Dari Abu Bakar
ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hadits yang agung
ini menunjukkan keutamaan shalat dua rakaat ketika seorang bertaubat dari
perbuatan dosa dan janji pengampunan dosa dari Allah Ta’ala bagi
yang melakukan shalat tersebut[2].
Beberapa faidah
penting yang dapat kita petik dari hadits ini:
- Agungnya rahmat
dan kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, karena
Dia mensyariatkan bagi mereka cara untuk membersihkan diri dari buruknya
perbuatan dosa yang telah mereka lakukan.
- Wajib bagi
seorang muslim untuk selalu bertakwa kepada Allah Ta’ala, merasakan
pengawasan-Nya, dan berusaha untuk menghindari perbuatan maksiat semaksimal
mungkin. Kalau dia terjerumus ke dalam dosa maka hendaknya dia segera bertaubat dan kembali kepada Allah[3], agar Dia mengampuni dosanya, sebagaimana
janji-Nya dalam firman-Nya:
- Yang dimaksud
dengan “meminta ampun kepada Allah” dalam hadits ini
adalah bertaubat dengan sungguh-sungguh yang disertai sikap penyesalan atas
perbuatan tersebut, menjauhkan diri dari dosa tersebut dengan meninggalkan
sebab-sebabnya, serta tekad yang bulat untuk tidak mengulanginya selamanya, dan
jika dosa tersebut berhubungan dengan hak orang lain maka segera dia
menyelesaikannya[4].
- Imam Ibnu Hajar
berkata, “Meminta ampun kepada Allah (hanya) dengan lisan, tapi masih tetap
mengerjakan dosa (dengan anggota badan) adalah seperti bermain-main (dalam
bertaubat)[5].
- Sahabat yang
mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Sesungguhnya orang yang beriman memandang dosanya seperti dia sedang berada di
bawah sebuah gunung (besar) yang dia takut gunung tersebut akan menimpa (dan
membinasakan)nya, sedangkan orang yang fajir (rusak imannya)
memandang dosanya seperti seekor lalat yang lewat di (depan) hidungnya kemudian
dihalaunya dengan tangannya (dinggapnya remeh dan kecil)”[6].
Penulis: Ustadz Abdullah
bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR
at-Tirmidzi (no. 406 dan 3006), Abu Dawud (no. 1521), Ibnu Majah (no. 1395) dan
Ahmad (1/8 dan 10), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi, Ibnu Hajar dalam
“Fathul Baari” (11/98) dan syaikh al-Albani, serta dinyatakan shahih oleh imam
Ibnu Hibban (no. 623) dan syaikh Ahmad Syakir.
[2] Lihat keterangan imam Ibnu Hibban dalam
kitab “Shahih Ibni Hibban” (2/389).
[3] Lihat kitab “Bugyatul mutathawwi’” (hal.
93).
[4] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (2/368).
[5] Kitab “Fathul Barii” (11/99).
[6] HSR al-Bukhari (no. 5949).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar