Bagaimana Sholat Orang Yang Sedang Sakit ?
Syari’at islam
dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tidak ada satu
pun beban syari’at yang diwajibkan kepada seorang di luar kemampuannya. Allah
Ta’ala sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.(Qs. Al-Baqarah/2:286)
Allah Ta’ala juga
memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan ketakwaan menurut kemampuan
mereka dalam firman-Nya:
Maka bertaqwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)
Orang yang sakit
tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha melaksanakan kewajibannya
menurut kemampuan masing-masing. Dengan ini nampaklah keindahan syari’at dan
kemudahannya.
Diantara kewajiban
agung yang harus dilakukan orang yang sakit adalah sholat. Banyak sekali kaum muslimin yang
kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau
memaksakan diri sholat dengan tata-tata cara yang
biasa dilakukan orang sehat. Akhirnya merasakan beratnya sholat bahkan merasakan hal itu
sebagai beban yang menyusahkannya.
Solusinya adalah
kewajiban mengenal hukum-hukum dan tata cara sholat orang yang sakit sesuai
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penjelasan para ulama.
Hukum-Hukum yang
berhubungan dengan sholat orang sakit
Di antara
hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit dalam ibadah sholatnya adalah:
1. Orang yang sakit
tetap wajib sholat diwaktunya dan melaksanakannya menurut kemampuannya [1],
sebagaimana diperintahkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
Maka bertaqwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghâbûn/ 64:16) dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits ‘Imrân bin Hushain:
Pernah Penyakit
wasir menimpaku, lalu akau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang cara sholatnya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Sholatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak
mampu juga maka berbaringlah.” (HR al-Bukhari no. 1117)
2. Apabila berat melakukan setiap sholat pada waktunya
maka diperbolehkan baginya untuk men-jama’ (menggabung) antara shalat Zhuhur
dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya baik dengan jama’ taqdim atau ta’khir [2]. Hal ini
melihat kepada yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh
dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara
dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma yang
menyatakan:
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib
dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib berkata: Aku
bertanya kepada Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma: Mengapa beliau berbuat demikian?
Beliau radhiallahu ‘anhuma menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR Muslim no. 705)
Dalam hadits diatas
jelaslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembolehkan kita
menjama’ sholat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (masyaqqoh)
dan jelas sakit merupakan masyaqqah. Hal ini juga dikuatkan dengan
menganalogikan orang sakit kepada orang yang terkena istihaadhoh yang
diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
mengakhirkan sholat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib dan
mempercepat Isya’. [3]
3. Orang yang sakit
tidak boleh meninggalkan sholat wajib dalam segala kondisinya selama akalnya
masih baik [4].
4. Orang sakit yang
berat untuk mendatangi masjid berjama’ah atau akan menambah
dan atau memperlambat kesembuhannya bila sholat berjamaah dimasjid maka
dibolehkan tidak sholat berjama’ah [5]. Imam Ibnu al-Mundzirrahimahullah menyatakan:
Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara ulama bahwa orang sakit
dibolehkan tidak sholat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di Masjid dan berkata:
Perintahkan Abu
Bakar agar mengimami sholat. (Muttafaqun
‘Alaihi) [6]
Tata cara sholat
orang yang sakit
Tata cara shalat orang
sakit dapat diringkas dalam keterangan berikut ini:
a. Diwajibkan atas
orang yang sakit untuk sholat berdiri apabila mampu dan tidak khawatir sakitnya
bertambah parah, karena berdiri dalam sholat wajib adalah salah satu rukunnya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Berdirilah untuk
Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. (Qs. Al-Baqarah/2:238) dan keumuman hadits ‘Imrân di atas.
Diwajibkan juga
orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat atau bersandar ke
tembok atau berpegangan dengan tiang berdasarkan hadits Ummu Qais radhiallahu
‘anha yang berbunyi:
Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah maka
beliau memasang tiang di tempat sholatnya untuk menjadi sandaran.(HR Abu Daud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah
Ash-Shohihah 319). Demikian juga orang bongkok diwajibkan berdiri
walaupun keadaannya seperti orang rukuk. [7]
Syeikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah berkata, “Diwajibkan berdiri atas
seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar
kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia.” [8]
b. Orang sakit yang
mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud tetap
tidak gugur kewajiban berdirinya. Ia harus sholat berdiri dan bila tidak bisa
rukuk maka menunduk untuk rukuk Bila tidak mampu membongkokkan punggungnya sama
sekali maka cukup dengan menundukkan lehernya, Kemudian duduk lalu menunduk
untuk sujud dalam keadaan duduk dengan mendekatkan
wajahnya ke tanah sedapat mungkin. [9]
c. Orang sakit yang
tidak mampu berdiri maka melakukan sholat wajib dengan duduk, berdasarkan
hadits ‘Imrân bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan,
“Para ulama telah ber-ijma’ (bersepakat -ed) bahwa orang yang tidak mampu
shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk.” [10]
d. Orang sakit yang
dikhawatirkan akan menambah parah sakitnya atau memperlambat kesembuhannya atau
sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat dengan duduk [11]. Syeikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Yang benar adalah kesulitan
(masyaqqah) membolehkan sholat dengan duduk. Apabila seorang merasa
susah shalat berdiri maka ia boleh shalat dengan duduk, berdasarkan firman
Allah Ta’ala:
Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Qs. Al-Baqarah/2:185)
Sebagaimana juga
bila berat berpuasa bagi orang yang sakit walaupun masih mampu diperbolehkan
berbuka dan tidak berpuasa maka demikian juga bila susah berdiri maka ia
dibolehkan shalat dengan duduk.” [12]
Orang yang sakit
apabila sholat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada posisi berdirinya
berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
Aku melihat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat dengan bersila. [13]
Juga karena bersila
secara umum lebih enak dan tuma’ninah (tenang) dari duduk iftirâsy [14].
Apabila rukuk maka
rukuk dengan bersila dengan membungkukkan punggungnya dan meletakkan tangannya
di lututnya, karena ruku’ berposisi berdiri. [15]
Dalam keadaan
demikian masih diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumuman hadits Ibnu
Abas radhiallahu ‘anhuma yang berbunyi:
Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk
bersujud dengan tujuh tulang; Dahi –dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya
ke hidung- kedua telapak tangan, dua kaki dan ujung kedua telapak kaki.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Bila tidak mampu
juga maka ia meletakkan kedua telapak tangannya ketanah dan menunduk untuk
sujud. Bila juga tidak mampu maka hendaknya ia meletakkan tangannya dilututnya
dan menundukkan kepalanya lebih rendah dari pada ketika ruku’. [16]
e. Orang sakit yang
tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk maka boleh melakukannya dengan
berbaring miring, boleh dengan miring ke kanan atau ke kiri dengan menghadapkan
wajahnya ke arah kiblat. Hal ini dilakukan dengan dasar sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Imrân bin al-Hushain:
Shalatlah dengan
berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka
berbaringlah. (HR
al-Bukhari no. 1117)
Dalam hadits ini
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan sisi mana
ke kanan atau ke kiri sehingga yang utama adalah yang termudah dari keduanya.
Apabila miring ke kanan lebih mudah maka itu yang lebih utama dan bila miring
ke kiri itu yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya
sama mudahnya maka miring ke kanan lebih utama dengan dasar keumuman hadits
‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang berbunyi:
Dahulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suka mendahulukan sebelah kanan dalam
seluruh urusannya, dalam memakai sandal,
menyisir dan bersucinya.(HR
Muslim no 396). Kemudian melakukan ruku’ dan sujud dengan isyarat menundukkan
kepala ke dada dengan ketentuan sujud lebih rendah dari ruku’.
Apabila tidak mampu
menggerakkan kepalanya maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
Melakukannya dengan
mata. Sehingga apabila ruku’ maka ia memejamkan matanya sedikit kemudian
mengucapkan kata سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ lalu membuka matanya. Apabila sujud maka
memejamkan matanya lebih dalam.
Gugur semua gerakan
namun masih melakukan sholat dengan perkataan.
Gugur kewajiban
sholatnya dan inilah pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Syeikh Ibnu
Utsaimin merojihkan pendapat kedua dengan menyatakan, “Yang rojih dari tiga
pendapat tersebut adalah gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak
mampu dilakukan. Sedangkan perkataan maka ia tidak gugur karena ia mampu
melakukannya dan Allah berfirman:
Maka bertaqwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)” [17]
f. Orang sakit yang
tidak mampu berbaring miring, maka boleh melakukan shalat dengan terlentang dan
menghadapkan kakinya ke arah kiblat karena hal ini lebih dekat kepada cara
berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah
timur dan kakinya di arah barat. [18]
g. Apabila tidak
mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkannya atau membantu mengarahkannya
ke kiblat, maka shalat sesuai keadaannya tersebut, berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.(Qs. Al-Baqarah/2:286)
h. Orang sakit yang
tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalat sesuai keadaannya dengan dasar
firman Allah Ta’ala:
Maka bertaqwalah
kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)
i. Orang yang sakit
dan tidak mampu melakukan seluruh keadaan di atas. Ia tidak mampu menggerakkan
anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan matanya, maka ia sholat dengan
hatinya. Shalat tetap diwajibkan selama akal seorang masih sehat.
j. Apabila orang
sakit mampu di tengah-tengah shalat melakukan perbuatan yang sebelumnya ia
tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia melaksanakan
sholatnya dengan yang ia telah mampui dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak
perlu mengulang yang telah lalu karena yang telah lalu dari sholat tersebut
telah sah. [19]
k. Apabila orang
sakit tidak mampu sujud di atas tanah, maka ia menundukkan kepalanya untuk
sujud di udara dan tidak mengambil sesuatu sebagai alas sujud. Hal ini
didasarkan kepada hadits Jâbir yang berbunyi:
Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang sakit lalu melihatnya
sholat di atas (bertelekan) bantal, lalu beliau mengambilnya dan melemparnya.
