Ia pernah bermimpi menjadi imam di Masjidil Haram. Baru dua tahun kemudian mimpi itu menjadi kenyataan.
Pada suatu malam, kira-kira dua tahun silam, Syeikh Adil Kalbani bermimpi bahwa dirinya menjadi imam di Masjidil Haram, Makkah. Namun begitu bangun tidur, ia segera menepis mimpi tersebut dan menganggapnya sebagai kembang tidur dan godaan kesombongan.
Pada suatu malam, kira-kira dua tahun silam, Syeikh Adil Kalbani bermimpi bahwa dirinya menjadi imam di Masjidil Haram, Makkah. Namun begitu bangun tidur, ia segera menepis mimpi tersebut dan menganggapnya sebagai kembang tidur dan godaan kesombongan.
Walau dikenal memiliki suara merdu, namun sang Syeikh berkulit hitam dan putra imigran miskin dari Teluk Persia. Menjadi imam shalat di Masjidil Haram adalah kehormatan yang luar biasa, dan biasanya menjadi jatah para imam berdarah Arab murni.
Wajar jika kemudian, akhir September tahun lalu, Kalbani kaget bukan kepalang ketika menerima panggilan telepon. Sebuah suara mengabarkannya bahwa Raja Abdullah memilihnya menjadi imam kulit hitam pertama untuk memimpin shalat jamaah di Masjidil Haram.
Dua hari kemudian ia berjalan ke ruang resepsi yang luas dan disambut oleh Pangeran Khalid al-Faisal, Gubernur Makkah. Syeikh Kalbani mencoba mengenalkan diri, namun sang pangeran mencegahnya sambil tersenyum dengan ucapan, “Anda sudah dikenal.”
Selanjutnya, Kalbani dibimbing menuju sebuah meja dimana ia duduk di samping Raja Abdullah dan para menteri yang lain. Ia agak malu berbicara langsung menghadap raja. Namun ketika meninggalkan ruangan, Kalbani menyalami raja dan mencium hidungnya. Sebuah ciuman tradisonal tanda penghormatan terhadap orang yang lebih tua.
Beberapa hari kemudian, suara bariton Kalbani yang dalam, bergema di Masjidil Haram dan disiarkan secara langsung oleh televisi satelit ke jutaan pemirsa Muslim di seluruh penjuru dunia.
Sejak itu pula, Syeikh Kalbani mendapat julukan bernada gurau, “Obamanya Saudi”. Para imam terkemuka di Saudi bagaikan selebritis, dan sebagian besar mereka menyambut pilihan Raja Abdullah atas Kalbani merupakan bukti usahanya membawa Saudi Arabia menuju keterbukaan dan toleransi yang lebih luas dalam beberapa tahun terakhir.
“Raja mencoba memberitahu tiap orang bahwa ia memerintah negeri ini sebagai sebuah bangsa tanpa rasisme dan diskriminasi,” kata Syeikh Kalbani kepada The New York Times. “Setiap orang yang layak dan memenuhi syarat, tak peduli apapun warna kulitnya, darimana asalnya, akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi imam. Demi kebaikannya dan kebakan negerinya,” lanjut pria berjenggot lebat yang telah 20 tahun lamanya menjadi imam tetap Masjid Riyadh ini.
Secara resmi, karena kemampuannya dalam tilawah al-Qur’an –sebagaimana delapan imam lainnya– yang membuat Kalbani dipercaya menjadi imam Masjidil Haram. Ia menjadi imam khusus di bulan Ramadhan saat shalat tarawih berjamaah. Walau demikian, tetap saja ada suara-suara sumbang yang menganggap raja bersikap rasis atas pilihan terhadap Kalbani.
Syeikh Kalbani, sebagaimana mayoritas orang-orang Saudi, dengan tanggap memperingatkan bahwa tiap rasisme di Saudi bukanlah kesalahan Islam, karena Islam sebenarnya menyebarkan egalitarianisme. Nabi Muhammad saw sendiri memiliki sahabat-sahabat berkulit hitam. “Sejarah Islam kami memiliki banyak sekali orang-orang berkulit hitam yang terkenal. Tidak seperti di Barat,” tegas pria 49 tahun ini.
Memang benar, etnis dan kesukuan di Saudi Arabia jauh lebih beragam dibanding kebanyakan negara-negera Barat. Orang-orang Saudi, Malaysia atau Afrika merupakan pemandangan umum di sepanjang jalan pantai barat. Mereka adalah keturunan para jamaah haji yang datang berabad-abad lampau, yang tinggal dan menetap hingga kini. Sebagian besar mereka telah hidup makmur bahkan meraih posisi tinggi melalui hubungan dengan keluarga kerajaan. Bandar bin Sultan, mantan Duta Besar Saudi Arabia untuk AS, adalah putra Pangeran Sultan dari selirnya yang berkulit hitam.
