Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

Fatawa Asy-Syaikh Muqbil Seputar Wudhu

Pertanyaan Pertama:
Apakah melafazhkan niat bid’ah padahal yang terdapat di kitab Al-Umm Imam Syafi’i masih bersifat mubham (belum jelas)! Kiranya anda bisa menjelaskan kepada kami permasalahan ini semoga Allah selalu memberkahi anda?
Jawaban: 
Melafazhkan niat dipandang sebagai perbuatan bid’ah karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman di dalam kitab-Nya yang mulia,“Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?”(al Hujurat: 16) Dan Nabi shalalluhu ‘alaihi wa salam juga telah bersabda kepada orang yang tidak benar dalam shalatnya, “Bila kamu telah berdiri melaksanakan shalah maka bacalah takbir”. Dan beliau tidak ada berkata kepadanya: Bacalah: nawaitu (saya berniat). Betul bahwa shalat tidak sah kecuali dengan niat, begitupula wudhu dan berbagai ibadah-ibadah yang lain selain zakat yang diambil dengan cara paksa.
Adapun berbagai ibadah-ibadah yang lain haruslah dengan berniat karena Rasulullah shalalluhu ‘alaihi wa salam, “Segala amal perbuatan tergantung dengan niat”. Sedangkan tempatnya niat di hati dan salah bila ada yang berkata bahwa melafazhkan niat di kitab Al-Umm, ini salah karena ini tidak ada di kitab Al-Umm.
Salah seorang ikhwan kita fillah telah membahas dalam hal ini sedangkan saya tidak berkesempatan untuk membahas hal ini, akan tetapi ikhwan kita yang terpercaya tidak menemukan ini (masalah melafadzkan niat) di kitab Al-Umm, maka salah bila dinisbatkan kepada Imam Syafi’i dan pengucapan niat tidaklah benar dalam ibadah apapun. Adapun yang berkata bahwa pelafazhan niat ada dalam haji maka ini tidak benar, Nabi shalalluhu ‘alaihi wa salam bersabda: “Labbaik hajjan” maka kemungkinan lafadz Hajjan dinashabkan sebagaimashdar sedangkan takdirnya adalah: Labbaik ahaju hajjan, dan kemungkinan agar lafadz Hajjan sebagai maf’ul bagi nawaitu, akan tetapi ibadah haji ini diarahkan kepada ibadah-ibadah yang lain yakni, Ahajju hajjan ia dinashabkan kepada mashdariyah, sehingga tidak ada ketetapan melafadhkan niat dalam ibadah apapun, adapun keberadaanya ada di hati karena segala amal perbuatan tergantung dengan niat sebagaimana yang kamu dengar.

Pertanyaan Kedua:
Adakah darah yang keuar dari hidung (mimisan) dapat membatalkan wudhu’?
Jawaban: 
Mimisan tidaklah membatalkan wudhu’, tidak ada dalil shahih yang menunjukkan bahwa mimisan membatalkan wudhu’. Terdapat hadits dha’if bahwa mimisan membatalkan wudhu’ namun tidak ada keterangan yang shahih dari Nabi shalalluhu ‘alaihi wa salam. Para sahabat Rasulullah shalalluhu ‘alaihi wa salam mereka senantiasa shalat dalam keadaan terluka (mengeluarkan darah). Maka darah tidak membatalkan wudhu’, akan tetapi bila dikhawatirkan akan mengorori masjid hendaklah dia keluar membersihkan kemudian melanjutkan shalatnya kembali. Wallahu musta’an.

Pertanyaan Ketiga:
Adakah menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu’ baik dia sebagai ajnabiyah (wanita bukan mahram) atau sebagai istri atau selainnya, dan apa yang dimaksud dengan menyentuh?
Jawaban: 
Menyentuh wanita bukan mahram diharamkan, Imam Thabrani telah meriwayatkan di kitab Mu’jamnya dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shalalluhu ‘alaihi wa salam telah bersabda, “Benar-benar seseorang di antara kalian ditusuk dengan besi panas di kepalanya yang demikian lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dalam shahihnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata: Rasulullah shalalluhu ‘alaihi wa salam bersabda,“Telah ditetapkan bagi anak Adam bagiannya dari zina dan itu pasti akan menimpa dirinya. Zina kedua mata adalah memandang, zina kedua telinga adalah mendengar, zina tangan adalah memegang, zina kaki adalah melangkah, hati berhasrat dan berangan-angan sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau justu mendustakannya”. 
Maka dari sini diketahui bahwa menyentuh wanita bukan mahram karena bukan karena adanya keperluan darurat adalah tidak boleh. Adapun karena sebuah keperluan darurat seperti halnya seorang lelaki atau wanita yang sakit sementara tidak seorangpun ditemukan kecuali dia dokter laki-laki tersebut atau dokter wanita tersebut, maka ini tidak mengapa karena sebuah keperluan darurat. Dalam hal itu boleh menyentuh dengan tetap penuh waspada jangan sampai terjurumus ke dalam fitnah.
Adapun apakah menyentuh membatalkan atau tidak membatalkan, maka menyentuh wanita tidaklah membatalkan menurut pendapat yang benar dari berbagai pendapat ahli ilmu. Yang berdalil dengan firman Allah azza wa jalla, “Atau kamu menyentuh wanita,” maka yang dimaksud dengan meyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Nabi shalalluhu ‘alaihi wa salam mengerjakan shalat di suatu malam sedangkan saya persis berada di dedapannya, sehingga ketika beliau ingin untuk bersujud maka beliapun menggeser kaki saya, maka tidak menjadikan batal wudhu’ Nabi shalalluhu ‘alaihi wa salam, sehingga persolannya mudah dalam hal ini. Mereka yang berpendapat batal berdalil dengan hadits yang terdapat dalam sunan dari hadits Mu’az bin Jabal radhiyallahu ‘anhu bahwa seseorang pernah datang kepada Nabi shalalluhu ‘alaihi wa salam lalu diapun berkata: Ya Rasulullah, saya telah mencum istriku, namun Nabi shalalluhu ‘alaihi wa salam diam sampai Allah azza wa jalla menurunkan ayat berikut, “Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu Maka Ketahuilah, Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, Maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?” (Hud: 14). Kemudian beliau bersabda kepadanya, “Berdirilah lalu berwudhu’ dan shalat dua raka’at.”
Hadits ini tidak shahih, karena ia berasal dari jalan Abdurahman bin Abi Laila sementara dia tidak pernah mendengarkan dari Mu’az bin Jabal tentang masalah ini, masalah yang kedua bila shahih tentulah menunjukkan bahwa wudhu’nya batal karena ada kemungkinan bahwa orang tersebut sebelumnya tidak berwudhu’. Inilah sejumlah dalil-dalil mereka bersamaan dengan ayat yang mulya yang kalian telah mengetahui bahwa Ibn Abas radhiyallahu ‘anhuma telah menafsirkan ini dengan jima’ (bersetubuh). Wallahu musta’an.
[Diterjemah dari kitab Ijabah As-Sa`il Asy-Syaikh Muqbil soal no. 1, 4, 5 dari Bab Ath-Thaharah]
(Sumber: portal-ilmu net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar