Shalatlah Seperti Shalatnya Orang Yang Hendak Berpisah Dengan Dunia


Hadits
Dari Abu Ayub Al Anshari radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي وَأَوْجِزْ قَالَ إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ وَأَجْمِعْ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
“Seorang laki-laki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah. Berilah aku nasehat yang ringkas.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalau Engkau mengerjakan shalat, maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak meninggalkan (dunia). Jangan berbicara dengan satu kalimat yang esok hari kamu akan meminta udzur karena ucapan itu. Dan perbanyaklah rasa putus asa terhadap apa yang ditangan orang lain.”
(Hasan. Dikeluarkan oleh Ahmad (5/412), Ibnu Majah(4171), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/462) Al Mizzi (19/347) dan Lihat Ash Shahihah (401))
Penjelasan Hadits
Alangkah indahnya ketiga wasiat ini. Apabila dijalankan oleh seorang hamba, maka sempurnalah semua urusan dan tentu dia akan berhasil.
Wasiat pertama, menganjurkan untuk menyempurnakan shalat dan berijtihad agar mengerjakannya dengan sebaik-baiknya. Hal itu dengan menghisab diri terhadap semua shalat yang dikerjakan serta menyempurnakan semua kewajiban, fardhu ataupun sunnah-sunnah yang ada di dalam shalat. Hendaknya juga bersungguh sungguh merealisasikan tingkatan ihsan yang merupakan derajat tertinggi, dengan kehadiran yang betul-betul sempurna di hadapan Rabbnya. Yakni bahwa dia sedang berbicara lirih dengan Rabbnya melalui apa yang dibacanya, yakni doa ataupun dzikir-dzikir lainnya. Tunduk kepada Rabbnya dalam setiap posisi; berdiri, ruku’, sujud, turun maupun naik (dari ruku’ atau sujud serta akan berdiri).
Tujuan yang mulia ini didukung pula dengan kesiapan jiwa tanpa ragu dan rasa malas di hatinya. Bahkan, hatinya senantiasa hadir dalam setiap shalat, seakan-akan itu adalah shalat orang yang akan berpisah (mau meninggal dunia) atau seolah-olah tidak akan shalat lagi sesudah itu (karena wafat).
Sudah dimaklumi bahwa orang yang akan meninggal dunia akan berusaha dengan sunguh-sunguh mencurahkan segenap daya upayanya, bahkan selalu dalam keadaan mengingat pengertian-pengertian dan sebab yang kuat, sehingga mudahlah semua urusannya, lalu itu menjadi kebiasaannya.
Shalat dengan cara seperti itu akan mencegah pelakunya dari semua akhlak yang rendah dan mendorongnya berhias dengan akhlak yang menarik, karena hal itu akan memberi pengaruh dalam jiwanya, yaitu bertambahnya iman, cahaya, dan kegembiraan hati, serta kecintaan yang sempurna terhadap kebaikan.
Wasiat kedua, menganjurkan untuk menjaga lisan dan senantiasa mengawasinya karena menjaga lisanlah kendali semua urusan seseorang. Jika seseorang mampu menguasai lisannya, niscaya dia dapat menguasai seluruh anggota tubuhnya yang lain. Tetapi jika justru dirinya dikuasai oleh lisannya dan tidak menjaganya dari perkataan yang mengandung mudarat, maka urusannya akan sia-sia, baik agama maupun dunianya. Maka janganlah berbicara sepatah katapun melainkan harus diketahui apa manfaatnya bagi agama atau dunia. Semua pembicaraan yang di dalamnya ada kemungkinan mendapat kritik atau bantahan, hendaknya ditinggalkan, karena kalau dia berbicara maka dikuasai oleh ucapan tersebut, sehingga ia akan menjadi tawanannya. Bahkan, sering kali menimbulkan mudarat yang tidak mungkin dihindari.
Wasiat ketiga, menyiapkan diri bergantung hanya kepada Allah semata dalam semua urusan kehidupan dunia dan akhirat. Tidak meminta kecuali kepada Allah dan tidak bersikap tamak kecuali terhadap karunia-Nya. Juga menyiapkan diri untuk berputus asa terhadap apa yang ada di tangan manusia. Demikian itu karena ‘putus asa’ adalah penjaga. Siapa yang berputus asa dari sesuatu, dia akan measa tidak membutuhkannya. Sebagaimana dia tidak meminta dengan lisannya kecuali hanya kepada Allah maka hatinya pun tidak bergantung kecuali kepada Allah.
Oleh sebab itu, tetaplah menjadi seorang hamba sejati bagi Allah, selamat atau bebas dari pengabdian kepada sesama makhluk. Sungguh, dia telah memilih kebebasan dari perbudakan mereka dan dengan itu pula dia telah memperoleh kedudukan yang tinggi dan mulia. Sesungguhnya bergantung kepada sesama makhluk menimbulkan kehinaan dan jatuhnya harga diri dan kedudukan seseorang sesuai dengan tingkat ketergantungannya kepada mereka.
Wallahu a’lam.
Dikutip dari Buku Mutiara Hikmah Penyejuk Hati, Syarah 99 Hadits Pilihan
Terjemah dari Kitab Bahjatul Qulubil Abrar Qurratul Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di 

Panduan Cara Shalat Sesuai Nabi: Duduk Istirahat Setelah Sujud (sebelum bangkit)


Duduk Istirahat
1. Duduk istirahat adalah duduk sejenak ketika hendak bangkit dari satu rakaat ke rakaat berikutnya, yang tidak dipisahkan dengan tasyahud awal.
2. Ada 3 pendapat ulama tentang hukum duduk istirahat ketika shalat
  • Pendapat pertama, duduk istirahat tidak dianjurkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
  • Pendapat kedua, duduk istirahat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin setiap shalat. Ini adalah pendapat sahabat Malik bin Huwairits, Abu Humaid dan Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhum. Diantara ulama lain yang memilih pendapat ini adalah Imam As-Syafii menurut keterangan yang masyhur dari beliau dan salah satu keterangan Imam Ahmad.
  • Pendapat ketiga, duduk istirahat dianjurkan bagi yang membutuhkan dan tidak dianjurkan bagi yang tidak membutuhkan. Ini merupakan rincian yang dipilih Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan pendapat sebagian ulama kontemporer.(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 15/266 – 267)
3. Pendapat yang lebih tepat untuk duduk istirahat adalah dianjurkan, berdasarkan beberapa riwayat hadis,
  • Dari Malik bin Huwairits, beliau pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Ketika beliau hendak bangkit dari rakaat ganjil ke rakaat genap, beliau tidak langsung bangkit, sampai duduk sempurna. (HR. Bukhari 823)
  • Dari Malik bin Huwairits, bahwa beliau pernah mencontohkan cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap kali beliau hendak bangkit ke rakaat berikutnya, beliau duduk sempurna, kemudian baru bangkit dengan bertumpu pada tangan. (HR. As-Syafii dalam kitab Al-Umm, An-Nasai, dan dishahihkan Al-Albani)
4. Cara duduk istirahat sama persis seperti duduk diantara dua sujud, yaitu duduk iftirasy, telapak kaki kiri dibentangkan dan diduduki, sementara telapak kaki kanan ditegakkan.
5. Tidak ada takbir intiqal ketika bangkit dari sujud menuju duduk istirahat. Takbir intiqal baru dilakukan ketika bangkit ke rakaat berikutnya.
6. Tidak ada bacaan apapun ketika duduk istirahat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan Az-Zarkasyi dalam Al-Mantsur fil Qawaid (1/492).
7. Duduk istirahat hanya dilakukan sangat sebentar, dan dilanjutkan bangkit ke rakaat berikutnya.
8. Karena duduk istirahat hukumnya sunah, maka tidak harus dilakukan setiap kali shalat. Ibnu Hani’ dalam Masailnya dari Imam Ahmad mengatakan, “Saya melihat Imam Ahmad terkadang langsung bangkit ke rakaat berikutnya dan terkadang duduk istirahat, kemudian baru bangkit ke rakaat berikutnya.” (Al-Masail 1/57, dinukil dari kitab Sifat Shalat).

Kesalahan ketika duduk istirahat sesudah sujud dan ingin bangkit

1. Tidak melakukan duduk dengan sempurna.
Sebagian kaum muslimin ketika melakukan, mereka tidak duduk secara sempurna. Artinya, ketika masih dalam posisi condong dan belum tegak sempurna, dia sudah bangkit ke rakaat berikutnya. Sikap semacam ini tidak bisa disebut duduk istirahat, meskipun tidak sampai membatalkan shalat.
2. Duduk istirahat terlalu lama
Para ulama yang menganjurkan duduk istirahat menegaskan bahwa duduk ini dilakukan dengan ringan dan tidak lama. Sebagaimana ketarangan An-Nawawi dalam Al-Majmu’.

Ucapan “Ash Shalaatu Khoirum Minan Naum”


Alhamdulillah, Shalawat dan Salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga akhir jaman.
Sebagian kaum muslimin di negara kita mengingkari sunnah at-tatswib pada adzan subuh. Padalah at-tatswib merupakan amal yang disyariatkan. Tulisan berikut ini merupakan beberapa nukilan dari para ulama tentang masalah at-tatswib dan jawaban atas syubhat-syubhat mereka yang mengingkari at-tatswib dan menganggapnya sebagai bid’ah.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata, “Disunnahkan pada adzan subuh mengucapkan “Ash-Shalatu khairum minan naum” dua kali setelah mengucapkan, “Hayya ‘alal falah”ini pendapat Ibnu Umar, Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, Az-Zuhri, Malik, Ats-Tsauri, Al Auzai, Ishaq, Abu Tsaur dan As-Syafi’i sebagaimana yang valid darinya.”[1]
Dalilnya adalah hadis Abu Mahdzurah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku sunnah adzan.” Kemudian beliau menyebutkannya. Hingga beliau bersabda setelah ucapan “hayya ‘alal falah.”,
«فإن كان صلاة الصبح قلت : الصلاة خير من النوم الصلاة خير من النوم الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله»
“Pada shalat subuh, engkau mengucapkan, “Ash-Shalatu khairum minan naum, ash-shalatu khairum minan naum, Allahu akbar, Allahu akbar.”[2]
Diriwayatkan dari Bilal, ia berkata:
«أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أثوب في الفجر ونهاني أن أثوب في العشاء»
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk melakukan tatswib pada shalat fajar dan melarangnya pada shalat isya.”[3]
Asy-Syairazy –rahimahullah- berkata, “Dan pada adzan subuh ada tambahan padanya (adzan), yaitu setelah “hayya ‘alal falah” mengucapkan, “ash-shalatu khairum minan naum”
An-Nawawi berkata dalam Syarahnya, “Adapun tatswib, yang shahih padanya ada dua riwayat; yang shahih yang disebutkan oleh pengarang dan jumhur bahwa ia sunnah dengan dasar hadis Abu Mahdzurah.
Dari Anas bin Malik berkata, “Bagian dari sunnah adalah seorang muadzin berkata pada adzan fajar, “hayya ‘alal falah” kemudian berkata, “ash-shalatu khairum minan naum”,Allahu akbar, Allahu akbar.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, Ad-Daruquthny, Al Baihaqy. Al baihaqy berkata, “sanadnya shahih”[4]
Para fukaha sepakat atas tatswib, yaitu tambahan pada adzan shalat fajar setelah al falah, yaitu, “ash-shalatu khairum minan naum” dua kali, mengamalkan yang telah valid dari Bilal, juga dengan dasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Mahdzurah, “Pada shalat subuh, engkau mengucapkan, “Ash-Shalatu khairum minan naum, ash-shalatu khairum minan naum, Allahu akbar, Allahu akbar.”[5]
Dari nukilan-nukilan diatas jelaslah bahwa para ulama menyatakan at-tatswib merupakan sunnah adzan yang hanya dilakukan pada shalat subuh, dan tidak boleh dilakukan pada selain shalat subuh.
Meluruskan Pemahaman
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Sebagian kaum muslimin di zaman ini ada yang menyangka bahwa  adzan yang diucapkan padanya dua kalimat ini (at-tatswib) adalah adzan sebelum fajar. Syubhat mereka dalam hal ini adalah bahwa dalam sebagian riwayat hadis terdapat lafadz:
«إذا أذَّنت الأوَّلَ لصلاة الصُّبْحِ فقل: الصلاة خيرٌ من النَّوم»
Jika engkau adzan yang pertama untuk shalat subuh, maka ucapkanlah, “ash-shalatu khairum minan naum.”[6]
Dengan hadis ini mereka menyangka bahwa at-tatswib untuk adzan di akhir malam. Karena mereka menamainya dengan adzan awal. Dan mereka berkata bahwa at-tatswib pada adzan setelah masuk waktu subuh sebagai bid’ah.
Kita katakan: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau adzan yang pertama untuk shalat subuh.”, maka di sana disebutkan, “untuk shalat subuh”. Sebagaimana diketahui bahwa adzan pada akhir malam itu bukanlah untuk shalat subuh, akan tetapi sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah adalah, “Untuk membangunkan orang yang tidur.”[7] Adapun shalat subuh, tidak dilakukan adzan untuknya melainkan setelah terbit fajar. Jika adzan dilakukan sebelumnya, maka tidaklah disebut adzan untuk shalat subuh. Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika shalat telah datang, maka adzanlah salah seorang diantara kalian.” Dan diketahui juga bahwa shalat tidak datang kecuali setelah masuk waktunya.
Kemudian tinggal tersisa masalah pada sabda Nabi, “Jika engkau adzan yang pertama”. Maka kita katakan, hal itu tidak bermasalah. Karena adzan secara bahasa adalah i’lam (pemberitahuan), dan iqamat termasuk i’lam. Maka adzan subuh setelah masuk waktunya disebut adzan awal. Hal ini sebagaimana telah datang secara jelas dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah tentang shalat Nabi pada malam hari, “Beliau biasa tidur pada awal malam, dan menghidupkan akhirnya. Jika beliau ada keperluan kepada istrinya, maka beliau menyelesaikannya lalu beliau tidur. Dan ketika panggilan (adzan) yang pertama beliau bangun dan mandi. Jika beliau tidak junub maka beliau wudhu sebagaimana seseorang wudhu untuk shalat. Kemudian shalat dua rakaat.[8]
Maksud dari perkataan Aisyah, “panggilan yang pertama” adalah adzan fajar tanpa keraguan lagi. Disebut pertama karena iqamat (sebagai panggilan yang kedua). Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Antara dua adzan ada shalat.”[9]Maksud dua adzan adalah adzan dan iqamat. Maka, selesailah permasalahan lafadz “adzan pertama” dan tatswib dilakukan pada adzan saat masuk subuh.
Mereka juga mengatakan bahwa “ash-shalatu khairum minan naum” menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sebelum waktu subuh karena shalat yang dimaksud adalah shalat tahjjud, bukan shalat fardhu. Karena tidak ada perbandingan keutamaan antara shalat fardhu dan tidur. Dan khairiyyah (perbandingan dalam kebaikan) adalah dalam rangka untuk memotivasi. Hal ini lah juga yang menguatkan bahwa yang dimaksud dengan adzan (awal) itu adalah adzan pada akhir malam.
Kita katakan: bahwa anggapan ini disebabkan karena kekeliruan yang pertama. Khairiyyah terkadang digunakan untuk sesuatu yang paling wajib. Sebagaimana firman Allah, “(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Ash-Shaff [61]: 11)
Allah menyebutkan bahwa iman dan jihad itu khair (lebih baik), maksudnya lebih baik bagi kalian dari segala hal yang melenakan kalian berupa perdagangan kalian. Khairiyyah disini antara yang wajib dan yang selainnya.
Begitu juga dalam ayat lain Allah berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(QS. Al Jumu’ah [62]: 9)
Maksudnya adalah lebih baik dari jual beli. Dan diketahui bahwa menghadiri shalat jumat ke mesjid hukumnya wajib. Walau demikian Allah berfirman, “Yang demikian itu lebih baik bagimu.” Dengan demikian, jika melakukan at-tatswib pada adzan sebelum subuh, maka kita katakana, hal itu tidak disyariatkan.”[10]
Wallahu ‘alam, wa shallallahu ‘ala nabiyyinaa Muhammad.
Subang, 9 Ramadhan 1432
Artikel Muslim.Or.Id



[1] Al Mughny: vol. 2, hal. 61
[2] HR Abu Dawud: 500, Ahmad: 15379, Ibnu Hibban: 1682, Al Baihaqy: 1831, Dishahihkan Al Albany dalam “Misykat al Mashabih” no. 645
[3] HR Ibnu Majah: 715, Ahmad: 231914, Didhaifkan Al Albany dalam “Irwa al Ghalil” no. 235
[4] Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab: vol. 3, hal. 99-100
[5] Al Fiqhu Al Islamy wa Adillatuhu, vol. 1, hal. 543
[6] HR Abdurrazaq (1821), Ahmad (3/408), Abu Dawud, Kitab Ash-Shalatu, Bab Kaifa Al Adzan, no. (501), An-Nasa`I, Kitab Al Adzan, Bab Adzan fis Safar (2/7), no. (632) dari Abu Mahdzurah [Muhaqqiq Syarh Al Mumti’]
[7] HR Bukhari (621), Muslim (1093) Dari Hadis Ibnu Mas’ud [Idem]
[8] HR Bukhari (1146), Muslim (739)
[9] HR Bukhari (627), Muslim (838) Dari hadis Abdullah bin Buraidah
[10] As Syarh Al Mumti’ alaa Zaad Al Mustaqni’, vol. 2, hal, 52

Segera Tunaikan Sholat


Oleh: Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan hafizhahullah
Sesungguhnya dalil-dalil syari’at telah menganjurkan untuk bersegera menunaikan amal salih dan bergegas dalam melaksanakan berbagai kewajiban. Salah satunya adalah dalam masalah mendatangi masjid dan duduk di dalamnya guna menunggu sholat.
Allah ta’ala berfirman
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (آل عمران:133).
“Bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi dan dipersiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ (المائدة:48)
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan.” (QS. al-Ma’idah: 48)
Allah ta’ala berfirman mengenai orang-orang terpilih di antara hamba-hamba-Nya,
وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ (آل عمران:114) .
“Mereka itu senantiasa bersegera dalam mengerjakan kebaikan-kebaikan.” (QS. Ali Imran: 114)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk berlomba-lomba dalam kebaikan adalah perintah yang mengandung nilai lebih daripada perintah untuk melakukan kebaikan. Sesungguhnya dalam sikap bersegera melakukannya sudah tercakup ketundukan sikap untuk melakukannya, menyempurnakan dan menempatkannya pada kondisi yang sesempurna mungkin serta bergegas menunaikannya. Barang siapa yang di dunia ini lebih dulu dalam melakukan kebaikan-kebaikan maka di akhirat pun dia akan menuju surga terlebih dulu. Orang-orang yang mendahului itu adalah golongan manusia yang lebih mulia derajatnya. Kebaikan yang dimaksud mencakup semua kewajiban dan perkara sunnah, baik yang berupa sholat, puasa, haji, umrah, jihad, memberikan kemanfaatan yang meluas kepada orang lain maupun yang terbatas bagi diri pribadi.” (Tafsir Ibnu Sa’di [1/112])
Sesungguhnya berangkat awal menuju masjid dan menunggu didirikannya sholat serta menyibukkan diri dengan dzikir dan baca’an al-Qur’an ataupun mengerjakan sholat-sholat sunnah merupakan salah satu sebab turunnya ampunan dan tergolong kebaikan yang paling agung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan secara garis besar pahala yang agung bagi perbuatan bersegera ini dalam sabdanya ‘alaihis sholatu was salam,
ولو يعلمون ما في التهجير لاستبقوا إليه
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan tahjir/bersegera untuk sholat niscaya mereka akan berlomba-lomba untuknya.” (HR. Bukhari [590] dan Muslim [437])
an-Nawawi berkata, “Tahjir adalah bergegas menunaikan sholat secara umum, termasuk kategori apapun sholat itu. al-Harawi dan yang lainnya mengatakan: al-Khalil mengkhususkan keutamaan ini dalam hal sholat jum’at saja. Namun, pendapat yang benar lagi populer adalah pendapat yang pertama.” (Syarh Muslim [4/402] lihat pula Fath al-Bari [2/97])
Ibnu Abi Jamrah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa perlombaan yang dimaksud bisa dimaknakan secara kasat mata/terindera ataupun secara maknawi. Maka maksud sebenarnya dari hadits ini adalah berlomba secara maknawi bukan sesuatu yang tampak atau terindera. Sebab perlombaan secara nyata untuk saling mendahului akan melahirkan sikap lancang dan ketergesa-gesaan. Padahal sikap lancang dan ketergesa-gesaan dalam keadaan ini adalah dua perkara yang dilarang berdasarkan hadits lainnya… Maka tidak tersisa lagi pemaknaan yang tepat di sini selain dari menyibukkan diri agar bisa menunaikan amal tersebut sesegera mungkin pada saat yang semestinya.” (Bahjat an-Nufus karya Ibnu Abi Jamrah [1/214])
Sesungguhnya bersegera menuju masjid adalah bukti keberadaan rasa pengagungan sholat, keterkaitan hati dengan masjid, serta menunjukkan kadar ketaatan di dalam jiwa orang yang hendak mengerjakan sholat itu. Hal itu menunjukkan bahwasanya sholat lebih diutamakan olehnya daripada segala urusan hidupnya. Hal ini merupakan simbol keberuntungan dan kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ* رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاء الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ* لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ (النور:36-38).
