TATACARA SHOLAT ORANG SAKIT


Oleh : Asy Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hendaknya shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring miring, maka ia boleh shalat dengan berbaring telentang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada `Imran bin Hushain:
“Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika tidak mampu, maka dengan berbaring”. (HR. Bukhari).
Dan Imam An-Nasa’i menambahkan: “… lalu jika tidak mampu, maka sambil telentang”. Barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau sujud, maka kewajiban berdiri tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil berdiri, lalu ruku’ dengan isyarat (menundukkan kepala), kemudian duduk dan sujud dengan berisyarat, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“…Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu’.`”. (Al-Baqarah: 238).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Shalatlah kamu sambil berdiri”.
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (At-Taghabun: 16).
Dan jika pada matanya terdapat penyakit, sementara para ahli kedokteran yang terpercaya mengatakan:
“Jika kamu shalat bertelentang lebih memudahkan pengobatanmu”, maka boleh shalat telentang. Barangsiapa tidak mampu ruku`dan sujud, maka cukup berisyarat dengan menundukkan kepala pada saat ruku’ dan sujud, dan hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku`. Dan jika hanya tidak mampu sujud saja, maka ruku` (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat. Jika ia tidak dapat membungkukkan punggungnya, maka ia membungkukkan lehernya; dan jika punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang ruku`, maka apabila hendak ruku`, ia lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semampunya hingga mukanya lebih mendekati tanah se-mampunya. Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (berakal), karena dalil-dalil tersebut di atas. Dan apabila ditengah-tengah shalat si penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan sebelumnya, seperti berdiri, ruku`, sujud atau berisyarat dengan kepala, maka ia berpindah kepadanya (melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut. Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melakukan shalat atau karena lainnya, ia wajib menunaikannya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh menundanya kepada waktu berikutnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu”. Lalu beliau membaca firman Allah:
“dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu”. (Thaha: 14).
Tidak boleh meninggalkan shalat dalam keadaan bagaimanapun; bahkan setiap mukallaf wajib bersungguh-sungguh untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia sehat. Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib menunaikan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan apabila ia meninggalkannya dengan sengaja, sedangkan ia sadar (masih berakal) lagi mukallaf serta mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia adalah orang yang berbuat dosa. Bahkan ada sebagian dari para Ahlul `ilm (ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka kafirlah ia”.
Dan sabdanya:
“Pokok segala perkara adalah Al-Islam, tiangnya Islam adalah shalat dan puncak Islam adalah jihad di jalan Allah”
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
“(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim di dalam Shahih-nya).
Dan pendapat ini yang lebih shahih, sebagaimana yang dijelaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an tentang shalat dan hadits-hadits tersebut. Dan jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya’, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan shalat Asharnya digabung dengan shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu Ashar. Atau jika ia menghendaki, boleh memajukan Isya’ bersama Maghrib atau mengakhirkan Maghrib bersama Isya’. Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama’ dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Inilah hal-hal yang berhubungan dengan orang sakit dalam bersuci dan melakukan shalat. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga menyembuhkan orang-orang sakit dari kaum muslim dan menghapus dosa-dosa mereka, dan mengaruniakan ma`af dan afiat kepada kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Pimpinan Dewan Ulama Senior dan Kajian Ilmiyah dan Fatwa, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.