Shalat Witir


Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian dengan ganjil (witir).” (HR. Al-Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang shalat malam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah dia shalat satu rakaat sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
“Setiap malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat witir dan selesai pada waktu sahur.” (HR. Al-Bukhari no. 996 dan Muslim no. 745)
Dari Jabir radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaklah dia melakukan witir di awal malam. Dan barangsiapa yang merasa mampu bangun di akhir malam, maka hendaklah dia witir di akhir malam, karena shalat di akhir malam disaksikan (oleh para malaikat) dan hal itu adalah lebih utama.”(HR. Muslim no. 755)
Penjelasan ringkas:
Secara umum, ada beberapa perkara yang butuh dijelaskan berkenaan dengan shalat witir, yaitu:
1.    Hukum shalat witir
Hadits Ibnu Umar yang pertama dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang berpendapat wajibnya shalat witir, baik secara mutlak maupun bagi yang shalat lail sebelumnya. Dan ada beberapa dalil lain yang lahiriahnya menunjukkan wajibnya shalat witir. Hanya saja semua dalil yang menunjukkan wajibnya, dipalingkan hukumnya oleh beberapa dalil, di antaranya:
a.    Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menganjurkan untuk shalat lail (termasuk witir) di rumah, sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Al-Bukhari dan Muslim. Kemudian beliau mengabarkan bahwa shalat yang paling utama adalah yang dikerjakan di rumah kecuali shalat wajib. Maka ini tegas menunjukkan shalat witir bukanlah shalat wajib karena dianjurkan dikerjakan di rumah.
b.    Dalam hadits Ibnu Umar riwayat Al-Bukhari no. 1000 disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di atas kendaraannya kecuali shalat wajib, sementara beliau pernah shalat witir di atas kendaraan. Maka ini menunjukkan bahwa shalat witir bukanlah shalat yang wajib.
Karenanya, shalat witir adalah sunnah mu’akkadah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (23/88), “Witir adalah sunnah mu’akkadah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, dan barangsiapa yang meninggalkannya terus-menerus maka persaksiannya tidak diterima.”
2.    Jumlah rakaatnya.
Minimalnya satu rakaat berdasarkan hadits Ibnu Umar yang kedua di atas. Bisa juga 3 rakaat, 5 rakaat, 7 rakaat, 9 rakaat, dan 11 rakaat. Semua ini ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah riwayat Al-Hakim (1/314) dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shalat At-Tarawih hal. 85.
3.    Waktu pelaksanaannya.
Dimulai setelah shalat isya (walaupun dia dikerjakan secara jama’ taqdim ke maghrib) dan berakhir saat azan subuh yang kedua. Ibnu Nashr berkata dalam Mukhtashar Qiyam Al-Lail hal. 119, “Yang disepakati oleh para ulama adalah: Antara shalat isya hingga terbitnya fajar (shadiq/kedua) adalah waktu untuk mengerjakan witir.”
Walaupun waktunya terpampang luas, akan tetapi lebih utama mengerjakannya di akhir malam jika dia merasa sanggup. Dan jika dia tidak yakin bisa bangun di akhir malam, maka yang lebih utama adalah dia shalat witir di awal malam. Hal ini jelas ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiallahu anhu.
4. Kaifiat pelaksanaannya.
Untuk shalat witir 3 rakaat, maka pelasanaannya tidak boleh serupa dengan shalat maghrib. Karenanya, bisa langsung dikerjakan 3 rakaat dengan satu kali tasyahurdi rakaat ketiga lalu salam, dan bisa dikerjakan dengan 2 kali salam, yaitu dikerjakan 2 rakaat dahulu baru satu rakaat. Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah riwayat Al-Hakim yang diisyaratkan di atas.
Adapun shalat witir 5 raka’at, maka pengerjaannya dapat dilakukan dengan shalat dua raka’at-dua raka’at sebanyak 4 raka’at kemudian ditutup dengan shalat satu raka’at atau pun sekaligus mengerjakan 5 raka’at secara bersambung tanpa duduk tahiyyat kecuali di akhir raka’at saja. Ini berdasarkan hadits Aisyah riwayat Abu Awanah (2/135)
Witir 7 raka’at dapat dikerjakan dua raka’at-dua raka’at sebanyak 6 raka’at dan ditutup dengan shalat satu raka’at. Atau bisa juga langsung dikerjakan 7 raka’at secara bersambung dan duduk tahiyyat pada raka’at keenam lalu membaca tahiyyat sampai akhir akan tetapi tidak salam, setelah tahiyat dia berdiri untuk selanjutnya mengerjakan raka’at ketujuh dan kemudian salam. Ini juga berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha riwayat Muslim no. 746
Witir 9 raka’at dapat dikerjakan dengan dua raka’at-dua raka’at hingga delapan raka’at dan kemudian diakhiri dengan satu raka’at sebagai witir. Atau dikerjakan bersambung sampai dengan 8 raka’at dengan duduk tahiyyat pada raka’at kedelapan tapi tidak salam, kemudian berdiri ke rakaat 9 lalu duduk tahiyyat lagi (tahiyyat akhir) dan diakhiri dengan salam. Ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha riwayat Muslim no. 746.
Adapun witir dengan 11 raka’at, maka dia dapat dikerjakan dua raka’at-dua raka’at hingga sepuluh raka’at kemudian diakhiri dengan satu raka’at. Ataukah dikerjakan empat raka’at-empat raka’at dan kemudian witir tiga raka’at.
Semua kaifiat ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul dalam Bughyah Al-Mutathawwi’ hal. 55-62
5. Bolehkah shalat sunnah lagi setelah shalat witir?
Ada dua pendapat di kalangan ulama, hanya saja pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan: Bolehnya melakukan shalat sunnah lagi sesukanya walaupun dia telah mengerjakan shalat witir, hanya saja tidak boleh lagi dia mengerjakan shalat witir, karena tidak boleh ada dua shalat witir dalam satu malam.
Dalil-dalil pendapat ini adalah:
a.    Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendanya dia shalat witir di awal malam lalu dia tidur.” (HR. At-Tirmizi no. 1187 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani rahimahullah).
Dari hadits ini bisa dipetik pendalilan bahwa jika orang tersebut bangun di malam hari -padahal sebelumnya dia sudah witir sebelum tidur-, maka dia masih diperbolehkan untuk shalat.
b.    Hadits Ummu Salamah radhiallahu anha yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah melakukan shalat dua rakaat sambil duduk setelah melakukan witir. Diriwayatkan oleh At-Tirmizi no. 471 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani rahimahullah.
c.    Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata tentang sifat shalat lail Nabi shallallahu alaihi wasallam:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (lail) 13 raka’at. Beliau memulai dengan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (satu raka’at). Kemudian setelah itu beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk.” (HR. Muslim no. 738)
Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian dengan ganjil (witir).” (HR. Al-Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Maka perintah di sini hukumnya adalah sunnah dan bukan wajib. Wallahu a’lam

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.