Shalat Malam Adalah Kebiasaan Orang Shalih



Tentu kita sangat ingin menjadi orang yang shalih dan dinilai sebagai hamba yang shalih di sisi Allah. Salah satu kebiasaan orang shalih adalah melakukan shalat malam. Perlu diperhatikan bahwa yang namanya “kebiasaan” berarti hal yang cukup sering dilakukan. Bagaimana dengan orang yang merasa diri shalih tetapi tidak pernah shalat malam atau jarang sekali shalat malam? Semoga kita termasuk hamba yang sering shalat malam.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Lakukanlah shalat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan dan mencegah dari perbuatan dosa.” [HR. Tirmidzi, Hadist hasan]

Makna dari kata “da’bu” (ُ ﺩَﺃْﺏُ) adalah (ْ ﻋَﺎﺩَﺗُﻬُﻢْ ﻭَﺷَﺄْﻧُﻬُﻢْ) yaitu  kebiasaan dan hal yang menjadi perhatian. Ini adalah perhatian orang shalih, yaitu nemperhatikan shalat malam mereka, bahkan sebagian orang shalih menjadikan shalat malam sebagai salah satu gambaran kondisi keimanan mereka. Apabila mereka melakukan maksiat dan dosa, maka iman mereka akan turun dan akan sulit bangun shalat malam.

Hasan Al-Basri berkata,

“Sesungguhnya seseorang itu ketika berbuat dosa, bisa jadi akan diharamkan (susah melakukan) shalat malam.” [Al-Mujalasah wa Jawahirul Ilmi no. 403]

Ciri hamba Allah “ibadurrahman” adalah  melakukan shalat malam, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (Al-Furqaan/25: 64)

Salah satu ciri orang yang rajin ibadah dan memprioritaskan Allah adalah tidak malas dan tidak banyak tidur.

Allah berfirman,
َ
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzaariyaat/51: 17-18)

Waktu sepertiga malam terakhir memiliki banyak sekali keutamaan. Tentu orang yang shalih tidak akan melewati kesempatan ini. Perhatikan keutamaannya pada hadits berikut,

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu tertentu, yang bila seorang muslim memohon kepada Allah dari kebaikan dunia dan akhirat pada waktu itu, maka Allah pasti akan memberikan kepadanya, dan hal tersebut ada di setiap malam.” [HR. Muslim]

Pada waktu inilah hati seorang muslim lebih lembut dan lebih mudah kembali kepada Allah serta akan ditingkatlan keimanannya. Ibnu Taimiyyah berkata,

“Manusia pada akhir malam, keadaan hatinya akan fokus dan dekat kepada Allah serta lembut, di mana tidak didapati keadaan ini kecuali pada waktu tersebut.” [Majmu’ Fatawa 5/130]

Amalan Lebih Baik Kontinu Walaupun Sedikit

Semoga kita termasuk hamba Allah yang shalih dan dipermudah untuk shalat malam

Artikel www.muslim.or.id


Ternyata Tidak Boleh Langsung Sholat Sunnah Selepas Sholat Fardhu





Seringkali kita dapati, sebagian kaum muslimin seusai sholat fardhu langsung berdiri di tempat dia sholat, untuk menunaikan sholat sunnah. Tanpa memberi jeda antara keduanya. Hal yang demikian, apakah dibenarkan dalam syari’at islam? Tidak sedikit dari kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini.

Dalam Islam diajarkan, tatkala seseorang usai sholat fardhu, jika ingin melakukan sholat sunnah, hendaklah ia mengambil jeda antara keduanya. Baik itu dengan bicara ataupun dengan berpindah tempat sholat.

Sebagaimana dijelaskan dalam hadis ini,

Dari Saib bin Yazid bahwasannya Mu’awiyah Rodhiyallohu ‘anhu berkata :

“Apabila kamu telah usai menunaikan sholat jum’at, maka janganlah kamu menyambungnya dengan sholat (sunnah) . Sehingga  kamu berbicara atau keluar (dari masjid). Karena sesungguhnya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami demikian. Supaya kita tidak menyambung antara sholat (fardhu) dengan sholat (sunnah)”. (HR. Muslim)

Pada hadis di atas, terdapat larangan melangsungkan sholat sunnah usai sholat fardhu. Sebagaimana di dalamnya juga terdapat perintah untuk mengambil jeda, baik itu dengan bicara ataupun berpindah tempat.

Jeda dengan bicara, termasuk di dalamnya adalah dzikir-dzikir setelah sholat. Semisal astaghfirulloh 3x, allohumma antassalaam…, tasbih, tahmid, takbir, dan dzkikir-dzikir yang lainnya.

Maka apabila seseorang telah usai dari sholat fardhu lalu dilanjutkan dengan membaca dzikir-dzikir, tidaklah mengapa ia berdiri ditempat ia sholat fardhu untuk menunaikan sholat sunnah. Karena dia telah memberikan jeda diantara keduanya, yaitu dalam bentuk bicara (dzikir-dzikir).

Adapun jeda dengan berpindah tempat, yang paling utama adalah keluar dari masjid, lalu menunaikan sholat sunnah di rumah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam,

“Sholat seseorang dirumahnya itu lebih utama daripada sholatnya di masjidku ini (nabawi) kecuali sholat wajib”

Diantara jeda dengan berpindah tempat ialah bergeser dari tempat ia sholat fardhu.

Dengan demikian, berarti ia telah menjauhi larangan (melangsungkan sholat sunnah di tempat ia sholat fardhu dan tanpa jeda). Juga menjalankan perintah (mengambil jeda antara sholat fardhu dan sholat sunnah). Tatkala seseorang bergeser dari tempat ia shoalt fardhu, maka itu juga dalam rangka memperbanyak tempat yang dia beribadah diatasnya. Sehingga tatkala hari akhir kelak, ia akan besaksi bahwasannya ditempat ini fulan telah beribadah. Sebagaimana firman Alloh Ta’aalaa dalam surat azzalzalah :

“Pada hari itu dia (bumi) akan  menceritakan beritanya”

Sehingga, mengambil jeda setelah sholat fardhu untuk melaksanakan sholat sunnah adalah termasuk perintah Alloh dan Rosul-Nya. Sebagai musli, seyogyanya kita mengikuti, tunduk, patuh terhadap apa yang diperintahkan.

Demikian..

Wallahua’lam.

***

Ditulis oleh : Alfiyan Nurdiyansyah, Lc

(Alumni Pondok Pesantren Hamalatulquran Yogyakarta, Alumni (s1) Fakultas Syariah, Al-Azhar University, Kairo, Mesir).

TUNTUNAN SHALAT IDUL ADHA





Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘alaa Rasulillah. Pembaca rahimakumullah, sebentar lagi kaum muslimin akan merayakan hari Idul Adha. Ada baiknya kita mempelajari sejenak tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat ‘Idul Adha. Semoga kita dapat mengamalkannya.

Idul Adha Adalah Hari Raya Kaum Muslimin

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata : “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata : Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya kurban (‘Idul Adha) dan hari raya ‘Idul Fitri” (HR. Ahmad, shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa kaum muslimin hanya memiliki dua hari raya tahunan, salah satunya adalah Idul Adha.

Hukum Shalat ‘Id

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat ‘Id. Ada yang berpendapat fardhu kifayah, fardhu ‘ain, dan sunnah (dianjurkan). Namun yang lebih tepat, hukumnya adalah fardhu ‘ain, artinya wajib bagi setiap individu kaum muslimin. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan kaum wanita, bahkan termasuk pula wanita yang sedang haid, untuk menuju ke tempat pelaksanaan shalat ‘Id. Seandainya hanya sekadar fardhu kifayah atau sunnah saja, maka cukup dilaksanakan oleh kaum laki-laki saja. Selain itu pelaksanaan shalat ‘Idul Adha juga merupakan salah satu bentuk syiar  Islam.

Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat hari raya ‘Id agar memerintahkan para gadis dan wanita yang dipingit, serta wanita haid. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat.” (HR. Muslim)

Al ‘Alamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melaksanakan shalat ‘Ied setiap hari raya, dan tidak pernah meninggalkan dalam satu hari ‘Id pun. Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan manusia keluar rumah untuk menuju shalat ‘Id, sampai-sampai Nabi perintahkan wanita yang masih gadis untuk keluar, demikian pula wanita yang sedang dipingit, dan wanita yang sedang haid, namun Nabi perintahkan wanita haid untuk menjauhi tempat shalat. Tujuannya agar mereka menyaksikan kebaikan dan doa kaum muslimin. Nabi juga memerintahkan wanita yang tidak punya jilbab supaya dipinjami oleh temannya. Ini semua menunjukkan bahwa shalai ‘Id hukumnya wajib ‘ain yang ditekankan bagi setiap muslim, bukan wajib kifayah. Perintah untuk keluar rumah melazimkan perintah untuk shalat bagi orang yang tidak memiliki halangan untuk shalat. Karena keluar dari rumah adalah sarana utuk melaksanakan shalat ‘Id. Wajibnya sarana menunjukkan wajibnya hukum tujuan. Jika kaum  wanita diperintahkan, maka kaum laki-laki lebh utama daripada wanita untuk melaksanakannya”

Waktu dan Tempat Pelaksanaannya

Waktu pelaksanaan shalat ‘Id adalah waktu dhuha. Al ‘Alamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah mengatakan : “Waktunya adalah setelah meningginya matahari setinggi tombak sampai zawwal (bergesernya matahari ke arah barat). Para ulama telah ijma’ (sepakat) tetang masalah ini”

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengakhirkan shalat ‘Idul Fitri dan mempercepat pelaksanaan ‘Idul Adha. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak keluar menuju tempat shalat sampai matahari meninggi”. Disunnahkan untuk menyegerakan pelaksanaan shalat ‘Idul Adha agar bisa segera melaksanakan penyembelihan hewan kurban.

Yang utama adalah melaksanakan shalat ‘Id di mushalla (tanah lapang), kecuali jika ada uzur seperti hujan. Abu Sa’id Al Khudri radhiyallau ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar rumah pada hari ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha menuju tanah lapang”  (HR. Bukhari dan Muslim)

Berjalan Kaki Menuju Tempat Shalat ‘Id

Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak menaiki kendaraan kecuali jika ada kebutuhan. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘Id dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang.“ (HR. Ibnu Majah, hasan). Dianjurkan pula melewati jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melaksankan shalat ‘Id, beliau melewati jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang.“ (HR. Bukhari). Disunnahkan pula untuk mengeraskan bacaan takbir selama perjalanan menuju tempat shalat.

Mandi dan Memakai Pakaian yang Bagus

Dianjurkan mandi sebelum berangkat shalat. Sa’id bin Musayyib rahimahullah mengatakan : “Sunnah hari raya (‘Idul Fitri) ada tiga : “Berjalan menuju tanah lapang, makan sebelum keluar rumah, dan mandi”. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan : “Dianjurkan untuk mandi pada hari ‘Id. Sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa mandi pada hari raya ‘Idul Fitri”. Begitu juga dianjurkan untuk memilih pakaian yang bagus. Diriwayatkan bahwa sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa memakai pakaian yang paling bagus pada hari raya ‘Id”.

