Menjama` Shalat karena Hujan


Sebagai agama kemudahan, Islam senantiasa memberikan kemudahan kepada seorang Muslim untuk melakukan ibadahnya bilamana menghadapi kondisi yang menyulitkannya. Salah satunya dalam kondisi hujan turun, di mana dibolehkan menjamak shalat.
Pengertian Jamak
Jamak artinya menggabungkan. Menjamak shalat artinya menggabungkan antara dua shalat dalam satu waktu, yaitu menggabungkan antara shalat yang empat raka’at saja; shalat Zhuhur dan ‘Ashar, shalat Maghrib dan ‘Isya.
Dalil-Dalil Mengenai Menjamak Shalat Karena Hujan
Sesungguhnya ada banyak nash yang terkait dengan hal ini dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alahi wasallam, di antaranya:
Hadits dari Ibn ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam shalat Zhuhur dan ‘Ashar secara bersama-sama (menjamaknya), maghrib dan ‘Isya juga secara bersama-sama (menjamaknya), bukan dalam kondisi ketakutan atau perjalanan.” (HR.Muslim) Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Bukan dalam kondisi takut dan hujan.” (HR.Muslim) Imam Malik mengomentari, “Menurutku, itu dilakukan saat hujan turun.”
Dari Shafwan bin Sulaim, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar di hari di mana hujan turun dengan lebat.” (HR.Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)
Dari Nafi’, bahwa penduduk Madinah selalu menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya di malam di mana hujan turun dengan lebat, lalu Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma shalat bersama mereka, tidak mencela mereka.” (HR.Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’, bahwa bila para Amir menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya di saat hujan, Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma juga menjamak shalat bersama mereka.’ (HR.Malik)
Pendapat Ulama Seputar Menjamak Shalat Karena Hujan
Terdapat beragam pendapat ulama fiqih dengan keempat mazhabnya dalam masalah ini, namun karena keterbatasan ruang, di sini akan dikemukakan pendapat yang kuat saja, yang menyinkronkan antara pendapat-pendapat mazhab tersebut. Yaitu boleh menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya karena turunnya hujan seperti pendapat mazhab asy-Syafi’i. Menjamak shalat dalam kondisi ini tidak hanya khusus untuk shalat Maghrib dan ‘Isya saja sebagaimana dikemukakan mazhab Hanbali dan Maliki, tetapi juga -seperti disebutkan dalam hadits- bahwa beliau shallallahu 'alahi wasallam menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar.
Selain itu, juga tidak disyaratkan berkelanjutannya hujan agar shalat pertama bersambung dengan shalat kedua sebagaimana pendapat asy-Syafi’i. Tetapi bila sudah ada sebab untuk menjamak, yaitu hujan, seperti ada mendung di langit dan menetesnya air di atas tanah, maka boleh menjamak. Hal ini berdasarkan jamak yang dilakukan
Umar Radhiallahu ‘anhu, “Di hari di mana hujan turun dengan lebat” dan jamak yang dilakukan penduduk Madinah, “Di malam di mana hujan turun dengan lebat.” Di sini, lebatnya hujan dikaitkan dengan ‘hari’ atau ‘malam,’ bukan dengan ‘saat didirikannya shalat.’ Ini lebih umum dari sekedar adanya kondisi hujan turun saat shalat sedang didirikan, sebab al-Yaum (hari) disebut ‘Mathir’ bilamana banyak turun hujan (lebat), sekalipun dinaungi oleh kondisi cerah saat shalat sedang didirikan. Hukum ini didasari pada kaidah, “Bila ditemukan sebab hukum, maka boleh mendahulukan ibadah berdasarkan syarat hukum tersebut.”
Syarat Menjamak Shalat Karena Hujan
Jamak tersebut dilakukan terhadap dua shalat siang; Zhuhur dan ‘Ashar, dan dua shalat malam; Maghrib dan ‘Isya. Tidak boleh menjamak shalat siang dengan shalat malam, seperti menjamak shalat ‘Ashar dengan shalat Maghrib, atau menjamak shalat malam dengan shalat fajar, seperti menjamak shalat ‘Isya dan Shubuh, atau menjamak shalat Shubuh dan Zhuhur.
Niat. Namun di sini, para ulama berbeda pendapat mengenai letak niat tersebut. Bahkan al-Muzanni, murid Imam asy-Syafi’i mengatakan tidak disyaratkannya niat, sebab Nabi shallallahu 'alahi wasallam sering menjamak shalat, namun tidak terdapat riwayat yang menyebutkan beliau meniatkan jamak. Pendapat ini didukung oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiah. Di antara argumentasi yang dikemukakannya adalah bahwa tatkala Nabi shallallahu 'alahi wasallam shalat Zhuhur di ‘Arafah bersama para shahabatnya, beliau tidak memberitahukan terlebih dulu kepada mereka bahwa setelah itu akan shalat ‘Ashar, tapi kemudian setelah itu, beliau shalat ‘Ashar bersama mereka. Sementara para shahabatnya pun tidak meniatkan jamak. Ini adalah shalat Jamak Taqdim. Demikian pula tatkala keluar dari Madinah, beliau shalat ‘Ashar bersama mereka di Dzi al-Hulaifah dengan dua raka’at saja, namun tidak menyuruh mereka untuk meniatkan Qashar (Memendekkan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at).
