Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

Hukum Sujud Tilawah, Sujud Sahwi, Shalat Nafilah

HUKUM SUJUD TILAWAH

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Jika saya membaca ayat sajdah, wajibkah saya sujud atau tidak ..?"

Jawaban.
Sujud tilawah adalah sunnat mu'akkad, tak pantas ditinggalkan. Jika seseorang membaca ayat sajdah, baik dalam mushaf atau dalam hati, di dalam shalat atau di luar shalat, hendaklah ia sujud.

Sujud tilawah tidaklah wajib dan tidak pula berdosa bila tertinggal, sebab terdapat keterangan bahwa ketika Umar bin Khattab berada di atas mimbar, ia membaca ayat sajdah dalam surat al-Nahl, lalu ia turun dan sujud. Tetapi pada Jum'at yang lainnya ia tidak sujud walau membaca ayat sajdah. Lantas ia berkata : "Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan kita agar bersujud kecuali jika mau". Hal ini disampaikan di hadapan para sahabat.

Juga diterangkan bahwa Zaid bin Tsabit membacakan ayat sajdah dalam surat al-Najm di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam namun ia tidak sujud, tentu Zaid akan disuruh sujud oleh Nabi jika hal itu wajib. Dengan demikian, sujud tilawah adalah sunnat mu'akkad, yakni jangan sampai ditinggalkan walau terjadi pada waktu yang dilarang, setelah Fajar umpamanya, atau ba'da Ashar, sebab sujud tilawah, termasuk sujud yang punya sebab, sama halnya dengan shalat tahiyyatul mesjid atau lainnya.

SUJUD SAHWI

Pertanyaan.
Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Kapan wajibnya sujud sahwi, sebelum atau sesudah salam..?"

Jawaban.
Sujud sahwi adalah dua kali sujud yang dilakukan orang shalat untuk menambal kekurangsempurnaan shalatnya lantaran terkena lupa. Sebab kelupaan ada tiga ; kelebihan, kekurangan dan keraguan.

Kelebihan (tambah) : Jika yang shalat sengaja menambahkan berdiri, duduk, ruku' atau sujud, batal-lah shalatnya.

Jika ia lupa akan kelebihannya dan baru sadar ketika sudah selesai, maka ia wajib sujud sahwi. Jika sadarnya itu terjadi di tengah-tengah shalat, hendaklah ia kembali ke shalatnya lalu sujud sahwi. Contohnya, jika ia lupa shalat Zuhur lima raka'at dan baru ingat sedang tasyahud, hendaklah ia sujud sahwi dan salam. Jika ingatnya itu di tengah-tengah raka'at kelima, hendaklah langsung duduk tasyahud dan salam. setelah itu sujud sahwi dan salam.

Cara di atas bersumber kepada hadits dari Abdullah bin Mas'ud yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah shalat Zhuhur lima rakaat. Lalu ditanyakan apakah ia menambahkan raka'at shalat .? Maka setelah para sahabat menjelaskan bahwa beliau shalat lima raka'at, beliau langsung bersujud dua kali setelah salam (shalat). Riwayat lain menjelaskan bahwa ketika itu beliau berdiri membelahkan kedua kakinya sambil menghadap kiblat lalu sujud dua kali dan salam.

Sujud sahwi terkadang dilakukan sebelum salam dalam dua tempat :

[1] Jika seseorang kekurangan dalam shalatnya, berdasarkan hadits Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sujud sahwi sebelum salam ketika lupa tasyahud awal.

[2] Ketika yang shalat ragu-ragu atas dua hal dan tak mampu mengambil yang lebih diyakininya, seperti yang dijelaskan oleh hadits Abi Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu tentang orang yang ragu-ragu dalam shalatnya, apakah tiga atau empat raka'at. Ketika itu, orang tersebut disuruh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam agar sujud dua kali sebelum salam. Hadits-hadits yang barusan telah dikemukakan lafaznya dalam bahasan sebelumnya.

Sedangkan sujud sahwi sesudah salam, dilakukan dalam dua hal :

[1] Ketika kelebihan sesuatu dalam shalat sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abdullah bin Mas'ud tentang shalat Zuhur lima raka'at yang dialami Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau sujud sahwi dua kali ketika sudah diberitahu oleh para sahabat. Ketika itu beliau tidak menjelaskan bahwa sujud sahwinya dilakukan setelah salam (selesai) karena beliau tidak tahu kelebihan. Maka hal ini menunjukkan bahwa sujud sahwi karena kelebihan dalam shalat dilaksanakan setelah salam shalat, baik kelebihannya itu diketahui sebelum atau sesudah salam. Contoh lain, jika orang lupa membaca salam padahal shalatnya belum sempurna, lalu ia sadar dan menyempurnakannya, berarti ia telah menambahkan salam di tengah-tengah shalatnya. Karena itu, ia wajib sujud sahwi setelah salam berdasarkan hadits Abu Hurairah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat Zuhur atau Ashar sebanyak dua raka'at. Maka setelah diberitahukan, beliau menyempurnakan shalatnya dan salam. Dan setelah itu sujud sahwi dan salam.

[2] Jika ragu-ragu atas dua hal namun salah satunya diyakini. Hal ini telah dicontohkan dalam hadits Ibnu Mas'ud sebelumnya.

Jika terjadi dua kelupaan, yang satu terjadi sebelum salam dan yang kedua sesudah salam, maka menurut ulama yang terjadi sebelum salamlah yang diperhatikan lalu sujud sahwi sebelum salam.

Contohnya, umpamanya seseorang shalat Zuhur lalu berdiri menuju raka'at ketiga tanpa tasyahud awal. Kemudian pada raka'at ketiga itu ia duduk tasyahud karena dikiranya raka'at kedua dan ketika itu ia baru ingat bahwa ia berada pada raka'at ketiga, maka hendaklah ia bediri menambah satu rakaat lagi, lalu sujud sahwi serta salam.

Yakni dari contoh di atas diketahui bahwa lelaki tersebut telah tertinggal tasyahud awal dan sujud sebelum salam. Ia-pun kelebihan duduk pada raka'at ketiga dan hendaknya sujud (sahwi) sesudah salam. Oleh sebab itu, apa yang terjadi sebelum salam diunggulkan. Wallahu 'alam


SHALAT FARDHU DAN NAFILAH PAFA SATU TEMPAT

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Sahalih Al-utsaimin ditanya : "Bagaimana hukumnya seseorang shalat fardhu pada satu tempat lalu ia melakukan shalat sunnat (nafilah) pada tempat itu sendiri .?"

Jawaban:
Masalah diatas tidak jadi suatu penghalang. Tetapi para ulama berpendapat bahwa jika seseorang shalat fardhu pada suatu tempat, sebaiknya di pindah tempat bila mau shalat sunnat berdasarkan keterangan hadits Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan agar shalat jangan disambung dengan shalat lainnya hingga yang melakukannya keluar dulu atau berkata-kata".

Hal ini diperhatikan karena syari'at sangat menjaga batas pemisah antara shalat fardhu dengan nafilah, kecuali jika shaf shalat penuh berdesakan, maka hal itu tak perlu dilakukan sebab dapat menggangu yang ada. Karena itu, sebaiknya shalat sunnat dilakukan di rumah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumah kecuali shalat fardhu".
Nabi-pun tak pernah melakukan shalat nafilah kecuali di rumahnya.

[Disalin dari buku Fatawa Syekh Muhammad Al-Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-Fatwa Al-'Ustaimin, oelh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Gema Risalah Pres, hal. 136-137,146-148 dan 158-159 alih bahasa Prof.Drs.KH Masdar Helmy]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar