Sholat Fajr tgl 21 Februari 2012 di Masjidil Haram dengan imam Sheikh Juhany

Bagaimana Sholat Orang Yang Sedang Sakit ?


Syari’at islam dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak ada satu pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seorang di luar kemampuannya. Allah Ta’ala sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.(Qs. Al-Baqarah/2:286)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan ketakwaan menurut kemampuan mereka dalam firman-Nya:
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)
Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing. Dengan ini nampaklah keindahan syari’at dan kemudahannya.
Diantara kewajiban agung yang harus dilakukan orang yang sakit adalah sholat. Banyak sekali kaum muslimin yang kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau memaksakan diri sholat dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya merasakan beratnya sholat bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang menyusahkannya.
Solusinya adalah kewajiban mengenal hukum-hukum dan tata cara sholat orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.
Hukum-Hukum yang berhubungan dengan sholat orang sakit
Di antara hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit dalam ibadah sholatnya adalah:
1. Orang yang sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya [1], sebagaimana diperintahkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghâbûn/ 64:16) dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Imrân bin Hushain:
Pernah Penyakit wasir menimpaku, lalu akau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara sholatnya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sholatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR al-Bukhari no. 1117)
2. Apabila berat melakukan setiap sholat pada waktunya maka diperbolehkan baginya untuk men-jama’ (menggabung) antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya baik dengan jama’ taqdim atau ta’khir [2]. Hal ini melihat kepada yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma yang menyatakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma: Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau radhiallahu ‘anhuma menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR Muslim no. 705)
Dalam hadits diatas jelaslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembolehkan kita menjama’ sholat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (masyaqqoh) dan jelas sakit merupakan masyaqqah. Hal ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit kepada orang yang terkena istihaadhoh yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakhirkan sholat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib dan mempercepat Isya’. [3]
3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan sholat wajib dalam segala kondisinya selama akalnya masih baik [4].
4. Orang sakit yang berat untuk mendatangi masjid berjama’ah atau akan menambah dan atau memperlambat kesembuhannya bila sholat berjamaah dimasjid maka dibolehkan tidak sholat berjama’ah [5]. Imam Ibnu al-Mundzirrahimahullah menyatakan: Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara ulama bahwa orang sakit dibolehkan tidak sholat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di Masjid dan berkata:
Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat. (Muttafaqun ‘Alaihi) [6]
Tata cara sholat orang yang sakit
Tata cara shalat orang sakit dapat diringkas dalam keterangan berikut ini:
a. Diwajibkan atas orang yang sakit untuk sholat berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam sholat wajib adalah salah satu rukunnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (Qs. Al-Baqarah/2:238) dan keumuman hadits ‘Imrân di atas.
Diwajibkan juga orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat atau bersandar ke tembok atau berpegangan dengan tiang berdasarkan hadits Ummu Qais radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah maka beliau memasang tiang di tempat sholatnya untuk menjadi sandaran.(HR Abu Daud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shohihah 319). Demikian juga orang bongkok diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk. [7]
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Diwajibkan berdiri atas seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia.” [8]
b. Orang sakit yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud tetap tidak gugur kewajiban berdirinya. Ia harus sholat berdiri dan bila tidak bisa rukuk maka menunduk untuk rukuk Bila tidak mampu membongkokkan punggungnya sama sekali maka cukup dengan menundukkan lehernya, Kemudian duduk lalu menunduk untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sedapat mungkin. [9]
c. Orang sakit yang tidak mampu berdiri maka melakukan sholat wajib dengan duduk, berdasarkan hadits ‘Imrân bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Para ulama telah ber-ijma’ (bersepakat -ed) bahwa orang yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk.” [10]
d. Orang sakit yang dikhawatirkan akan menambah parah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk [11]. Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Yang benar adalah kesulitan (masyaqqah) membolehkan sholat dengan duduk. Apabila seorang merasa susah shalat berdiri maka ia boleh shalat dengan duduk, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Qs. Al-Baqarah/2:185)
Sebagaimana juga bila berat berpuasa bagi orang yang sakit walaupun masih mampu diperbolehkan berbuka dan tidak berpuasa maka demikian juga bila susah berdiri maka ia dibolehkan shalat dengan duduk.” [12]
Orang yang sakit apabila sholat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat dengan bersila. [13]
Juga karena bersila secara umum lebih enak dan tuma’ninah (tenang) dari duduk iftirâsy [14].