“Di dalam rumah-rumah (masjid) yang diizinkan oleh Allah untuk diangkat derajatnya dan di dalamnya disebut-sebut nama-Nya. Di dalamnya orang-orang bertasbih di waktu pagi dan petang. Para lelaki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual-beli untuk tetap mengingat Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Mereka merasa takut akan suatu hari yang di saat itu hati dan pandangan manusia berbolak-balik (cemas). Agar Allah membalasa mereka atas apa yang telah mereka lakukan dan untuk menambahkan keutamaan dari-Nya. Allah akan memberikan rezeki kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya tanpa batasan perhitungan.” (QS. an-Nur: 36-38)
Sesungguhnya setiap orang selama dia masih hidup maka dia senantiasa disibukkan oleh aktifitas tubuh dan pikirannya, semua orang sibuk sesuai dengan keadaannya masing-masing. Namun tidak boleh lagi ada kesibukan ketika tiba waktu sholat sehingga membuatnya lalai dari mengerjakan sholat, dan itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang diberi taufik oleh Allah ta’ala untuk taat kepada-Nya dan mendapatkan anugerah rasa pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar-Nya sehingga dia akan lebih mendahulukan ketaatan kepada Tuhannya, keinginan dan kecintaan-Nya daripada yang lainnya. Oleh sebab itu dia akan bergegas menuju kebaikan-kebaikan dan berlomba-lomba dalam melakukan ketaatan. Keyakinannya akan semakin bertambah tatkala dia merasa bahwa mendatangi masjid -untuk sholat- sebelum iqomah dikumandangkan merupakan bagian dari bentuk pengagungan terhadap sholat itu sendiri.
Sungguh para pendahulu yang salih (baca: salafus shalih) telah menunjukkan semangat mereka yang begitu tinggi dalam menunaikan sholat. Mereka bersegera dalam menuju ibadah tersebut bagaimana pun kondisi mereka. Hal itu disebabkan mereka mengetahui betapa tinggi kedudukan ibadah tersebut di sisi Pencipta mereka, sehingga hal itu pun menjadi tradisi dan perilaku yang senantiasa mereka lakukan. Berikut ini akan kami tunjukkan kepada anda sebagian kisah mereka. Mereka itulah sebaik-baik teladan setelah Nabi dan qudwah kita Muhammad bin Abdullah –semoga salawat dan keselamatan terlimpah kepadanya-.
Imam Ibnul Mubarak menyebutkan riwayat dari Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Tidaklah aku menemui waktu sholat melainkan aku pasti merasa rindu untuk segera melakukannya.” (Kitab az-Zuhd, hal. 460). Beliau radhiyallahu’anhu tidak hanya merasa rindu mengerjakan sholat, bahkan beliau juga bersiap-sipa untuk itu dan mendatangi masjid sebelum iqomat dikumandangkan. al-Hafizh adz-Dzahabi menyebutkan sebuah riwayat dari beliau, beliau berkata, “Tidaklah iqomat dikumandangkan semenjak aku masuk Islam kecuali aku berada dalam kondisi telah berwudhu.” (Siyar A’lam an-Nubala’ [3/164])
Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah datang ke masjid sebelum adzan dikumandangkan dan hal itu terus beliau lakukan selama waktu tidak kurang dari tiga puluh tahun. Imam Ibnu Syaibah meriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab, beliau berkata, “Tidaklah muadzin mengumandangkan adzan sejak tiga puluh tahun silam melainkan aku sudah berada di dalam masjid.” (al-Mushannaf [1/351])
Di antara ulama salaf ada yang dijuluki dengan as-Shaffi, dia adalah Bisyr bin al-Hasan salah seorang ahli hadits yang terpercaya. Julukan itu diberikan kepadanya dikarenakan beliau senantiasa berada di shof yang pertama dalam sholat jama’ah di masjid Bashrah selama lima puluh tahun.
Salah seorang qadhi di Syam bernama Sulaiman bin Hamzah al-Maqdisi mengatakan, “Aku tidak pernah mengerjakan sholat sendirian kecuali dua kali, dan seolah-olah ketika itu aku tidak mengerjakan sholat sama sekali.” Padahal ketika itu usia beliau telah mencapai mendekati sembilan puluh tahun (lihat Dzail Thabaqat Hanabilah [2/365]).
Diringkas dari sebuah makalah beliau berjudul at-Tabkir ila as-Sholah, Fadha’il wa Fawa’id. http://www.alfuzan.islamlight.net-offlineabumushlih
Wallahu a’lam bis shawab.
Diberdayakan oleh Blogger.