Tertib (Berurutan). Imam an-Nawawi menyebutkan, disyaratkan pada jamak Taqdim untuk memulainya dengan shalat pertama (shalat pada waktu itu), sebab itu adalah waktunya, sedangkan shalat kedua mengikutinya. Sebab Nabi shallallahu 'alahi wasallam menjamak pun demikian, sedang beliau shallallahu 'alahi wasallam sering bersabda, “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” Andaikata seseorang memulai dengan shalat kedua terlebih dulu, maka tidak sah shalatnya, dan ia wajib mengulanginya dengan mengerjakan shalat yang pertama secara jamak.
Berturut-turut antara kedua shalat yang dijamak. Artinya, tidak boleh ada jeda waktu yang terlalu panjang. Dan panjangnya jeda ini merujuk kepada tradisi. Akan tetapi menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiah, hal ini tidak disyaratkan sama sekali. Beliau berargumentasi, “Pendapat yang benar, tidak disyaratkan berturut-turut sama sekali, baik di waktu shalat pertama atau di waktu shalat kedua, sebab batasan tentang itu tidak terdapat di dalam syariat, demikian pula, menjaga hal itu dapat menggugurkan tujuan Rukhshah.”
Menjamak Shalat Karena Hujan Di Rumah
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalam mazhab Syafi’i sendiri terdapat dua pendapat; ada yang mengatakan tidak boleh dan ada yang mengatakan boleh. Demikian pula dalam mazhab Hanbali.
Di antara alasan pendapat yang membolehkannya, pengarang kitab Manar as-Sabil berkata, “Sebab bila ditemukan ‘udzur, maka kondisi kesulitan dan tidaknya sama dalam hal itu, seperti dalam perjalanan. Alasan lainnya, karena Nabi shallallahu 'alahi wasallam pernah menjamak pada saat hujan, padahal antara biliknya dan masjid tidak ada sesuatu pun.
Boleh Tidak Shalat Berjamaah Di Masjid Dan Apa Yang Diucapkan Muazin
Dalam hal ini, terdapat beberapa hadits, di antaranya:
Dari Abu al-Malih, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam memerintahkan kepada muazinnya pada perang Hunain, (agar memanggil) :“Shalluu fi rihaalikum, [Shalat (dilakukan) di kendaraan].” (HR.Abu Daud)
Dari Nafi’, bahwa Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma singgah di Dhanjan pada malam yang dingin, lalu ia memerintahkan muazin agar memanggil, “Shalluu fi rihaalikum, [Shalat (dilakukan) di kendaraan].” (HR.Abu Daud)
Dari Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma, bahwa ia mengumandangkan azan shalat pada malam yang dingin dan berangin. Maka beliau shallallahu 'alahi wasallam bersabda, “Ingatlah! Shalatlah kamu di kendaraan.” Ibn ‘Umar berkata, “Sesungguhnya bila malam dingin dan turun hujan, Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam menyuruh muazin, “Ingatlah! Shalatlah kamu di kendaraan.” (HR.Abu Daud)
Ibn ‘Abbas Radhilallahu ‘anhuma pernah berkata kepada muazinnya pada hari di mana hujan turun, “Bila kamu mengumandangkan Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah, maka janganlah kamu kumandangkan, Hayya ‘Alash Shalah (Mari menuju kemenangan), tetapi kumandangkanlah, Shallu Fi Buyutikum (Shalatlah kamu di rumah-rumah kamu). Saat itu orang-orang seolah protes, maka Ibn ‘Abbas berkata, “Ini sudah dikerjakan oleh orang yang lebih baik dariku, sesungguhnya Jum’at itu ‘Azam dan sesungguhnya aku tidak suka menyusahkan kamu untuk berjalan dalam kondisi tanah berlumpur dan licin.” (HR.al-Bukhari)
Ibn ‘Umar menceritakan dari Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bahwa beliau memerintahkan muazin agar mengumandangkan azan waktu shalat, kemudian menyerukan, “Shalatlah di kendaraan-kendaraan kamu.!” Hal itu di malam yang dingin dan turun hujan dalam perjalanan. (HR.Abu Daud)
(Bulletin An Nuur/Sumber: Bahts Mukhtashar Fi al-Jam’i Baina ash-Shalatain Fi al-Mathar, DR.Sa’duddin bin Muhammad al-Kabbi).

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.