Apabila rukuk maka rukuk dengan bersila dengan membungkukkan punggungnya dan meletakkan tangannya di lututnya, karena ruku’ berposisi berdiri. [15]
Dalam keadaan demikian masih diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumuman hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang; Dahi –dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Bila tidak mampu juga maka ia meletakkan kedua telapak tangannya ketanah dan menunduk untuk sujud. Bila juga tidak mampu maka hendaknya ia meletakkan tangannya dilututnya dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’. [16]
e. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk maka boleh melakukannya dengan berbaring miring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Hal ini dilakukan dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain:
Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah. (HR al-Bukhari no. 1117)
Dalam hadits ini nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan sisi mana ke kanan atau ke kiri sehingga yang utama adalah yang termudah dari keduanya. Apabila miring ke kanan lebih mudah maka itu yang lebih utama dan bila miring ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya.(HR Muslim no 396). Kemudian melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat menundukkan kepala ke dada dengan ketentuan sujud lebih rendah dari ruku’.
Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
Melakukannya dengan mata. Sehingga apabila ruku’ maka ia memejamkan matanya sedikit kemudian mengucapkan kata سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ lalu membuka matanya. Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
Gugur semua gerakan namun masih melakukan sholat dengan perkataan.
Gugur kewajiban sholatnya dan inilah pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Syeikh Ibnu Utsaimin merojihkan pendapat kedua dengan menyatakan, “Yang rojih dari tiga pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan perkataan maka ia tidak gugur karena ia mampu melakukannya dan Allah berfirman:
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)” [17]
f. Orang sakit yang tidak mampu berbaring miring, maka boleh melakukan shalat dengan terlentang dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat karena hal ini lebih dekat kepada cara berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah timur dan kakinya di arah barat. [18]
g. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkannya atau membantu mengarahkannya ke kiblat, maka shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.(Qs. Al-Baqarah/2:286)
h. Orang sakit yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalat sesuai keadaannya dengan dasar firman Allah Ta’ala:
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)
i. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan seluruh keadaan di atas. Ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya, maka ia sholat dengan hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.
j. Apabila orang sakit mampu di tengah-tengah shalat melakukan perbuatan yang sebelumnya ia tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia melaksanakan sholatnya dengan yang ia telah mampui dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak perlu mengulang yang telah lalu karena yang telah lalu dari sholat tersebut telah sah. [19]
k. Apabila orang sakit tidak mampu sujud di atas tanah, maka ia menundukkan kepalanya untuk sujud di udara dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini didasarkan kepada hadits Jâbir yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang sakit lalu melihatnya sholat di atas (bertelekan) bantal, lalu beliau mengambilnya dan melemparnya. Lalu ia mengambil kayu untuk dijadikan alas sholatnya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan melemparnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sholatlah di atas tanah apabila ia mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imâ’) dan menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.” [20]
Demikianlah sebagian hukum-hukum yang berkenaan dengan sholat orang yang sakit, mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan kepada orang sakit mengenai shalat mereka. Dengan harapan setelahnya mereka tidak meninggalkan shalat hanya karena sakit yang dideritanya. Wabillahi at-taufiq.
Maraji’:
Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zaad al-Mustaqni’, Syeikh Ibnu Utsaimin
Manhaj as-Saalikin, Syiekh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di
Shohih Fikih Sunnah, Syeikh Kamaal as-Sayid
Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi
Fatâwa al-Lajnah ad-Dâimah Lil Buhûts al-’Ilmiyah wa al-Ifta’
Silsilah al-Ahâdits ash-Shohihah, Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
Irwa’ al-Ghalîl, Syeikh al-Albani
Dll.
Footnotes:
[1] Lihat Fatawa Lajnah ad-Dâ`imah 8/71 (no. 10527 )
[2] Lihat Manhaj as-Saalikin hlm 82.
