Sholat Taubat dan Kejujuran Ka’ab bin Malik Radiallahu'anhu



taubatMemang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun manusia yang terbaik bukanlah manusia yang tidak pernah melakukan dosa sama sekali, akan tetapi manusia yang terbaik adalah manusia yang ketika dia berbuat kesalahan dia langsung bertaubat kepada Alloh dengan sebenar-benar taubat. Bukan sekedar tobat sesaat yang diiringi niat hati untuk mengulang dosa kembali. Lalu bagaimanakah agar taubat seorang hamba itu diterima?

Sesungguhnya rahmat Alloh 'azzawajalla itu luas, Dia memberikan rahmat kepada umat ini dengan membuka padanya pintu taubat dan taubat tidak akan terputus sampai ruh berada di kerongkongan atau sampai terbitnya matahari di sebelah barat. Dan dari rahmat-Nya pula Alloh 'azzawajalla mensyariatkan ibadah kepada umatnya dengan sebaik-baik ibadah, bertawasul dengannnya hingga seorang hamba yang berdosa kepada RabbNya, mengharap diterima taubatnya. Salah satu ibadah tersebut adalah sholat taubat. Berikut beberapa permasalahan yang berhubungan dengann sholat taubat dimaksud.
Ijma’ para ulama menetapkan bahwa sholat taubat di syariatkan, sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat Abu Bakar As- shiddiq radiallahuanhu bahwasanya beliau berkata: saya mendengar Rasulallah salallah alaihi wassalam bersabda: (barangsiapa dari seorng hamba yang berbuat dosa lalu bersuci, kemudian berdiri lalu tunaikan sholat 2 rakaat. dan beristigfar kepada Allah melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya, kemudia membaca ayat ini :"وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ") "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui". (Surat Ali Imran 135.) Hadist dishohihkan Alalbani dalam shohih Aby Dawud.
Syarat Taubat Diterima

Agar taubat seseorang itu diterima, maka dia harus memenuhi tiga hal yaitu: (1) Menyesal, (2) Berhenti dari dosa, dan (3) Bertekad untuk tidak mengulanginya.
Taubat tidaklah ada tanpa didahului oleh penyesalan terhadap dosa yang dikerjakan. Barang siapa yang tidak menyesal maka menunjukkan bahwa ia senang dengan perbuatan tersebut dan menjadi indikasi bahwa ia akan terus menerus melakukannya. Akankah kita percaya bahwa seseorang itu bertaubat sementara dia dengan ridho masih terus melakukan perbuatan dosa tersebut? Hendaklah ia membangun tekad yang kuat di atas keikhlasan, kesungguhan niat serta tidak main-main. Bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan syarat yang keempat, yaitu tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. sehingga kapan saja seseorang mengulangi perbuatan dosanya, jelaslah bahwa taubatnya tidak benar. Akan tetapi sebagian besar para ulama tidak mensyaratkan hal ini.
Sebab-sebab sholat taubat
Sebab sholat taubat adalah jika seorang muslim yang terjatuh pada dosa entah dosa kecil maupun besar, kemudian wajib baginya secara langsung untuk bertaubat, melakukan sholat dua rakaat, serta melakukan amalan-amalan sholeh. Amalan yang disyariatkan ini adalah sholat taubat, karena dengan sholat ini ia bertawasul pada Rabbnya dengan mengharap diterima taubatnya dan diampuni dosa-dosanya.
Waktu sholat taubat
Disunnahkan bagi seorang muslim untuk mengerjakan sholat ini ketika berazam bartaubat setelah melakukan dosa, entah mengerjakan sholatnya setelah berbuat dosa ataupun mengakhirkannya.
Selayaknya, bagi seorang pendosa untuk bersegera melakukan taubat, karena taubat itu akan diterima sebelum terjadi salah satu penghalang berikut:
  1. Ketika ruh sudah sampai di kerongkongan. Bersabda Rasulallah shalallah alaihi wassalam: "Sesungguhnya allah menerima taubat seorng hamba sebelum sekarat (ruh sudah ada di kerongkongan)" dihasankan oleh Al-albani dalam shohih Tirmidzi no 3537.
  2. Apabila matahari terbit di sebelah barat. Bersabda rasulallah shalallah alaihi wasalam: "Barangsiapa yang taubat sebelum matahari terbit dari sebelah barat maka allah menerima taubatnya". (HR. muslim no 2703).
Sholat ini dikerjakan di semua waktu, termasuk didalamnya waktu-waktu yang dilarang untuk menunaikan sholat seperti setelah sholat ashar, karena sholat taubah merupakan sholat yang mempunyai penyebab,maka tidaklah di kerjakan kecuali ketika ada penyebabnya.

Tata cara sholat taubat:
  1. Jumlahnya 2 rakaat sebagaimana di hadist Abu bakar As shidiq radiallahu anhu.
  2. Dikerjakan bagi yang bertaubat sendirian, karena termasuk dalam sholat sunnah yang tidak di syariatkan berjamaah dan disunahkan kepadanya untuk beristigfar kepada allah sebagimana dalam hadist Abu Bakar radiallahuanhu diatas.
Dan Nabi shalallah alaihi wasalam tidak pernah mengkususkan bacaan khusus dalam sholat. Maka dalam bacaan sholat taubat terserah dalam membaca surat-surat.

Dan disunahkan bagi org yang bertaubat bersamaan sholat taubat melakukan amalan-amalan sholeh . Allah taala berfirman :
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى
Artinya : Dan sesungguhnya aku maha pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal sholeh, kemudian tetap dijalan yang benar.(Thaaha: 82)

Dan sebaik-baik amal sholeh yang seharusnya dilakukan orang-orang yang bertaubat adalah shodaqoh, bahwasanya shodaqoh adalah penyebab yang agung yang dapat menghapus dosa, Allah ta'aala berfirman :
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ .

Artinya: "Jika kamu menampakan sedakah kamu maka itu adalah baik sekali, dan jika kamu menyembuyikannya dan kamu berikan pada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu, dan Allah akan menghapuskan dari mu sebagian kesalahan-kesalahanmu dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan"(Al- Baqarah ayat 271)

Dan telah tetap dari Ka'ab radiallahu anhu berkata, "Saya berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, di antara tanda tobatku itu adalah menghabiskan seluruh hartaku untuk disedekahkan buat kepentingan agama Allah dan Rasul-Nya.' Kemudian beliau bersabda, 'Tahanlah dulu sebagian dari hartamu, sebab yang demikian itu adalah lebih baik bagimu.' Saya berkata, 'Saya masih memegang bagianku berupa harta di Khaibar.'" (HR. Bukhari Bab 19 tentang Zakat).

Kisah Taubat dan Kejujuran Ka’ab bin Malik
 radiallahu anhu

Ka’ab bin Malik radiallahu anhu adalah salah seorang sahabat Nabi yang mendapat anugerah Allah berupa kepiawaian dalam bersyair dan berjidal. Syair-syairnya banyak bertemakan peperangan. Kemampuan sebagai penyair ini, mengantarkannya menduduki posisi khusus di sisi Nabi, selain dua sahabat yang lain, yaitu Hassan bin Tsabit dan Abdullah bin Rawahah. Ka’ab bin Malik termasuk pemuka sahabat dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Khazraj. Nama lengkapnya ialah ‘Amr bin Al Qain bin Ka’ab bin Sawaad bin Ghanm bin Ka’ab bin Salamah. Pada masa jahiliyah, ia dikenal dengan kunyahnya (panggilan) Abu Basyir.

Kisah kejujuran Ka’ab bin Malik ini, berawal saat Rasulullah telah mengambil keputusan untuk menyerang Romawi. Beliau memobilisasi para sahabat untuk tujuan itu. Kaum rnuslimin segera melakukan persiapan dan berlomba-lomba menginfakkan harta yang mereka miliki.

