Shalat Jenazah Pake Ruku'? (Ceramah Kocak Cara Sholat Jenazah)




SHALAT JENAZAH PAKE RUKU’?
Shalat jenazah pake ruku’? ya, kejadian ini pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Apakah Anda juga pernah mengalaminya? Lalu, bagaimanakah hukumnya jika ditinjau dari kacamata syar’i?
Yuk, tonton video ini. (www.yufidstore.com)

Shalat Di Atas Kendaraan - Ustadz Ammi Nur Baits - Tutorial Cara Sholat ...




Shalat Di Atas Kendaraan – Ustadz Ammi Nur Baits 
Shalat di atas kendaraan?!? Kedengarannya aneh ya … Cara sholat di kendaraan tidak jauh berbeda dengan tata cara shalat saat mukim, hanya pada kondisi tertentu saja yang mesti diperhatikan. Shalat di atas motor ini hanya berlaku bagi shalat sunnah saja, adapun shalat wajib, maka ditunaikan sebagaimana yang dituntunkan. Bagaimana cara menentukan arah kiblat sholat sewaktu di atas alat transportasi; cara sholat dalam kereta; cara sholat dalam pesawat; cara sholat sambil duduk; cara sholat dalam kapal, dan sederet pertanyaan serupa yang Anda miliki, temukan jawabannya di sini! (Yufid.TV official website: http://yufid.tv)


Cara Sholat & Bacaan Sholat yang Benar Sesuai dengan Tata Cara Sholat Na...

Berikut ini rangkaian tata cara shalat yang baik dan benar lewat  video.Tutorial tata cara shalat ini cocok untuk bagi Anda yang belum bisa shalat, atau bagi Anda yang sudah bisa shalat akan tetapi ingin menyempurnakan gerakan dan bacaan shalat Anda.



Sumber: tatacarasholat.com

Terkena Najis Ketika Shalat



Ketika seseorang shalat, anaknya ngompol di bajunya, apa yang harus dilakukan?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bercerita,
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat mengimami para sahabat, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandalnya, lalu beliau letakkan di sebelah kirinya. Para jamaah yang melihat itu langsung melepaskan sandal mereka. Seusai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
‘Mengapa kalian melepas sandal kalian?’
‘Kami melihat anda melepaskan sandal anda, kamipun melepaskan sandal kami.’ Jawab para sahabat.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya Jibril ‘alaihis shalatu was salam mendatangiku, beliau menyampaikan bahwa di kedua sandalku ada kotoran… (HR. Abu Daud 605 dan dishahihkan al-Albani).
Hadis ini merupakan dalil, wajibnya menjauhkan diri dari najis ketika shalat. Dan jika tidak diketahui maka dimaafkan. (Aunul Ma’bud, Syarh Abu Daud, 2/37).
Sampaipun harus melepas sebagian yang kita pakai, seperti sandal atau tutup kepala atau semacamnya, selama tidak menyebabkan terbuka aurat. Namun jika yang terkena najis adalah pakaian yang menutupi aurat, maka tidak perlu dilepas. Misal mukena bagi wanita, yang jika dilepas rambut kepalanya akan terbuka, atau sarung bagi lelaki, yang jika dilepas pahanya akan terbuka.
Jika tidak boleh melepas, lalu apa yang harus dilakukan?
Ada 2 rincian dalam hal ini,
[1] Jika masih memiliki pakaian ganti, shalat dibatalkan dan ganti pakaian yang suci.
[2] Jika tidak memiliki pakaian ganti dan tidak mungkin untuk mencucinya, tetap lanjutkan shalat, meskipun ada najisnya.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
Jika seseorang mengetahui ada najis ketika sedang shalat, dan memungkinkan baginya untuk melepaskan pakaian yang ada najisnya, maka dia lepad dan dia bisa melanjutkan shalat. Demikian pula ketika dia tidak ingat ada najis, dan baru ingat di tengah shalat, maka dia lepaskan bagian pakaian yang terkena najis dan lanjutkan shalatnya.
Maksud keterangan beliau, jika pakaian yang dilepas tidak sampai menyebabkan terbukanya aurat.
Kemudian beliau melanjutkan,
Namun jika najisnya mengenai baju, sementara dia tidak memakai lapisan baju lain, lalu dia teringat bahwa bajunya ada najisnya, maka dia harus membatalkan shalat. Karena dia tidak mungkin melepas bajunya. Sebab jika dilepas, dia bisa telanjang. Dalam hal ini kita sarankan, batalkan shalatmu, cuci bajumu dan mulai shalat dari awal.
Sementara untuk mereka yang tidak mungkin mengganti pakaiannya, beliau menyarankan,
Sementara yang tidak mungkin dilepaskan atau najisnnya dikurangi, maka tidak masalah baginya. Allah berfirman (yang artinya), ‘Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian.’ Anda bisa shalat meskipun ada najis, dan tidak perlu diulangi, menurut pendapat yang lebih kuat. Karena ini bagian dari taqwa kepada Allah semampunya.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Shalat Dengan Baju Kaos Oblong Seadanya?



Sebagian orang ada yang shalat atau shalat berjamaah dengan baju seadanya, semisal baju kaos oblong yang sudah lama dan lusuh. Shalatnya sah selama menutup aurat, akan tetapi perlu diperhatikan adab dalam hal ini.

“Ketika menghadap bos dan manusia, memakai baju bagus, tapi ketika menghadap Allah pakai baju seadanya saja”

Allah pencipta kita lebih berhak dalam hal berhiasnya manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka pakaialah kedua pakaiannya, karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk berhias kepada-Nya.” (Silsilah Ash- Shahiihah 1369)

Kita diperintahkan shalat dengan “perhiasan” yang baik, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).

Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini agar kita memakai pakaian terbaik ketika shalat. Beliau berkata,

“Ayat ini menunjukkan makna bahwa termasuk sunnah yaitu dianjurkan berhias ketika shalat, lebih-lebih ketika hari jumat dan hari ‘ied. Memakai parfum dan bersiwak untuk menyempurnakannya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Syaikh As-Sa’diy menafsirkan dengan pakaian yang bersih dan bagus, beliau berkata:

“Termasuk  makna (perhiasan/az-zinah) di sini adalah lebih dari sekedar menutup aurat, yaitu pakaian yang bersih dan bagus”. (Lihat Tafsir As-Sa’diy)

Bagaimana patokan “berhias” di sini?
Berhias seperti apa?
Jawabannya: karena syariat tidak menyebutkan secara rincu, maka dikembalikan kepada ‘urf/adat kebiasaan setempat yang menilai inilah pakaian terbaik dan sopan ketika shalat.

Misalnya di tempat kita di Indonesia:
Memakai sarung bagus, baju koko dan kopiah hitam
Atau memakai gamis yang bagus dan peci putih
Atau shalat dengan seragam kantor yang ketika di kantor
NOTE: Bagus tidak harus mahal

“Adat/kebiasaan dapat dijadikan sandaran hukum”

Mari kita biasakan berhias dan memakai baju yang bagus ketika shalat dan mendakwahkan kepada kaum muslimin


Artikel www.muslimafiyah.com


Ternyata Tidak Boleh Langsung Sholat Sunnah Selepas Sholat Fardhu



Seringkali kita dapati, sebagian kaum muslimin seusai sholat fardhu langsung berdiri di tempat dia sholat, untuk menunaikan sholat sunnah. Tanpa memberi jeda antara keduanya. Hal yang demikian, apakah dibenarkan dalam syari’at islam? Tidak sedikit dari kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini.
Dalam Islam diajarkan, tatkala seseorang usai sholat fardhu, jika ingin melakukan sholat sunnah, hendaklah ia mengambil jeda antara keduanya. Baik itu dengan bicara ataupun dengan berpindah tempat sholat.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis ini,
Dari Saib bin Yazid bahwasannya Mu’awiyah Rodhiyallohu ‘anhu berkata :
 “Apabila kamu telah usai menunaikan sholat jum’at, maka janganlah kamu menyambungnya dengan sholat (sunnah) . Sehingga  kamu berbicara atau keluar (dari masjid). Karena sesungguhnya Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami demikian. Supaya kita tidak menyambung antara sholat (fardhu) dengan sholat (sunnah)”. (HR. Muslim)
Pada hadis di atas, terdapat larangan melangsungkan sholat sunnah usai sholat fardhu. Sebagaimana di dalamnya juga terdapat perintah untuk mengambil jeda, baik itu dengan bicara ataupun berpindah tempat.
Jeda dengan bicara, termasuk di dalamnya adalah dzikir-dzikir setelah sholat. Semisal astaghfirulloh 3x, allohumma antassalaam…, tasbih, tahmid, takbir, dan dzkikir-dzikir yang lainnya.
Maka apabila seseorang telah usai dari sholat fardhu lalu dilanjutkan dengan membaca dzikir-dzikir, tidaklah mengapa ia berdiri ditempat ia sholat fardhu untuk menunaikan sholat sunnah. Karena dia telah memberikan jeda diantara keduanya, yaitu dalam bentuk bicara (dzikir-dzikir).
Adapun jeda dengan berpindah tempat, yang paling utama adalah keluar dari masjid, lalu menunaikan sholat sunnah di rumah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam,
 “Sholat seseorang dirumahnya itu lebih utama daripada sholatnya di masjidku ini (nabawi) kecuali sholat wajib”
Diantara jeda dengan berpindah tempat ialah bergeser dari tempat ia sholat fardhu.
Dengan demikian, berarti ia telah menjauhi larangan (melangsungkan sholat sunnah di tempat ia sholat fardhu dan tanpa jeda). Juga menjalankan perintah (mengambil jeda antara sholat fardhu dan sholat sunnah). Tatkala seseorang bergeser dari tempat ia shoalt fardhu, maka itu juga dalamrangka memperbanyak tempat yang dia beribadah diatasnya. Sehingga tatkala hari akhir kelak, ia akan besaksi bahwasannya ditempat ini fulan telah beribadah. Sebagaimana firman Alloh Ta’aalaa dalam surat azzalzalah :
 “Pada hari itu dia (bumi) akan  menceritakan beritanya”
Sehingga, mengambil jeda setelah sholat fardhu untuk melaksanakan sholat sunnah adalah termasuk perintah Alloh dan Rosul-Nya. Sebagai musli, seyogyanya kita mengikuti, tunduk, patuh terhadap apa yang diperintahkan.
Demikian..
Wallahua’lam.
***
Sumber: http://hamalatulquran.com

15th April 2018 Makkah Fajr Adhaan Sheikh Essam Khan & TATA CARA ADZAN DAN IQOMAH




Tata Cara Adzan Dan Iqomah
Adzan dan Iqomah merupakan di antara amalan yang utama di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
“Imam sebagai penjamin dan muadzin (orang yang adzan) sebagai yang diberi amanah, maka Allah memberi petunjuk kepada para imam dan memberi ampunan untuk para muadzin” [1]
Berikut sedikit penjelasan yang berkaitan dengan tata cara adzan dan iqomah.
Pengertian Adzan
Secara bahasa adzan berarti pemberitahuan atau seruan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At Taubah Ayat 3:
 وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ
“dan ini adalah seruan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia”
Adapun makna adzan secara istilah adalah seruan yang menandai masuknya waktu shalat lima waktu dan dilafazhkan dengan lafazh-lafazh tertentu. [2]
Hukum Adzan
Ulama berselisih pendapat tentang hukum Adzan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum azan adalah sunnah muakkad, namun pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakanhukum adzan adalah fardu kifayah[3]. Akan tetapi perlu diingat, hukum ini hanya berlaku bagi laki-laki. Wanita tidak diwajibkan atau pun disunnahkan untuk melakukan adzan[4].
Syarat Adzan[5]
1.      Telah Masuk Waktu Shalat
Syarat sah adzan adalah telah masuknya waktu shalat, sehingga adzan yang dilakukan sebelum waktu solat masuk maka tidak sah. Akan tetapi terdapat pengecualian pada adzan subuh. Adzan subuh diperbolehkan untuk dilaksanakan dua kali, yaitu sebelum waktu subuh tiba dan ketika waktu subuh tiba (terbitnya fajar shadiq). [6]
2.      Berniat adzan
Hendaknya seseorang yang akan adzan berniat di dalam hatinya (tidak dengan lafazh tertentu) bahwa ia akan melakukan adzan ikhlas untuk Allah semata.
3.      Dikumandangkan dengan bahasa arab
Menurut sebagian ulama, tidak sah adzan jika menggunakan bahasa selain bahasa arab. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ulama dari Madzhab Hanafiah, Hambali, dan Syafi’i.
4.      Tidak ada lahn dalam pengucapan lafadz adzan yang merubah makna
Maksudnya adalah hendaknya adzan terbebas dari kesalahan-kesalahan pengucapan yang hal tersebut bisa merubah makna adzan. Lafadz-lafadz adzan harus diucapkan dengan jelas dan benar.
5.      Lafadz-lafaznya diucapkan sesuai urutan
Hendaknya lafadz-lafadz adzan diucapkan sesuai urutan sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang sahih. Adapun bagaimana urutannya akan dibahas di bawah.
6.      Lafadz-lafadznya diucapkan bersambung
Maksudnya adalah hendaknya antara lafazh adzan yang satu dengan yang lain diucapkan secara bersambung tanpa dipisah oleh sebuah perkataan atau pun perbuatan di luar adzan. Akan tetapi diperbolehkan berkata atau berbuat sesuatu yang sifatnya ringan seperti bersin.
7.      Adzan diperdengarkan kepada orang yang tidak berada di tempat muadzin
Adzan yang dikumandangkan oleh muadzin haruslah terdengar oleh orang yang tidak berada di tempat sang muadzin melakukan adzan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengeraskan suara atau dengan alat pengerasa suara.
Sifat Muadzin
1.      Muslim
Disyaratkan bahwa seorang muadzin haruslah seorang muslim. Tidak sah adzan dari seorang yang kafir. [7]
2.      Ikhlas hanya mengharap wajah Allah
Sepatutnya seorang muadzin melakukan adzan dengan niat ikhlas mengaharap wajah Allah. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “Tetapkanlah seorang muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya itu.”[8]
3.      Adil dan amanah
Yaitu hendaklah muadzin adil dan amanah dalam waktu-waktu shalat.
4.      Memiliki suara yang bagus
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada sahabat Abdullah bin Zaid: “pergilah dan ajarkanlah apa yang kamu lihat (dalam mimpi) kepada Bilal, sebab ia memiliki suara yang lebih bagus dari pada suaramu”[9]
5.      Mengetahui kapan waktu solat masuk
Hendaknya seorang muadzin mengetahui kapan waktu solat masuk sehingga ia bisa mengumandangkan adzan tepat pada awal waktu dan terhindar dari kesalahan. [10]
Sifat Adzan [11]
Terdapat tiga cara adzan, yaitu :
1.     Adzan dengan 15 kalimat, yaitu dengan lafazh [12]:
4x اَللهُ اَكْبَرُاَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ ×2
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ ×2
حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ ×2
حَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ ×2
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh abu hanifah dan imam ahmad.
2.     Adzan dengan 19 kalimat [13], yaitu sama seperti adzan cara  pertama akan tetapi ditambah dengan tarji’ (pengulangan) pada syahadatain. Tarji’ adalah mengucapkan syahadatain dengan suara pelan –tetapi masih terdengar oleh orang-orang yang hadir- kemudian mengulanginya kembali dengan suara keras. Jadi lafazah “asyhadu alla ilaaha illallaah”dan“asyhadu anna muhammadarrasulullah”masing-masing diucapkan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.
3.     Adzan dengan 17 kalimat, yaitu sama dengan cara adzan kedua akan tetapi takbir pertama hanya diucapkan dua kali, bukan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh Imam Malik dan sebagian Ulama’ Madzhab Hanafiah. Akan tetapi menurut penulis Shahiq Fiqh Sunnah, hadits yang menjelaskan kaifiyat ini adalah hadits yang tidak sahih. Sehingga adzan dengan cara ini tidak disyariatkan.
Yang Dianjurkan bagi Muadzin
1.      Adzan dalam keadaan suci
Hal ini berdasarkan dalil-dalil umum yang menganjurkan agar manusia dalam keadaan suci ketika berdizikir (mengingat) kepada Allah.
2.      Adzan dalam keadaan berdiri
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salamdalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar :“berdiri wahai bilal! Serulah manusia untuk melakukukan solat!”
3.      Adzan menghadap kiblat
4.      Memasukkan jari ke dalam telinga
Ini adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh sahabat Bilal ketika adzan. [14]
5.      Menyambung tiap dua-dua takbir
Maksudnya adalah menyambungkan kalimat Allahu akbar-allahu akbar, tidak dijeda antara keduanya. [15]
6.      Menolehkan kepala ke kanan ketika mengucapakan “hayya ‘alas shalah”dan menolehkan kepala ke kiri ketika mengucapakan “hayya ‘alal falah”. [16]
7.      Menambahkan “ash shalatu khairum minannaum” pada azan subuh. [17]

Pengertian Iqamah
Iqamah secara istilah maknanya adalah pemberitahuan atau seruan bahwa sholat akan segera didirikan dengan menyebut lafazh-lafazh khusus. [18]
Hukum Iqamah
Hukum iqamah sama dengan hukum adzan, yaitu fardu kifayah. Dan hukum ini juga tidak berlaku untuk wanita. [19]
Sifat Iqamah
Ada dua cara iqamah [20]:
1. Dengan sebelas kalimat [21], yaitu :
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
1x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
1x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
1xحَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2xقَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
2. Dengan tujuh belas kalimat [22], yaitu :
 4xاَللهُ اَكْبَرُ
2x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
2x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
2x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
2x حَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2x قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ
Apakah yang Melaksanakan Iqamah Harus Orang yang Mengumandangkan Adzan?
Sebagian besar ulama’ mengatakan hukumnya adalah hanya anjuran dan tidak wajib, sebagaimana kebiasaan Sahabat Bilal, beliau yang adzan beliau pula yang iqamah. Dan boleh hukumnya jika yang adzan dan iqamah berbeda. [23]
Catatan Kaki
[1] Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud (1203), At Tirmidzi (207), dan Ahmad (II/283-419)
[2] Lihat Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 84,  cetakan Maktabah Al Asadi, Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[3] Diantara ulama yang berpendapat bahwa hukum adzan adalah fardu kifayah adalah sebagian Ulama’ Mazhab Malikiyah dan Syafi’iah, Imam Ahmad, Atha’ bin Abi Robah, Mujahid, Al Auza’i, Ibnu Hazm, dan Ibnu Taimiyah. Sedangkan ulama’ yang berpendapat hukumnya adalah sunnah muakkad adalah Imam Abu Hanifah, sebagian Ulama’ Madzhab Syafi’iah dan Malikiyah. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 240,karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[4] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Sahabat Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Tidak ada adzan dan iqomah bagi wanita”
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 243, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[6] Ulama’ berselisih pendapat tentang hukum adzan sebelum waktu subuh tiba. Pendapat yang benar adalah hal tersebut dianjurkan. Ulama’ yang berpendapat bahwa hal tersebut dianjurkan diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq, Abu Tsauri, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm.
[7] Lihat Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 605, karya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[8] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud (531), At Tirmidzi (672), Ibnu Majah (714), dan An Nasa-i (672)
[9] Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[11] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[12]Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[13] Hal ini berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzuroh yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i (II/4).
[14] Hadits Shahih diriwayatkan oleh At Tirmidzi (197) dan Ahmad (IV/308).
[15] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Umar bn Khattab oleh Imam Muslim (385) dan Abu Dawud (523).
[16] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari (187) dan Muslim (503) dari Sahabat Abu Juhaifah.
[17] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad (16043), Abu Dawud (499),  At Tirmidzi (189), dan Ibnu Khuzaimah (386) dari Sahabat Anas bin Malik.
[18] Lihat Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[19] Ulama’ yang berpendapat bahwa adzan hukumnya adalah fardu kifayah maka mereka juga berpendapat iqomah hukumnya adalah fardu kifayah. Begitu juga dengan ulama’ yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah muakkad, maka iqomah juga sunnah muakkad. Lihat Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 85,  cetakan Maktabah Al Asadi dan Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Marom, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, keduanya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 254, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[21] Berdasarkan hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[22] Hal ini berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzurah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i (II/4)
[23] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 255, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.

Catatan editor
1.     Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa kita disunnahkan melatunkan adzan dengan suara yang baik dan hukum melagukan adzan itu makruh. (Demikian perkataan beliau dari durus  Al Muntaqa Al Akhbar ketika menjelaskan masalah Adzan). Karena melagukan adzan sering terjadi lahn (kesalahan dalam pengucapan). Wallahu a’lam.
2.     Sedangkan dalil yang menyebutkan, “Siapa yang adzan,  maka hendaklah dialah yang iqamah”, hadits ini adalah hadits yang dha’if. Hadits ini dikatakan dha’if oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil no. 237.

Penulis: Muhammad Rezki Hr
Editor: M. A. Tuasikal
Artikel
 www.muslim.or.id

Emotional Makkah Fajr 11th Jan 2013 Sheikh Ghamdi

Sheikh Khaled Al-Ghamdi (Imam Masjidil Haram)

Beliau lahir pada tahun 1388 H di Makkah. Ditetapkan sebagai Imam Masjidil Haram pada bulan Dzul Hijjah tahun 1428 H, hanya saja beliau tidak mulai mengimami kecuali pada bulan Muharram tahun ini (1429 H). Beliau meraih gelar Magister dan doktoral dalam bidang tafsir di Jami'ah Ummul Qura'.

Diberdayakan oleh Blogger.