[3] Hal ini ada dalam hadits Hamnah bintu Jahsy yang diriwayatkan Abu Daud dan dinilai hasan oleh Syeikh al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Gholîl no. 188 lihat jugaShohih Fikih Sunnah 1/514
[4] Lihat Fatâwa Lajnah ad-Dâ’imah 8/69 (no. 782)
[5] Lihat Manhaj as-Sâlikin hlm 82
[6] Lihat Shohih Fikih Sunnah 1/512-513
[7] Lihat al-Mughni 2/571
[8] Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ 4/459
[9] Lihat al-Mughni 2/572
[10] al-Mughni 2/570
[11] al-Mughni 2/571
[12] Syarhu al-Mumti’ 4/461
[13] HR. An-Nasâ’I no. 1662 dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih Sunan an-Nasâ’i 1/538.
[14] Lihat Syarhu al-Mumti’ 4/462-463
[15] Demikian yang dirojihkan Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 4/463
[16] Syarhu al-Mumti’ 4/466-467
[17] Ibid 4/467
[18] Ibid 4/465
[19] Lihat al-Mughni 2/577, Majmu’ Fatawa Syeikh bin Baaz 12/243 dan Syarhu al-Mumti’ 4/472-473.
[20] HR. al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubro 2/306 dan Syeikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shohihah no. 323 menyatakan: “Yang pasti bahwa hadits ini dengan kumpulnya jalan periwayatannya adalah shohih.”
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: www.ekonomisyariat.com

Berbagai Keutamaan Dari Shubuh Hingga Syuruq (plus Dzikir Pagi Petang-AUDIO)


1.Keutamaan shalat shubuh
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
(QS. Al Isra: 78)
Rasululloh bersabda:
Barangsiapa sholat isya’ di dalam jama’ah, hal itu seperti sholat setengah malam. Dan barangsiapa sholat isya’ dan subuh di dalam jama’ah, hal itu seperti sholat semalam suntuk
(HR. Abu Dawud)
Belum lagi ditambah dengan keutamaan shalat qabliyah shubuh, yang dimana Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
 “Dua raka’at Shalat Fajr (shalat qabliyah shubuh) lebih baik dari pada dunia dan seisinya.”
[HR. Muslim]
Bukti kelurusan iman seseorang; karena Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam tentang shalat shubuh bersabda:
 “Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan Shubuh, jika mereka mengetahui pahalanya, niscaya mereka mendatanginya kendatipun dengan merangkak.”
(HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Maka tentu, orang yang baik keimanannya; tidak akan merasa berat dengan kedua shalat ini.
2. Keutamaan shalat berjama’ah
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam tentang shalat berjamaah:
 “Shalat berjama’ah LEBIH AFDHAL dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian”
[Muttafaqun 'alayh]
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya shalat seseorang yang berjamaah dengan satu orang, adalah lebih baik daripada shalat sendirian. Dan shalatnya bersama dua orang jamaah, adalah lebih baik daripada shalat bersama seorang jamaah. Semakin banyak jama’ahnya, maka semakin dicintai oleh Allah Ta’ala.”
(Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat bab Fi Fadhli Shalatul Jama’ah no.467, An-Nasaa’i dalam sunannya kitab Al Imamah bab Al jama’ah idza kaana Itsnaini no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Haakim dalam Mustadrak-nya 3/269. Hadits ini di-shahih-kan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya, 2/366-367, no. 1477)
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
 “Sekiranya salah seorang dari kalian mengetahui bahwa bila dia ikut shalat berjama’ah denganku maka dia akan mendapatkan pahala yang lebih besar dari seekor kambing yang gemuk atau dua ekor kambing yang gemuk, niscaya dia akan melakukannya. Padahal apa-apa yang diperolehnya dari pahala (tersebut) lebih afdhål baginya.”
(Shåhiih, HR. Ahmad; dishahihkan asy-Syaikh Ahmad Syaakir)
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
”Shalat seseorang dengan berjamaah lebih berlipat pahalanya 25 derajat daripada shalatnya di rumahnya atau di kedai pasarnya…..”
