Shalat jenazah
pake ruku’? ya, kejadian ini pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Apakah
Anda juga pernah mengalaminya? Lalu, bagaimanakah hukumnya jika ditinjau dari
kacamata syar’i?
Shalat di atas kendaraan?!?
Kedengarannya aneh ya … Cara sholat di kendaraan tidak jauh berbeda dengan tata
cara shalat saat mukim, hanya pada kondisi tertentu saja yang mesti
diperhatikan. Shalat di atas motor ini hanya berlaku bagi shalat sunnah saja, adapun
shalat wajib, maka ditunaikan sebagaimana yang dituntunkan. Bagaimana cara
menentukan arah kiblat sholat sewaktu di atas alat transportasi; cara sholat
dalam kereta; cara sholat dalam pesawat; cara sholat sambil duduk; cara sholat
dalam kapal, dan sederet pertanyaan serupa yang Anda miliki, temukan jawabannya
di sini! (Yufid.TV official website: http://yufid.tv)
Berikut ini rangkaian tata cara shalat yang baik dan benar lewat video.Tutorial tata cara shalat ini cocok untuk bagi Anda yang belum bisa shalat, atau bagi Anda yang sudah bisa shalat akan tetapi ingin menyempurnakan gerakan dan bacaan shalat Anda.
Ketika seseorang shalat, anaknya ngompol di bajunya,
apa yang harus dilakukan?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa
ba’du,
Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bercerita,
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang shalat mengimami para sahabat, tiba-tiba beliau
melepaskan kedua sandalnya, lalu beliau letakkan di sebelah kirinya. Para
jamaah yang melihat itu langsung melepaskan sandal mereka. Seusai shalat,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
‘Mengapa kalian melepas sandal kalian?’
‘Kami melihat anda melepaskan sandal anda, kamipun
melepaskan sandal kami.’ Jawab para sahabat.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya Jibril ‘alaihis shalatu was salam mendatangiku,
beliau menyampaikan bahwa di kedua sandalku ada kotoran… (HR. Abu Daud 605 dan
dishahihkan al-Albani).
Hadis ini merupakan dalil, wajibnya menjauhkan diri
dari najis ketika shalat. Dan jika tidak diketahui maka dimaafkan. (Aunul
Ma’bud, Syarh Abu Daud, 2/37).
Sampaipun harus melepas sebagian yang kita pakai,
seperti sandal atau tutup kepala atau semacamnya, selama tidak menyebabkan
terbuka aurat. Namun jika yang terkena najis adalah pakaian yang menutupi
aurat, maka tidak perlu dilepas. Misal mukena bagi wanita, yang jika dilepas
rambut kepalanya akan terbuka, atau sarung bagi lelaki, yang jika dilepas
pahanya akan terbuka.
Jika tidak boleh melepas, lalu apa yang harus
dilakukan?
Ada 2 rincian dalam hal ini,
[1] Jika masih memiliki pakaian ganti, shalat
dibatalkan dan ganti pakaian yang suci.
[2] Jika tidak memiliki pakaian ganti dan tidak
mungkin untuk mencucinya, tetap lanjutkan shalat, meskipun ada najisnya.
Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,
Jika seseorang mengetahui ada najis ketika sedang
shalat, dan memungkinkan baginya untuk melepaskan pakaian yang ada najisnya,
maka dia lepad dan dia bisa melanjutkan shalat. Demikian pula ketika dia tidak
ingat ada najis, dan baru ingat di tengah shalat, maka dia lepaskan bagian
pakaian yang terkena najis dan lanjutkan shalatnya.
Maksud keterangan beliau, jika pakaian yang dilepas
tidak sampai menyebabkan terbukanya aurat.
Kemudian beliau melanjutkan,
Namun jika najisnya mengenai baju, sementara dia tidak
memakai lapisan baju lain, lalu dia teringat bahwa bajunya ada najisnya, maka
dia harus membatalkan shalat. Karena dia tidak mungkin melepas bajunya. Sebab
jika dilepas, dia bisa telanjang. Dalam hal ini kita sarankan, batalkan
shalatmu, cuci bajumu dan mulai shalat dari awal.
Sementara untuk mereka yang tidak mungkin mengganti
pakaiannya, beliau menyarankan,
Sementara yang tidak mungkin dilepaskan atau najisnnya
dikurangi, maka tidak masalah baginya. Allah berfirman (yang artinya),
‘Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian.’ Anda bisa shalat meskipun ada najis,
dan tidak perlu diulangi, menurut pendapat yang lebih kuat. Karena ini bagian
dari taqwa kepada Allah semampunya.
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
Sebagian orang ada yang shalat atau shalat berjamaah
dengan baju seadanya, semisal baju kaos oblong yang sudah lama dan lusuh.
Shalatnya sah selama menutup aurat, akan tetapi perlu diperhatikan adab dalam
hal ini.
“Ketika menghadap bos dan manusia, memakai baju bagus, tapi ketika menghadap
Allah pakai baju seadanya saja”
Allah pencipta kita lebih berhak dalam hal berhiasnya manusia. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka pakaialah kedua pakaiannya,
karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk berhias kepada-Nya.” (Silsilah
Ash- Shahiihah 1369)
Kita diperintahkan shalat dengan “perhiasan” yang baik, sebagaimana firman
Allah Ta’ala,
“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al
A’raf: 31).
Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini agar kita memakai pakaian terbaik ketika
shalat. Beliau berkata,
“Ayat ini menunjukkan makna bahwa termasuk sunnah yaitu dianjurkan berhias
ketika shalat, lebih-lebih ketika hari jumat dan hari ‘ied. Memakai parfum dan
bersiwak untuk menyempurnakannya.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Syaikh As-Sa’diy menafsirkan dengan pakaian yang bersih dan bagus, beliau
berkata:
“Termasuk makna (perhiasan/az-zinah) di sini adalah lebih dari sekedar
menutup aurat, yaitu pakaian yang bersih dan bagus”. (Lihat Tafsir As-Sa’diy)
Bagaimana patokan “berhias” di sini?
Berhias seperti apa?
Jawabannya: karena syariat tidak menyebutkan secara rincu, maka dikembalikan
kepada ‘urf/adat kebiasaan setempat yang menilai inilah pakaian terbaik dan
sopan ketika shalat.
Misalnya di tempat kita di Indonesia:
Memakai sarung bagus, baju koko dan kopiah hitam
Atau memakai gamis yang bagus dan peci putih
Atau shalat dengan seragam kantor yang ketika di kantor
NOTE: Bagus tidak harus mahal
“Adat/kebiasaan dapat dijadikan sandaran hukum”
Mari kita biasakan berhias dan memakai baju yang bagus ketika shalat dan
mendakwahkan kepada kaum muslimin
Seringkali kita dapati, sebagian kaum muslimin seusai sholat fardhu
langsung berdiri di tempat dia sholat, untuk menunaikan sholat sunnah. Tanpa
memberi jeda antara keduanya. Hal yang demikian, apakah dibenarkan dalam
syari’at islam? Tidak sedikit dari kaum muslimin yang belum mengetahui hal ini.
Dalam Islam diajarkan, tatkala seseorang usai sholat fardhu, jika ingin
melakukan sholat sunnah, hendaklah ia mengambil jeda antara keduanya. Baik itu
dengan bicara ataupun dengan berpindah tempat sholat.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis ini,
Dari Saib bin Yazid bahwasannya Mu’awiyah Rodhiyallohu ‘anhu berkata
:
“Apabila kamu telah usai menunaikan
sholat jum’at, maka janganlah kamu menyambungnya dengan sholat (sunnah) .
Sehingga kamu berbicara atau keluar (dari masjid). Karena sesungguhnya
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami demikian. Supaya
kita tidak menyambung antara sholat (fardhu) dengan sholat (sunnah)”. (HR.
Muslim)
Pada hadis di atas, terdapat larangan melangsungkan sholat sunnah usai
sholat fardhu. Sebagaimana di dalamnya juga terdapat perintah untuk mengambil
jeda, baik itu dengan bicara ataupun berpindah tempat.
Jeda dengan bicara, termasuk di dalamnya adalah dzikir-dzikir
setelah sholat. Semisal astaghfirulloh 3x, allohumma antassalaam…, tasbih,
tahmid, takbir, dan dzkikir-dzikir yang lainnya.
Maka apabila seseorang telah usai dari sholat fardhu lalu dilanjutkan
dengan membaca dzikir-dzikir, tidaklah mengapa ia berdiri ditempat ia sholat
fardhu untuk menunaikan sholat sunnah. Karena dia telah memberikan jeda
diantara keduanya, yaitu dalam bentuk bicara (dzikir-dzikir).
Adapun jeda dengan berpindah tempat, yang paling utama adalah keluar
dari masjid, lalu menunaikan sholat sunnah di rumah. Sebagaimana yang
disabdakan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam,
“Sholat seseorang dirumahnya itu
lebih utama daripada sholatnya di masjidku ini (nabawi) kecuali sholat wajib”
Diantara jeda dengan berpindah tempat ialah bergeser dari tempat ia sholat fardhu.
Dengan demikian, berarti ia telah menjauhi larangan (melangsungkan sholat
sunnah di tempat ia sholat fardhu dan tanpa jeda). Juga menjalankan perintah
(mengambil jeda antara sholat fardhu dan sholat sunnah). Tatkala seseorang
bergeser dari tempat ia shoalt fardhu, maka itu juga dalamrangka memperbanyak
tempat yang dia beribadah diatasnya. Sehingga tatkala hari akhir kelak, ia akan
besaksi bahwasannya ditempat ini fulan telah beribadah. Sebagaimana firman
Alloh Ta’aalaa dalam surat azzalzalah :
“Pada hari itu dia (bumi) akan
menceritakan beritanya”
Sehingga, mengambil jeda setelah sholat fardhu untuk melaksanakan sholat
sunnah adalah termasuk perintah Alloh dan Rosul-Nya. Sebagai musli, seyogyanya
kita mengikuti, tunduk, patuh terhadap apa yang diperintahkan.
Adzan dan
Iqomah merupakan di antara amalan yang utama di dalam Islam. Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa salambersabda :
“Imam sebagai penjamin dan muadzin (orang yang adzan) sebagai yang diberi
amanah, maka Allah memberi petunjuk kepada para imam dan memberi ampunan untuk
para muadzin” [1]
Berikut
sedikit penjelasan yang berkaitan dengan tata cara adzan dan iqomah.
Pengertian Adzan
Secara
bahasa adzan berarti pemberitahuan atau seruan. Sebagaimana Allah berfirman
dalam surat At Taubah Ayat 3:
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ
“dan ini adalah seruan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia”
Adapun makna
adzan secara istilah adalah seruan yang menandai masuknya waktu shalat lima
waktu dan dilafazhkan dengan lafazh-lafazh tertentu. [2]
Hukum Adzan
Ulama
berselisih pendapat tentang hukum Adzan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum
azan adalah sunnah muakkad, namun pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini
adalah pendapat yang mengatakanhukum adzan adalah fardu kifayah[3]. Akan tetapi perlu diingat,
hukum ini hanya berlaku bagi laki-laki. Wanita tidak diwajibkan atau pun
disunnahkan untuk melakukan adzan[4].
Syarat Adzan[5]
1. Telah Masuk Waktu Shalat
Syarat sah
adzan adalah telah masuknya waktu shalat, sehingga adzan yang dilakukan sebelum
waktu solat masuk maka tidak sah. Akan tetapi terdapat pengecualian pada adzan
subuh. Adzan subuh diperbolehkan untuk dilaksanakan dua kali, yaitu sebelum
waktu subuh tiba dan ketika waktu subuh tiba (terbitnya fajar shadiq). [6]
2. Berniat adzan
Hendaknya
seseorang yang akan adzan berniat di dalam hatinya (tidak dengan lafazh
tertentu) bahwa ia akan melakukan adzan ikhlas untuk Allah semata.
3. Dikumandangkan dengan bahasa arab
Menurut
sebagian ulama, tidak sah adzan jika menggunakan bahasa selain bahasa arab. Di
antara ulama yang berpendapat demikian adalah ulama dari Madzhab Hanafiah,
Hambali, dan Syafi’i.
4. Tidak ada lahn dalam
pengucapan lafadz adzan yang merubah makna
Maksudnya
adalah hendaknya adzan terbebas dari kesalahan-kesalahan pengucapan yang hal
tersebut bisa merubah makna adzan. Lafadz-lafadz adzan harus diucapkan dengan
jelas dan benar.
5. Lafadz-lafaznya diucapkan sesuai
urutan
Hendaknya
lafadz-lafadz adzan diucapkan sesuai urutan sebagaimana dijelaskan dalam
hadits-hadits yang sahih. Adapun bagaimana urutannya akan dibahas di bawah.
6. Lafadz-lafadznya diucapkan bersambung
Maksudnya
adalah hendaknya antara lafazh adzan yang satu dengan yang lain diucapkan
secara bersambung tanpa dipisah oleh sebuah perkataan atau pun perbuatan di
luar adzan. Akan tetapi diperbolehkan berkata atau berbuat sesuatu yang
sifatnya ringan seperti bersin.
7. Adzan diperdengarkan kepada orang
yang tidak berada di tempat muadzin
Adzan yang
dikumandangkan oleh muadzin haruslah terdengar oleh orang yang tidak berada di
tempat sang muadzin melakukan adzan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara
mengeraskan suara atau dengan alat pengerasa suara.
