Sebagian jama’ah haji ada yang menggunakan kesempatan berziarah ke Madinah untuk melaksanakan shalat empat puluh kali secara berturut-turut di masjid Nabawi. Amaliah ini lebih kita kenal dengan istilah Shalat Arba’in. Ada yang sempat menanyakan pada penulis, “Ana mau tanya tentang yang namanya ARBAIN dalam kegiatan rombongan haji. Katanya disunnahkan untuk menunaikan ibadah sunnah Arbain yakni shalat berjamaah 40 waktu di Masjid Nabawi. Apakah kegiatan yang dinamakan arbain ini ada tuntunannya ? Karena ana sudah membaca buku-2 yang berkaitan dengan haji & umrah tetapi tidak mendapatkan amalan sunnah seperti yang dilakukan oleh orang-2.”
Mudah-mudahan penjelasan kali ini bisa menjawabnya. Semoga Allah mudahkan.
Sengaja Melakukan Perjalanan Ke Masjid Nabawi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ - صلى الله عليه وسلم - وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid yaitu Masjidil Harom, masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsho.”[1]
Ketiga masjid ini memiliki keutamaan dilihat dari dzatnya. As Subkiy mengatakan, “Tidak ada satu pun tempat di muka bumi ini yang memiliki keutamaan -dilihat dari dzatnya- sehingga seseorang bisa sengaja melakukan perjalanan ke sana selain dari tiga masjid ini.” [2]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun negeri lain selain tiga masjid di atas, maka tidak boleh seorang pun bersengaja melakukan perjalanan ke sana karena alasan kemuliaan tempatnya (dzatnya). Akan tetapi seseorang boleh bersengaja melakukan perjalanan ke sana dalam rangka ziarah, berjihad, menuntut ilmu, dan perkara yang disunnahkan atau yang dibolehkan lainnya.” Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Bersengaja melakukan perjalanan dalam rangka ziarah dan menuntut ilmu, tujuan keduanya bukanlah pada tempat, namun pada orang yang berada pada tempat tersebut.” [3]
Dari sini menunjukkan bahwa sengaja melakukan perjalanan ke masjid Nabawi dibolehkan, mengingat keutamaan masjid atau tempat tersebut.
Keutamaan Melakukan Shalat di Masjid Nabawi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom.” [4]
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ
“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.”[5]
Para ulama berselisih pendapat, apakah yang dimaksud dengan pengecualian dalam hadits di atas. Perbedaan pendapat ini berasal dari perselisihan mereka, manakah tempat yang lebih utama: Madinah ataukah Makkah? Ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama mengatakan bahwa Makkah lebih utama dari Madinah. Sehingga Masjidil Haram lebih utama dari Masjid Madinah. Dan ini berkebalikan dengan pendapat Imam Malik dan pengikutnya. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, makna hadits di atas adalah: shalat di masjid Nabawi lebih utama dari 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom karena shalat di Masjidil Harom lebih utama dari shalat di masjid Nabawi.[6]
Meninjau Hadits Shalat Arba’in
Mengenai anjuran shalat Arba’in di Madinah yaitu shalat 40 kali berturut-turut di sana, sebagian orang berhujah dengan hadits berikut ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَلَّى فِى مَسْجِدِى أَرْبَعِينَ صَلاَةً لاَ يَفُوتُهُ صَلاَةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ »
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shalat sebanyak 40 kali shalat di masjidku (baca: Masjid Nabawi) dalam keadaan tidak tertinggal satupun shalat, maka akan dicatat baginya keterbebasan dari api neraka dan keselamatan dari kemunafikan.”[7]
Syaikh Muqbil Al Wadi’iy rahimahullah –ulama hadits dari Yaman- menilai bahwa hadits di atas tidak shahih dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]
Syaikh Al Albani rahimahullah menilai bahwa hadits tersebut adalah hadits munkar. Syaikh juga mengatakan, “Sanad hadits inidho’if (lemah). Ada seorang perowi bernama Nubaith yang tidak dikenali statusnya.”[9]
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if (lemah) karena status Nubaith bin ‘Umar yang tidak diketahui.[10]
Sedangkan komentar Al Haitsamiy dalam Al Majma’ Az Zawa’idyang mengatakan bahwa periwayat hadits di atas tsiqoh (terpercaya)[11], dikomentari oleh Syaikh Al Albani, “Beliau sudah salah sangka karena Nubaith bukanlah periwayat dari kitab shahih, bahkan dia bukan periwayat dari kutubus sittah lainnya.”[12]
Kesimpulan: Hadits shalat arba’in di atas adalah hadits yang lemah (dho’if).