Di tengah kesibukan kaum muslimin melakukan persiapan, ada seorang sahabat yang belum memulainya. la bernama Ka’ab bin Malik. Kali ini, Allah hendak mengujinya dengan perang Tabuk.

Pada masa tuanya, Ka’ab bin Malik menuturkan kisahnya kepada putranya : "Aku tidak pernah absen dalam satu peperangan pun bersama Rasulullah kecuali dalam perang Tabuk dan perang Badr. Tatkala Rasulullah berangkat bersama pasukan, aku masih terlambat dan belum sempat melakukan persiapan. Batinku berharap, aku bisa menyusul mereka. Namun akhirnya, langkahku benar- benar terhambat.

Kesedihanku bertambah, ketika aku tahu bahwa orang-orang yang tidak bergabung dalam jihad itu hanya orang-orang yang tertuduh munafik atau kaum yang lemah fisiknya".

Saat Rasulullah tiba di Tabuk, Beliau bertanya: "Apa yang terjadi dengan Ka’ab?"

Seorang laki-laki dari kaumku dengan kiasan menjawab,"Baju kesayangannya telah menahannya". Namun Mu’adz menangkisnya,"Sungguh buruk perkataanmu. Demi Allah, kami tidak mengetahui tentang dirinya kecuali baik saja". Rasulullah terdiam.

Ketika Rasulullah, kembali dari peperangan, orang-orang yang absen segera menemui Beliau, untuk menyampaikan alasan-alasan mereka. Jumlah mereka delapan puluh orang lebih. Rasulullah pun menerima alasan-alasan mereka dan memohonkan ampun bagi mereka.

Sempat terbesit dalam benakku untuk mengajukan alasan dusta kepada Beliau, agar aku selamat dari kemarahan Beliau. Namun kuurungkan niatku dan kubulatkan tekad untuk berkata jujur kepada Beliau.

Aku mengucapkan salam kepada Beliau, Beliau tersenyum kecut kepadaku.

Beliau berkata,"Kemarilah!"
Aku pun mendekat dan duduk di hadapan Beliau. Beliau bertanya kepadaku,"Apa yang menahanmu? Bukankah engkau telah mempertaruhkan punggungmu?"

Aku menjawab,"Benar, wahai Rasulullah. Demi Allah, seandainya saat ini aku duduk di hadapan orang selain engkau, tentu aku sampaikan segala argumentasi yang dapat menyelamatkanku dari kemarahan, lantaran aku ahli berjidal (pandai bicara). Namun aku sungguh mengetahui, seandainya hari ini aku berdusta supaya engkau memaklumiku, niscaya Allah yang akan memberitahukan kepada engkau. Aku mengatakan alasan yang sebenarnya dengan jujur kepadamu. Dan sungguh, aku berharap ampunan Allah dengan kejujuranku. Demi Allah, aku sama sekali tidak memiliki alasan saat aku berdiam di rumah dan tidak ikut serta perang bersamamu."

Beliau berkata,”Laki-laki ini telah berkata jujur. Berdirilah sampai Allah memutuskan perkaramu," aku pun berdiri dan meninggalkan Beliau.

Sekelompok laki-laki dari Bani Salimah mengejarku seraya berkata,"Demi Allah, kami tidak mengetahui engkau melakukan dosa sebelum ini. Mengapa engkau tidak beralasan seperti yang dilakukan orang-orang itu? Sungguh, permohonan ampun Rasulullah untukmu akan menghapus dosamu."

Mereka terus membujukku hingga aku berpikir untuk kembali kepada Rasulullah dan berdusta kepada Beliau. Aku bertanya kepada mereka,”Adakah orang yang mengalami hal yang sama sepertiku?"

Mereka menjawab,"Ada! Dua orang laki-laki yang mengatakan alasan seperti alasanmu. Dan Rasulullah mengatakan perkataan yang sama kepada mereka, seperti yang Beliau katakan kepadamu."

Aku bertanya,"Siapa mereka?" Mereka menjawab,”Murarah bin Ar Rabi’ Al ‘Amri dan Hilal bin Umayyah Al Waqifi."

Mereka adalah dua orang sahabat yang ikut dalam perang Badr dan pada diri mereka terdapat suri tauladan. Aku pun berlalu meninggalkan mereka.

Sejak saat itu, Rasulullah melarang para sahabat berbicara dengan kami, tiga orang yang tidak ikut dalam perang Tabuk. Dua sahabatku, mereka tak tahan menghadapi hajr (isolasi) yang dilakukan kaum muslimin terhadap kami. Mereka mengurung diri dalam rumah dan tak pernah berhenti menangis. Sedangkan aku adalah orang yang termuda dan terkuat di antara mereka. Kukuatkan hatiku untuk menemui orang-orang, berharap akan ada seseorang yang menyapaku. Namun tak ada seorang pun yang mau berbicara denganku.

Ketika aku memasuki masjid, kuucapkan salam kepada Rasulullah. "Apakah Beliau akan menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku?" tanya hatiku.

Aku pun shalat dan mengambil posisi terdekat dengan Beliau. Aku mencuri-curi pandang kepada Beliau. Ketika aku fokuskan pandangan pada shalatku, Beliau memandangku. Dan bila aku meliriknya, Beliau memalingkan wajahnya dariku.

Keadaan itu terus berlanjut hingga beban itu kian berat kurasakan. Aku pun menemui Abu Qatadah, sepupuku dan orang yang sangat kucintai. Aku memanjat dinding rumahnya dan kuucapkan salam padanya. Namun dia tidak menjawab salamku. Aku berkata memelas padanya, "Wahai, Abu Qatadah! Demi Allah, bukankah engkau mengetahui bahwa aku mencintai Allah dan RasulNya?"

la hanya terdiam dan tidak menanggapi perkataanku. Kuulangi kata-kataku tadi berkali-kali, hingga ia berujar singkat: "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui". Air mataku pun meleleh tanpa bisa kutahan. Aku berlalu.

Suatu ketika, saat aku berjalan di pasar kota Madinah, seorang laki-laki dari Syam yang menjual makanan di pasar itu bertanya kepada orang-orang: "Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepadaku?"

Orang-orang pun memberitahukannya. Dia pun mendatangiku. Kemudian menyerahkan sehelai surat dari Raja Ghassan. Tertulis dalam surat itu:

"Telah sampai berita kepadaku, bahwa temanmu telah menyia-nyiakanmu.Sedangkan Allah tidak menjadikanmu orang yang terhina dan tersia-siakan.Bergabunglah dengan kami, maka kami akan rnenolongmu".

Aku berkomentar,"lni pun cobaan untukku," lalu aku lempar surat itu ke dalam tungku api.

Setelah berlalu empat puluh hari semenjak Rasulullah dan para sahabat mengisolasi kami, tiba-tiba datang utusan Beliau dengan membawa perintah agar aku menjauhi istriku. Aku bertanya, "Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang harus kulakukan?"

Sang utusan menjawab,’Tidak, tapi jauhilah ia dan jangan engkau sentuh."

Aku berkata kepada istriku, "Kembalilah kepada keluargamu.Tinggallah bersama mereka sampai Allah memutuskan perkara ini."

Keadaan seperti itu terus berlanjut. Hingga tibalah suatu pagi selepas aku shalat shubuh. Kondisiku saat itu seperti yang Allah kisahkan, terasa sempit jiwaku dan bumi yang ku pijak seakan tak kukenali lagi.

Tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak: "Wahai, Ka’ab bin Malik! Berbahagialah!" Aku pun segera menghaturkan syukur dengan sujud kehadiratNya. Sungguh telah datang jalan keluar bagi kami.

Rasulullah telah mengumumkan kepada para sahabat setelah shalat Shubuh. Allah telah menerima taubat kami.