Sifat Muadzin
1. Muslim
Disyaratkan
bahwa seorang muadzin haruslah seorang muslim. Tidak sah adzan dari seorang
yang kafir. [7]
2. Ikhlas hanya mengharap wajah Allah
Sepatutnya
seorang muadzin melakukan adzan dengan niat ikhlas mengaharap wajah Allah.
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :“Tetapkanlah
seorang muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya itu.”[8]
3. Adil dan amanah
Yaitu
hendaklah muadzin adil dan amanah dalam waktu-waktu shalat.
4. Memiliki suara yang bagus
Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa salam bersabda
kepada sahabat Abdullah bin Zaid:“pergilah dan ajarkanlah
apa yang kamu lihat (dalam mimpi) kepada Bilal, sebab ia memiliki suara yang
lebih bagus dari pada suaramu”[9]
5. Mengetahui kapan waktu solat masuk
Hendaknya
seorang muadzin mengetahui kapan waktu solat masuk sehingga ia bisa
mengumandangkan adzan tepat pada awal waktu dan terhindar dari kesalahan. [10]
Sifat Adzan [11]
Terdapat
tiga cara adzan, yaitu :
1.Adzan dengan 15 kalimat, yaitu
dengan lafazh [12]:
Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh abu
hanifah dan imam ahmad.
2.Adzan dengan 19 kalimat [13], yaitu
sama seperti adzan cara pertama akan tetapi ditambah dengan tarji’ (pengulangan)
pada syahadatain. Tarji’ adalah mengucapkansyahadataindengan suara pelan –tetapi masih
terdengar oleh orang-orang yang hadir- kemudian mengulanginya kembali dengan
suara keras. Jadi lafazah“asyhadu alla ilaaha illallaah”dan“asyhadu
anna muhammadarrasulullah”masing-masing diucapkan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang
dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.
3.Adzan dengan 17 kalimat, yaitu sama
dengan cara adzan kedua akan tetapi takbir pertama hanya diucapkan dua kali,
bukan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh Imam Malik
dan sebagian Ulama’ Madzhab Hanafiah. Akan tetapi menurut penulisShahiq
Fiqh Sunnah, hadits
yang menjelaskan kaifiyat ini adalah hadits yang tidak sahih. Sehingga adzan
dengan cara ini tidak disyariatkan.
Yang Dianjurkan bagi Muadzin
1. Adzan dalam keadaan suci
Hal ini
berdasarkan dalil-dalil umum yang menganjurkan agar manusia dalam keadaan suci
ketika berdizikir (mengingat) kepada Allah.
2. Adzan dalam keadaan berdiri
Sebagaimana
sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa salamdalam hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Umar :“berdiri wahai bilal! Serulah manusia untuk
melakukukan solat!”
3. Adzan menghadap kiblat
4. Memasukkan jari ke dalam telinga
Ini adalah
perbuatan yang biasa dilakukan oleh sahabat Bilal ketika adzan. [14]
5. Menyambung tiap dua-dua takbir
Maksudnya
adalah menyambungkan kalimat Allahu akbar-allahu akbar, tidak dijeda antara
keduanya. [15]
6. Menolehkan kepala ke kanan ketika
mengucapakan “hayya ‘alas shalah”dan menolehkan kepala ke kiri
ketika mengucapakan “hayya ‘alal falah”. [16]
7. Menambahkan “ash shalatu khairum
minannaum” pada azan subuh. [17]
Pengertian Iqamah
Iqamah
secara istilah maknanya adalah pemberitahuan atau seruan bahwa sholat akan
segera didirikan dengan menyebut lafazh-lafazh khusus. [18]
Hukum Iqamah
Hukum iqamah
sama dengan hukum adzan, yaitu fardu kifayah. Dan hukum ini juga tidak berlaku
untuk wanita. [19]
Apakah yang Melaksanakan Iqamah Harus Orang yang Mengumandangkan Adzan?
Sebagian
besar ulama’ mengatakan hukumnya adalah hanya anjuran dan tidak wajib,
sebagaimana kebiasaan Sahabat Bilal, beliau yang adzan beliau pula yang iqamah.
Dan boleh hukumnya jika yang adzan dan iqamah berbeda. [23]
—
Catatan Kaki
[1] Hadits
shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud (1203), At Tirmidzi (207), dan Ahmad
(II/283-419)
[2] LihatTaisirul
‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 84, cetakan Maktabah Al Asadi, Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[3] Diantara
ulama yang berpendapat bahwa hukum adzan adalah fardu kifayah adalah sebagian
Ulama’ Mazhab Malikiyah dan Syafi’iah, Imam Ahmad, Atha’ bin Abi Robah,
Mujahid, Al Auza’i, Ibnu Hazm, dan Ibnu Taimiyah. Sedangkan ulama’ yang
berpendapat hukumnya adalah sunnah muakkad adalah Imam Abu Hanifah, sebagian
Ulama’ Madzhab Syafi’iah dan Malikiyah. LihatShahih
Fiqh Sunnah, cetakan
Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 240,karya Syaikh Kamal bin As
Sayid Salim.
[4]
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Sahabat Ibnu
Umar, bahwasanya Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa salambersabda“Tidak
ada adzan dan iqomah bagi wanita”
[5] LihatShahih
Fiqh Sunnah, cetakan
Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 243, karya Syaikh Kamal bin As
Sayid Salim.
[6] Ulama’
berselisih pendapat tentang hukum adzan sebelum waktu subuh tiba. Pendapat yang
benar adalah hal tersebut dianjurkan. Ulama’ yang berpendapat bahwa hal
tersebut dianjurkan diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i,
Ishaq, Abu Tsauri, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm.
[7] LihatTaudihul
Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 605, karya Karya Syaikh Abdullah
Al Bassam.
[8] Hadits
Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud (531), At Tirmidzi (672), Ibnu Majah (714),
dan An Nasa-i (672)
[9] Hadits
Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706),
dan lain-lain.
[10] LihatShahih
Fiqh Sunnah, cetakan
Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As
Sayid Salim.
[11] LihatShahih
Fiqh Sunnah, cetakan
Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As
Sayid Salim.
[12]Hadits
Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706),
dan lain-lain.
[13] Hal ini
berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzuroh yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i
(II/4).
[14] Hadits
Shahih diriwayatkan oleh At Tirmidzi (197) dan Ahmad (IV/308).
[15]
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Umar bn Khattab oleh Imam
Muslim (385) dan Abu Dawud (523).
[16]
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari (187) dan Muslim (503)
dari Sahabat Abu Juhaifah.
[17]
Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad (16043), Abu Dawud
(499), At Tirmidzi (189), dan Ibnu Khuzaimah (386) dari Sahabat Anas bin
Malik.
[18] LihatTaudihul
Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, karya Syaikh Abdullah Al
Bassam.
[19] Ulama’
yang berpendapat bahwa adzan hukumnya adalah fardu kifayah maka mereka juga
berpendapat iqomah hukumnya adalah fardu kifayah. Begitu juga dengan ulama’
yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah muakkad, maka iqomah juga sunnah
muakkad. LihatTaisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 85, cetakan Maktabah Al
Asadi dan Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Marom, Cetakan Darul Mayman, Jilid I,
halaman 573, keduanya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[20] LihatShahih
Fiqh Sunnah, cetakan
Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 254, karya Syaikh Kamal bin As
Sayid Salim.
[21]
Berdasarkan hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi
(189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[22] Hal ini
berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzurah yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i
(II/4)
[23] LihatShahih
Fiqh Sunnah, cetakan
Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 255, karya Syaikh Kamal bin As
Sayid Salim.
Catatan
editor
1.Syaikh Shalih Al Fauzanhafizhahullah menjelaskan bahwa kita disunnahkan
melatunkan adzan dengan suara yang baik dan hukum melagukan adzan itu makruh.
(Demikian perkataan beliau dari durus Al Muntaqa Al Akhbar ketika
menjelaskan masalah Adzan). Karena melagukan adzan sering terjadi lahn
(kesalahan dalam pengucapan).Wallahu a’lam.
2.Sedangkan dalil yang menyebutkan, “Siapa yang
adzan, maka hendaklah dialah yang iqamah”, hadits ini adalah hadits yangdha’if. Hadits ini dikatakandha’ifoleh Syaikh Al Albani dalam Irwaul
Ghalil no. 237.
—
Penulis:
Muhammad Rezki Hr
Editor: M. A. Tuasikal
Artikelwww.muslim.or.id
Beliau lahir pada tahun 1388 H di Makkah. Ditetapkan sebagai Imam Masjidil Haram pada bulan Dzul Hijjah tahun 1428 H, hanya saja beliau tidak mulai mengimami kecuali pada bulan Muharram tahun ini (1429 H). Beliau meraih gelar Magister dan doktoral dalam bidang tafsir di Jami'ah Ummul Qura'.