Keutamaan dan Adab-Adab Dzikrullah


Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan dzikir yang banyak.” (QS. Al-Ahzaab: 41).
Ibnu Katsir rahimahullaah berkata, “Dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata, “Sesungguhnya Allah tidaklah memerintahkan sebuah kewajiban atas hamba-Nya, melainkan menyebutkan batas-batas kewajiban tersebut dan memberikan ‘udzur bagi orang-orang yang tidak mampu melakukannya, kecuali dzikir. Allah tidak membatasi kewajiban berdzikir dengan batasan tertentu dan tidak pula memberi ‘udzur bagi orang yang meninggalkannya, kecuali orang yang tidak sengaja meninggalkannya.
Allah berfirman (yang artinya),“Maka ingatlah Allah di waktu berdiri, duduk dan berbaring.” (QS. An-Nisaa’: 103). Pada waktu malam dan siang, di daratan dan di lautan, ketika sedang menetap maupun dalam perjalanan, di waktu kaya maupun miskin, sedang sehat ataupun sedang sakit, dalam keramaian maupun dalam kesendirian, dan dalam segala hal.” (Tafsir Ibnu Katsir).
Membangun masyarakat yang gemar berdzikir
Banyak problematika dalam kehidupan bermasyarakat, jika diusut dan dicari benang merahnya maka akan kita dapatkan bahwa faktor utama penyebabnya adalah jauhnya kita dari dzikrullah. Di sini penulis menghimbau semua pihak agar proses menuju masyarakat yang gemar berdzikir dimulai dari membiasakan diri pribadi untuk memperbanyak dzikir. Jadikan semboyan dalam hidup ini: “Tiada hari tanpa berdzikir.”
Agar kita semangat untuk berdzikir, sangat dianjurkan untuk mengetahui dan menyadari tentang keutamaan dzikir dan orang-orang yang banyak berdzikir. Di antara keutamaannya:
[1] Dzikir merupakan salah satu tujuan disyari’atkannya ibadah
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka beribadahlah kepada-Ku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaaha: 14).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya disyari’atkannya thawaf, sa’i antara Shafa dan Marwah, dan melempar jamrah adalah dalam rangka untuk menegakkan dzikrullah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan yang lainnya. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
[2] Dzikir merupakan senjata utama melawan dan mengusir syaithan
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya syaithan akan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim).
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Syaithan itu berdiam di dalam hati anak Adam. Apabila seseorang itu lalai, lengah, dan lupa mengingat Allah, maka syaithan pun menggodanya. Sedangkan jika ia berdzikir mengingat Allah, maka syaithan pun lari bersembunyi” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 7/135).
[3] Hidup menjadi lapang dengan berdzikir
Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaaha: 124).
[4] Dzikir sebagai pembeda antara mu’min dan munafik
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka .Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ di hadapan manusia.Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa’: 142).
Hendaknya kita tidak merasa aman dari bahaya kemunafikan. Barangkali kita bukan termasuk orang yang suka berdusta, tidak pernah ingkar janji, selalu menjaga amanah, dan lain sebagainya. Akan tetapi, apakah kita termasuk orang-orang yang banyak berdzikir?
[5] Dzikir menyejukkan hati
Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Menjadi insan yang banyak berdzikir
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “…laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzaab: 35).
Kapan seorang muslim atau muslimah dikatakan sebagai orang-orang yang banyak berdzikir?
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir, “Maksudnya adalah yang berdzikir setelah selesai shalat, berdzikir pagi dan petang, berdzikir sebelum tidur dan sesudah bangun dari tidur, berdzikir setiap keluar masuk rumah”
Mujaahid rahimahullaah berkata, “Seseorang tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang banyak berdzikir sampai ia berdzikir dalam semua keadaannya baik ketika sedang berdiri, duduk, atau berbaring” (Tafsir Al-Wasiith, Al-Waahidiy Asy-Syaafi’iy, 3/471)
Adab-adab Berdzikir
Setelah mengetahui keutamaan berdzikir, hendaknya seorang muslim menghiasi hari-harinya dengan dzikrullah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Hendaknya engkau senantiasa membasahi lidahmu dengan dzikrullah.” (HR. Ahmad).
Di dalam berdzikir, seorang muslim dianjurkan untuk melakukannya dengan adab-adab sebagai berikut:
1. Berdzikir dengan suara yang lemah lembut dan penuh kekhusyu’an.
Allah berfirman (yang artinya),“Dan berdzikirlah mengingat Tuhanmu dalam dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf: 205).
2. Tidak berteriak dan mengeraskan suaranya.
Dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Tatkala orang-orang meninggikan suara mereka dalam berdo’a di sebuah perjalanan, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menegur mereka dengan bersabda: “Wahai manusia, sayangilah diri-diri kalian! Sesungguhnya kalian tidak sedang berdo’a kepada sesuatu yang bisu dan jauh. Akan tetapi Dia adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Dekat, bahkan lebih dekat dengan kalian daripada leher tunggangan kalian.”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
3. Jika berada dalam sebuah jama’ah (baik jama’ah shalat, jama’ah pengajian, maupun jama’ah dalam kendaraan), maka hendaknya masing-masing berdzikir dengan suaranya sendiri-sendiri, dan tidak dilakukan secara berjama’ah (satu suara/koor/dipimpin).
Dalilnya adalah dari Anas bin Maalik radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di waktu pagi hari itu (hari Arafah pada haji Wada’ -pen) dari Mina menuju Arafah. Di antara kami ada yang bertakbir, ada pula yang bertalbiyah. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.”(HR. Ibnu Maajah.Syaikh Al-Albaany berkata, “Shahih”).
Seandainya melakukan dzikir dengan cara berjama’ah disyari’atkan, tentunya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tepat mencontohkan hal itu kepada umatnya dan seharusnya melarang para sahabat pada waktu itu karena ketidakkompakan mereka dalam berdzikir.
4. Jika dzikir yang dilakukan berupa membaca Al-Qur’an maka tidak dibolehkan membacanya dalam keadaan junub (hadats besar), baik membacanya dengan hafalan apalagi membacanya dengan membuka mushaf. 
Dari ‘Ali bin Abi Thaalib radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi jamban untuk membuang hajatnya. Setelah keluar dari jamban, lalu beliau makan daging dan roti bersama kami, dan membaca Al-Qur’an. Tidaklah menghalangi beliau dari membaca Al-Qur’an kecuali ketika beliau dalam keadaan junub.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih).
5. Hendaknya berdzikir dengan penuh keikhlasan hanya mengharap pahala dan balasan dari Allah saja.
Allah berfirman, (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Wallaahu a’lam. Wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.
[Ustadz Abu Yazid Nurdin] - http://buletin.muslim.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.