Syeikh Adil Kalbani



Ia pernah bermimpi menjadi imam di Masjidil Haram. Baru dua tahun kemudian mimpi itu menjadi kenyataan.
Pada suatu malam, kira-kira dua tahun silam, Syeikh Adil Kalbani bermimpi bahwa dirinya menjadi imam di Masjidil Haram, Makkah. Namun begitu bangun tidur, ia segera menepis mimpi tersebut dan menganggapnya sebagai kembang tidur dan godaan kesombongan.
Walau dikenal memiliki suara merdu, namun sang Syeikh berkulit hitam dan putra imigran miskin dari Teluk Persia. Menjadi imam shalat di Masjidil Haram adalah kehormatan yang luar biasa, dan biasanya menjadi jatah para imam berdarah Arab murni.
Wajar jika kemudian, akhir September tahun lalu, Kalbani kaget bukan kepalang ketika menerima panggilan telepon. Sebuah suara mengabarkannya bahwa Raja Abdullah memilihnya menjadi imam kulit hitam pertama untuk memimpin shalat jamaah di Masjidil Haram.
Dua hari kemudian ia berjalan ke ruang resepsi yang luas dan disambut oleh Pangeran Khalid al-Faisal, Gubernur Makkah. Syeikh Kalbani mencoba mengenalkan diri, namun sang pangeran mencegahnya sambil tersenyum dengan ucapan, “Anda sudah dikenal.”
Selanjutnya, Kalbani dibimbing menuju sebuah meja dimana ia duduk di samping Raja Abdullah dan para menteri yang lain. Ia agak malu berbicara langsung menghadap raja. Namun ketika meninggalkan ruangan, Kalbani menyalami raja dan mencium hidungnya. Sebuah ciuman tradisonal tanda penghormatan terhadap orang yang lebih tua.
Beberapa hari kemudian, suara bariton Kalbani yang dalam, bergema di Masjidil Haram dan disiarkan secara langsung oleh televisi satelit ke jutaan pemirsa Muslim di seluruh penjuru dunia.
Sejak itu pula, Syeikh Kalbani mendapat julukan bernada gurau, “Obamanya Saudi”. Para imam terkemuka di Saudi bagaikan selebritis, dan sebagian besar mereka menyambut pilihan Raja Abdullah atas Kalbani merupakan bukti usahanya membawa Saudi Arabia menuju keterbukaan dan toleransi yang lebih luas dalam beberapa tahun terakhir.
“Raja mencoba memberitahu tiap orang bahwa ia memerintah negeri ini sebagai sebuah bangsa tanpa rasisme dan diskriminasi,” kata Syeikh Kalbani kepada The New York Times. “Setiap orang yang layak dan memenuhi syarat, tak peduli apapun warna kulitnya, darimana asalnya, akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi imam. Demi kebaikannya dan kebakan negerinya,” lanjut pria berjenggot lebat yang telah 20 tahun lamanya menjadi imam tetap Masjid Riyadh ini.
Secara resmi, karena kemampuannya dalam tilawah al-Qur’an –sebagaimana delapan imam lainnya– yang membuat Kalbani dipercaya menjadi imam Masjidil Haram. Ia menjadi imam khusus di bulan Ramadhan saat shalat tarawih berjamaah. Walau demikian, tetap saja ada suara-suara sumbang yang menganggap raja bersikap rasis atas pilihan terhadap Kalbani.
Syeikh Kalbani, sebagaimana mayoritas orang-orang Saudi, dengan tanggap memperingatkan bahwa tiap rasisme di Saudi bukanlah kesalahan Islam, karena Islam sebenarnya menyebarkan egalitarianisme. Nabi Muhammad saw sendiri memiliki sahabat-sahabat berkulit hitam. “Sejarah Islam kami memiliki banyak sekali orang-orang berkulit hitam yang terkenal. Tidak seperti di Barat,” tegas pria 49 tahun ini.
Memang benar, etnis dan kesukuan di Saudi Arabia jauh lebih beragam dibanding kebanyakan negara-negera Barat. Orang-orang Saudi, Malaysia atau Afrika merupakan pemandangan umum di sepanjang jalan pantai barat. Mereka adalah keturunan para jamaah haji yang datang berabad-abad lampau, yang tinggal dan menetap hingga kini. Sebagian besar mereka telah hidup makmur bahkan meraih posisi tinggi melalui hubungan dengan keluarga kerajaan. Bandar bin Sultan, mantan Duta Besar Saudi Arabia untuk AS, adalah putra Pangeran Sultan dari selirnya yang berkulit hitam.
Perbudakan memang berlaku di Saudi, namun dihapuskan pada tahun 1962. Kebanyakan orang-orang Arab tradisional dari Nejd –asal penguasa Saudi– dulu menyebut orang luar sebagai “tarsh al-bahr”, muntah laut. Orang-orang keturunan Afrika masih mengalami diskriminasi seperti kebanyakan imigran lainnya. Bahkan imigran dari negara-negara Arab lainnya juga mengalami hal yang sama. Sebagian besar orang-orang Saudi mengeluhkan pemerintah kerajaan yang masih didominasi Nejd, tanah air keluarga kerajaan.
“Nabi mengatakan kepada kita bahwa status sosial akan tetap eksis karena sifat alami manusia,” kata Kalbani getir. “Ini merupakan bagian dari praktek-praktek pra-Islam yang masih bertahan.”
Kulit hitam bukanlah satu-satunya kendala sosial yang telah diatasi Syeikh Kalbani. Ayahnya datang ke Saudi Arabia tahun 1950-an dari Ras al-Khaima –kini menjadi Uni Emirat Arab– dan memperoleh pekerjaan sebagai pegawai pemerintah tingkat rendah. Keluarganya memiliki sedikit uang, dan setelah menyelesaikan sekolah menengah, Kalbani bekerja di Saudi Arabian Airlines sambil kuliah malam di King Saud University.
Beberapa lama kemudian ia belajar agama, tekun menghafal al-Qur’an dan belajar hukum Islam. Pada tahun 1984 ia lulus ujian pemerintah untuk menjadi imam, dan bekerja sebentar di masjid bandara Riyadh. Empat tahun kemudian ia mendapatkan posisi yang lebih menonjol sebagai imam di Masjid Raja Khalid. Sebuah masjid dengan bangunan tinggi berwarna putih yang tidak jauh dari salah satu kantor Departemen Intelijen Saudi.
Secara teologis, Syeikh Adil Kalbani mencerminkan evolusi umum pemikiran Saudi dalam dua dekade terakhir. Pada tahun 1980 dia bertemu Osama bin Laden dan Abdullah Azzam, seorang pemimpin jihad melawan Uni Soviet di Afghanistan. Awalnya, Kalbani bersimpati dengan posisi radikal dan kemarahan mereka terhadap Barat. Namun, kata Kalbani, ia mulai menemukan bahwa pandangan mereka sempit, terutama setelah serangan 11 September di AS.
Kini, Kalbani menerima dengan hangat inisiatif baru Raja Abdullah yang berupaya memoderatkan kekuasaan dan sikap keberagamaan yang keras untuk memodernisasi peradilan dan pendidikan Saudi. Di sela-sela waktu luangnya, Kalbani gemar membaca al-Watan, sebuah surat kabar liberal. “Beberapa orang di negeri ini menginginkan semua orang menjadi kertas karbon. Ini bukan cara berpikir saya. Anda dapat belajar dari orang yang mau mengkritik, yang memberikan berbagai sudut pandang,” ujarnya.
Kehidupan Kalbani, sebagaimana kebanyakan para imam, mengikuti alur yang dianggap kaku oleh orang luar. Ia memimpin shalat jamaah lima waktu di masjid, lalu pulang ke rumahnya yang ia tempati bersama dua istri dan 12 orang anaknya. Tiap pekan ia menyampaikan khutbah Jumat.
Kini suara merdu dan berat Syeikh Kalbani dapat dinikmati kaum Muslimin di seluruh dunia, terutama dalam Bulan Suci Ramadhan. “Melantunkan ayat suci al-Qur’an di hadapan ribuan orang, bukan masalah bagi saya. Tapi tempat ini (Masjidil Haram), kesuciannya dan kesakralannya, berbeda dengan shalat di tempat lain. Di tempat suci itu, ada raja, presiden dan orang-orang biasa. Semuanya dipimpin oleh anda yang menjadi imam. Hal ini mendatangkan kehormatan, juga ketakutan kepada Allah Ta'ala,” kata Kalbani.
Islam tidak mengenal kasta. Siapa pun layak menjadi imam di Masjidil Haram, asal mumpuni dan memenuhi syarat. Dan Syeikh Adil Kalbani telah membuktikannya.

Dzikir Sesudah Shalat Fardlu Menurut Hadits Shahih

Segala puji bagi Allah yang telah menolong hambaNya untuk dapat berdzikir kepadaNya setiap saat, di waktu siang dan malam. Berdzikir kepada Allah adalah cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah memerintahkan hambanya untuk selalu berdzikir kepadaNya melalui firmanNya dalam Al-Quran, antara lain; QS. Al-Baqarah: 152, QS. Al-A'raaf: 205, QS. Al-Ahzaab: 35 dan 41, QS. Ar-Ra'd: 28. Rasulullah SAW juga bersabda, "Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabb-Nya dengan orang yang tidak berdzikir laksana orang yang hidup dengan orang yang mati." (HR. Al-Bukhari no. 6407)

Waktu yang sangat tepat untuk berdzikir kepada Allah diantaranya adalah sesudah shalat fardlu. Lalu, bagaimana dan apa saja dzikir-dzikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW setiap selesai shalat, seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab hadits yang shahih?

  1. Astaghfirullaah (3x). Allahumma antas-salaam, wa minkas salaam, tabaarakta yaa dzaljalaali wal-ikraam. ~ Aku memohon ampun kepada Allah. Ya Allah, Engkau yang memiliki keselamatan, dan dariMu keselamatan itu, Maha Berkah Engkau, Tuhan yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. (Muslim no. 591(135), Ahmad (V/275, 279), Abu Dawud (no.1513), an-Nasa-i (III/68-69), Ibnu Khuzaimah (no. 737), ad-Darimi (I/311) dan Ibnu Majah (no.928), dari sahabat Tsauban)
  2. Laa ilaaha illallahu wahdahuu laa syariika lahuu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syay-in qadiir. Allaahumma laa mani’a lima ‘athaita, walaa mu’thiya lima mana’ta, walaa yanfa’u dzaljaddi minkal jaddu. ~ Tidak ada ilah selain Allah, tiada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan pujian. Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatuYa Allah, tiada yang dapat menolak apa-apa yang telah Engkau berikan, dan tidak pula dapat memberikan apa-apa yang telah Engkau tolak, dan tidak akan memberi manfaat di sisiMu, orang-orang kaya/kuasa dari kekayaannya/kekuasaannya. (HR. Al-Bukhari (no.844) dan Muslim (no.593), Abu Dawud (no.1505), Ahmad (IV/245, 247, 250, 254, 255), Ibnu Khuzaimah (no. 742), ad-Darimi (I/311), dan an-Nasa-i (III/70, 71), dari al-Mughirah bin Syu'bah)
  3. Laa ilaaha illallahu wahdahuu laa syariika lahuu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syay’in qadiir. Laa haula wa laa quwwata illa billaahi. Laa ilaaha illallahu, wa laa na’budu illaa iyyaahu, lahunni’matu walahul fadhlu walahuts-tsanaa’ul hasanu. Laa ilaaha illallahu, mukhlishiina lahuddiina walau karihal kaafiruun. ~ Tidak ada ilah selain Allah, tiada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan pujian. Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada daya dan kekuatan kecuali (dengan pertolongan) Allah. Tiada ilah selain Allah. Kami tidak beribadah kecuali padaNya. BagiNya nikmat, anugerah, dan pujian yang baik. Tiada ilah selain Allah, ikhlas beribadah hanya padaNya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya. (HR. Muslim (no. 594), Ahmad (IV/4, 5), Abu Dawud (no. 1506, 1507), an-Nasa-i (III/70), Ibnu Khuzaimah (no. 740, 741), dari 'Abdullah bin az-Zubair)
  4. Laa ilaaha illallahu wahdahuu laa syariika lahuu, lahul mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiitu, wa huwa 'alaa kulli syay-in qadiir. (10x setiap selesai shalat subuh dan maghrib). ~ Tidak ada ilah selain Allah YME, tiada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan bagiNya pujian. Dialah yang menghidupkan dan yang mematikan. Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. (HR. Ahmad (IV/227, V/420) dan at-Tirmidzi (no. 3474) dari Abu Dzarr)
  5. Allaahumma a’inni alaa dzikrika, wa syukrika, wa husni ‘ibaadatika. 3x. ~ Ya Allah, tolonglah aku agar dapat berdzikir kepadaMu, dan bersyukur kepadaMu, dan dapat beribadah kepadaMu dengan baik. (HR. Abu Dawud (no. 1522), an-Nasa-i (III/53), Ahmad (V/245) dan al-Hakim (I/273 dan III/273))
  6. Subhaanallaah 33x. Alhamdulillaah 33x. Allaahu Akbar 33X. Laa ilaaha illallahu wahdahuu laa syariika lahuu, lahul mulku walahul hamdu wa huwa 'alaa kulli syay’in qadiir. ~ Maha Suci Allah. Segala puji bagi Allah. Allah Maha Besar. Tidak ada ilah selain Allah, tiada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan pujian. Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. (HR. Muslim (no. 597), Ahmad (II/371, 483), Ibnu Khuzaimah (no. 750), dan al-Baihaqi (II/187), dari Abu Hurairah)
  7. Ayatul Kursiy (QS Al-Baqarah:255), QS. Al-Ikhlash, Al-Falaq, An-Naas. (HR. An-Nas-i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah (no. 100) dan Ibnus Sunni (no. 124), dari Abu Umamah) 
Itulah beberapa lafadz dzikir yang pernah diajarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Dengan mengamalkannya, di samping berdzikir kepada Allah, kita juga telah ikut serta menghidupkan Sunnah Rasulullah SAW. Wallaahu a'lam bish Shawaab.

Yazid bin Abdul Qadir Jawas. 2005. Dzikir Pagi Petang dan Sesudah Shalat Fardlu Menurut Al-Quran dan As-Sunnah yang Shahih. Bogor. Pustaka Imam Asy-Syafi'i.

Murotal Surat Al Maidah Ayat 1 s/d 26 – Sheikh Khalid al-Ghamdi (SPECIAL RELEASE)

"special release before ramadan"
Terjamah Surat Al Maidah Ayat 1 s/d 26
1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[391], dan binatang-binatang qalaa-id[392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
3. diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
4. mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu[399]. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu[400], dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya)[401]. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya.
5. pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
7. dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya[405] yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: "Kami dengar dan Kami taati". dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui isi hati(mu).
8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
9. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
10. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.
11. Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), Maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.
12. dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik[406] Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.
13. (tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah Perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya[407], dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) Senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
14. dan diantara orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya Kami ini orang-orang Nasrani", ada yang telah Kami ambil Perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; Maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.
15. Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan[408].
16. dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
17. Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?". kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
18. orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).
19. Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "tidak ada datang kepada Kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
20. dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat Nabi Nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain".
21. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu[409], dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.
22. mereka berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, Sesungguhnya Kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti Kami akan memasukinya".
23. berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".
24. mereka berkata: "Hai Musa, Kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya Kami hanya duduk menanti disini saja".
25. berkata Musa: "Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara Kami dengan orang-orang yang Fasik itu".
26. Allah berfirman: "(Jika demikian), Maka Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang Fasik itu."

[388] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
[389] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[390] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.
[391] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[392] Ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
[393] Dimaksud dengan karunia Ialah: Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan dari Allah Ialah: pahala amalan haji.
[394] Ialah: darah yang keluar dari tubuh, sebagaimana tersebut dalam surat Al An-aam ayat 145.
[395] Maksudnya Ialah: binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas adalah halal kalau sempat disembelih sebelum mati.
[396] Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
[397] Yang dimaksud dengan hari Ialah: masa, Yaitu: masa haji wada', haji terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
[398] Maksudnya: dibolehkan memakan makanan yang diharamkan oleh ayat ini jika terpaksa.
[399] Maksudnya: binatang buas itu dilatih menurut kepandaian yang diperolehnya dari pengalaman; pikiran manusia dan ilham dari Allah tentang melatih binatang buas dan cara berburu.
[400] Yaitu: buruan yang ditangkap binatang buas semata-mata untukmu dan tidak dimakan sedikitpun oleh binatang itu.
[401] Maksudnya: di waktu melepaskan binatang buas itu disebut nama Allah sebagai ganti binatang buruan itu sendiri menyebutkan waktu menerkam buruan.
[402] Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka.
[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.
[405] Perjanjian itu Ialah: Perjanjian akan mendengar dan mengikuti Nabi dalam segala Keadaan yang diikrarkan waktu bai'ah.
[406] Maksudnya Ialah: menafkahkan harta untuk menunaikan kewajiban dengan hati yang ikhlas.
[407] Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.
[408] Cahaya Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dan kitab Maksudnya: Al Quran.
[409] Maksudnya: tanah Palestina itu ditentukan Allah bagi kaum Yahudi selama mereka iman dan taat kepada Allah.


Nabi Pun Mengancam Untuk Membakar Rumah Mereka…


“Kalau kalian meninggalkan ajaran Nabi kalian, kalian pasti akan sesat.”
Ketahuilah saudaraku -semoga Allah menambahkan iman kepada aku dan kamu- tidaklah ada lelaki muslim yang bersengaja meninggalkan shalat jama’ah kecuali orang-orang yang lemah iman atau munafik. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu menceritakan, “Barangsiapa yang senang untuk berjumpa dengan Allah di hari esok [hari akhirat] sebagai seorang muslim maka jagalah shalat lima waktu dengan berjama’ah yang mana diserukan panggilan adzan untuknya. Karena Allah telah mensyariatkan jalan-jalan petunjuk untuk Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya shalat berjama’ah itu termasuk jalan petunjuk. Kalau lah kalian sengaja mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana halnya perbuatan orang yang sengaja meninggalkan shalat jama’ah ini [dan mengerjakan shalat] di rumah niscaya kalian telah meninggalkan ajaran Nabi kalian. Dan kalau kalian sudah berani meninggalkan ajaran Nabi kalian, maka kalian pasti akan sesat. Sungguh aku teringat, bahwa dahulu tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah itu melainkan orang munafiq yang tampak sekali kemunafikannya. Sampai-sampai dahulu ada [di antara para sahabat itu] yang memaksakan diri untuk datang [shalat berjama'ah] dengan dipapah di antara dua orang lelaki untuk diberdirikan di dalam barisan/shaf.” (HR. Muslim [654]).
Mengapa orang munafiq tidak mau menghadiri shalat jama’ah? Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menerangkan, sebab mereka itu tidak berharap pahala dan tidak mengimani adanya hisab/penghitungan amal. Oleh karena itu mereka sengaja tidak menghadirinya. Karena itu pula Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafiq adalah shalat ‘Isyak dan shalat Fajar/subuh.” (HR. Bukhari [657] dan Muslim [651] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, lafazh Muslim). Karena ketika [jama'ah] shalat Isyak dilakukan, tidak tampak siapa yang tidak ikut di dalamnya; sebab dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum ada listrik atau lampu-lampu [sebagaimana sekarang, pent], maka hal itu memungkinkan bagi orang untuk tidak ikut hadir shalat dalam keadaan orang lain tidak mengetahuinya. Selain itu, shalat Isyak dan Fajar itu dilakukan di waktu-waktu [untuk] istirahat dan tidur, maka hal itu sangat berat bagi orang-orang munafiq, sehingga mereka tidak mau mendatanginya. Seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada pada keduanya [jama'ah shalat 'Isyak dan Subuh, pent] niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan cara merangkak (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, cet. Dar Al-Bashirah, 3/254).
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Shalat ‘Isyak dan Subuh [berjama'ah] itu paling berat bagi mereka -orang munafiq- apabila dibandingkan shalat yang lainnya [meskipun secara umum mereka juga malas untuk melakukan shalat yang lainnya] dikarenakan kuatnya dorongan untuk meninggalkan kedua shalat tersebut. Karena waktu Isyak adalah waktu yang tenang dan cocok untuk beristirahat sedangkan subuh adalah waktu yang enak untuk tidur…” (Fath Al-Bari, cet Dar Al-Hadits, 2/166).
Shalat jama’ah jauh lebih utama!
Saudaraku yang kucintai karena-Nya, shalat berjama’ah merupakan sebuah amalan yang sangat utama, jauh lebih utama daripada shalat sendirian. Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat berjama’ah dua puluh tujuh derajat lebih utama daripada shalat sendirian.” (HR. Bukhari [645] dan Muslim [650], lafazh ini milik Muslim).
Bukhari rahimahullah menuturkan, dahulu Al-Aswad bin Yazid An-Nakha’i -salah seorang pembesar tabi’in-, apabila tertinggal shalat jama’ah maka dia pergi ke masjid yang lain [untuk mencari shalat jama'ah]. Sedangkan Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, apabila beliau sampai di masjid sementara shalat jama’ah telah selesai dilaksanakan, maka beliau mengumandangkan adzan dan iqamah lantas melakukan shalat secara berjama’ah (Shahih Al-Bukhari cet Maktabah Al-Iman, hal. 143). Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Yang tampak bagi saya, dengan membawakan riwayat dari Al-Aswad dan Anas tersebut, Bukhari ingin memberikan isyarat bahwa keutamaan yang disebutkan dalam hadits-hadits dalam bab ini hanya berlaku bagi orang yang melakukan shalat jama’ah di masjid, bukan bagi orang yang melakukan shalat jama’ah di rumahnya.” (Fath Al-Bari cet Dar Al-Hadits, 2/154).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa shalat berjama’ah [di masjid] termasuk ibadah yang paling utama dan ketaatan yang paling mulia…” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, cet. Dar Al-Bashirah, 3/249).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami -ulama madzhab Syafi’i- berargumen dengan hadits-hadits ini untuk menyatakan bahwa berjama’ah bukanlah syarat sah shalat, hal ini berseberangan dengan [pendapat] Dawud [Azh-Zhahiri] …” (Syarh Muslim, cet. Dar Ibn Al-Haitsam, 3/456). Pendapat serupa -bahwa berjama’ah bukan syarat sah shalat- dikemukakan oleh Syaikh Abdullah Al-Bassam (lihat Taisir Al-’Allam, cet. Dar Al-’Aqidah, 1/108).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menuturkan, sebagian ulama berpendapat bahwa shalat [wajib] secara berjama’ah merupakan syarat sahnya shalat. Mereka menganggap bahwa apabila seseorang –yang diperintahkan untuk berjama’ah; yaitu kaum lelaki– tidak mengerjakan shalat [wajib] secara berjama’ah maka shalatnya sia-sia dan tidak diterima. Pendapat ini dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan merupakan sebuah pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad (lihat Syarh Riyadh Ash-Shalihin cet Dar Al-Bashirah, 3/249). Namun, pendapat itu adalah pendapat yang lemah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Shalat berjama’ah dua puluh tujuh derajat lebih utama daripada shalat sendirian.” Adanya pengutamaan itu menunjukkan bahwa amal yang dinilai kurang utama itu masih memiliki keutamaan. Konsekuensi dari adanya keutamaan padanya adalah amalan itu masih sah dilakukan. Sebab amal yang tidak sah tidak mungkin punya keutamaan, bahkan berdosa jika dikerjakan. Maka hadits ini merupakan dalil yang sangat jelas menunjukkan bahwa shalat sendirian itu hukumnya sah. Demikian papar Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah (Syarh Shalat Al-Jama’ah, cet Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 24).
Orang buta saja disuruh untuk berjama’ah!
Saudaraku, shalat wajib secara berjama’ah -bagi laki-laki- merupakan perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan saja kepada orang yang normal seperti kita, bahkan kepada orang yang buta sekalipun. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa suatu ketika ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang selalu membimbingku untuk berangkat ke masjid.” Dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan meminta keringanan agar boleh mengerjakan shalat di rumah, maka beliau pun memberikan keringanan untuknya. Akan tetapi, ketika dia berpaling (hendak pulang) maka beliau menanyakan kepadanya, “Apakah kamu masih mendengar adzan untuk shalat [berjama'ah]?”. Dia menjawab,”Iya.” Maka Nabi pun mengatakan, “Kalau begitu penuhilah panggilan itu.” (HR. Muslim [653]).
An-Nawawi rahimahullah berkata mengomentari kisah di atas, “Di dalam hadits ini terdapat penunjukan dalil bagi [ulama] yang berpendapat bahwa shalat jama’ah adalah wajib ‘ain [bagi setiap lelaki]…” (Syarh Muslim, cet. Dar Ibn Al-Haitsam, 3/459). An-Nawawi sendiri memilih pendapat bahwa shalat jama’ah adalah wajib kifayah, dan ada sebagian ulama yang berpendapat sunnah (lihat Syarh Muslim, cet. Dar Ibn Al-Haitsam, 3/456). Di antara ulama yang berpendapat shalat berjama’ah adalah sunnah mu’akkad yaitu Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah -penulis matan Al-Ghayah wa At-Taqrib fi Fiqhi Syafi’i-, namun oleh pentahqiq kitab tersebut -Majid Al-Hamawi- pendapat ini dinilai tidak tepat; menurutnya pendapat yang lebih kuat adalah shalat berjama’ah itu fardhu kifayah. Beliau berdalil dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada tiga orang [muslim] di suatu kota atau kampung namun mereka tidak mendirikan shalat [berjama'ah] di sana, kecuali karena syaitan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu [shalat] berjama’ah. Karena srigala itu hanya akan memangsa domba yang jauh [menyendiri].” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Al-Hakim serta beliau -Al-Hakim- mensahihkannya) (lihat Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib cet Dar Ibnu Hazm, hal. 80). Adapun Imam Syafi’i rahimahullah, maka zahir dari keterangan beliau menunjukkan bahwa beliau berpendapat shalat jama’ah itu wajib kifayah. Pendapat ini juga didukung oleh banyak ulama terdahulu dalam lingkungan madzhab Syafi’i, serta populer di kalangan banyak ulama Hanafiyah dan Malikiyah (lihat Fath Al-Bari cet Dar Al-Hadits, 2/148).
Ketika menerangkan hadits di atas, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “[Ungkapan] itu –perintah Nabi kepada orang yang buta untuk menghadiri shalat jama’ah– menunjukkan wajibnya shalat jama’ah bagi orang buta, dan menunjukkan pula bahwa kebutaan bukanlah alasan untuk tidak mengikuti shalat jama’ah. Hadits itu pun menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib dilakukan di masjid, bukanlah maksudnya hanya sekedar berjama’ah -meskipun bukan di masjid-. Namun, yang diperintahkan adalah secara berjama’ah dan bertempat di masjid…” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, cet Dar Al-Bashirah, 3/252). Shalat berjama’ah wajib dilakukan di masjid. Seandainya ia dilakukan bukan di masjid maka hal itu tidak menggugurkan dosa -bahkan mereka berdosa karenanya [yaitu karena shalat berjama'ah tidak di masjid,pent]- meskipun shalat mereka tetap dinilai sah menurut pendapat yang terkuat, demikian keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin di tempat yang lain (lihat Syarh Shalat Al-Jama’ah, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, hal. 26). Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memfatwakan tidak boleh bagi seseorang atau sekelompok orang melaksanakan shalat berjama’ah di rumah padahal masjid dekat dengan rumah mereka. Adapun, apabila letak masjid itu sangat jauh dan mereka tidak bisa mendengar adzan [maksud adzan di sini adalah adzan tanpa mikrofon, demikian menurut Syaikh dalam Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 3/252], maka tidak mengapa bagi mereka melakukan shalat jama’ah di rumah selama memang jarak tempat mereka jauh dari masjid dan sulit bagi mereka untuk menghadiri shalat berjama’ah (lihat Fatawa Arkan Al-Islam, cet. Dar Ats-Tsurayya hal. 367-368).
Nabi mengancam untuk membakar rumah mereka…
Saudaraku -semoga Allah menggugah kesadaranmu untuk taat kepada-Nya- shalat berjama’ah bukan masalah yang layak untuk disepelekan. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh, aku pernah bertekad untuk menyuruh orang membawa kayu bakar dan menyalakannya, kemudian aku akan perintahkan orang untuk mengumandangkan adzan untuk shalat [berjama'ah] kemudian akan aku suruh salah seorang untuk mengimami orang-orang [jama'ah] yang ada lalu aku akan berangkat mencari para lelaki yang tidak ikut shalat berjama’ah itu supaya aku bisa membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari [644] dan Muslim [651]).
Imam Bukhari rahimahullah mencantumkan hadits di atas di bawah judul ‘Bab wajibnya shalat jama’ah’. Dan beliau juga menukil perkataan Al-Hasan, “Kalau seandainya ibunya melarang shalat ‘Isyak berjama’ah karena kasihan kepada anaknya, maka dia -sang anak- tidak boleh menuruti [kemauan] ibunya.” (lihat Shahih Bukhari cet. Maktabah Al-Iman, hal. 142).
An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini adalah salah satu dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa shalat jama’ah adalah wajib ‘ain. Ini adalah madzhab/pendapatnya Atha’, Al-Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan Dawud [Azh-Zhahiri]…” (Syarh Muslim, cet. Dar Ibn Al-Haitsam, 3/458). Ibnu Hajar rahimahullah menambahkan, di antara ulama yang berpendapat hukum shalat jama’ah wajib ‘ain adalah Ibnu Hiban (lihat Fath Al-Bari cet Dar Al-Hadits, 2/148).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “[Hadits] ini menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalah wajib ['ain], sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bertekad semacam itu -membakar rumah mereka- apabila bukan karena [mereka] telah meninggalkan perkara yang wajib…” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin cet Dar Al-Bashirah, 3/252).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyimpulkan, “Pandangan yang benar menunjukkan wajibnya hal itu -shalat berjama’ah-. Karena sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu. Dan tidak akan terwujud persatuan [umat ini] dengan sempurna kecuali dengan berkumpul dalam menunaikan ibadah-ibadahnya. Sementara [salah satu] ibadah yang paling mulia, paling utama, dan paling ditekankan adalah shalat. Oleh sebab itu sudah seharusnya bagi umat ini untuk bersatu dalam mengerjakan shalat ini.” Beliau juga menambahkan, “Bagaimana pun keadaannya, wajib bagi setiap lelaki muslim yang berakal dan sudah dewasa/baligh untuk menghadiri shalat [wajib] berjama’ah, entah dia sedang dalam perjalanan/safar ataukah tidak sedang bersafar.” (Fatawa Arkan Al-Islam, cet Dar Ats-Tsurayya. hal. 366 dan 367).
Semoga Allah mengembalikan kemuliaan dan persatuan umat Islam di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wal hamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
 (Sumber: abumuslih.com)

Meninjau Shalat Arbain Di Masjid Nabawi


Sebagian jama’ah haji ada yang menggunakan kesempatan berziarah ke Madinah untuk melaksanakan shalat empat puluh kali secara berturut-turut di masjid Nabawi. Amaliah ini lebih kita kenal dengan istilah Shalat Arba’in. Ada yang sempat menanyakan pada penulis, “Ana mau tanya tentang yang namanya ARBAIN dalam kegiatan rombongan haji. Katanya disunnahkan untuk menunaikan ibadah sunnah Arbain yakni shalat berjamaah 40 waktu di Masjid Nabawi. Apakah kegiatan yang dinamakan arbain ini ada tuntunannya ? Karena ana sudah membaca buku-2 yang berkaitan dengan haji & umrah tetapi tidak mendapatkan amalan sunnah seperti yang dilakukan oleh orang-2.”
Mudah-mudahan penjelasan kali ini bisa menjawabnya. Semoga Allah mudahkan.
Sengaja Melakukan Perjalanan Ke Masjid Nabawi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ - صلى الله عليه وسلم - وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
Janganlah bersengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid yaitu Masjidil Harom, masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsho.”[1]
Ketiga masjid ini memiliki keutamaan dilihat dari dzatnya. As Subkiy mengatakan, “Tidak ada satu pun tempat di muka bumi ini yang memiliki keutamaan -dilihat dari dzatnya- sehingga seseorang bisa sengaja melakukan perjalanan ke sana selain dari tiga masjid ini.” [2]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun negeri lain selain tiga masjid di atas, maka tidak boleh seorang pun bersengaja melakukan perjalanan ke sana karena alasan kemuliaan tempatnya (dzatnya). Akan tetapi seseorang boleh bersengaja melakukan perjalanan ke sana dalam rangka ziarah, berjihad, menuntut ilmu, dan perkara yang disunnahkan atau yang dibolehkan lainnya.” Beliau rahimahullah mengatakan pula, “Bersengaja melakukan perjalanan dalam rangka ziarah dan menuntut ilmu, tujuan keduanya bukanlah pada tempat, namun pada orang yang berada pada tempat tersebut.” [3]
Dari sini menunjukkan bahwa sengaja melakukan perjalanan ke masjid Nabawi dibolehkan, mengingat keutamaan masjid atau tempat tersebut.
Keutamaan Melakukan Shalat di Masjid Nabawi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom.” [4]
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ
Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.[5]
Para ulama berselisih pendapat, apakah yang dimaksud dengan pengecualian dalam hadits di atas. Perbedaan pendapat ini berasal dari perselisihan mereka, manakah tempat yang lebih utama: Madinah ataukah Makkah? Ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama mengatakan bahwa Makkah lebih utama dari Madinah. Sehingga Masjidil Haram lebih utama dari Masjid Madinah. Dan ini berkebalikan dengan pendapat Imam Malik dan pengikutnya. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, makna hadits di atas adalah: shalat di masjid Nabawi lebih utama dari 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom karena shalat di Masjidil Harom lebih utama dari shalat di masjid Nabawi.[6]
Meninjau Hadits Shalat Arba’in
Mengenai anjuran shalat Arba’in di Madinah yaitu shalat 40 kali berturut-turut di sana, sebagian orang berhujah dengan hadits berikut ini.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَلَّى فِى مَسْجِدِى أَرْبَعِينَ صَلاَةً لاَ يَفُوتُهُ صَلاَةٌ كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ »
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shalat sebanyak 40 kali shalat di masjidku (baca: Masjid Nabawi) dalam keadaan tidak tertinggal satupun shalat, maka akan dicatat baginya keterbebasan dari api neraka dan keselamatan dari kemunafikan.[7]
Syaikh Muqbil Al Wadi’iy rahimahullah –ulama hadits dari Yaman- menilai bahwa hadits di atas tidak shahih dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]
Syaikh Al Albani rahimahullah menilai bahwa hadits tersebut adalah hadits munkar. Syaikh juga mengatakan, “Sanad hadits inidho’if (lemah). Ada seorang perowi bernama Nubaith yang tidak dikenali statusnya.”[9]
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if (lemah) karena status Nubaith bin ‘Umar yang tidak diketahui.[10]
Sedangkan komentar Al Haitsamiy dalam Al Majma’ Az Zawa’idyang mengatakan bahwa periwayat hadits di atas tsiqoh (terpercaya)[11], dikomentari oleh Syaikh Al Albani, “Beliau sudah salah sangka karena Nubaith bukanlah periwayat dari kitab shahih, bahkan dia bukan periwayat dari kutubus sittah lainnya.”[12]
KesimpulanHadits shalat arba’in di atas adalah hadits yang lemah (dho’if).
Shalat Jama’ah Sebanyak Empat Puluh Hari Memang Ada Tuntunan
Shalat jama’ah di masjid nabawi adalah amal yang sangat terpuji. Bahkan menurut pendapat yang kuat shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki itu hukumnya wajib ‘ain.
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[13]
Akan tetapi, yang memotivasi amal yang satu ini adalah hadits yang lemah (dho’if), ini tentu sangat disayangkan. Lebih ironi lagi jika mewajibkan untuk berada di kota Madinah selama sepekan dalam rangka mendapatkan keutamaan arbain ini. Andai motivasi untuk melakukan Shalat Arbain tersebut adalah hadits yang kuat berikut ini tentu lain lagi keadaannya.
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِى جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
Barangsiapa mengerjakan shalat secara ikhlas karena Allah selama empat puluh hari dengan berjamaah dan dengan mendapatkan takbiratul ihram maka dicatat untuknya dua kebebasan, yaitu bebas dari neraka dan bebas dari kemunafikan.[14]
Mengenai hadits ini, Ath Thibi menjelaskan, “Di dunia Allah akan menyelamatkannya dari beramal sebagaimana amal orang munafik dan Allah akan beri taufik padanya untuk beramal sebagaimana amal orang yang ikhlas. Sedangkan di akherat nanti Allah akan menyelamatkannya dari berbagai amal yang menyebabkan orang munafik disiksa dan Allah akan bersaksi bahwa dia bukanlah seorang munafik. Artinya sesungguhnya orang-orang munafik jika hendak mengerjakan shalat mereka berdiri dengan malas sedangkan keadaan orang tersebut jelas sangat berbeda.”[15]
Riwayat ini berasal dari Anas bin Malik, sama dengan riwayat Shalat Arba’in di atas. Namun ada sebagian orang yang termotivasi melaksanakan shalat arba’in dengan hadits dho’if (lemah) yang kami sebutkan di awal, ini yang keliru. Akan tetapi, jika ia beramal shalat jama’ah sebanyak empat puluh hari berdasarkan hadits kedua ini, maka itu tidak bisa disalahkan.
Dari hadits kedua ini, ada pelajaran penting yang bisa kita gali yaitu keutamaan bagi orang yang mendapati takbiratul ihram bersama imam.
Penulis Tuhfatul Ahwadzi –Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala- mengatakan, “Dari hadits ini menunjukkan bahwa mendapati takbiratul ihram bersama imam adalah sesuatu amalan sunnah yang sangat ditekankan. Sampai-sampai para ulama salaf terdahulu, jika luput dari takbiratul bersama imam, mereka demikian sedih selama tiga hari. Bahkan jika mereka luput dari shalat jama’ah, mereka terus sedih hingga tujuh hari lamanya.”[16]
Semoga Allah meluruskan pemahaman kaum muslimin yang keliru selama ini. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan ilmu dan istiqomah dalam beramal.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sore hari, 20 Dzulqo’dah 1430 H di Panggang, Gunung Kidul.



[1] HR. Bukhari no. 1189 dan Muslim no. 1397, dari Abu Hurairah.
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 4/190, Mawqi’ Al Islam
[3] Idem
[4] HR. Bukhari no. 1190 dan Muslim no. 1394, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. LihatShahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173.
[6] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 5/57, Mawqi’ Al Islam.
[7] HR. Ahmad no. 12605. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if (lemah) karena status Nubaith bin ‘Umar yang tidak diketahui.
[8] Asy Syafa’ah, hal. 281, dinukil dari http://dorar.net.
[9] Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah no. 364.
[10] Musnad Al Imam Ahmad bin Hambal [Takhrij Syaikh Syu’aib Al Arnauth] no. 12605, 3/155, Muassasah  Qurthubah, Al Qohirah
[11] Majma’ Az Zawa-id, Al Haitsamiy, 2/35, Mawqi’ Al Waroq.
[12] Lihat As Silsilah Adh Dho’ifah no. 364.
[13] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107, Dar Al Imam Ahmad
[14] HR. Tirmidzi no. 241, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[15] Tuhfatul Ahwadzi 1/274, Mawqi’ Al Islam.
[16] Idem

Berlipatnya Pahala Shalat di Masjidil Haram


Para ulama berselisih pendapat tentang yang dimaksud masjidil haram tempat dilipat gandakannya pahala shalat.
Pendapat pertama, yang dimaksud masjidil haram adalah Ka’bah.
Dalil dari pendapat adalah firman Allah Ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al Baqarah: 144). Yang dimaksud dengan mengarahkan wajah dalam ayat ini adalah ke Ka’bah saja. Sanggahan: Yang dimaksud masjidil haram  di sini menunjukkan taghlib (global), yaitu secara umum maksudnya adalah Ka’bah.
Pendapat ini juga berdalil dengan hadits,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْكَعْبَةَ
Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik dair 1000 shalat di masjid lainyya kecuali Ka’bah”. (HR. An Nasai no. 2899, Ahmad 2/386. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani). Sanggahan: yang dimaksud dalam hadits ini adalah Masjid Ka’bah (yaitu masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah). Hal ini diterangkan dalam hadits Maimunah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِيهِ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ مَسْجِدَ الْكَعْبَةِ
Shalat di dalamnya (masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya kecuali Masjid Ka’bah” (HR. Muslim no. 1396). Pendapat inilah yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah belakangan.
Pendapat kedua, yang dimaksud masjidil haram adalah masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah (artinya bukan seluruh Makkah). Inilah pendapat ulama Hambali dan dikuatkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah serta juga dipilih oleh ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin.
Dalil dari pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَلا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram” (QS. Al Baqarah: 191).
Begitu pula firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjidil haram sesudah tahun ini” (QS. At Taubah: 28). Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah masjid jama’ah yang di dalamnya terdapat Ka’bah.
Ayat lain yang menguatkan pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha” (QS. Al Isra’: 1). Salah satu pendapat menyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan isro’ mi’roj dari kamar di rumahnya. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa beliau melakukannya dari rumah Ummu Hani, dan itu di luar masjid. Inilah yang jadi dalil bahwa seluruh tanah haram (seluruh Makkah) disebut masjidil haram. Namun masalah dari mana beliau mulai berisro’, hal ini diperselisihkan para ulama. Dalam hadits dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sho’sho’ah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan malam beliau melakukan isro’,
بَيْنَمَا أَنَا فِى الْحَطِيمِ – وَرُبَّمَا قَالَ فِى الْحِجْرِ
Tatkala itu aku berada di tembok Ka’bah, bisa dikatakan pula di al Hijr.” (HR. Bukhari no. 3887)
Hadits lain yang menguatkan pendapat ini adalah hadits dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الصَّلَاةُ فِيهِ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا مَسْجِدَ الْكَعْبَةِ
Barangsiapa shalat di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh aku pernah mendengar beliau bersabda: Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya selain masjid Ka’bah (masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah)” (HR. Muslim no. 1396 dan An Nasai no. 691)
Alasan lainnya lagi adalah hadits,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِى هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
Janganlah bersengaja melakukan perjalanan dengan sengaja (dalam rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid: masjidku ini (masjid Nabawi), masjidil Haram dan Masjidil Aqsho.” (HR. Bukhari no. 1189 dan Muslim no. 1397). Dari hadits ini dapat dipahami bahwa jika seseorang bersengaja melakukan perjalanan ibadah ke Makkah, namun ia mengunjungi selain masjidil haram, yaitu ke masjid-masjid yang ada di tanah Makkah, maka itu bukanlah yang dimaksudkan dalam hadits di atas, bahkan bisa jadi terlarang jika ia hanya mengunjungi masjid-masjid sekitar saja. Yang dimaksudkan dalam hadits itu adalah ke Masjidil Haram, yaitu masjid yang terdapat Ka’bah, tempat berlipatnya pahala.
Pendapat ketiga, yang dimaksud masjidil haram adalah seluruh tanah haram, yaitu seluruh Makkah. Inilah pendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz.
Dalil dari pendapat ini, pertama adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjidil haram sesudah tahun ini” (QS. At Taubah: 28). Yang dimaksud ayat ini adalah seluruh tanah haram, bukan hanya masjid saja. Ibnu Hazm bahkan mengatakan bahwa tidak ada khilaf (perselisihan pendapat) dalam hal ini.
Sanggahan: Ayat di atas disebutkan “فَلَا يَقْرَبُوا” (janganlah mendekati) dan tidak disebut “فلا يدخلوا” (janganlah memasuki). Yang dimaksud dalam masjid dalam ayat di atas adalah tetap masjidil haram (tempat thowaf), itu dikatakan ‘jangan mendekati’. Karena bila telah sampai perbatasan tanah haram, maka non muslim tidak boleh melewatinya, itu dinamakan janganlah mendekati masjidil haram.
Dalil lain yang jadi argumen pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِي جَعَلْنَاهُ لِلنَّاسِ سَوَاءً الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” (QS. Al Hajj: 25). Pendapat ini beralasan bahwa yang dimaksud masjidil haram dalam ayat ini adalah seluruh Makkah. Sanggahan: Yang dimaksud Masjidil Haram adalah tetap masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah. Inilah makna tekstual (zhohir) dari ayat Al Qur’an sebagaimana pendapat Imam Nawawi dan Ibnul Qayyim.
Pendapat Terkuat
Dari penjelasan di atas, berdasarkan dalil terkuat dan sanggahan-sanggahan yang diberikan, maka kami lebih tenang pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa Masjidil Haram tempat dilipatgandakan pahala bukanlah seluruh Makkah atau seluruh tanah haram, tapi khusus di masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah (yaitu Masjidil Haram yang kita kenal).
Jadi bagi laki-laki jika berada di tanah haram Makkah dan tidak jauh serta tidak menyulitkan, hendaklah ia berusaha shalat di Masjidil Haram agar mendapatkan pahala melimpah. Sedangkan wanita, jika ia tetap shalat di rumah atau di hotelnya, maka itu tetap lebih baik dari shalat di Masjidil Haram, artinya pahalanya tetap lebih banyak. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ummu Humaid,
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ … وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى
Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. …  (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad no. 27135. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan). Bayangkan, ini yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan pada wanita, padahal shalat di Masjid Nabawi mendapatkan pahala 1000 kali dari masjid lainnya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap perintahkan ia shalat di rumahnya dan itu lebih baik untuknya. Demikian penjelasan yang kami dapatkan dari guru kami Syaikh Hammad Al Hammad hafizhohullah, imam masjid Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA, pada pelajaran Kitab Tauhid dua pekan yang lalu (21/10/1432 H).
Wallahu a’lam bish showab. Wallahu waliyyut taufiq. Walhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah, wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Referensi utama: Tulisan Syaikh ‘Abdul Lathif bin ‘Audh Al Qorni dalam Mawqi’ Muslim yang kami nukil dari www.dorar.net.


Diberdayakan oleh Blogger.