Kemudian Råsulullåh bersabda:
 “Yang demikian itu karena bila dia berwudhu’ dengan menyempurnakan wudhu’nya lalu menuju ke masjid, yang dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat jamaah, tidak bergerak kecuali untuk shalat (berjama’ah).
Maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat baginya atau akan dihapuskan satu kesalahannya.
Dan Malaikat akan mendo’akan salah seorang dari kalian selama dia masih pada tempat shalatnya yang dia dijadikannya sebagai tempat shalatnya, (do’a malaikat tersebut):
 “Ya Allah, berilah shalawat untuknya. Ya Allah, rahmatilah dia, selama dia belum berhadats dan tidak menyakiti orang lain disana “.
Dan Beliau bersabda:
 “Salah seorang diantara kalian sudah dianggap mendirikan shalat, ketika menunggu waktu shalat didirikan”.
(HR.Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
 “Barangsiapa berwudlu kemudian keluar untuk melaksanakan shalat, maka ia dalam hitungan shalat hingga ia kembali ke rumahnya. Maka janganlah kalian melakukan demikian, yaitu menjalin jari-jari.”
[HR. Ibnu Khuzaimah no. 439, Al-Haakim 1/206, dan Ad-Daarimi no. 1446; shahih].
Dari Abu Ummamah Al-Hanaath : Bahwasannya Ka’b bin ‘Ujrah bertemu dengannya saat ia hendak pergi ke masjid. Mereka saling bertemu waktu itu. Ka’b melihatku sedang menjalinkan jari-jemariku (tasybik), kemudian ia melarangku dan berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
 ‘Apabila salah seorang diantara kalian wudlu, membaguskan wudlunya, kemudian pergi menuju masjid; maka janganlah ia menjalinkan jari-jemarinya (tasybik). Sesungguhnya ia dalam keadaan shalat
[HR. Abu Dawud no. 562; At-Tirmidzi no. 386; Ahmad 4/241,242, 243; Ibnu Khuzaimah no. 441; Ad-Daarimi no. 1444; dan yang lainnya – shahih].
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam tentang shalat berjamaah:
 “Barangsiapa yang shalat 40 hari ikhlash kepada Allåh secara berjamaah, dan mendapati takbiratul ihram, niscaya ditulis baginya dua pembebasan; pembebasan dari Neraka dan pembebasan dari kemunafikan.”
(HR. At-Tirmidzi, shahih)
3. Keutamaan tetap duduk hingga waktu syuruq dan shalat sunnah syuruq
Shalat isyraq adalah shalat dua raka’at yang dilaksanakan setelah melaksanakan shalat shubuh; lalu ia duduk ditempat ia shalat menunggu waktu syuruq; kemudian shalat isyraq ketika memasuki waktu tersebut. waktu syuruq kira-kira 90 menit setelah adzan shubuh. Silahkan lihat disini jadwal syuruq disini. Maka ketika masuk waktu syuruq berdasarkan jadwalnya, maka KITA TIDAK LANGSUNG SHALAT SUNNAH SYURUQ, karena waktu tersebut adalah waktu DIHARAMKAN UNTUK SHALAT, akan tetapi menunggu kira-kira 15 menit (sebagaimana nanti akan dijelaskan dalam atsar ‘aa-isyah radhiyallahu ‘anha).
Waktu isyraq merupakan AWAL WAKTU DHUHA; sehingga orang yang melaksanakan shalat isyraq berarti ia telah melaksanakan shalat dhuha.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalatDhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan :
“Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”.
Lalu Ummu Hani berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalatdelapan rakaat, yang saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama, yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”.
Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata :
“Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang…
 “Artinya : Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya :
“Mana shalat Isyraq ?”
Dan setelah itu dia berkata :
“Itulah shalat Isyraq”
[Hasan Lighairihi; Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim]
Jabir bin Samurah rådhiyallåhu ‘anhu menyifati petunjuk nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam, ia mengatakan:
 “Beliau tidak berdiri dari tempat shalatnya -dimana beliau melakukan shalat shubuh- hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit, (maka) beliau berdiri (untuk shalat sunnah isyraq).”
