“Kalau
kalian meninggalkan ajaran Nabi kalian, kalian pasti akan sesat.”
Ketahuilah
saudaraku -semoga Allah menambahkan iman kepada aku dan kamu- tidaklah ada
lelaki muslim yang bersengaja meninggalkan shalat jama’ah kecuali orang-orang
yang lemah iman atau munafik. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu
menceritakan, “Barangsiapa yang senang untuk berjumpa dengan Allah di hari esok
[hari akhirat] sebagai seorang muslim maka jagalah shalat lima waktu dengan
berjama’ah yang mana diserukan panggilan adzan untuknya. Karena Allah telah
mensyariatkan jalan-jalan petunjuk untuk Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan sesungguhnya shalat berjama’ah itu termasuk jalan petunjuk. Kalau
lah kalian sengaja mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana halnya
perbuatan orang yang sengaja meninggalkan shalat jama’ah ini [dan mengerjakan
shalat] di rumah niscaya kalian telah meninggalkan ajaran Nabi kalian. Dan
kalau kalian sudah berani meninggalkan ajaran Nabi kalian, maka kalian pasti
akan sesat. Sungguh aku teringat, bahwa dahulu tidak ada yang meninggalkan
shalat berjama’ah itu melainkan orang munafiq yang tampak sekali
kemunafikannya. Sampai-sampai dahulu ada [di antara para sahabat itu] yang
memaksakan diri untuk datang [shalat berjama'ah] dengan dipapah di antara dua
orang lelaki untuk diberdirikan di dalam barisan/shaf.” (HR. Muslim [654]).
Mengapa
orang munafiq tidak mau menghadiri shalat jama’ah? Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah menerangkan, sebab mereka itu tidak berharap pahala dan tidak
mengimani adanya hisab/penghitungan amal. Oleh karena itu mereka sengaja tidak
menghadirinya. Karena itu pula Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafiq adalah shalat ‘Isyak dan
shalat Fajar/subuh.” (HR. Bukhari [657] dan Muslim [651] dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu, lafazh Muslim). Karena ketika [jama'ah] shalat Isyak
dilakukan, tidak tampak siapa yang tidak ikut di dalamnya; sebab dahulu di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum ada listrik atau lampu-lampu
[sebagaimana sekarang, pent], maka hal itu memungkinkan bagi orang untuk tidak
ikut hadir shalat dalam keadaan orang lain tidak mengetahuinya. Selain itu,
shalat Isyak dan Fajar itu dilakukan di waktu-waktu [untuk] istirahat dan
tidur, maka hal itu sangat berat bagi orang-orang munafiq, sehingga mereka
tidak mau mendatanginya. Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada pada
keduanya [jama'ah shalat 'Isyak dan Subuh, pent] niscaya mereka akan
mendatanginya meskipun dengan cara merangkak (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, cet.
Dar Al-Bashirah, 3/254).
Al-Hafizh
Ibnu Hajar mengatakan, “Shalat ‘Isyak dan Subuh [berjama'ah] itu paling berat
bagi mereka -orang munafiq- apabila dibandingkan shalat yang lainnya [meskipun
secara umum mereka juga malas untuk melakukan shalat yang lainnya] dikarenakan
kuatnya dorongan untuk meninggalkan kedua shalat tersebut. Karena waktu Isyak
adalah waktu yang tenang dan cocok untuk beristirahat sedangkan subuh adalah
waktu yang enak untuk tidur…” (Fath Al-Bari, cet Dar Al-Hadits, 2/166).
Shalat jama’ah jauh lebih utama!
Saudaraku yang kucintai karena-Nya, shalat berjama’ah merupakan sebuah amalan yang sangat utama, jauh lebih utama daripada shalat sendirian. Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat berjama’ah dua puluh tujuh derajat lebih utama daripada shalat sendirian.” (HR. Bukhari [645] dan Muslim [650], lafazh ini milik Muslim).
Saudaraku yang kucintai karena-Nya, shalat berjama’ah merupakan sebuah amalan yang sangat utama, jauh lebih utama daripada shalat sendirian. Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat berjama’ah dua puluh tujuh derajat lebih utama daripada shalat sendirian.” (HR. Bukhari [645] dan Muslim [650], lafazh ini milik Muslim).
Bukhari
rahimahullah menuturkan, dahulu Al-Aswad bin Yazid An-Nakha’i -salah seorang
pembesar tabi’in-, apabila tertinggal shalat jama’ah maka dia pergi ke masjid yang
lain [untuk mencari shalat jama'ah]. Sedangkan Anas bin Malik
radhiyallahu’anhu, apabila beliau sampai di masjid sementara shalat jama’ah
telah selesai dilaksanakan, maka beliau mengumandangkan adzan dan iqamah lantas
melakukan shalat secara berjama’ah (Shahih Al-Bukhari cet Maktabah Al-Iman,
hal. 143). Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Yang tampak bagi saya, dengan
membawakan riwayat dari Al-Aswad dan Anas tersebut, Bukhari ingin memberikan
isyarat bahwa keutamaan yang disebutkan dalam hadits-hadits dalam bab ini hanya
berlaku bagi orang yang melakukan shalat jama’ah di masjid, bukan bagi orang
yang melakukan shalat jama’ah di rumahnya.” (Fath Al-Bari cet Dar Al-Hadits,
2/154).
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa shalat berjama’ah
[di masjid] termasuk ibadah yang paling utama dan ketaatan yang paling mulia…”
(Syarh Riyadh Ash-Shalihin, cet. Dar Al-Bashirah, 3/249).
An-Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami -ulama madzhab Syafi’i- berargumen
dengan hadits-hadits ini untuk menyatakan bahwa berjama’ah bukanlah syarat sah
shalat, hal ini berseberangan dengan [pendapat] Dawud [Azh-Zhahiri] …” (Syarh
Muslim, cet. Dar Ibn Al-Haitsam, 3/456). Pendapat serupa -bahwa berjama’ah
bukan syarat sah shalat- dikemukakan oleh Syaikh Abdullah Al-Bassam (lihat
Taisir Al-’Allam, cet. Dar Al-’Aqidah, 1/108).
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah menuturkan, sebagian ulama berpendapat bahwa shalat
[wajib] secara berjama’ah merupakan syarat sahnya shalat. Mereka menganggap
bahwa apabila seseorang –yang diperintahkan untuk berjama’ah; yaitu kaum
lelaki– tidak mengerjakan shalat [wajib] secara berjama’ah maka shalatnya
sia-sia dan tidak diterima. Pendapat ini dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah dan merupakan sebuah pendapat yang diriwayatkan dari Imam
Ahmad (lihat Syarh Riyadh Ash-Shalihin cet Dar Al-Bashirah, 3/249). Namun,
pendapat itu adalah pendapat yang lemah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyatakan, “Shalat berjama’ah dua puluh tujuh derajat lebih utama daripada
shalat sendirian.” Adanya pengutamaan itu menunjukkan bahwa amal yang dinilai
kurang utama itu masih memiliki keutamaan. Konsekuensi dari adanya keutamaan
padanya adalah amalan itu masih sah dilakukan. Sebab amal yang tidak sah tidak
mungkin punya keutamaan, bahkan berdosa jika dikerjakan. Maka hadits ini
merupakan dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa shalat sendirian itu
hukumnya sah. Demikian papar Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah (Syarh Shalat
Al-Jama’ah, cet Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 24).
Orang buta saja disuruh untuk berjama’ah!
Saudaraku, shalat wajib secara berjama’ah -bagi laki-laki- merupakan perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan saja kepada orang yang normal seperti kita, bahkan kepada orang yang buta sekalipun. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa suatu ketika ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang selalu membimbingku untuk berangkat ke masjid.” Dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan meminta keringanan agar boleh mengerjakan shalat di rumah, maka beliau pun memberikan keringanan untuknya. Akan tetapi, ketika dia berpaling (hendak pulang) maka beliau menanyakan kepadanya, “Apakah kamu masih mendengar adzan untuk shalat [berjama'ah]?”. Dia menjawab,”Iya.” Maka Nabi pun mengatakan, “Kalau begitu penuhilah panggilan itu.” (HR. Muslim [653]).
Saudaraku, shalat wajib secara berjama’ah -bagi laki-laki- merupakan perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan saja kepada orang yang normal seperti kita, bahkan kepada orang yang buta sekalipun. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa suatu ketika ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang selalu membimbingku untuk berangkat ke masjid.” Dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan meminta keringanan agar boleh mengerjakan shalat di rumah, maka beliau pun memberikan keringanan untuknya. Akan tetapi, ketika dia berpaling (hendak pulang) maka beliau menanyakan kepadanya, “Apakah kamu masih mendengar adzan untuk shalat [berjama'ah]?”. Dia menjawab,”Iya.” Maka Nabi pun mengatakan, “Kalau begitu penuhilah panggilan itu.” (HR. Muslim [653]).
An-Nawawi
rahimahullah berkata mengomentari kisah di atas, “Di dalam hadits ini terdapat
penunjukan dalil bagi [ulama] yang berpendapat bahwa shalat jama’ah adalah
wajib ‘ain [bagi setiap lelaki]…” (Syarh Muslim, cet. Dar Ibn Al-Haitsam,
3/459). An-Nawawi sendiri memilih pendapat bahwa shalat jama’ah adalah wajib kifayah,
dan ada sebagian ulama yang berpendapat sunnah (lihat Syarh Muslim, cet. Dar
Ibn Al-Haitsam, 3/456). Di antara ulama yang berpendapat shalat berjama’ah
adalah sunnah mu’akkad yaitu Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah -penulis matan
Al-Ghayah wa At-Taqrib fi Fiqhi Syafi’i-, namun oleh pentahqiq kitab tersebut
-Majid Al-Hamawi- pendapat ini dinilai tidak tepat; menurutnya pendapat yang
lebih kuat adalah shalat berjama’ah itu fardhu kifayah. Beliau berdalil dengan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada tiga orang [muslim] di
suatu kota atau kampung namun mereka tidak mendirikan shalat [berjama'ah] di
sana, kecuali karena syaitan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu
[shalat] berjama’ah. Karena srigala itu hanya akan memangsa domba yang jauh
[menyendiri].” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Al-Hakim serta beliau -Al-Hakim-
mensahihkannya) (lihat Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib cet Dar Ibnu Hazm, hal. 80).
Adapun Imam Syafi’i rahimahullah, maka zahir dari keterangan beliau menunjukkan
bahwa beliau berpendapat shalat jama’ah itu wajib kifayah. Pendapat ini juga
didukung oleh banyak ulama terdahulu dalam lingkungan madzhab Syafi’i, serta
populer di kalangan banyak ulama Hanafiyah dan Malikiyah (lihat Fath Al-Bari
cet Dar Al-Hadits, 2/148).
Ketika
menerangkan hadits di atas, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“[Ungkapan] itu –perintah Nabi kepada orang yang buta untuk menghadiri shalat
jama’ah– menunjukkan wajibnya shalat jama’ah bagi orang buta, dan menunjukkan
pula bahwa kebutaan bukanlah alasan untuk tidak mengikuti shalat jama’ah.
Hadits itu pun menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib dilakukan di masjid,
bukanlah maksudnya hanya sekedar berjama’ah -meskipun bukan di masjid-. Namun,
yang diperintahkan adalah secara berjama’ah dan bertempat di masjid…” (Syarh
Riyadh Ash-Shalihin, cet Dar Al-Bashirah, 3/252). Shalat berjama’ah wajib
dilakukan di masjid. Seandainya ia dilakukan bukan di masjid maka hal itu tidak
menggugurkan dosa -bahkan mereka berdosa karenanya [yaitu karena shalat berjama'ah
tidak di masjid,pent]- meskipun shalat mereka tetap dinilai sah menurut
pendapat yang terkuat, demikian keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin di tempat yang
lain (lihat Syarh Shalat Al-Jama’ah, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 26).
Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memfatwakan tidak boleh bagi
seseorang atau sekelompok orang melaksanakan shalat berjama’ah di rumah padahal
masjid dekat dengan rumah mereka. Adapun, apabila letak masjid itu sangat jauh
dan mereka tidak bisa mendengar adzan [maksud adzan di sini adalah adzan tanpa
mikrofon, demikian menurut Syaikh dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 3/252], maka
tidak mengapa bagi mereka melakukan shalat jama’ah di rumah selama memang jarak
tempat mereka jauh dari masjid dan sulit bagi mereka untuk menghadiri shalat
berjama’ah (lihat Fatawa Arkan Al-Islam, cet. Dar Ats-Tsurayya hal. 367-368).
Nabi mengancam untuk membakar rumah mereka…
Saudaraku -semoga Allah menggugah kesadaranmu untuk taat kepada-Nya- shalat berjama’ah bukan masalah yang layak untuk disepelekan. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh, aku pernah bertekad untuk menyuruh orang membawa kayu bakar dan menyalakannya, kemudian aku akan perintahkan orang untuk mengumandangkan adzan untuk shalat [berjama'ah] kemudian akan aku suruh salah seorang untuk mengimami orang-orang [jama'ah] yang ada lalu aku akan berangkat mencari para lelaki yang tidak ikut shalat berjama’ah itu supaya aku bisa membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari [644] dan Muslim [651]).
Saudaraku -semoga Allah menggugah kesadaranmu untuk taat kepada-Nya- shalat berjama’ah bukan masalah yang layak untuk disepelekan. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh, aku pernah bertekad untuk menyuruh orang membawa kayu bakar dan menyalakannya, kemudian aku akan perintahkan orang untuk mengumandangkan adzan untuk shalat [berjama'ah] kemudian akan aku suruh salah seorang untuk mengimami orang-orang [jama'ah] yang ada lalu aku akan berangkat mencari para lelaki yang tidak ikut shalat berjama’ah itu supaya aku bisa membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari [644] dan Muslim [651]).
Imam
Bukhari rahimahullah mencantumkan hadits di atas di bawah judul ‘Bab wajibnya
shalat jama’ah’. Dan beliau juga menukil perkataan Al-Hasan, “Kalau seandainya
ibunya melarang shalat ‘Isyak berjama’ah karena kasihan kepada anaknya, maka
dia -sang anak- tidak boleh menuruti [kemauan] ibunya.” (lihat Shahih Bukhari
cet. Maktabah Al-Iman, hal. 142).
An-Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah salah satu dalil yang digunakan
untuk menyatakan bahwa shalat jama’ah adalah wajib ‘ain. Ini adalah
madzhab/pendapatnya Atha’, Al-Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Ibnu
Khuzaimah, dan Dawud [Azh-Zhahiri]…” (Syarh Muslim, cet. Dar Ibn Al-Haitsam,
3/458). Ibnu Hajar rahimahullah menambahkan, di antara ulama yang berpendapat
hukum shalat jama’ah wajib ‘ain adalah Ibnu Hiban (lihat Fath Al-Bari cet Dar
Al-Hadits, 2/148).
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “[Hadits] ini menunjukkan bahwa shalat
jama’ah adalah wajib ['ain], sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
akan bertekad semacam itu -membakar rumah mereka- apabila bukan karena [mereka]
telah meninggalkan perkara yang wajib…” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin cet Dar
Al-Bashirah, 3/252).
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah menyimpulkan, “Pandangan yang benar menunjukkan
wajibnya hal itu -shalat berjama’ah-. Karena sesungguhnya umat Islam adalah
umat yang satu. Dan tidak akan terwujud persatuan [umat ini] dengan sempurna
kecuali dengan berkumpul dalam menunaikan ibadah-ibadahnya. Sementara [salah
satu] ibadah yang paling mulia, paling utama, dan paling ditekankan adalah
shalat. Oleh sebab itu sudah seharusnya bagi umat ini untuk bersatu dalam
mengerjakan shalat ini.” Beliau juga menambahkan, “Bagaimana pun keadaannya, wajib
bagi setiap lelaki muslim yang berakal dan sudah dewasa/baligh untuk menghadiri
shalat [wajib] berjama’ah, entah dia sedang dalam perjalanan/safar ataukah
tidak sedang bersafar.” (Fatawa Arkan Al-Islam, cet Dar Ats-Tsurayya. hal. 366
dan 367).
Semoga
Allah mengembalikan kemuliaan dan persatuan umat Islam di atas Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wal hamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
0 komentar:
Posting Komentar