Tema: Motivasi Islami: Jangan Lalaikan Sholat Berjama'ah - Ustadz Umar Al-Fanani
Narasumber: Umar Alfanani
Narasumber: Umar Alfanani
YUFID TV - http://yufid.tv
Tuntunan Shalat yang sesuai dengan Al Qur'an & As Sunnah
1. | Ikhlash |
Yaitu, bahwa yang mendorong seorang hamba untuk mendirikan shalat tersebut adalah rasa patuhnya akan perintah Allâh Ta'ala semata, cintanya kepada Dzat yang Maha Perkasa, takut akan siksa dan harap akan pahala dari-Nya. Tiada terbesit sedikitpun dalam hatinya untuk memperoleh pujian dan sanjungan orang lain, tak terbetik sekecil apapun dalam benaknya tujuan duniawi. Benar-benar ia pusatkan pikiran dan hatinya untuk mendekatkan diri kepada Allâh Ta'ala. | |
2. | Kejujuran dan Kesucian Jiwa |
Artinya, berusaha melaksanakan shalat dengan cara terbaik dan sesempurna mungkin, lahir maupun batin. Yang lahir adalah gerakan anggota badannya ketika ia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam, ruku’ menunduk dihadapan-Nya, sujud bersimpuh mengharap belaian kasih sayang Sang Pencipta, lisannya membaca ayat-ayat Allâh yang Maha Tinggi, menyebut dan memanggil nama Dzat yang Maha Suci. Dan yang batin adalah kekhusyu’an dan ketundukannya kepada Allâh Ta'ala semata. Ia mencurahkan seluruh jiwanya untuk menghadap Allâh Ta'ala.
Amalan batin itulah ruhnya shalat, sementara amalan yang lahir adalah jasadnya, jasad takkan pernah bisa hidup tanpa ruh.
| |
3. | Ittiba’ (Mencontoh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam) |
Wajib bagi setiap hamba utuk mengikuti tata cara shalat yang telah digariskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, meninggalkan ajaran lain yang menyimpang, dan menjauhi kebiasaan orang jahil yang menambah maupun mengurangi syari’at yang telah benar-benar sempurna. Dalam shalat-shalat yang bersifat sunnah dia tidak mencari-cari alasan untuk meninggalkannya, bahkan dengan senang hati menghidupkan dan menjalankan sunnah (tuntunan) Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Hal itu bertolak dari kesadarannya bahwa di hari akhirat kelak Allâh Ta'ala akan bertanya:
“Bagaimana kalian menanggapi (ajakan) para Rasul?”(Qs. Al-Qashash/28: 65)
sebagai bukti akan kebenaran janji-Nya:
“Maka sesungguhnya kami akan menanyai umat-umat
yang telah diutus para Rasul kepadanya dan sesungguhnya kami akan menanyai (pula) Rasul-Rasul (kami).” (Qs. Al-A’raf/7: 6) | |
4. | Ihsan |
Peringkat ihsan ini adalah puncak kesempurnaan agama seseorang setelah ia masuk ke dalam islam dan beriman, di mana seorang hamba beribadah kepada Allâh Ta'ala seolah-olah melihat Dia yang berada jauh di singgasana langit ke tujuh, bersemayam di atas Arsy-Nya. Hal itu ia lakukan dengan mata hatinya, ia menyaksikan keagungan dan keperkasaan Allâh Ta'ala.
Konsekwensi dari peringkat ihsan ini adalah timbulnya rasa muraqabah (rasa selalu di awasi oleh Allâh Ta'ala), cinta, harap, tawakkal dan tunduk kepada-Nya. Ia enyahkan segala godaan setan dan bisikan nafsu buruk, kemudian membulatkan tekat untuk bisa menjadi kekasih Allâh Ta'ala semata. Kuat atau lemahnya rasa ihsan inilah yang menbedakan pahala amalan seorang hamba dengan yang lainnya.
| |
5. | Menyaksikan Karunia Allâh Ta'ala |
Yakni, keyakinan sang hamba bahwa Allâh Ta'ala lah yang telah menciptakan dirinya dalam bentuk yang paling sempurna, kemudian mentakdirkannya menjadi seorang muslim, setelah itu memberikannya kekuatan jasmani dan memasukkan taufiq ke dalam hatinya untuk bisa, mau dan mampu beribadah menyembah-Nya saja. Kalau bukan karena taufiq dari Allâh Ta'ala semua itu takkan pernah terjadi.
Allâh Ta'ala berfirman:
“Mereka telah merasa memberi nikmat kepadamu
dengan keislaman mereka, katakanlah: “janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allâh Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimamanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Qs.Al-Hujurat: 17)
Ini merupakan perkara agung yang bersumber dari sempurnanya tauhid seseorang, dengan terpatrinya rasa ini di dalam hati, takkan lagi seorang hamba membanggakan dirinya dan merasa lebih dari orang lain, bahkan ia hanya akan senantiasa mengucapkan syukur kepada Dzat yang memiliki sekaligus berhak menerimanya.
| |
6. | Sadar Bahwa Ibadah yang Telah Ia Laksanakan Masih Bayak Kekurangan dan Jauh dari Batas Sempurna |
Bila seorang hamba menyadari bahwa ia belumlah mempersembahkan penghambaan diri sepenuhnya kepada Allâh Ta'ala, ia akan menyadari betapa banyak kekurangan dirinya, dan betapa berkepanjangan kelalaiannya selama ini. Sehingga istighfar dan taubat nashuha lebih sering ia haturkan kepada Allâh Ta'ala daripada memohon ganjaran atas amal-amal perbuatannya.
Kalaupun seandainya ia bisa menunaikan kewajiban - kewajibannya dengan baik, itu hanyalah konsekwensi dari keberadaanya sebagai hamba Allâh Ta'ala. Karena pelayanan seorang budak terhadap tuannya adalah keharusan dirinya sebagai hamba sahaya, maka jika kemudian ia meminta upah atas jerih payahnya niscaya itu adalah perbuatan yang tidak patut dilakukan. Sehingga balasan surga bagi orang-orang shalih tidak lain karena Allâh Maha Pemurah lagi maha pengasih kepada seluruh hambanya.
|
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat memiliki waktu yang telah ditetapkan bagi orang beriman.” (QS. An Nisaa’: 103)