[Shahiih Muslim (I/463) no. 670]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
 “Barangsiapa yang shalat shubuh dengan berjama’ah kemudian dia berdzikir kepada Allah Ta’ala sampai terbitnya matahari lalu dia shalat dua raka’at, maka pahalanya seperti pahala berhaji dan ‘umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”
(HR. At-Tirmidziy no.591 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy no.480, Al-Misykat no.971 dan Shahih At-Targhiib no.468, lihat juga Shahih Kitab Al-Adzkaar 1/213 karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy)
‘Aisyah radhiyallåhu ‘anha berkata:
 “…(Mereka duduk) hingga waktu yang dilarang untuk shalat telah berlalu, (kemudian) mereka mendirikan shalat
(AR. Bukhåriy no. 1522; dinukil dari applikasi hadits 9 imam, lidwa pusaka)
Untuk menunggu waktu tersebut, dapat kita gunakan untuk BERDZIKIR PAGI PETANG dan MEMBACA serta MEMPELAJARI al Qur-aan (beserta tafsirnya; spti: tafsir ibn katsir) untuk mendulang lebih banyak keutamaan.
4. Keutamaan dzikir pagi dan petang
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang dzikir pagi dan petang,
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, (dengan) dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
(QS. al-Ahzab: 41-43)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallma bersabda tentang keutamaan orang berdzikir pagi dan petang:
Aku duduk bersama orang-orang yang berdzikir kepada Allah dari mulai shalat shubuh sampai terbit matahari, lebih aku sukai daripada memerdekakan empat orang budak dari anak isma’il. Dan aku duduk bersama orang-orang yang berdzikir kepada Allah dari mulai shalat ‘Ashar sampai terbenam matahari, lebih aku cintai daripada memerdekakan empat orang budak.
(Hasan, HR. Abu Dawud)
Silahkan lihat lebih lanjut tentang dzikir pagi dan petang dan segala keutamaannya disini.
5. Keutamaan orang yang berpagi-pagi ke mesjid untuk membaca dan mempelajari al Qur-aaan
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
 “Berpagi hari atau bersore hari fi sabilillah adalah lebih baik daripada dunia seisinya…”
(Bukhariy Muslim)
Sedangkan pergi menuju mesjid, merupakan fii sabilillah.
Uqbah bin Amir Al Juhani berkata,
“Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami di Shuffah, beliau bersabda:
 “Siapa dari kalian yang menyukai berpagi-bagi berangkat ke Buthhan atau Al Aqiq (nama tempat), lalu setiap harinya datang dengan membawa dua ekor unta yang besar punuknya lagi gemuk, ia ambil unta tersebut tanpa berbuat dosa dan dan memutuskan silaturahmi?”
Uqbah berkata;
“Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami semua menginginkan hal itu”…”
beliau bersabda:
 “Sungguh, seorang dari kalian berpagi-pagi berangkat ke Masjid lalu ia mempelajari dua ayat dari Kitabullah (Al Qur’an) adalah lebih baik baginya daripada dua ekor Unta. Dan tiga ayat lebih baik daripada tiga ekor unta serta empat ayat juga lebih baik dari pada empat ekor unta dan dari sejumlah unta.”
[HR. Ahmad, dishahiihkan oleh syaikh al-albaaniy dalam shahiihul jaami']
dalam riwayat Abu Dawud lafazhnya:
 “Sungguh salah seorang diantara kalian setiap hari datang ke Masjid, mempelajari dua ayat dari Kitab Allah ‘azza wajalla adalah lebih baik baginya daripada dua ekor unta, dua ayat lebih baik daripada tiga unta, seperti bilangan-bilangan unta tersebut.”
[ HR. Abu Dawud (sanadnya shahiih, dishahiihkan oleh syaikh al-albaaniy dalam shahiih abi dawud)]
Allåhu Akbar, Alangkah banyaknya keutamaan yang bisa kita peroleh..
Allåh berfirman,
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. al-Munafiqun: 9)
(Sumber: Abu Zuhriy)
Doa Hisnul Muslim - 24 dzikir pagi dan petang

Powered by mp3skull.com

Tahukah Anda Apa Itu SHALAT WUSTHA…?


Sebagai seorang muslim yang insya Allah dalam kesehariannya selalu disibukkan dengan membaca alquran, maka tentu kita pernah membaca sebuah ayat tentang shalat wustha. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala…
 “Peliharalah semua shalat(mu), dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (QS. Al Baqarah : 238)
Tahukah kita sekalian tentang apa yang dimaksud dengan shalat wustha…?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan melalui Ali radliyallahu’anhu bahwa ketika perang Ahzab, dikatakan oleh beliau,” Kami dibuat lalai (oleh musuh) dari shalat wustha, yaitu shalat ‘ashar. Semoga Allah memenuhi rumah – rumah dan kuburan mereka dengan api neraka.” (HR. Muslim, I/205, 437 dan 627)
Dari hadits yang agung itu, dapat kita ketahui bahwa shalat yang memiliki kata lain sebagai shalat wustha adalah shalat ‘ashar.
Mengapa Allah ta’ala memberikan tempat terkhusus dalam kitab-Nya yang menjelaskan tentang keharusan memelihara atau menjaga shalat ‘ashar…? Tentunya ada keistimewaan tersendiri yang terdapat pada shalat ‘ashar serta ada ancaman yang besar bagi siapapun yang meninggalkan shalat tersebut.
Di antara keistimewaan shalat wustha atau shalat ‘ashar adalah
1.  Shalat yang oleh Malaikat langsung dikabarkan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ketahuilah, bahwa ada 2 waktu dimana malaikat yang menyertai setiap manusia, akan naik ke atas langit dan mengabarkan kepada Allah ta’ala tentang apa yang kita lakukan saat itu. 2 waktu tersebut adalah waktu shubuh dan waktu ‘ashar.
Abu Hurairah radliyallahu’anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda…
“ Para malaikat penyerta malam dan malaikat penyerta siang akan silih berganti mendatangi kalian. Mereka berkumpul pada saat shalat shubuh dan shalat ‘ashar. Kemudian malaikat  malaikat tersebut naik ke atas langit sehingga Allah ta’ala bertanya kepada mereka, “ dalam keadaan bagaimana kalian tinggalkan hamba – hamba-Ku…?” (Allah ta’ala lebih tahu terhadap apa yang Dia tanyakan).
Kemudian para malaikat menjawab,” Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat pula.”(HR. Al Bukhari, no. 555 dan HR. Muslim, no. 632)
Maka hendaknya seorang muslim yang baik menyegerakan mengerjakan shalat shubuh dan ‘ashar-nya di awal waktu.
2.  Shalat yang dengannya, Allah ta’ala akan berikan nikmat melihat dzat Allah tanpa berdesakan di Surga.
Telah masyhur bagi seorang muslim bahwa setiap muslim yang hidup di dunia ini, yang bertauhid seutuhnya kepada Allah ta’ala, maka baginya akan mendapatkan balasan surganya Allah ta’ala. Dan kenikmatan terbesar yang akan didapati oleh para ahli surga adalah nikmat melihat dzat Allah ta’ala. Salah satu jalan pintas untuk mendapatkan kenikmatan tersebut adalah dengan menjalankan dengan segera shalat ‘ashar di awal waktu.
Jarir ibnu ‘Abdillah mengabarkan bahwa suatu malam, beliau pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang melihat bulan purnama. Kemudian Nabi bersabda…
“ Sungguh kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini,.Dan kalian tidak akan saling berdesakan untuk meihatNya. Maka, jika kalian mampu untuk tidak terkalahkan dalam melaksanakan shalat sebelum terbit matahari (shubuh) dan menyegerakan shalat sebelum terbit matahari (‘ashar), maka lakukanlah…! Kemudian beliau membaca sebuah ayat…
 “ Dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya..” (QS. Qaaf : 39) (HR. Al Bukhari, no. 554 dan HR. Muslim, no. 633)
3.  Shalat yang bisa mengantarkan ke surga.
Abu Musa radliyallahu’anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda…
“ Barangsiapa yang mengerjakan shalat pada dua waktu (subuh dan ‘ashar) maka niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Al Bukhari, no. 574 dan HR. Musim, no. 635)
4.  Shalat yang oleh Rasulullah ‘alaihi ash shalatu wa salam, beliau kerjakan selalu di awal waktu.
Anas radliyallahu’anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat ‘ashar di waktu matahari masih tinggi lagi terang dimana jika ada seorang pergi ke kampong ‘Awali, maka dia akan sampai di sana ketika matahari masih tinggi. (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Al Bukhari 550 yang tercantum di buku Fathul Baari, II/28)
Namun, disamping keistimewaan yang akan didapat bagi siapapun yang menyegerakan untuk mengerjakan shalat shubuh dan shalat ‘ashar, maka sudah barangtentu ada sebuah ancaman yang besa bagi siapa saja yang menyepelekan atau bahkan tidak mengerjakan shalat wustha’ ini. Di antara ancaman bagi orang yang menyepelekan shalat ‘ashar ini adalah:
1.  Dosa orang yang meninggalkan shalat ashar seperti orang yang dikurangi (anggota) keluarganya dan seluruh harta bendanya.
‘Abdullah bin Umar radliyallahu’anhuma mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “ Orang yang tidak mengerjakan shalat ‘ashar adalah seperti yang dikurangi (anggota) keluarganya dan seluruh harta bendanya.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Muslim, no. 626 dan HR. At Tirmidzi, no. 113)
2.  Meninggalkan shalat ‘ashar akan menggugurkan seluruh amalan.
Dari Buraidah radilyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Barangsiapa yang meninggalkan shalat ‘ashar, maka gugurlah seluruh amalannya…!” (Hadits Shahih, An Nasa’I no. 497)
3.  Mengakhirkan shalat ‘ashar, adalah salah satu tanda orang MUNAFIK.
Banyak di antara kita yang tersibukkan urusan dunia sehingga merasa berat untuk melaksanakan shalat ‘ashar tepat di awal waktunya. Bahkan banyak pula di antaranya yang mengakhirkan shalat ini. Padahal andai kita semua tahu hadits ini…
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Itu adalah shalatnya orang MUNAFIK…!!! Seseorang duduk – duduk dan mengamati matahari hingga apabila matahari berada di antara dua ujung tanduk syaithan, ia mengerjakan empat rakaat (shalat ‘ashar) dengan cepat, dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali hanya sedikit saja.” (Shahih, HR. Abu Dawud, no. 399 dan HR. An Nasa’I, I/254)
Jika keutamaan mengerjakan shalat wustha/ shalat ‘ashar tepat di awal waktu adalah sedemikian menggiurkan, apakah lantas kita masih berleha – leha dan bersantai ria untuk mengerjakannya…? Maka sunguh akan merugi orang yang demikian ini…
Dan jika ancaman yang ditebarkan oleh Allah ta’ala bagi orang – orang yang lalai terhadap shalat ‘ashar, adalah sedemikian kerasnya, maka apakah kita masih berniat menunda – nunda dan menganggapnya dengan sebelah mata…? Sungguh akan celakalah orang – orang yang semacam ini…
Akhirul kalam, semoga Allah ta’ala melindungi saya dan setiap orang – orang yang matanya tertuju pada tulisan ini, serta memberikan hidayah taufiq kepada kita untuk bias mengerjakan shalat wustha atau shalat ‘ashar dengan tepat waktu….
—+++—
(Sumber: alfitrahs)

Arti Ibadah - Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat


Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51:56).

Banyak orang yang salah paham dalam memahami arti dari ibadah. Mereka menganggap ibadah hanyalah terbatas pada 5 hal yang tercantum dalam rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Padahal sebenarnya ibadah sendiri tidak mempunyai arti sesempit itu. Ibadah secara bahasa, menurut kamus al-Muhith tulisan Imam al-Fairuz Abadi, artinya adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasaat fi al-Fikri al-Islami, memiliki dua arti: umum dan khusus. Arti ibadah secara umum “ inilah yang dimaksud oleh ayat 56 dari surah Adz-Dzariaat “ adalah mentaati segala ketentuan Allah baik menyangkut perintah maupun larangan. Secara khusus, ibadah berarti tiap kegiatan ritual dalam hubungan antara manusia dengan Allah, seperti shalat, puasa, doa, tilawah, sujud syukur, haji dan sebagainya (ibadah mahdah). Makna ibadah dalam arti khusus inilah yang dipakai dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqih.
Syarat diterimanya ibadah ada 2:
1)
Ikhlas. Meniatkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata, tidak diselipkan keinginan-keinginan duniawi yang lain. Misalnya ingin mendapat pujian, ingin menarik hati lawan jenis, dll
Bahwasan-nya segala amal perbuatan itu tergantung pada niat, …” (HR. Bukhari-Muslim)
2)
Sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul
Ajaran Islam sudah sempurna.
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai agama bagimu. (QS Al-Maidah:3). Quran dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)). Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Quran dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bidah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat. (HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu ‘anhu)
Coba antum bayangkan bila ada yang mengerjakan shalat Shubuh 4 rakaat, apakah ada dalil yang melarangnya? Tidak. Tapi hal tersebut tidak ada tuntunannya, dan tuntunan yang jelas mengatakan Shalat Shubuh 2 rakaat. Maka bila ada yang mengerjakan shalat shubuh 4 rakaat sesatlah dia. Mengenai batasan bidah, ada beberapa perbedaan pendapat. Secara garis besar dibedakan menjadi 2 kelompok :
Kelompok Pertama 
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh 
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh 
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil 
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.” 
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. 
Kelompok Kedua 
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (
tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh 
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh 
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil 
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah
Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
 Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bidah terbagi dua;
a.
 Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b.
 Bidah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
Namun dalam kaitannya dengan bidah dalam agama, para ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian :
Pertama :
 Bidah perkataan yang berkaitan dengan masalah Itiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu
tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mutazilah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua:
 Bidah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syarinya. Bidah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a.
 Bidah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b.
 Bidah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c.
 Bidah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d.
 Bidah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Syaban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Saudaraku, mari kita evaluasi kembali ibadah kita. Apakah selama ini ibadah yang kita lakukan sudah sesuai tuntunan? Apakah didasari dalil yang shahih? Atau cuma sekedar ikut-ikutan saja? Atau cuma asal-asalan saja? Mari pelajari Islam lebih mendalam. (fmipaugm)
� + p a 0� �ߕ u nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai agama bagimu. (QS Al-Maidah:3). Quran dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)). Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Quran dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bidah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bidah, dan setiap bidah adalah sesat. (HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu ‘anhu)
Coba antum bayangkan bila ada yang mengerjakan shalat Shubuh 4 rakaat, apakah ada dalil yang melarangnya? Tidak. Tapi hal tersebut tidak ada tuntunannya, dan tuntunan yang jelas mengatakan Shalat Shubuh 2 rakaat. Maka bila ada yang mengerjakan shalat shubuh 4 rakaat sesatlah dia. Mengenai batasan bidah, ada beberapa perbedaan pendapat. Secara garis besar dibedakan menjadi 2 kelompok :
Kelompok Pertama 
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh 
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh 
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil 
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.” 
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. 
Kelompok Kedua 
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (
tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh 
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh 
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil 
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah
Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
 Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bidah terbagi dua;
a.
 Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b.
 Bidah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
Namun dalam kaitannya dengan bidah dalam agama, para ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian :
Pertama :
 Bidah perkataan yang berkaitan dengan masalah Itiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu
tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mutazilah yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua:
 Bidah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syarinya. Bidah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a.
 Bidah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b.
 Bidah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c.
 Bidah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d.
 Bidah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Syaban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Saudaraku, mari kita evaluasi kembali ibadah kita. Apakah selama ini ibadah yang kita lakukan sudah sesuai tuntunan? Apakah didasari dalil yang shahih? Atau cuma sekedar ikut-ikutan saja? Atau cuma asal-asalan saja? Mari pelajari Islam lebih mendalam. (fmipaugm)

Diberdayakan oleh Blogger.