjakan shalat Shubuh 4 rakaat, apakah ada dalil
yang melarangnya? Tidak. Tapi hal tersebut tidak ada tuntunannya, dan tuntunan
yang jelas mengatakan Shalat Shubuh 2 rakaat. Maka bila ada yang mengerjakan
shalat shubuh 4 rakaat sesatlah dia. Mengenai batasan bid’ah, ada beberapa perbedaan pendapat. Secara garis
besar dibedakan menjadi 2 kelompok :
Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. ”
Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. ”
Kelompok Kedua
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Selain pembagian
di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit
berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua;
a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
Namun dalam
kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para
ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian :
Pertama : Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I’tiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Pertama : Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I’tiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Saudaraku, mari kita
evaluasi kembali ibadah kita. Apakah selama ini ibadah yang kita lakukan sudah
sesuai tuntunan? Apakah didasari dalil yang shahih? Atau cuma sekedar
ikut-ikutan saja? Atau cuma asal-asalan saja? Mari pelajari Islam lebih
mendalam. (fmipaugm)
0 komentar:
Posting Komentar