Lalu ia mengambil kayu untuk dijadikan alas sholatnya, lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengambilnya dan melemparnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sholatlah di atas tanah apabila ia mampu dan bila tidak maka
dengan isyarat dengan menunduk (al-Imâ’) dan menjadikan sujudnya lebih rendah
dari ruku’nya.” [20]
Demikianlah
sebagian hukum-hukum yang berkenaan dengan sholat orang yang sakit,
mudah-mudahan dapat memberikan pencerahan kepada orang sakit mengenai shalat
mereka. Dengan harapan setelahnya mereka tidak meninggalkan shalat hanya karena
sakit yang dideritanya. Wabillahi at-taufiq.
Maraji’:
Syarhu al-Mumti’
‘Ala Zaad al-Mustaqni’, Syeikh
Ibnu Utsaimin
Manhaj
as-Saalikin, Syiekh
Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di
Shohih Fikih
Sunnah, Syeikh Kamaal as-Sayid
Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi
Fatâwa al-Lajnah
ad-Dâimah Lil Buhûts al-’Ilmiyah wa al-Ifta’
Silsilah
al-Ahâdits ash-Shohihah,
Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
Irwa’ al-Ghalîl, Syeikh al-Albani
Dll.
Footnotes:
[1] Lihat Fatawa
Lajnah ad-Dâ`imah 8/71 (no. 10527 )
[2] Lihat Manhaj
as-Saalikin hlm 82.
[3] Hal ini ada
dalam hadits Hamnah bintu Jahsy yang diriwayatkan Abu Daud dan dinilai hasan
oleh Syeikh al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Gholîl no. 188
lihat jugaShohih Fikih Sunnah 1/514
[4] Lihat Fatâwa
Lajnah ad-Dâ’imah 8/69 (no. 782)
[5] Lihat Manhaj
as-Sâlikin hlm 82
[6] Lihat Shohih
Fikih Sunnah 1/512-513
[7] Lihat al-Mughni 2/571
[8] Syarhu
al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ 4/459
[9] Lihat al-Mughni 2/572
[10] al-Mughni 2/570
[11] al-Mughni 2/571
[12] Syarhu
al-Mumti’ 4/461
[13] HR. An-Nasâ’I
no. 1662 dan dishohihkan al-Albani dalam Shohih Sunan an-Nasâ’i 1/538.
[14] Lihat Syarhu
al-Mumti’ 4/462-463
[15] Demikian yang
dirojihkan Syeikh Ibnu Utsaimin dalam Syarhu al-Mumti’ 4/463
[16] Syarhu
al-Mumti’ 4/466-467
[17] Ibid 4/467
[18] Ibid 4/465
[19] Lihat al-Mughni 2/577, Majmu’
Fatawa Syeikh bin Baaz 12/243 dan Syarhu al-Mumti’ 4/472-473.
[20] HR. al-Baihaqi
dalam Sunan al-Kubro 2/306 dan Syeikh al-Albani dalam Silsilah
ash-Shohihah no. 323 menyatakan: “Yang pasti bahwa hadits ini
dengan kumpulnya jalan periwayatannya adalah shohih.”
***
Penulis: Ustadz
Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber: www.ekonomisyariat.com
Sumber: www.ekonomisyariat.com
Berbagai Keutamaan Dari Shubuh Hingga Syuruq (plus Dzikir Pagi Petang-AUDIO)
1.Keutamaan shalat shubuh
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
(QS. Al Isra: 78)
Rasululloh bersabda:
Barangsiapa sholat isya’ di dalam jama’ah,
hal itu seperti sholat setengah malam. Dan barangsiapa sholat isya’ dan subuh
di dalam jama’ah, hal itu seperti sholat semalam suntuk
(HR. Abu Dawud)
Belum lagi ditambah dengan keutamaan shalat qabliyah shubuh, yang dimana Rasulullah shallallahu
‘alayhi wa sallam bersabda:
“Dua
raka’at Shalat Fajr (shalat qabliyah
shubuh) lebih baik dari pada dunia dan seisinya.”
[HR. Muslim]
Bukti kelurusan iman seseorang; karena
Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam
tentang shalat shubuh bersabda:
“Sesungguhnya
shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan Shubuh, jika
mereka mengetahui pahalanya, niscaya mereka mendatanginya kendatipun dengan
merangkak.”
(HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Maka tentu, orang yang baik keimanannya;
tidak akan merasa berat dengan kedua shalat ini.
2. Keutamaan shalat berjama’ah
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam
tentang shalat berjamaah:
“Shalat berjama’ah LEBIH AFDHAL dua puluh tujuh
derajat daripada shalat sendirian”
[Muttafaqun 'alayh]
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda:
Sesungguhnya shalat seseorang yang
berjamaah dengan satu orang, adalah lebih baik daripada shalat sendirian. Dan
shalatnya bersama dua orang jamaah, adalah lebih baik daripada shalat bersama seorang jamaah. Semakin banyak jama’ahnya,
maka semakin dicintai oleh Allah Ta’ala.”
(Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam
Sunan-nya, kitab Ash Shalat bab Fi Fadhli Shalatul
Jama’ah no.467, An-Nasaa’i dalam sunannya kitab Al Imamah bab Al jama’ah idza
kaana Itsnaini no.834, Ahmad dalam Musnad-nya no.20312 dan Al Haakim dalam
Mustadrak-nya 3/269. Hadits ini di-shahih-kan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya,
2/366-367, no. 1477)
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda:
“Sekiranya
salah seorang dari kalian mengetahui bahwa bila dia ikut shalat berjama’ah denganku maka dia akan mendapatkan pahala
yang lebih besar dari seekor kambing yang gemuk atau dua ekor kambing yang
gemuk, niscaya dia akan melakukannya. Padahal apa-apa yang diperolehnya dari
pahala (tersebut) lebih afdhål baginya.”
(Shåhiih, HR. Ahmad; dishahihkan
asy-Syaikh Ahmad Syaakir)
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda:
”Shalat seseorang dengan berjamaah lebih
berlipat pahalanya 25 derajat daripada shalatnya
di rumahnya atau di kedai pasarnya…..”
Kemudian Råsulullåh bersabda:
“Yang
demikian itu karena bila dia berwudhu’ dengan menyempurnakan wudhu’nya lalu
menuju ke masjid, yang dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat
jamaah, tidak bergerak kecuali untuk shalat (berjama’ah).
Maka tidak ada satu langkahpun dari
langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat baginya atau akan dihapuskan
satu kesalahannya.
Dan Malaikat akan mendo’akan salah seorang
dari kalian selama dia masih pada tempat shalatnya yang dia dijadikannya
sebagai tempat shalatnya, (do’a malaikat tersebut):
“Ya
Allah, berilah shalawat untuknya. Ya Allah, rahmatilah dia, selama dia belum
berhadats dan tidak menyakiti orang lain disana “.
Dan Beliau bersabda:
“Salah
seorang diantara kalian sudah dianggap mendirikan shalat, ketika menunggu waktu shalat didirikan”.
(HR.Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda
“Barangsiapa
berwudlu kemudian keluar untuk melaksanakan shalat, maka ia dalam hitungan shalat hingga ia kembali ke rumahnya. Maka janganlah kalian
melakukan demikian, yaitu menjalin jari-jari.”
[HR. Ibnu Khuzaimah no. 439, Al-Haakim
1/206, dan Ad-Daarimi no. 1446; shahih].
Dari Abu Ummamah Al-Hanaath : Bahwasannya
Ka’b bin ‘Ujrah bertemu dengannya saat ia hendak pergi ke masjid. Mereka saling
bertemu waktu itu. Ka’b melihatku sedang menjalinkan jari-jemariku (tasybik),
kemudian ia melarangku dan berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
‘Apabila
salah seorang diantara kalian wudlu, membaguskan wudlunya, kemudian pergi
menuju masjid; maka janganlah ia menjalinkan jari-jemarinya (tasybik).
Sesungguhnya ia dalam keadaan shalat”
[HR. Abu Dawud no. 562; At-Tirmidzi no.
386; Ahmad 4/241,242, 243; Ibnu Khuzaimah no. 441; Ad-Daarimi no. 1444; dan
yang lainnya – shahih].
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam
tentang shalat berjamaah:
“Barangsiapa
yang shalat 40 hari ikhlash kepada Allåh secara berjamaah, dan
mendapati takbiratul ihram, niscaya ditulis baginya dua pembebasan; pembebasan
dari Neraka dan pembebasan dari kemunafikan.”
(HR. At-Tirmidzi, shahih)
3. Keutamaan tetap duduk hingga waktu syuruq dan shalat sunnah syuruq
Shalat isyraq adalah shalat dua raka’at
yang dilaksanakan setelah melaksanakan shalat shubuh; lalu ia duduk ditempat ia
shalat menunggu waktu syuruq; kemudian shalat isyraq ketika memasuki waktu tersebut. waktu syuruq
kira-kira 90 menit setelah adzan shubuh. Silahkan lihat disini jadwal syuruq disini. Maka
ketika masuk waktu syuruq berdasarkan jadwalnya, maka KITA TIDAK LANGSUNG
SHALAT SUNNAH SYURUQ, karena waktu tersebut adalah waktu DIHARAMKAN UNTUK SHALAT, akan tetapi menunggu kira-kira 15 menit (sebagaimana
nanti akan dijelaskan dalam atsar ‘aa-isyah radhiyallahu ‘anha).
Waktu isyraq merupakan AWAL WAKTU DHUHA;
sehingga orang yang melaksanakan shalat isyraq berarti ia telah melaksanakan shalat dhuha.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal,
bahwa Ibnu Abbas tidak shalatDhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu
Hani’ dan kukatakan :
“Beritahukan kepadanya apa yang telah
engkau beritahukan kepdaku”.
Lalu Ummu Hani berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah masuk ke rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu
beliau minta dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu
minta dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara
diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan
ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalatdelapan
rakaat, yang saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya
adalah sama, yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”.
Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata
:
“Aku pernah membaca di antara dua papan,
aku tidak pernah mengenal shalat Dhuha
kecuali sekarang…
“Artinya
: Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya :
“Mana shalat Isyraq ?”
Dan setelah itu dia berkata :
“Itulah shalat Isyraq”
[Hasan Lighairihi; Diriwayatkan oleh
Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim]
Jabir bin Samurah rådhiyallåhu ‘anhu
menyifati petunjuk nabi shållallåhu ‘alayhi wa sallam, ia mengatakan:
“Beliau
tidak berdiri dari tempat shalatnya -dimana beliau melakukan shalat shubuh-
hingga matahari terbit. Jika matahari telah terbit, (maka) beliau berdiri
(untuk shalat sunnah isyraq).”
[Shahiih Muslim (I/463) no. 670]
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam
bersabda:
“Barangsiapa
yang shalat shubuh dengan berjama’ah kemudian dia berdzikir kepada Allah Ta’ala
sampai terbitnya matahari lalu dia shalat dua raka’at, maka pahalanya seperti pahala berhaji dan
‘umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”
(HR. At-Tirmidziy no.591 dan dihasankan
oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy di dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy no.480,
Al-Misykat no.971 dan Shahih At-Targhiib no.468, lihat juga Shahih Kitab
Al-Adzkaar 1/213 karya Asy-Syaikh Salim Al-Hilaliy)
‘Aisyah radhiyallåhu ‘anha berkata:
“…(Mereka
duduk) hingga waktu yang dilarang untuk shalat telah berlalu, (kemudian) mereka
mendirikan shalat”
(AR. Bukhåriy no. 1522; dinukil dari
applikasi hadits 9 imam, lidwa pusaka)
Untuk menunggu waktu tersebut, dapat kita
gunakan untuk BERDZIKIR PAGI PETANG dan MEMBACA serta MEMPELAJARI al Qur-aan
(beserta tafsirnya; spti: tafsir ibn katsir) untuk mendulang lebih banyak
keutamaan.
4. Keutamaan dzikir pagi
dan petang
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
tentang dzikir pagi dan petang,
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, (dengan) dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, (dengan) dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.
(QS. al-Ahzab: 41-43)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallma
bersabda tentang keutamaan orang berdzikir pagi dan petang:
Aku duduk bersama orang-orang yang
berdzikir kepada Allah dari mulai shalat shubuh sampai terbit matahari, lebih
aku sukai daripada memerdekakan empat orang budak dari anak isma’il. Dan aku
duduk bersama orang-orang yang berdzikir kepada Allah dari mulai shalat ‘Ashar sampai terbenam matahari, lebih aku cintai
daripada memerdekakan empat orang budak.
(Hasan, HR. Abu Dawud)
Silahkan lihat lebih lanjut tentang dzikir
pagi dan petang dan segala keutamaannya disini.
5. Keutamaan orang yang berpagi-pagi ke
mesjid untuk membaca dan mempelajari al Qur-aaan
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam
bersabda:
“Berpagi
hari atau bersore hari fi sabilillah adalah lebih baik daripada dunia
seisinya…”
(Bukhariy Muslim)
Sedangkan pergi menuju mesjid, merupakan
fii sabilillah.
Uqbah bin Amir Al Juhani berkata,
“Pada suatu hari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam keluar menemui kami di Shuffah, beliau bersabda:
“Siapa
dari kalian yang menyukai berpagi-bagi berangkat ke Buthhan atau Al Aqiq (nama
tempat), lalu setiap harinya datang dengan membawa dua ekor unta yang besar
punuknya lagi gemuk, ia ambil unta tersebut tanpa berbuat dosa dan dan
memutuskan silaturahmi?”
Uqbah berkata;
“Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami
semua menginginkan hal itu”…”
beliau bersabda:
“Sungguh,
seorang dari kalian berpagi-pagi berangkat ke Masjid lalu ia mempelajari dua
ayat dari Kitabullah (Al Qur’an) adalah lebih baik baginya daripada dua ekor
Unta. Dan tiga ayat lebih baik daripada tiga ekor unta serta empat ayat juga
lebih baik dari pada empat ekor unta dan dari sejumlah unta.”
[HR. Ahmad, dishahiihkan oleh syaikh
al-albaaniy dalam shahiihul jaami']
dalam riwayat Abu Dawud lafazhnya:
“Sungguh
salah seorang diantara kalian setiap hari datang ke Masjid, mempelajari dua
ayat dari Kitab Allah ‘azza wajalla adalah lebih baik baginya daripada dua ekor
unta, dua ayat lebih baik daripada tiga unta, seperti bilangan-bilangan unta
tersebut.”
[ HR. Abu Dawud (sanadnya shahiih,
dishahiihkan oleh syaikh al-albaaniy dalam shahiih abi dawud)]
Allåhu Akbar, Alangkah banyaknya keutamaan
yang bisa kita peroleh..
Allåh berfirman,
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. al-Munafiqun: 9)
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS. al-Munafiqun: 9)
(Sumber: Abu Zuhriy)
Doa Hisnul Muslim - 24 dzikir pagi dan petangTahukah Anda Apa Itu SHALAT WUSTHA…?
Sebagai
seorang muslim yang insya Allah dalam kesehariannya selalu disibukkan dengan
membaca alquran, maka tentu kita pernah membaca sebuah ayat tentang shalat
wustha. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala…
“Peliharalah semua
shalat(mu), dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu’. (QS. Al Baqarah : 238)
Tahukah
kita sekalian tentang apa yang dimaksud dengan shalat wustha…?
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan melalui Ali radliyallahu’anhu bahwa
ketika perang Ahzab, dikatakan oleh beliau,” Kami dibuat lalai
(oleh musuh) dari shalat wustha, yaitu shalat ‘ashar. Semoga Allah memenuhi
rumah – rumah dan kuburan mereka dengan api neraka.” (HR. Muslim, I/205, 437 dan
627)
Dari
hadits yang agung itu, dapat kita ketahui bahwa shalat yang memiliki kata lain
sebagai shalat wustha adalah shalat ‘ashar.
Mengapa
Allah ta’ala memberikan tempat terkhusus dalam kitab-Nya yang menjelaskan
tentang keharusan memelihara atau menjaga shalat ‘ashar…? Tentunya
ada keistimewaan tersendiri yang terdapat pada shalat ‘ashar serta ada ancaman
yang besar bagi siapapun yang meninggalkan shalat tersebut.
Di
antara keistimewaan shalat wustha atau shalat ‘ashar adalah
1.
Shalat yang oleh Malaikat langsung dikabarkan kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ketahuilah,
bahwa ada 2 waktu dimana malaikat yang menyertai setiap manusia, akan naik ke
atas langit dan mengabarkan kepada Allah ta’ala tentang apa yang kita lakukan
saat itu. 2 waktu tersebut adalah waktu shubuh dan waktu ‘ashar.
Abu
Hurairah radliyallahu’anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda…
“
Para malaikat penyerta malam dan malaikat penyerta siang akan silih berganti
mendatangi kalian. Mereka berkumpul pada saat shalat shubuh dan shalat ‘ashar.
Kemudian malaikat malaikat tersebut naik ke atas langit sehingga Allah
ta’ala bertanya kepada mereka, “ dalam keadaan bagaimana
kalian tinggalkan hamba – hamba-Ku…?” (Allah ta’ala lebih tahu terhadap apa yang Dia
tanyakan).
Kemudian
para malaikat menjawab,” Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami
tinggalkan mereka dalam keadaan shalat pula.”(HR. Al Bukhari, no. 555 dan HR.
Muslim, no. 632)
Maka
hendaknya seorang muslim yang baik menyegerakan mengerjakan shalat shubuh dan
‘ashar-nya di awal waktu.
2.
Shalat yang dengannya, Allah ta’ala akan berikan nikmat melihat dzat Allah
tanpa berdesakan di Surga.
Telah
masyhur bagi seorang muslim bahwa setiap muslim yang hidup di dunia ini, yang
bertauhid seutuhnya kepada Allah ta’ala, maka baginya akan mendapatkan balasan
surganya Allah ta’ala. Dan kenikmatan terbesar yang akan didapati oleh para
ahli surga adalah nikmat melihat dzat Allah ta’ala. Salah satu jalan pintas
untuk mendapatkan kenikmatan tersebut adalah dengan menjalankan dengan segera
shalat ‘ashar di awal waktu.
Jarir
ibnu ‘Abdillah mengabarkan bahwa suatu malam, beliau pernah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang melihat bulan purnama.
Kemudian Nabi bersabda…
“
Sungguh kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan
purnama ini,.Dan kalian tidak akan saling berdesakan untuk meihatNya. Maka,
jika kalian mampu untuk tidak terkalahkan dalam melaksanakan shalat sebelum
terbit matahari (shubuh) dan menyegerakan shalat sebelum terbit matahari
(‘ashar), maka lakukanlah…! Kemudian beliau membaca sebuah
ayat…
“ Dan bertasbihlah sambil memuji Rabb-mu
sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya..” (QS. Qaaf : 39) (HR. Al
Bukhari, no. 554 dan HR. Muslim, no. 633)
3.
Shalat yang bisa mengantarkan ke surga.
Abu
Musa radliyallahu’anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda…
“
Barangsiapa yang mengerjakan shalat pada dua waktu (subuh dan ‘ashar) maka
niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Al Bukhari, no. 574 dan HR. Musim, no. 635)
4.
Shalat yang oleh Rasulullah ‘alaihi ash shalatu wa salam, beliau kerjakan
selalu di awal waktu.
Anas
radliyallahu’anhu mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengerjakan shalat ‘ashar di waktu matahari masih tinggi lagi terang dimana
jika ada seorang pergi ke kampong ‘Awali, maka dia akan sampai di sana ketika
matahari masih tinggi. (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Al Bukhari 550 yang tercantum
di buku Fathul Baari, II/28)
Namun,
disamping keistimewaan yang akan didapat bagi siapapun yang menyegerakan untuk
mengerjakan shalat shubuh dan shalat ‘ashar, maka sudah barangtentu ada sebuah
ancaman yang besa bagi siapa saja yang menyepelekan atau bahkan tidak
mengerjakan shalat wustha’ ini. Di antara ancaman bagi orang yang menyepelekan
shalat ‘ashar ini adalah:
1.
Dosa orang yang meninggalkan shalat ashar seperti orang yang dikurangi
(anggota) keluarganya dan seluruh harta bendanya.
‘Abdullah
bin Umar radliyallahu’anhuma mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda. “ Orang yang tidak mengerjakan shalat ‘ashar adalah seperti
yang dikurangi (anggota) keluarganya dan seluruh harta bendanya.” (Muttafaqun
‘alaihi, HR. Muslim, no. 626 dan HR. At Tirmidzi, no. 113)
2.
Meninggalkan shalat ‘ashar akan menggugurkan seluruh amalan.
Dari
Buraidah radilyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”
Barangsiapa yang meninggalkan shalat ‘ashar, maka gugurlah seluruh
amalannya…!”
(Hadits Shahih, An Nasa’I no. 497)
3.
Mengakhirkan shalat ‘ashar, adalah salah satu tanda orang MUNAFIK.
Banyak
di antara kita yang tersibukkan urusan dunia sehingga merasa berat untuk
melaksanakan shalat ‘ashar tepat di awal waktunya. Bahkan banyak pula di
antaranya yang mengakhirkan shalat ini. Padahal andai kita semua tahu hadits
ini…
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Itu adalah
shalatnya orang MUNAFIK…!!! Seseorang duduk – duduk dan mengamati matahari
hingga apabila matahari berada di antara dua ujung tanduk syaithan, ia
mengerjakan empat rakaat (shalat ‘ashar) dengan cepat, dan tidaklah mereka
menyebut nama Allah kecuali hanya sedikit saja.” (Shahih, HR. Abu Dawud, no.
399 dan HR. An Nasa’I, I/254)
Jika
keutamaan mengerjakan shalat wustha/ shalat ‘ashar tepat di awal waktu adalah
sedemikian menggiurkan, apakah lantas kita masih berleha – leha dan bersantai
ria untuk mengerjakannya…? Maka sunguh akan merugi orang yang demikian ini…
Dan
jika ancaman yang ditebarkan oleh Allah ta’ala bagi orang – orang yang lalai
terhadap shalat ‘ashar, adalah sedemikian kerasnya, maka apakah kita masih
berniat menunda – nunda dan menganggapnya dengan sebelah mata…? Sungguh akan
celakalah orang – orang yang semacam ini…
Akhirul
kalam, semoga Allah ta’ala melindungi saya dan setiap orang – orang yang
matanya tertuju pada tulisan ini, serta memberikan hidayah taufiq kepada kita
untuk bias mengerjakan shalat wustha atau shalat ‘ashar dengan tepat waktu….
—+++—
(Sumber: alfitrahs)
Arti Ibadah - Ustadz Abdul Hakim Bin Amir Abdat
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51:56).
Banyak orang yang
salah paham dalam memahami arti dari ibadah. Mereka menganggap ibadah hanyalah
terbatas pada 5 hal yang tercantum dalam rukun Islam, yaitu syahadat, shalat,
puasa, zakat dan haji. Padahal sebenarnya ibadah sendiri tidak mempunyai arti sesempit
itu. Ibadah secara bahasa, menurut kamus al-Muhith tulisan Imam
al-Fairuz Abadi, artinya
adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana dijelaskan
oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasaat
fi al-Fikri al-Islami,
memiliki dua arti: umum dan khusus. Arti ibadah secara umum “ inilah yang
dimaksud oleh ayat 56 dari surah Adz-Dzariaat “ adalah mentaati segala
ketentuan Allah baik menyangkut perintah maupun larangan. Secara khusus, ibadah
berarti tiap kegiatan ritual dalam hubungan antara manusia dengan Allah,
seperti shalat, puasa, doa, tilawah, sujud syukur, haji dan sebagainya (ibadah
mahdah). Makna ibadah dalam arti khusus inilah yang dipakai dalam pembahasan
kaidah-kaidah fiqih.