Orang-orang berbondong-bondong menemui kami dan mengekspresikan kegembiraan mereka atas berita ini. Sungguh tak terlukiskan kebahagiaanku saat itu. Aku memberikan dua baju yang kukenakan kepada laki-laki yang datang membawa kabar gembira itu. Padahal saat itu, aku tidak memiliki baju selain kedua baju itu. Oleh karena itu, aku meminjam baju dan bergegas ke masjid menemui Rasulullah.

Saat itu Beliau dikelilingi para sahabat. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah berdiri dan berlari kecil menghampiriku, kemudian ia menggamit tanganku dan menyalamiku seraya mengucapkan selamat untukku. Sungguh, tidak ada seorang pun yang berdiri dan melakukan seperti yang ia lakukan, hingga aku pun tidak pernah melupakan kebaikannya itu.

Aku pun masuk masjid dan mengucapkan salam kepada Rasulullah. Saat itu wajah Beliau berseri-seri dan bersinar bak rembulan. Tatkala aku sudah duduk di depan Nabi, Beliau berkata: "Berbahagialah dengan hari terbaik yang engkau jumpai semenjak ibumu melahirkanmu".

"Apakah pengampunan ini darimu, wahai Rasulullah? ataukah dari Allah?" tanyaku.

Beliau menjawab, "Tidak! Pengampunan ini datang langsung dari sisi Allah."

Aku berkata kepada Beliau: "Wahai, Rasulullah! Sungguh, sebagai cerminan nyata taubatku, aku sedekahkan hartaku di jalan Allah".

Beliau berkata, "Tahanlah sebagian hartamu untuk dirimu,karena itu lebih baik bagimu."

Aku mentaati perintah Beliau dan berkata: "Kalau begitu, aku tahan anak panahku yang kugunakan dalam perang Khaibar. Dan sungguh Allah telah menyelamatkanku dari perkara pelik ini karena kejujuran.

Maka sebagai wujud taubatku pula, aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur". Sungguh, aku tidak mengetahui ada orang lain yang mendapat ujian kejujuran seperti Allah mengujiku. Hingga sampai saat ini, aku tidak pernah bicara dusta satu kali pun sejak berjanji kepada Rasulullah. Dan aku morion kepada Allah agar menjagaku pada sisa umurku ini".

Demikianlah sosok Ka’ab bin Malik. Seorang mujahid di jalan Allah dengan pedang dan lisannya. Sosok patriot yang memiliki kejujuran setegar batu karang. Tak terkikis oleh ujian yang menyempitkan hatinya. Dijalaninya sisa hidupnya dengan selalu menggenggam kejujuran. Pada masa tuanya, ia kehilangan penglihatannya. Dan putranya, Abdullah yang menjadi pemandu sejak Allah menghilangkan penglihatannya. Ka’ab bin Malik wafat pada masa pemerintahan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Semoga rahmat dan keridhaan Allah senantiasa tercurah atas diri penyair Rasulullah ini.

http://www.assunnah-qatar.com

Apakah Khatib Mengangkat Dua Tangan Saat Berdoa? Dalil-Dalil Lain Disyariatkannya Doa bagi Khatib | Khatib Mengangkat Telunjuk ketika Berdoa


Hadist ” Doa dalam Khutbah Jum’at “

(oleh : Al-Ustadz Abu Isma’il Muhammad Rijal)

Majalah AsySyariah Edisi 082
وَعَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم كَانَ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ كُلَّ جُمُعَةٍ
“Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu,“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memintakan ampun bagi orang-orang mukmin, muslimin, dan muslimat setiap hari Jum’at.”
Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan al-Bazzar dalam Musnad-nya (2/307-308) Kasyful Astar. Al-Bazzar rahimahullah meriwayatkan dari Khalid bin Yusuf bin Khalid, dari bapaknya -Yusuf bin Khalid-, dari Ja’far bin Sa’d bin Samurah, dari Khubaib bin Sulaiman bin Samurah, dari ayahnya Sulaiman bin Samurah, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu.
Al-Bazzar rahimahullah berkata, “Saya tidak tahu hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selain dengan sanad ini.”
Melalui jalan Ja’far bin Sa’d bin Samurah pula ath-Thabarani rahimahullah meriwayatkan dalam al-Kabir (7/264 no. 7079) dengan lafadz,
كاَنَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلِلْمُسْلِمِينَ وَلِلْمُسْلِمَاتِ كُلَّ يَوْمِ جُمُعَةٍ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memintakan ampunan bagi mukminin, mukminat, muslimin, dan muslimat.”
Sanad hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu dipenuhi dengan perawi-perawi lemah.
1. Khalid bin Yusuf bin Khalid
“Dha’if (lemah),” demikian dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam Mizanul I’tidal (2/649).
2. Yusuf bin Khalid bin ‘Umair as-Samti
Ibnu Ma’in rahimahullah dalam Tarikh ad-Duri (2/684), “Kadzdzab, zindiq la yuktabu haditsuhu (Tukang dusta, zindiq tidak boleh ditulis haditsnya).”
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata dalam al-‘Ilal (2/101), “Kadzdzab. Khabits, ‘Aduwullahi ta’ala (Tukang dusta, busuk, musuh Allah Subhanahu wata’ala).”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Taqrib, “Tarakuuhu, kadzdzabahu Ibnu Ma’in.” (Ulama meninggalkannya, dan Ibnu Ma’in menyatakannya sebagai pendusta)
Al-Haitsami rahimahullah dalam Majma’ (2/190) berkata, “Dalam sanad al-Bazzar terdapat seorang perawi bernama Yusuf bin Khalid as-Samti, seorang yang dha’if.”
3. Ja’far bin Sa’d bin Samurah bin Jundub al-Fazari
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Taqrib berkata, “Laisabil Qawiy (bukan orang yang kuat).”
4. Khubaib bin Sulaiman bin Samurah
Dia dinyatakan majhul oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Taqrib. Adz-Dzahabi rahimahullah (al-Mizan 2/649) berkata, “Laa Yu’raf wa Qad Dhu’if (dia tidak dikenal, dan ia didhaifkan/dinyatakan lemah).”
5. Sulaiman bin Samurah bin Jundub al-Fazari
Al-Hafizh Abul Hasan al-Qaththan rahimahullah berkata, “Laa tu’raf lahul hal (Dia tidak dikenal keadaannya).” (Bayanul Wahm wal Iham, 5/138)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Taqrib berkata, “Maqbul.”
Dari tinjauan sanad, kita dapatkan bahwa hadits ini sangat lemah, bahkan batil, tidak dapat dijadikan sebagai hujah.

Apakah Doa Khatib untuk Kebaikan Kaum Muslimin Sunnah dalam Khutbah?


Sering kita mendengar khatib selalu berdoa memohonkan ampun atau doa kebaikan lainnya bagi kaum mukminin dan mukminat. Sebagian khatib kita dapatkan tidak berdoa dalam khutbahnya.
Muncullah sebuah pertanyaan, apakah seorang khatib disunnahkan untuk selalu mendoakan kaum muslimin? Atau apakah doa khatib bukan sesuatu yang disyariatkan?
Hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu adalah dalil yang tegas, nash yang menunjukkan disyariatkannya imam mendoakan kaum mukminin, bahkan menunjukkan merutinkan doa untuk kaum mukminin pada hari Jum’at, saat berkhutbah, kalau seandainya hadits ini tidak dha’if. Namun telah kita lalui bahwa hadits Samurah sangat lemah dan tidak bisa dijadikan sandaran, sehingga butuh akan dalil lain.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah memberikan keterangan dalam SyarhulMumti’ ketika menjelaskan perkataan penulis Zaad al-Mustaqni’, “(Dan hendaknya khatib) mendoakan kaum muslimin.”
Syaikh berkata, “(Maksudnya) disunnahkan pula (bagi khatib) dalam khutbah mendoakan kaum muslimin, pemerintah, dan rakyatnya, (alasannya) karena waktu tersebut adalah saat yang sangat diharapkan terkabulnya doa, dan doa untuk kaum muslimin tidak diragukan adalah kebaikan. Oleh karena itu, fuqaha menganggap sunnah doa bagi kaum muslimin.”
Boleh jadi ada yang menyanggah, “Alasan bahwa waktu tersebut adalah waktu yang mustajab, dan doa bagi kaum muslimin adalah maslahat yang sangat besar, (dua alasan yang mendasari disunnahkannya doa untuk kaum muslimin ini) sudah ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ternyata beliau tidak melakukannya1 maka (yang semestinya dikatakan) adalah meninggalkan doa tersebut; karena seandainya perkara ini termasuk yang disyariatkan niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya.
Oleh karena itu, dibutuhkan dalil khusus yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendoakan kaum muslimin (dalam khutbah Jum’at). Jika dalil khusus tersebut tidak ada maka kita tidak mengatakan bahwa doa tersebut termasuk sunnah khutbah, maksimalnya kita katakana bahwa mendoakan kaum muslimin dalam khutbah adalah jaiz (boleh). Diriwayatkan dalam sebuah hadits,
أَنَّ النَّبِيَّ صل الله عليه وسلم كَانَ يَسْتَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mendoakan kaum mukminin setiap Jum’at.”
Seandainya hadits ini sahih maka hadits ini adalah dalil dalam masalah ini, dan kita katakan bahwa mendoakan kaum muslimin termasuk sunnah dalam khutbah. Namun, seandainya hadits ini tidak sahih, kita katakan bahwa mendoakan kaum mukminin (dalam khutbah)adalah perkara yang boleh. Hanya saja, hal ini tidak dijadikan sebagai sunnah yang selalu dilakukan, karena jika selalu dilakukan, manusia akan menyangka bahwa hal ini termasuk sunnah….(asy-Syarhul Mumti’, 5/65-66, dengan sedikit perubahan)

Dalil-Dalil Lain Disyariatkannya Doa bagi Khatib


Ulama Syafi’iyah, demikian pula fuqaha Hanabilah memandang bahwa doa khatib pada hari Jum’at untuk kebaikan kaum muslimin adalah perkara yang mustahab. Zahirnya ini pula yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Meskipun hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu dha’if, namun ada dalil lain tentang disyariatkannya doa secara umum.
Al Imam al Baihaqi rahimahullah menyebutkan hadits-hadits yang menunjukkan disyariatkannya doa bagi khatib dalam kitabnya as-Sunan al-Kubra (3/210). Beliau memberinya judul, “Bab Mayustadallubihi‘alaan yad’uwa fi khutbatihi.” Artinya, bab tentang nash-nash yang dijadikan dalil atas disyariatkannya khatib berdoa dalam khutbahnya.
Dalam bab tersebut, beliau meriwayatkan hadits Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُوَيْبَةَ قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ: قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا-وَأَشَارَ بِأَصْبِعِهِ الْمَسْبَحَةَ
“Dari ‘Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu, beliau melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya (ketika berkhutbah) lalu beliau berkata,“Semoga Allah menjelekkan dua tangan itu, sungguh aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak lebih dari memberikan isyarat demikian,” ‘Umarah mengisyaratkan jari telunjuk.
Kemudian al-Baihaqi meriwayatkan hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم شَاهِرًا يَدَيْهِ قَطُّ يَدْعُو عَلَى مِنْبَرِهِ وَلاَ عَلَى غَيْرِهِ وَلَكِنْ رَأَيْتُهُ يَقُولُ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَعَقَدَ الْوُسْطَى بِالْإِبْهَامِ

“Tidak pernah sama sekali aku melihat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya berdoa di atas mimbar tidak pula di atas lainnya, namun aku melihat beliau mengisyaratkan telunjuknya dan menggenggam jari tengah dan ibu jari.”

Al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Maksud (penyebutan) dua hadits ini adalah menetapkan (disyariatkannya) doa dalam khutbah, kemudian sunnah dalam doa khutbah untuk tidak mengangkat kedua tangan, dan mencukupkan isyarat dengan telunjuk….”(Sunan al-Kubra, 3/210)
Hadits Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu shahih, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (873), an-Nasai (3/108), Abu Dawud (no. 1104), at-Tirmidzi (no. 515), dan Ibnu Majah (no. 1103).
Hadits Sahl bin Sa’d dikeluarkan pula oleh Abu Dawud (no. 1105) dengan kelemahan dalam sanadnya, namun dikuatkan oleh hadits Umarah bin Ru’aibah radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil (3/77) menyatakan hadits Sahl sebagai hadits hasan.

Apakah Khatib Mengangkat Dua Tangan Saat Berdoa?

Tidak ada satu riwayat pun menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau dalam berdoa ketika khutbah Jum’at selain saat memohon turun hujan (istisqa’) atau memohon dihentikan hujan (istisha’).
Riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan saat memohon hujan atau mohon dihentikan hujan dalam khutbah banyak disebutkan dalam kitab-kitab hadits baik Shahihain atau lainnya.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Paceklik (kekeringan) menimpa manusia di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, hingga suatu saat, ketika Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di atas mimbar berkhutbah di hari Jum’at datang seorang Arab badui dari arah yang menghadap mimbar, dari pintu yang menghadap ke arah Darul Qadha’.2 Ketika itu beliau sedang berdiri berkhutbah.
Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta benda binasa, keluarga kelaparan, kuda-kuda binasa, kambing-kambing binasa, ternak-ternak binasa, dan jalan-jalan terputus, maka berdoalah kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk kami agar Dia menurunkan hujan’.”
(Anas radhiyallahu ‘anhu berkata), “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan beliau untuk berdoa, hingga saya bisa melihat putih ketiaknya,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.”
Orang-orang pun mengangkat tangan-tangan mereka berdoa bersama beliau.”

(Tidak disebutkan bahwa beliau membalik rida’ [selendang] tidak pula disebutkan beliau berbalik menghadap kiblat) (Berkata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu), “Demi Allah, kami sama sekali tidak melihat segumpal awan pun di langit, tidak pula pelangi, dan sungguh langit ketika itu bersih seperti kaca.”
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Lalu dari balik bukit muncul awan seperti perisai. Ketika sampai ke tengah-tengah langit, awan itu menyebar, kemudian turun hujan. Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya belum lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menurunkan kedua tangannya –saat berdoa- datanglah awan bergulung-gulung laksana gunung, dan belum lagi beliau turun dari mimbar kecuali hujan telah turun dengan lebat hingga air hujan berjatuhan dari jenggot Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
(Dalam satu riwayat: Maka bertiuplah angin membawa awan, lalu awan itu berkumpul, langit pun mengembangkan awan yang tidak membawa hujan. “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam turun dari mimbar mengerjakan shalat. Lalu kami keluar sambil mencebur ke air hingga kami tiba di rumah (karena begitu lebatnya hujan) hampir-hampir seseorang tidak dapat sampai ke rumahnya.”
(Kota Madinah pun) dituruni hujan pada hari itu, esoknya, esok lusa, dan hari-hari berikutnya sampai hari Jum’at berikutnya tanpa henti. Sehingga, saluran-saluran air kota Madinah penuh air.”
Berkata Anas radhiyallahu ‘anhu selanjutnya, “Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama enam hari.”
Pada hari Jum’at berikutnya, seorang badui yang dahulu atau badui lainnya datang ke masjid dari pintu yang sama. Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga sedang berdiri berkhutbah, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, rumah-rumah roboh, jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang ternak binasa, para musafir tidak dapat bepergian, jalan-jalan terhalang, harta benda pun tenggelam, maka berdoalah kepada Allah Subhanahu wata’ala agar menahan hujan itu untuk kami.’
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun tersenyum, kemudian mengangkat kedua tangan beliau dan berdoa,‘Ya Allah, (hujanilah) sekeliling kami, namun jangan atas kami. Ya Allah, turunkanlah hujan di atas puncak-puncak gunung dan dataran tinggi, di perut-perut lembah dan tempat-tempat tumbuhnya tumbuh-tumbuhan.’
Tidaklah beliau menunjukkan kedua tangan beliau ke suatu awan melainkan awan tersebut terbelah seperti lubang bulat yang luas, terbelah seperti terbelahnya kain.”
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya lihat awan menyingkir di sekitar Madinah ke kanan dan ke kiri seperti kumpulan kambing. Turunlah hujan di sekeliling kami, tetapi tidak diturunkan sedikit pun di dalam kota Madinah. Sehingga, kami dapat keluar dan berjalan di bawah sinar matahari.”
Allah Subhanahu wata’ala menampakkan kepada manusia mukjizat Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengabulkan doanya. Lembah Qanah mengalir selama sebulan. Tidak ada seorang pun dari suatu daerah kecuali ia menceritakan hujan lebat (di kota Madinah tahun itu.)3

