Powered by mp3skull.com
Dalil dari
as-Sunnah adalah sabda Nabi shallallaahu’alaihi wasallam:
“Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan
kekufuran adalah meninggalkan shalat.”[1]
Disebutkan pula
dalam Shahih Muslim sabda beliau dalam hadits Buraidahradhiallaahu’anhu dan
kitab-kitab Sunan:
“Perjanjian (pembatas) antara kita dengan
mereka adalah shalat, maka
barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah
kafir.”[2]
Ucapan para
sahabat: Amirul Mukminin Umar radhiallaahu’anhu berkata:
“Tidak ada bagian
dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”[3]
Maksudnya, tidak
ada bagian baik sedikit maupun banyak. Abdullah bin Syaqiq mengatakan, “Para
sahabat Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam tidak memandang
suatu amal pun yang apabila
ditinggalkan akan menyebabkan kekafiran, selainshalat.”
Adapun berdasarkan
pandangan yang benar,
dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan
sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah
senantiasameninggalkannya? Tentu
saja ini tidak masuk akal. Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat tidak
menyebabkan kekufuran, maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari
lima hal:
Karena tidak ada
dasar dalilnya;
Atau, hal itu
terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga meninggalkan shalat;
Atau, hal itu
terkait dengan kondisi yang diterima
uzurnya untuk meninggalkanshalat;
Atau, hal itu
bersifat umum kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits yangmengkafirkan orang yang meninggalkan shalat;
Atau, hal itu lemah
sehingga tidak bisa dijadikan alasan.
Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku
padanya hukum-hukum orang murtad. Lagi pula,
tidak disebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang meninggalkan shalat itu
Mukmin, atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya, yang memalingkan kita dari vonis
kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur nikmat
atau kufuryang tidak
menyebabkan kekafiran. Di antara hukum-hukum murtad yang berlaku terhadap orang yang meninggalkan shalat:
Pertama: Ia tidak sah menikah. Jika terjadi akad
nikah maka nikahnya batal dan isterinya tidak halal baginya. Hal ini
berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’alatentang para wanita yang berhijrah:
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada
halal bagi mereka.” (Qs.
Al-Mumtahanah: 10)
Kedua: Jika ia meninggalkan shalat setelah
akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur sehingga isterinya tidak lagi
halal baginya. Hal ini juga berdasarkan ayat yang telah disebutkan tadi. Dan menurut rincian para ahlul
ilmi, bahwa hukumini
berlaku baik setelah bercampur maupun belum.
Ketiga: Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging hewan sembelihannya
tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram. Padahal, sembelihan orang Yahudi dan
Nasrani dihalalkan bagi kita untuk memakannya. Ini berarti -na’udzu billah-
sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada
sembelihan orang Yahudi dan
Nasrani.
Keempat: Ia tidak boleh memasuki Makkah atau
batas-batas kesuciannya berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik
itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.
Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan
kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At-Taubah: 28)
Kelima: Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia
tidak boleh ikut serta dalam warisan. Misalnya, ada seseorang meninggal dunia
dengan meninggalkanseorang
anak yang tidak shalat.
Orang yang meninggal
itu seorang Muslim yang
shalat, sementara si anak itu tidak shalat, di samping itu ada juga sepupunya. Siapakah yang berhak mewarisinya? Tentu
saja sepupunya, adapun anaknya tidak ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan
sabda Nabi shallallaahu’alaihi wasallam dalam hadits Usamah:
“Seorang Muslim tidak mewarisi yang kafir dan seorang kafir
tidak mewarisi orangMuslim.”
(Muttafaq ‘Alaih) [4]
Juga berdasarkan
sabda Nabi shallallaahu’alaihi wasallam:
“Bagikan harta warisan kepada para ahlinya,
adapun sisanya adalah untuk laki-lakiyang paling
berhak.” [5]
Hal ini pun berlaku
untuk semua warisan.
Keenam: Jika ia meninggal, maka mayatnya tidak
dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan
dan tidak dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Lalu, apa yang harus kita
lakukan? Kita keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan lobang,
kemudian kita kubur langsung dengan pakaiannya, karena mayat itu tidak
terhormat. Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang yang ditinggal mati oleh orangyang ia ketahui tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum Muslimin menyalatinya.
Ketujuh: Bahwa pada hari kiamat nanti ia akan
dikumpulkan bersama Firaun, Haman, Qarun, Ubay bin Khalaf dan para pemimpin
kaum kafir -na’udzu billah-, dan ia tidak akan masuk surga. Kemudian, tidak
boleh keluarganya untuk memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia seorang kafir yang tidak berhak mendapatkan
itu, hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu
adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni
neraka Jahannam.” (Qs. At-Taubah: 113)
Jadi,
saudara-saudaraku, masalah ini sangat berbahaya, namun sayangnya, masih ada
orang yang menganggap
remeh masalah ini, di antaranya ialah dengan menempatkan orang yang tidak shalat di
rumahnya, padahal itu tidak boleh.Wallahu a’lam. Semoga shalawat dan salam
senantisa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Risalah Shifat Shalatin Nabi, hal. 29-30, Ibnu Utsaimin.
0 komentar:
Posting Komentar