Perbudakan memang berlaku di Saudi, namun dihapuskan pada tahun 1962. Kebanyakan orang-orang Arab tradisional dari Nejd –asal penguasa Saudi– dulu menyebut orang luar sebagai “tarsh al-bahr”, muntah laut. Orang-orang keturunan Afrika masih mengalami diskriminasi seperti kebanyakan imigran lainnya. Bahkan imigran dari negara-negara Arab lainnya juga mengalami hal yang sama. Sebagian besar orang-orang Saudi mengeluhkan pemerintah kerajaan yang masih didominasi Nejd, tanah air keluarga kerajaan.
“Nabi mengatakan kepada kita bahwa status sosial akan tetap eksis karena sifat alami manusia,” kata Kalbani getir. “Ini merupakan bagian dari praktek-praktek pra-Islam yang masih bertahan.”
Kulit hitam bukanlah satu-satunya kendala sosial yang telah diatasi Syeikh Kalbani. Ayahnya datang ke Saudi Arabia tahun 1950-an dari Ras al-Khaima –kini menjadi Uni Emirat Arab– dan memperoleh pekerjaan sebagai pegawai pemerintah tingkat rendah. Keluarganya memiliki sedikit uang, dan setelah menyelesaikan sekolah menengah, Kalbani bekerja di Saudi Arabian Airlines sambil kuliah malam di King Saud University.
Beberapa lama kemudian ia belajar agama, tekun menghafal al-Qur’an dan belajar hukum Islam. Pada tahun 1984 ia lulus ujian pemerintah untuk menjadi imam, dan bekerja sebentar di masjid bandara Riyadh. Empat tahun kemudian ia mendapatkan posisi yang lebih menonjol sebagai imam di Masjid Raja Khalid. Sebuah masjid dengan bangunan tinggi berwarna putih yang tidak jauh dari salah satu kantor Departemen Intelijen Saudi.
Secara teologis, Syeikh Adil Kalbani mencerminkan evolusi umum pemikiran Saudi dalam dua dekade terakhir. Pada tahun 1980 dia bertemu Osama bin Laden dan Abdullah Azzam, seorang pemimpin jihad melawan Uni Soviet di Afghanistan. Awalnya, Kalbani bersimpati dengan posisi radikal dan kemarahan mereka terhadap Barat. Namun, kata Kalbani, ia mulai menemukan bahwa pandangan mereka sempit, terutama setelah serangan 11 September di AS.
Kini, Kalbani menerima dengan hangat inisiatif baru Raja Abdullah yang berupaya memoderatkan kekuasaan dan sikap keberagamaan yang keras untuk memodernisasi peradilan dan pendidikan Saudi. Di sela-sela waktu luangnya, Kalbani gemar membaca al-Watan, sebuah surat kabar liberal. “Beberapa orang di negeri ini menginginkan semua orang menjadi kertas karbon. Ini bukan cara berpikir saya. Anda dapat belajar dari orang yang mau mengkritik, yang memberikan berbagai sudut pandang,” ujarnya.
Kehidupan Kalbani, sebagaimana kebanyakan para imam, mengikuti alur yang dianggap kaku oleh orang luar. Ia memimpin shalat jamaah lima waktu di masjid, lalu pulang ke rumahnya yang ia tempati bersama dua istri dan 12 orang anaknya. Tiap pekan ia menyampaikan khutbah Jumat.
Kini suara merdu dan berat Syeikh Kalbani dapat dinikmati kaum Muslimin di seluruh dunia, terutama dalam Bulan Suci Ramadhan. “Melantunkan ayat suci al-Qur’an di hadapan ribuan orang, bukan masalah bagi saya. Tapi tempat ini (Masjidil Haram), kesuciannya dan kesakralannya, berbeda dengan shalat di tempat lain. Di tempat suci itu, ada raja, presiden dan orang-orang biasa. Semuanya dipimpin oleh anda yang menjadi imam. Hal ini mendatangkan kehormatan, juga ketakutan kepada Allah Ta'ala,” kata Kalbani.
Islam tidak mengenal kasta. Siapa pun layak menjadi imam di Masjidil Haram, asal mumpuni dan memenuhi syarat. Dan Syeikh Adil Kalbani telah membuktikannya.
0 komentar:
Posting Komentar