Khatib Mengangkat Telunjuk ketika Berdoa

Dari hadits Umarah bin Ru’aibah dan Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma, diambil faedah bahwa khatib cukup memberikan isyarat telunjuk saat berdoa dalam khutbah Jum’at.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin pernah ditanya tentang mengangkat dua tangan saat khatib berdoa, demikian pula mengangkat telunjuk ketika berdoa dan ketika nama Allah Subhanahu wata’ala disebut.
Jawaban beliau, “Tentang mengangkat kedua tangan saat berdoa dalam khutbah, para sahabat mengingkari Bisyr bin Marwan saat ia berkhutbah dan mengangkat kedua tangannya. Ya, telah sahih riwayat kedatangan badui saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah, sang badui berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta-harta musnah, jalan-jalan terputus, dan berdoalah kepada Allah Subhanahu wata’ala agar Dia menurunkan hujan.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya berdoa,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اللَّهُمَّ أَغِثْنَا
“Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami.”
Dari riwayat-riwayat ini menjadi terang bahwasanya,
1. Mengangkat kedua tangan dalam khutbah Jum’at disyariatkan ketika meminta hujan (istisqa) atau memohon dihentikan hujan (istishha’).
2. Manusia ketika itu mengangkat kedua tangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat doa istisqa’. Ini adalah dalil bahwa makmum yang mendengarkan khutbah hanya mengangkat kedua tangan dalam doa istisqa’, (dan istishha’).
3. Jika khatib berdoa dengan doa selain istisqa maka khatib tidak mengangkat kedua tangan, demikian pula makmum tidak mengangkat kedua tangan mereka.4
Tentang mengangkat telunjuk ketika berdoa, amalan ini dilakukan dalam duduk tasyahhud,… mengisyaratkan telunjuk juga datang dalilnya dalam khutbah Jum’at atau saat beliau berdoa, selain doa istisqa’. Adapun apa yang dilakukan keumuman manusia yang mereka mengisyaratkan telunjuk setiap kali imam menyebut nama Allah Subhanahu wata’ala dengan maksud mengagungkan Allah Subhanahu wata’ala, maka saya tidak tahu ada dalil dalam masalah ini.”5
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Doa imam saat sesudah naiknya (ke mimbar) tidak ada asalnya (yakni dalilnya), dan dibenci imam mengangkat kedua tangannya saat berdoa dalam khutbah dan ini pendapat yang paling sahih dari dua pendapat Hanabilah, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya mengisyaratkan telunjuknya ketika berdoa, adapun dalam istisqa maka beliau mengangkat kedua tangannya, ketika beliau meminta hujan di atas mimbar.”6
Wallahu ta’ala a’lam
————————————————
1. Yakni tidak ada dalil sahih yang tegas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa dalam khutbah.
2. Darul Qadha’ adalah rumah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Dinamai Darul Qadha’ karena rumah ini dijual untuk membayar utangUmar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dan al-qadha’ sendiri bermakna menunaikan atau membayar.
3. Kisah istisqa’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat Jum’at diriwayatkan banyak ahlul hadits dalam kitab-kitab mereka dengan lafadz yang beragam, dan apa yang kita sebutkan dalam tulisan ini diambil dari Muhtashar Shahih al-Bukhari (1/282—284) karya asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau mengumpulkan lafadz-lafadz yang berserakan dalam satu kisah.
4. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dalam khutbah Jum’at selain doa istisqa. Tidak adanya penukilan sahabat padahal shalat Jum’at terjadi berulang-ulang dihadapan seluruh sahabat demikian pula factor pendorong untuk menukilkan berita yang semacam ini sangat kuat, menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam shalat Jum’at melainkan dalam istisqa dan istishha’. Demikian pula pengingkaran sahabat terhadap Bisyr bin Marwan dalam riwayat Muslim menguatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang tidak mengangkat kedua tangan, wallahu ta’ala a’lam.
5. Majmu’ Fatawa wa Rasail (16/67).
6. Ikhtiyarat Fiqhiyyah.

Sumber :  http://asysyariah.com/hadist-doa-dalam-khutbah-jumat.html-http://kaahil.wordpress.com

Adzan--Sheikh Mishary Rashid Afasy

Perintah Membaguskan Shalat Dan Ancaman Bagi Yang Melalaikan


Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Sehubungan dengan bulan suci Ramadhan, maka kita dipanggil untuk menggunakan kesempatan ini buat memperbaiki ibadah kita, khususnya shalat Tarawih sehingga kita dapat mencapai target yaitu mendapat keampunan.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
    "Artinya : Barangsiapa beribadah di (bulan) Ramadhan karena iman dan karena hendak mendapat ganjaran, niscaya diampunkan baginya apa-apa yang telah lalu dari dosanya". (Muttafaq 'alaihi).
Dalam hal ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memberi contoh sebagaimana yang disebutkan hadits 'Aisyah : "...... beliau shalat empat raka'at, jangan engkau tanya bagus dan panjangnya.....". Riwayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaguskan shalatnya, maksudnya memperbanyak/memanjangkan bacaan-bacaan, thuma'ninah dalam gerakan serta khusyu'. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut di bawah ini penulis kemukakan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut :
    "Artinya : Dari Abu Hurairah radyillahu 'anhum ia berkata : Bahwasanya seorang laki-laki telah masuk masjid dan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berada di sisi masjid, maka ia datang (kepadanya) dan memberi salam kepadanya, maka ia menjawab salamnya sambil berkata : "Wa 'alaikas salaam", ulangi shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat, maka ia kembali dan shalat kemudian memberi salam, ia berkata : "Wa 'alaikas salaam" kembali dan shalatlah, karena sesungguhnya engkau tidak/belum shalat, pada yang ketiga kali ia berkata : Ajarkanlah kepadaku, maka sabdanya : Apabila engkau akan melaksanakan shalat sempurnakanlah wudhu', kemudian menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah, dan bacalah apa-apa yang mudah dari Al-Qur'an kemudian ruku'lah sehingga benar-benar ruku', kemudian angkatlah kepalamu sehingga engkau benar-benar berdiri, kemudian sujudlah dengan benar-benar sujud, kemudian angkatlah (tubuhnya) sehingga rata dan benar-benar duduk, kemudian sujudlah dengan benar-benar sujud, kemudian angkatlah sehingga benar-benar berdiri, kemudian lakukan semua itu di shalatmu seluruhnya".
Penjelasan
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari II:191,219 dan 222, II:31,467, Muslim II:10-11, dan selain keduanya.
Maksud hadits ini shalat itu harus thuma'ninah, yaitu tenteram dalam gerakan, baik ketika berdiri, ruku', sujud, duduk antara dua sujud dan lain sebagainya.
    "Artinya : Dari Abu Mas'ud Al-Badri ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : Tidak mendapat pahala shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya dalam ruku' dan sujud".
Penjelasan
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud I:136, Nasa'i I:167, Tirmidzi II:51, Ibnu Majah I:284, Ad-Daarimi I:304, Thahawi dalam Al-Musykil I:80, Thayalisi I:97, Ahmad IV:119 dan Daraquthni, Ia berkata : Sanad hadits ini SHAHIH.
    "Artinya : Dari Abi Hurarirah radyillahu 'anhum, ia berkata : Sesungguhnya sejelek-jelek manusia adalah pencuri yang mencuri shalatnya. Mereka bertanya : Hai Rasulullah ! Bagaimana mencuri shalatnya ? Ia bersabda : (Yaitu) tidak menyempurnakan ruku'nya dan sujudnya".
Penjelasan
Dikeluarkan oleh Hakim dan dishahkannya I:229 serta disepakati oleh Adz-Dzahabi. Hadits ini juga mempunyai beberapa syahid di antaranya hadits Malik I:181 dari Nu'man Murrah, sanadnya Shahih Mursal, juga bagi Thayalisi I:97 dari Abi Sa'id dishahkan oleh Suyuthi dalam kitab "Tanwirul Hawalik".
Maksud hadits ini, orang yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya di ibaratkan orang yang telah mencuri shalatnya.
Dari 'Amr bin Ash dan Khalid bin Walid dan Syarhabil bin Hasanah serta Yazid bin Abi Sufyan, mereka berkata :
    "Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku'nya, dan mematuk dalam sujudnya. Maka sabdanya : Seandainya orang ini mati dalam keadaan seperti ini, maka ia mati bukan dalam millah Muhammad".
Penjelasan
Hadits ini diriwayatkan oleh Aajiry dalam kitab "Al-Arba'iin" dan Baihaqi II:89 dengan sanad yang Hasan. Mundziri berkata : Hadits ini juga diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jamul Kabir dan juga Abu Ya'la dengan sanad yang Hasan serta Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya.
Hadits ini menerangkan bahwa mereka yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujud seperti burung yang mematuk, berarti telah mengerjakan suatu amalan yang tidak disukai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari Thalqi bin Ali radyillahu 'anhum ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
    "Artinya : Allah tidak akan melihat shalat seseorang hamba yang tidak meluruskan tulang belakangnya diantara sujudnya dan ruku'nya".
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Ahmad IV:22, Thabrani dalam Al-Kabir dan Dhiya' Al-Muqaddasi dalam Al-Mukhtarah II:34 dengan sanad yang shahih. Hadits ini mempunyai syahid dalam Al-Musnad II:525. Ibnul Mundzir mengatakan bahwa sanadnya baik.
Perkataan "Allah tidak akan melihat itu" menunjukkan bahwa pekerjaan seperti itu tidak disukai.
Hadits-hadits yang disebutkan di atas, terpakai sesuai dengan keumumannya, yaitu baik untuk shalat Fardhu atau Sunnah, siang atau malam, bahkan sebagian ulama seakan menekankan pada shalat Tarawih, seperti Imam Nawawi, beliau menyebutkan hadits-hadits tersebut pada "Bab Adzkaar Shalat Tarawih". Lihat Al-Adzkaar IV:297.
Semoga dengan melaksanakan shalat seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kita akan mendapat keampunan khususnya di bulan suci Ramadhan ini.
Dikutip dari buku
Kelemahan Hadits Tarawih 20 Raka'at
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah
Penterjemah : Luthfie Abdullah Ismail 

SAYYIDUL ISTIGHFAR

Termasuk dzikir yang utama dan doa yang barokah yang sepantasnya bagi setiap muslim untuk menjaganya dan membacanya disetiap pagi dan sore hari adalah yang telah datang dalam shahih Al Bukhari dari hadits Syadad bin Aus Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shalallahu 'alahi wa Sallam bahwasannya beliau bersabda :

سيد الاستغفار أن تقول (Sayyidul Istighfar adalah engkau mengatakan) :

Termasuk dzikir yang utama dan doa yang barokah yang sepantasnya bagi setiap muslim untuk menjaganya dan membacanya disetiap pagi dan sore hari adalah yang telah datang dalam shahih Al Bukhari dari hadits Syadad bin Aus Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shalallahu 'alahi wa Sallam bahwasannya beliau bersabda :

سيد الاستغفار أن تقول (Sayyidul Istighfar adalah engkau mengatakan) :

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَ أَنَا عَبْدُكَ وَ أَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَ وَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَ أَبُوْءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

" Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu (yaitu selalu menjalankan perjanjian-Mu untuk beriman dan ikhlas dalam menjalankan amal ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang bisa mengampuni segala dosa kecuali Engkau".

من قالها من النهار موقنا بها فمات من يومه قبل أن يمسي فهو من أهل الجنة و من قالها من الليل و هو موقن بها فمات قبل أن يصبح فهو من أهل الجنة . ‌

Barangsiapa mengucapkannya disiang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati pada hari itu sebelum sore hari, maka dia termasuk penduduk surga dan siapa yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya, kemudian dia mati sebelum shubuh maka ia termasuk penduduk surga.” (HR. Al-Bukhari - Fathul Baari 11/97)

Ini adalah doa yang agung yang mencakup banyak makna : taubat, merendahkan diri kepada Allah Tabaraka wa Ta'ala dan kembali menghadap kepada-Nya. Nabi Shalallahu 'alahi wa Sallam menamainya sebagai Sayyidul Istighfar (penghulu istighfar), yang demikian itu dikarenakan ia melebihi seluruh bentuk istighfar dalam hal keutamaan. Dan lebih tinggi dalam hal kedudukan.
Diantara makna sayyid adalah orang yang melebihi kaumnya dalam hal kebaikan dan yang berkedudukan tinggi dikalangan mereka.

Sisi lebih dari keutamaan doa ini dibanding bentuk istighfar yang lain adalah :

- Nabi Shalallahu 'alahi wasallam mengawalinya dengan pujian kepada Allah dan pengakuan bahwa dirinya adalah hamba Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya (penetapan Tauhid Ar Rububiyyah), Dan bahwa Allah adalah Al Ma'buud (sesembahan) yang haq dan tiada sesembahan yang haq yang selainNya. Maka Dia adalah satu-satunya yang berhak dibadahi dan ini merupakan realisasi Tauhid Al Uluhiyyah.

- Pernyataannya bahwa ia senantiasa tegak diatas janji dan kokoh diatas ikatan berupa iman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, seluruh nabi dan rasul-Nya. Menjalankan segenap ketaatan kepada Allah dan perintah-Nya. Ia akan menjalaninya sesuai kemampuan dan kesanggupannya.

- Kemudian ia berlindung kepada Allah Subhanahu dari seluruh kejelekan apa yang telah dia perbuat, baik sikap kurang dalam menjalani apa yang Allah wajibkan baginya yaitu mensyukuri nikmat-Nya ataupun berupa perbuatan dosa.

- Kemudian ia mengakui akan nikmat Allah yang terus datang beruntun dan anugerah-Nya serta pemberian -Nya yang tiada pernah berhenti.

- Dan ia mengakui atas dosa-dosanya, sehingga iapun lantas memohon ampunan kepada Allah Suhhanahu wa Ta'ala dari itu semua dengan segenap pengakuannya bahwa tiada yang bisa mengampuni segala dosa kecuali Allah Suhhanahu wa Ta'ala.

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ (135)

"Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui." (Al Imran : 135)


Ini adalah paling sempurna apa yang ada pada sebuah doa. Karena itu ia menjadi seagung-agungnya bentuk istighfar dan yang paling utama dan paling mencakup untuk kandungan maknanya yang mesti akan diampuni dosa-dosa.

Kemudian Nabi Shalallahu 'alahi wa Sallam menghakhiri penyebutan doa tersebut dengan menjelaskan pahala yang besar dan ganjaran yang luar biasa yang akan didapat oleh orang yang menjaga doa tersebut setiap pagi dan sore hari. Maka Beliau Shalallahu 'alahi wa Sallam mengatakan :

"Barangsiapa mengucapkannya disiang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati pada hari itu sebelum sore hari, maka dia termasuk penduduk surga dan siapa yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya, kemudian dia mati sebelum shubuh maka ia termasuk penduduk surga.”

Hanyalah Seorang yang mengucapkan doa ini dan menjaganya yang akan memperoleh janji yang mulia dan pahala serta ganjaran besar nan utama ini, karena ia telah membuka harinya dan menutupnya dengan penetapan Tauhidullah baik Rububiyyah-Nya dan Ululhiyyah-Nya. Dan pengakuan dirinya sebagai hamba yang siap menghamba dan persaksiannya terhadap anugerah dan nikmat Allah. Pengakuannya dan kesadarannya akan kekurangan-kekurangan dirinya dan permohonan maaf dan ampunan dari Dzat yang Maha Pengampun, diiringi dengan rasa tunduk dan rendah dihadapan-Nya untuk senantiasa patuh dan taat kepada-Nya. Ini semua merupakan cakupan makna yang utama dan sifat yang mulia yang ia buka dan tutup lembaran siangnya. Yang pantas bagi orang yang mengucapkan dan menjaganya mendapat maaf dan ampunan, terbebas dari neraka dan masuk surga.

Wallahu a'lam bisshowab.

Kita memohon kepada Alloh Yang Maha Mulia berupa keutamaan dan anugerah-Nya.

(Lihat kitab Fiqhul Ad'iyyah wal adzkar II/17-20. As Syaikh Abdur Rozaq bin abdil Muhsin Al Badr. ) Diringkas oleh Muhammad Ar Rifa'i)


DIANTARA KEUTAMAAN ISTIGHFAR

ــ طوبى لمن وجد في صحيفته استغفارا كثيرا . ‌

"Berbahagialah bagi orang yang mendapati dalam catatan amalnya istighfar yang banyak" (HR. Al Baihaqi, Imam Ahmad dalm Az Zuhd dan Dishahihkan Syaikh Al Albany. Lihat Shahih Al Jami' no. hadits 3930)

ــ من أحب أن تسره صحيفته فليكثر فيها من الاستغفار . ‌

"Siapa yang suka agar catatan amalnya membuat ia senang maka perbanyaklah padanya istighfar." ( Hadits dihasankan syaikh. Al Albany, lihat Shahihul jami' no. hadits 5955)

ــ يا معشر النساء ! تصدقن و أكثرن الاستغفار فإني رأيتكن أكثر أهل النار إنكن تكثرن اللعن و تكفرن العشير ما رأيت من ناقصات عقل و دين أغلب لذي لب منكن أما نقصان العقل : فشهادة امرأتين تعدل شهادة رجل فهذا نقصان العقل و تمكث الليالي ما تصلي و تفطر في رمضان فهذا نقصان الدين . ‌

"Wahai sekalian wanita ! bershadaqahlah kalian dan perbanyaklah istighfar karena aku telah melihat kalian adalah mayoritas penduduk neraka. Sesungguhnya kalian banyak melaknat dan mengkufuri suami. Tidaklah aku dapati yang kurang aqalnya dan agamanya mampu mengalahkan yang mempunyai akal daripada kalian. Adapun kurang aqal : maka persaksian dua wanita sebanding persaksian satu laki-laki maka yang demikian adalah kurangnya aqal. Dan dia tinggal menjalani beberapa malam tanpa sholat dan dia berbuka (tidak puasa) di bulan ramadhan maka ini adalah kurangnya agama." (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan lainnya. dan Dishahihkan Syaikh Al Albany. Lihat Shahih Al Jami' no. hadits 7980)

ــ إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول : أنى لي هذا ؟ فيقال : باستغفار ولدك لك . ‌

"Sesungguhnya ada seseorang yang diangkat derajatnya disurga, maka iapun berkata : Bagaimana ini bisa untukku? Maka dikatakan : disebabkan anakmu beristighfar (memohonkan ampun) untukmu. (HR. Ahmad, Al Baihaqi dan lainnya, Dishahihkan Syaikh Al Albany. Lihat Shahih Al Jami' no. hadits 1617)

darussalaf.or.id

Tetanggaku Masjid


“Papa, kalo kita nyari rumah ntar di perumahan sini aja yah, strategis banget dah, dekat ama mall, dekat ama alun-alun, seratus meter ke utara ada pasar, trus ada lapangan golf, taman bermain, danau buatan juga ada, harus jadi ya papa”, celutuk seorang istri kepada suaminya.
Mungkin inilah sebagian potret kehidupan sebagian kaum muslimin, mereka mencari lingkungan tempat tinggal dengan patokan keuntungan dunia. Sebenarnya hal ini boleh saja. Akan tetapi kita tidak melihat adanya bagian untuk akhirat. Padahal lingkungan dan orang di sekitar kita sangat besar pengaruhnya terhadap agama, akhlak, pendidikan anak bahkan berpengaruh terhadap urusan-urusan dunia.
Perintah mencari lingkungan yang baik
Allah Azza wa Jalla memerintahkan kita agar mencari lingkungan yang baik dan berkumpul dengan orang-orang yang sholeh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119).
Muhammad bin Umar Ar-Raziy rahimahullahu menafsirkan ayat ini berkata,
كُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ أَمْرٌ بِمُوَافَقَةِ الصَّادِقِينَ، وَنَهْيٌ عَنْ مُفَارَقَتِهِمْ
وَذَلِكَ مَشْرُوطٌ بِوُجُودِ الصَّادِقِينَ
“Allah memerintahkan agar mencocoki orang-orang Shadiq dan melarang jauh/berpisah dengan mereka, oleh karena itu dipersyaratkan adanya sekelompok orang-orang yang shadiq [dalam suatu masyarakat]” (Mafaatihul Ghoib Tafsir Ar-Roziy 16/167, Dar Ihya’ At-Turats, cet-ke-3, 1420 H, Asy- Syamilah)
Salah satu lingkungan yang baik adalah dekat dengan masjid yang merupakan pusat kegiatan umat islam sebagaimana di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perhatikan juga perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dalam Al-Quran,
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ
رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
“Yaa robb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat.” (QS. Ibrahim: 37)
Seharusnya kita meneladahi kekasih Allah Nabi Ibrahim‘alaihis salam yang tujuannya menempatkan keturunannya dekat dengan baitullah agar keluarga kita menjadi Ahli tauhid dan dapat beribadah.
Tafsir “agar mendirikan shalat” dijelaskan oleh Syaikh As-Sa’diy Rahimahullahu,
اجعلهم موحدين مقيمين الصلاة لأن إقامة الصلاة من أخص
وأفضل العبادات الدينية فمن أقامها كان مقيما لدينه
“yaitu supaya Allah menjadikan keturunannya sebagai ahli tauhid yang mendirikan shalat karena shalat merupakan ibadah yang paling khusus dan afdhol. Barangsiapa yang menegakkan shalat maka ia menegakkan agamanya.” (Taisir Karimir Rohman Fi Tafsir Kalamim Mannan hal 402, cetakan pertama, Dar Ibnu Hazm)
Keuntungan tinggal dekat masjid
Oleh karena itu, hendaknya kita mencari tempat tinggal yang dekat dengan masjid, bahkan bertetangga dengan masjid, karena memiliki beberapa keuntungan diantaranya:
1. Lingkungan yang baik untuk beribadah
karena masjid pusat kegiatan islam sehingga kita lebih mudah mengikuti berbagai kegiatan ibadah seperti pengajian, shalat, i’tikaf dan lain-lain sehingga sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita dan juga kita diciptakan Allah hanya untuk beribadah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Dzariyaat: 56)
2. Lingkungan pendidikan yang baik untuk keluarga
Tterutama anak-anak kecil yang mereka dalam mempelajari sesuatu menyerap langsung begitu saja, anak-anak biasa bermain di masjid, bertemu dengan teman-teman sepengajian (teman-taman TPA) dan bertemu dengan orang-orang ahli masjid yang biasanya mengajarkan kebaikan pada anak kita. Karena kita diperintahkan memperhatikan pendidikan keluarga dan anak kita,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Taahrim:6)
Ar-Razi rahimahullahu menjelaskan ayat ini mengutip perkataan Muqatil rahimahullahu,
وَقَالَ مُقَاتِلٌ: أَنْ يُؤَدِّبَ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ وَأَهْلَهُ،
فَيَأْمُرَهُمْ بِالْخَيْرِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الشَّرِّ
seorang muslim mendidik dirinya dan keluarganya, memerintahkan mereka kebaikan dan melarang dari keburukan”. (Mafaatihul Ghoib Tafsir Ar-Roziy 30/527, Dar Ihya’ At-Turats, cet-ke-3, 1420 H, Asy- Syamilah)
3. Keluarga kita bisa mendengar ceramah dan pengajian di masjid lewat pengeras suara (jika mereka berhalangan pergi ke masjid) dan juga bisa mendengarkan khutbah saat shalat jum’at.
4. Orang tua dan orang sakit ringan bisa tetap ke masjid karena dekat.
5.Rumah kita lebih aman, sekitar menjadi cukup ramai dan banyak orang yang lalu-lalang sehingga memperkecil kasus pencurian, perampokan dan lain-lain.
6.Dan lain-lain
Anjuran agar membangun masjid
Bagaimana jika kita tinggal di daerah yang masjidnya sedikit? Maka solusinya hendaknya kita membangun masjid bersama masyarakat sekitar dan memprioritaskannya dari membangun lapangan, gedung RT dan sarana yang lain. Bahkan kita sangat dianjurkan membangun masjid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَنَى مَسْجِداً يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللهِ بَنَى اللهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ
وفي رواية لمسلم: (( بَيْتاً فِي الْجَنَّةِ )).
“Barangsiapa membangun masjid –karena mengharap wajah Allah- maka Allah akan membangunkan untuknya yang semisalnya di dalam syurga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafal: “Rumah di dalam syurga.”
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan walaupun sebesar kandang burung atau lebih kecil, Beliau bersabda:
مَنْ بَنَى ِللهِ مَسْجِداً وَلَوْ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتاً فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa membangun sebuah masjid karena/untuk Allah walau seukuran sarang (kandang) burung atau lebih kecil dari itu, maka Allah akan membangunkan untuknya rumah di dalam syurga.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6128).
penutup
Hendaknya bagi para suami yang hendak mencarikan rumah bagi istri dan anaknya dekat dengan masjid dan mencari lingkungan yang baik walaupun daerah tersebut kurang menguntungkan secara duniawi. Carilah daerah dimana banyak orang-orang yang shalih atau banyak ikhwah sudah memahami agama yang benar/“ngaji”. Bagi yang mampu bisa membuat perumahan khusus ikhwah dengan harga yang terjangkau atau kost-kost/boarding home khusus ikhwah ngaji.
Kami harapkan keluar dari perkataan para istri,
“Abang, saya mau rumah sederhana yang dekat dengan masjid dan banyak ikhwah penuntut ilmu agama supaya kita berkumpul bersama orang-orang sholeh di dunia dan di surga”.

Artikel http//muslimafiyah.com

Bacaan Rukuk dalam Sholat – Video Tuntunan Cara Sholat




Bacaan rukuk
1. Ada banyak model bacaan rukuk yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sikap yang tepat dalam hal ini adalah berusaha menghafal semua doa itu dan dibaca secara bergantian. Misalnya ketika rukuk shalat subuh baca lafal A, rukuk shalat dzuhur baca lafal B, dst.
2. Orang yang shalat, hanya boleh membaca bacaan rukuk setelah dia melakukan rukuk sempurna.
3. Dibolehkan mengulang-ulang bacaan rukuk, meskipun lebih dari 3 kali, sesuai dengan panjangnya rukuk.
4. Orang yang shalat harus membaca bacaan rukuk, meskipun hanya sekali. Karena sebagian ulama menilai bahwa bacaan rukuk hukumnya wajib.
5. Berikut macam-macam bacaan rukuk
Pertama,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ
Subhaana rabbiyal adziim (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah)
Kedua,
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ
Subhaana rabbiyal adziim wa bihamdih (HR. Ahmad, Abu Daud, Daruqutni)
Ketiga,
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، ربُّ الملائِكَةِ والرُّوحِ
Subbuuhun qudduusun, rabbul malaaikati war ruuh* (HR. Muslim dan Abu Awanah)
* Keterangan:
Makna ruh pada doa di atas adalah malaikat jibril.
Keempat,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Subhaanaka Allahumma rabbanaa wa bihamdika Allahummagh-fir-lii (HR. Bukhari dan Muslim)
Keterangan:
Bacaan ini sering dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap rukuk dan sujud beliau, setelah turun surat An-Nashr. Beliau melaksanakan perintah Allah:
[فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ]
“Bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mintalah ampuna kepada-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima,
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوتِ وَالْمَلَكُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
Subhaana dzil jabaruut, wal malakuut, wal kibriyaa’, wal ‘adzamah.* (HR. Ahmad, Abu Daud, dengan sanad shahih)
*Keterangan: Doa ini sering dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat malam.
Keenam,
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، أَنْتَ رَبِّي، خَشَعَ سَمْعِي وَبَصَرِي، وَدَمِي وَلَحْمِي، وَعَظْمِي وَعَصَبِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالِمِينَ
Allahumma laka raka’tu, wa bika aaman-tu, wa laka aslamtu, wa ‘alaika tawakkal-tu, anta rabbii, khasya’a sam’ii wa basharii, wa damii wa lahmii, wa adzmii wa ‘ashabii, lillaahi rabbil ‘aalamiin. (HR. Nasai dan dishahihkan Al-Albani).

Kesalahan seputar bacaan rukuk dalam shalat

1. Tidak mengangkat tangan ketika hendak rukuk. Atau mengangkat tangan namun tidak sempurna.
2. Gerakan rukuk yang terlalu cepat, seperti ayam mematok makanan. Gerakan ini menyebabkan shalatnya tidak sah, karena rukuknya tidak tumakninah.
3. Hanya menghafal satu jenis bacaan rukuk. Bacaan rukuk yang hanya satu ini, dibaca sejak kecil sampai dia dewasa. Ini bisa menyebabkan bacaan lainnya yang tidak dia hafal menjadi terlupakan.
4. Membaca bacaan rukuk sebelum posisi rukuk sempurna. Tindakan semacam ini, menyebabkan bacaan rukuknya tidak sah.
5. Tidak membaca bacaan rukuk sama sekali. Jika dia jadi imam atau shalat sendirian, maka dia harus sujud sahwi.
6. Membaca bacaan sujud ketika rukuk. Tindakan semacam ini tidak sesuai sunah.
Diberdayakan oleh Blogger.