Shalat Jama’ah Sebanyak Empat Puluh Hari Memang Ada Tuntunan
Shalat jama’ah di masjid nabawi adalah amal yang sangat terpuji. Bahkan menurut pendapat yang kuat shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki itu hukumnya wajib ‘ain.
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[13]
Akan tetapi, yang memotivasi amal yang satu ini adalah hadits yang lemah (dho’if), ini tentu sangat disayangkan. Lebih ironi lagi jika mewajibkan untuk berada di kota Madinah selama sepekan dalam rangka mendapatkan keutamaan arbain ini. Andai motivasi untuk melakukan Shalat Arbain tersebut adalah hadits yang kuat berikut ini tentu lain lagi keadaannya.
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِى جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Barangsiapa mengerjakan shalat secara ikhlas karena Allah selama empat puluh hari dengan berjamaah dan dengan mendapatkan takbiratul ihram maka dicatat untuknya dua kebebasan, yaitu bebas dari neraka dan bebas dari kemunafikan.”[14]
Mengenai hadits ini, Ath Thibi menjelaskan, “Di dunia Allah akan menyelamatkannya dari beramal sebagaimana amal orang munafik dan Allah akan beri taufik padanya untuk beramal sebagaimana amal orang yang ikhlas. Sedangkan di akherat nanti Allah akan menyelamatkannya dari berbagai amal yang menyebabkan orang munafik disiksa dan Allah akan bersaksi bahwa dia bukanlah seorang munafik. Artinya sesungguhnya orang-orang munafik jika hendak mengerjakan shalat mereka berdiri dengan malas sedangkan keadaan orang tersebut jelas sangat berbeda.”[15]
Riwayat ini berasal dari Anas bin Malik, sama dengan riwayat Shalat Arba’in di atas. Namun ada sebagian orang yang termotivasi melaksanakan shalat arba’in dengan hadits dho’if (lemah) yang kami sebutkan di awal, ini yang keliru. Akan tetapi, jika ia beramal shalat jama’ah sebanyak empat puluh hari berdasarkan hadits kedua ini, maka itu tidak bisa disalahkan.
Dari hadits kedua ini, ada pelajaran penting yang bisa kita gali yaitu keutamaan bagi orang yang mendapati takbiratul ihram bersama imam.
Penulis Tuhfatul Ahwadzi –Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala- mengatakan, “Dari hadits ini menunjukkan bahwa mendapati takbiratul ihram bersama imam adalah sesuatu amalan sunnah yang sangat ditekankan. Sampai-sampai para ulama salaf terdahulu, jika luput dari takbiratul bersama imam, mereka demikian sedih selama tiga hari. Bahkan jika mereka luput dari shalat jama’ah, mereka terus sedih hingga tujuh hari lamanya.”[16]
Semoga Allah meluruskan pemahaman kaum muslimin yang keliru selama ini. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan ilmu dan istiqomah dalam beramal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Sore hari, 20 Dzulqo’dah 1430 H di Panggang, Gunung Kidul.
[1] HR. Bukhari no. 1189 dan Muslim no. 1397, dari Abu Hurairah.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/190, Mawqi’ Al Islam
[3] Idem
[4] HR. Bukhari no. 1190 dan Muslim no. 1394, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. LihatShahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173.
[6] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 5/57, Mawqi’ Al Islam.
[7] HR. Ahmad no. 12605. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if (lemah) karena status Nubaith bin ‘Umar yang tidak diketahui.
[8] Asy Syafa’ah, hal. 281, dinukil dari http://dorar.net.
[9] Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah no. 364.
[10] Musnad Al Imam Ahmad bin Hambal [Takhrij Syaikh Syu’aib Al Arnauth] no. 12605, 3/155, Muassasah Qurthubah, Al Qohirah
[11] Majma’ Az Zawa-id, Al Haitsamiy, 2/35, Mawqi’ Al Waroq.
[12] Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah no. 364.
[13] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107, Dar Al Imam Ahmad
[14] HR. Tirmidzi no. 241, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[15] Tuhfatul Ahwadzi 1/274, Mawqi’ Al Islam.
[16] Idem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar