Berlipatnya Pahala Shalat di Masjidil Haram

Para ulama berselisih pendapat tentang yang dimaksud masjidil haram tempat dilipat gandakannya pahala shalat.
Pendapat pertama, yang dimaksud masjidil haram adalah Ka’bah.
Dalil dari pendapat adalah firman Allah Ta’ala,
 “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al Baqarah: 144). Yang dimaksud dengan mengarahkan wajah dalam ayat ini adalah ke Ka’bah saja. Sanggahan: Yang dimaksud masjidil haram  di sini menunjukkan taghlib (global), yaitu secara umum maksudnya adalah Ka’bah.
Pendapat ini juga berdalil dengan hadits,
 “Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik dair 1000 shalat di masjid lainyya kecuali Ka’bah”. (HR. An Nasai no. 2899, Ahmad 2/386. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani). Sanggahan: yang dimaksud dalam hadits ini adalah Masjid Ka’bah (yaitu masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah). Hal ini diterangkan dalam hadits Maimunah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Shalat di dalamnya (masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya kecuali Masjid Ka’bah” (HR. Muslim no. 1396). Pendapat inilah yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah belakangan.
Pendapat kedua, yang dimaksud masjidil haram adalah masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah (artinya bukan seluruh Makkah). Inilah pendapat ulama Hambali dan dikuatkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah serta juga dipilih oleh ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin.
Dalil dari pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala,
 “Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram” (QS. Al Baqarah: 191).
Begitu pula firman Allah Ta’ala,
 “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjidil haram sesudah tahun ini” (QS. At Taubah: 28). Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah masjid jama’ah yang di dalamnya terdapat Ka’bah.
Ayat lain yang menguatkan pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala,
 “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha” (QS. Al Isra’: 1). Salah satu pendapat menyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan isro’ mi’roj dari kamar di rumahnya. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa beliau melakukannya dari rumah Ummu Hani, dan itu di luar masjid. Inilah yang jadi dalil bahwa seluruh tanah haram (seluruh Makkah) disebut masjidil haram. Namun masalah dari mana beliau mulai berisro’, hal ini diperselisihkan para ulama. Dalam hadits dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sho’sho’ah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan malam beliau melakukan isro’,
 “Tatkala itu aku berada di tembok Ka’bah, bisa dikatakan pula di al Hijr.” (HR. Bukhari no. 3887)
Hadits lain yang menguatkan pendapat ini adalah hadits dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
 “Barangsiapa shalat di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh aku pernah mendengar beliau bersabda: Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya selain masjid Ka’bah (masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah)” (HR. Muslim no. 1396 dan An Nasai no. 691)
Alasan lainnya lagi adalah hadits,
 “Janganlah bersengaja melakukan perjalanan dengan sengaja (dalam rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid: masjidku ini (masjid Nabawi), masjidil Haram dan Masjidil Aqsho.” (HR. Bukhari no. 1189 dan Muslim no. 1397). Dari hadits ini dapat dipahami bahwa jika seseorang bersengaja melakukan perjalanan ibadah ke Makkah, namun ia mengunjungi selain masjidil haram, yaitu ke masjid-masjid yang ada di tanah Makkah, maka itu bukanlah yang dimaksudkan dalam hadits di atas, bahkan bisa jadi terlarang jika ia hanya mengunjungi masjid-masjid sekitar saja. Yang dimaksudkan dalam hadits itu adalah ke Masjidil Haram, yaitu masjid yang terdapat Ka’bah, tempat berlipatnya pahala.
Pendapat ketiga, yang dimaksud masjidil haram adalah seluruh tanah haram, yaitu seluruh Makkah. Inilah pendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz.
Dalil dari pendapat ini, pertama adalah firman Allah Ta’ala,
 “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjidil haram sesudah tahun ini” (QS. At Taubah: 28). Yang dimaksud ayat ini adalah seluruh tanah haram, bukan hanya masjid saja. Ibnu Hazm bahkan mengatakan bahwa tidak ada khilaf (perselisihan pendapat) dalam hal ini.
Sanggahan: Ayat di atas disebutkan “فَلَا يَقْرَبُوا” (janganlah mendekati) dan tidak disebut “فلا يدخلوا” (janganlah memasuki). Yang dimaksud dalam masjid dalam ayat di atas adalah tetap masjidil haram (tempat thowaf), itu dikatakan ‘jangan mendekati’. Karena bila telah sampai perbatasan tanah haram, maka non muslim tidak boleh melewatinya, itu dinamakan janganlah mendekati masjidil haram.
Dalil lain yang jadi argumen pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala,
 “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” (QS. Al Hajj: 25). Pendapat ini beralasan bahwa yang dimaksud masjidil haram dalam ayat ini adalah seluruh Makkah. Sanggahan: Yang dimaksud Masjidil Haram adalah tetap masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah. Inilah makna tekstual (zhohir) dari ayat Al Qur’an sebagaimana pendapat Imam Nawawi dan Ibnul Qayyim.
Pendapat Terkuat
Dari penjelasan di atas, berdasarkan dalil terkuat dan sanggahan-sanggahan yang diberikan, maka kami lebih tenang pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa Masjidil Haram tempat dilipatgandakan pahala bukanlah seluruh Makkah atau seluruh tanah haram, tapi khusus di masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah (yaitu Masjidil Haram yang kita kenal).
Jadi bagi laki-laki jika berada di tanah haram Makkah dan tidak jauh serta tidak menyulitkan, hendaklah ia berusaha shalat di Masjidil Haram agar mendapatkan pahala melimpah. Sedangkan wanita, jika ia tetap shalat di rumah atau di hotelnya, maka itu tetap lebih baik dari shalat di Masjidil Haram, artinya pahalanya tetap lebih banyak. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ummu Humaid,
Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. …  (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad no. 27135. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan). Bayangkan, ini yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan pada wanita, padahal shalat di Masjid Nabawi mendapatkan pahala 1000 kali dari masjid lainnya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap perintahkan ia shalat di rumahnya dan itu lebih baik untuknya. Demikian penjelasan yang kami dapatkan dari guru kami Syaikh Hammad Al Hammad hafizhohullah, imam masjid Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA, pada pelajaran Kitab Tauhid dua pekan yang lalu (21/10/1432 H).
Wallahu a’lam bish showab. Wallahu waliyyut taufiq. Walhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah, wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Referensi utama: Tulisan Syaikh ‘Abdul Lathif bin ‘Audh Al Qorni dalam Mawqi’ Muslim yang kami nukil dari www.dorar.net.




0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.