Tidak Makan Sebelum Shalat ‘Idul Adha

Buraidah radhiyallahu’anhu mengatakan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar menuju shalat ‘Idul Fithri sebelum makan terlebih dahulu. Adapun pada hari raya kurban, beliau tidak makan sebelum pulang dari tempat shalat kemudian memakan sembelihan beliau” (HR. Tirmidzi, hasan). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Adapun pada hari raya ‘Idul Adha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan hingga beliau pulang dari tempat shalat kemudian makan dari sembelihan beliau”

Tidak Ada Adzan dan Iqomah

Jabir bin Samurah berkata : “Aku pernah melaksanakan shalat ‘Id bersama Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali, ketika itu tidak ada adzan maupun iqomah”  (HR. Muslim)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di tempat shalat, beliau melaksanakan shalat ‘Id tanpa didahului adzan dan iqomah. Beliau juga tidak mengatakan “As Shalaatu Jaami’ah”. Termasuk ajaran nabi adalah tidak melakukan hal tersebut”

Tidak Ada Shalat Sebelum dan Sesudahnya

Tidak ada shalat sunnah sebelum shalat ‘Id maupun sesudahnya. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada hari ‘Idul Adha atau ‘Idul Fithri. Beliau mengerjakan shalat dua raka’at namun tidak mengerjakan shalat sunnah sebelum dan sesudahnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tata Cara Shalat Idul Adha

Secara ringkas, pelaksanaan tata cara shalat ‘Id adalah sebagai berikut :

Dimulai dengan takbiratul ihram, seperti shalat yang lainnya.
Pada rakaat pertama ditambah takbir tambahan (zawaaid) sebanyak 7 kali selain takbiratul ihram
Pada rakaat kedua ditambah takbir sebanyak lima kali
Dibolehkan mengangkat tangan ketika takbir tambahan sebagaimana yang dicontohkan sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma
Tidak ada dzikir khsusus yang dibaca diantara takbir. Namun terdapat riwayat dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan : “Di antara takbir, hendaklah memuji Allah”
Setelah selesai takbir tambahan, kemudian membaca Al Fatihah dan surat pilihan
Dianjurkan untuk membaca suarat Qaaf pada rakaat pertama dan surat Al Qamar pada rakaat kedua. Atau bisa juga membaca surta Al A’laa dan Al Ghasiyah.

Jika Hari ‘Id Bertepatan dengan Hari Jum’at

Jika hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melakukan shalat ‘Id boleh tidak melaksanakan shalat Jum’at. Namun tetap wajib melaksanakan shalat dzuhur. Sebaiknya bagi imam masjid untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang bisa tetap melaksanakan shalat Jum’at.

Iyas bin Abi Ramlah berkata : “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya kepada Zaid bin Arqam : “Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘Id (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan melaksanakannya.” (HR. Abu Dawud, shahih)

Referensi :

Ahkaamul ‘Idain fii As Sunnah Al Muthahharah karya Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Al Halabi hafidzahullah

Asy Syarhul Mumti’ ‘alaa Zaadil Mustaqni’ karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah

https://buletin.muslim.or.id/tuntunan-shalat-idul-adha/

3 Doa Ini Jangan Sampai Dilupakan saat Sujud dalam Sholat





KETIKA kita bersujud, itu adalah dimana ketika hampir tidak ada hijab dengan Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Maka tidak heran, kita dianjurkan untuk banyak berdoa setiap kali kita bersujud.

Nah, dari semua itu, ada tiga doa yang janganlah kita lupakan dalam sujud.

1. Mintalah diwafatkan dalam keadaan khusnul khotimah

Allahumma inni as’aluka husnal khotimah

Artinya : “Ya Allah aku meminta kepada-MU husnul khotimah.”

2. Mintalah agar kita diberikan kesempatan taubat sebelum wafat

Allahummarzuqni taubatan nasuha qoblal maut

Artinya: “Ya Allah berilah aku rezeki taubat nasuha (atau sebenar-benarnya taubat) sebelum wafat.”

3. Mintalah agar hati kita ditetapkan di atas agamaNya.

Allahumma yaa muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘ala diinika

Artinya: “Ya Allah wahai sang pembolak balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.” []

Diberdayakan oleh Blogger.