Syarat diterimanya ibadah ada 2:
1) Ikhlas. Meniatkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata, tidak diselipkan keinginan-keinginan duniawi yang lain. Misalnya ingin mendapat pujian, ingin menarik hati lawan jenis, dll
“Bahwasan-nya segala amal perbuatan itu tergantung pada niat, …” (HR. Bukhari-Muslim)
2) Sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul
Ajaran Islam sudah sempurna. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai agama bagimu. (QS Al-Maidah:3). Qur’an dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)). Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Qur’an dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bid’ah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu ‘anhu)
Syarat diterimanya ibadah ada 2:
1) Ikhlas. Meniatkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata, tidak diselipkan keinginan-keinginan duniawi yang lain. Misalnya ingin mendapat pujian, ingin menarik hati lawan jenis, dll
“Bahwasan-nya segala amal perbuatan itu tergantung pada niat, …” (HR. Bukhari-Muslim)
2) Sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul
Ajaran Islam sudah sempurna. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai agama bagimu. (QS Al-Maidah:3). Qur’an dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)). Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Qur’an dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bid’ah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu ‘anhu)
Coba antum
bayangkan bila ada yang mengerjakan shalat Shubuh 4 rakaat, apakah ada dalil
yang melarangnya? Tidak. Tapi hal tersebut tidak ada tuntunannya, dan tuntunan
yang jelas mengatakan Shalat Shubuh 2 rakaat. Maka bila ada yang mengerjakan
shalat shubuh 4 rakaat sesatlah dia. Mengenai batasan bid’ah, ada beberapa perbedaan pendapat. Secara garis
besar dibedakan menjadi 2 kelompok :
Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. ”
Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. ”
Kelompok Kedua
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Selain pembagian
di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit
berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua;
a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
Namun dalam
kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para
ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian :
Pertama : Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I’tiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Pertama : Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I’tiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Saudaraku, mari kita
evaluasi kembali ibadah kita. Apakah selama ini ibadah yang kita lakukan sudah
sesuai tuntunan? Apakah didasari dalil yang shahih? Atau cuma sekedar
ikut-ikutan saja? Atau cuma asal-asalan saja? Mari pelajari Islam lebih
mendalam. (fmipaugm)
� + p a 0� �ߕ u nikmat-Ku dan Aku ridho Islam sebagai
agama bagimu. (QS
Al-Maidah:3). Qur’an dan Hadist yang menjadi dasar hukum utama
yang tidak perlu ditambahkan atau dikurangi. Barang siapa yang menambah-nambah
ajaran Islam atau mengurangi maka sama saja ia beranggapan bahwa Islam belum
sempurna dan masih banyak kecacatan. Rasulllah bersabda “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya
dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)).
Perbuatan (amal) yang dimaksud di sini adalah amal ibadah. Maka barang siapa
yang berinovasi dalam ibadah, yang tidak ada tuntunannya dari Qur’an dan Hadist maka ia melakukan perbuatan Bid’ah. Sedangkan Rasulullah bersabda . Hati-hatilah
kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru
adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR.
Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah
(no. 42, 43, 44). Hasan Shahih, dari Shahabat ˜Irbadh bin Saariyah Radhiyallahu
‘anhu)
Coba antum
bayangkan bila ada yang mengerjakan shalat Shubuh 4 rakaat, apakah ada dalil
yang melarangnya? Tidak. Tapi hal tersebut tidak ada tuntunannya, dan tuntunan
yang jelas mengatakan Shalat Shubuh 2 rakaat. Maka bila ada yang mengerjakan
shalat shubuh 4 rakaat sesatlah dia. Mengenai batasan bid’ah, ada beberapa perbedaan pendapat. Secara garis
besar dibedakan menjadi 2 kelompok :
Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. ”
Kelompok Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Diantara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan m1 seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri.
Bisa kita nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij. Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut :
1. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu :
“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.”
2. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai bid’ah yaitu jenis bid’ah hasanah atau bid’ah yang baik.
3. Hadits-hadits yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut :
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. ”
Kelompok Kedua
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat.
Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh
Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah :
1. Bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT :
… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...(QS. Al-Maidah : 3)
2. Juga ayat berikut :
dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan , karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (QS> Al-An`am : 153)
3. Setiap ada hadits Rasulullah yang berbicara tentang bid’ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut :
…bahwa segala yang baru itu bid’ah dan semua bid’ah itu adalah sesat.
Selain pembagian
di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit
berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua;
a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
a. Bidah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asala dalam beragama adalah at-tauqief(menunggu dalil).
Namun dalam
kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para
ulama ternyata juga masih memilah lagi menjadi dua bagian :
Pertama : Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I’tiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Pertama : Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah I’tiqod
Seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam:
a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang anaa sebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu, shalat Maghrib 4 rakaat,
b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat shubuh menjadi tiga.
c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu.
d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya.
Saudaraku, mari kita
evaluasi kembali ibadah kita. Apakah selama ini ibadah yang kita lakukan sudah
sesuai tuntunan? Apakah didasari dalil yang shahih? Atau cuma sekedar
ikut-ikutan saja? Atau cuma asal-asalan saja? Mari pelajari Islam lebih
mendalam. (fmipaugm)
Diberdayakan oleh Blogger.