Berlipatnya Pahala Shalat di Masjidil Haram

Para ulama berselisih pendapat tentang yang dimaksud masjidil haram tempat dilipat gandakannya pahala shalat.
Pendapat pertama, yang dimaksud masjidil haram adalah Ka’bah.
Dalil dari pendapat adalah firman Allah Ta’ala,
 “Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al Baqarah: 144). Yang dimaksud dengan mengarahkan wajah dalam ayat ini adalah ke Ka’bah saja. Sanggahan: Yang dimaksud masjidil haram  di sini menunjukkan taghlib (global), yaitu secara umum maksudnya adalah Ka’bah.
Pendapat ini juga berdalil dengan hadits,
 “Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik dair 1000 shalat di masjid lainyya kecuali Ka’bah”. (HR. An Nasai no. 2899, Ahmad 2/386. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani). Sanggahan: yang dimaksud dalam hadits ini adalah Masjid Ka’bah (yaitu masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah). Hal ini diterangkan dalam hadits Maimunah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Shalat di dalamnya (masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya kecuali Masjid Ka’bah” (HR. Muslim no. 1396). Pendapat inilah yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah belakangan.
Pendapat kedua, yang dimaksud masjidil haram adalah masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah (artinya bukan seluruh Makkah). Inilah pendapat ulama Hambali dan dikuatkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah serta juga dipilih oleh ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin.
Dalil dari pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala,
 “Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram” (QS. Al Baqarah: 191).
Begitu pula firman Allah Ta’ala,
 “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjidil haram sesudah tahun ini” (QS. At Taubah: 28). Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah masjid jama’ah yang di dalamnya terdapat Ka’bah.
Ayat lain yang menguatkan pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala,
 “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha” (QS. Al Isra’: 1). Salah satu pendapat menyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan isro’ mi’roj dari kamar di rumahnya. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa beliau melakukannya dari rumah Ummu Hani, dan itu di luar masjid. Inilah yang jadi dalil bahwa seluruh tanah haram (seluruh Makkah) disebut masjidil haram. Namun masalah dari mana beliau mulai berisro’, hal ini diperselisihkan para ulama. Dalam hadits dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sho’sho’ah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan malam beliau melakukan isro’,
 “Tatkala itu aku berada di tembok Ka’bah, bisa dikatakan pula di al Hijr.” (HR. Bukhari no. 3887)
Hadits lain yang menguatkan pendapat ini adalah hadits dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
 “Barangsiapa shalat di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sungguh aku pernah mendengar beliau bersabda: Shalat di masjidku (masjid Nabawi) lebih baik dari 1000 shalat di masjid lainnya selain masjid Ka’bah (masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah)” (HR. Muslim no. 1396 dan An Nasai no. 691)
Alasan lainnya lagi adalah hadits,
 “Janganlah bersengaja melakukan perjalanan dengan sengaja (dalam rangka ibadah) kecuali ke tiga masjid: masjidku ini (masjid Nabawi), masjidil Haram dan Masjidil Aqsho.” (HR. Bukhari no. 1189 dan Muslim no. 1397). Dari hadits ini dapat dipahami bahwa jika seseorang bersengaja melakukan perjalanan ibadah ke Makkah, namun ia mengunjungi selain masjidil haram, yaitu ke masjid-masjid yang ada di tanah Makkah, maka itu bukanlah yang dimaksudkan dalam hadits di atas, bahkan bisa jadi terlarang jika ia hanya mengunjungi masjid-masjid sekitar saja. Yang dimaksudkan dalam hadits itu adalah ke Masjidil Haram, yaitu masjid yang terdapat Ka’bah, tempat berlipatnya pahala.
Pendapat ketiga, yang dimaksud masjidil haram adalah seluruh tanah haram, yaitu seluruh Makkah. Inilah pendapat ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz.
Dalil dari pendapat ini, pertama adalah firman Allah Ta’ala,
 “Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjidil haram sesudah tahun ini” (QS. At Taubah: 28). Yang dimaksud ayat ini adalah seluruh tanah haram, bukan hanya masjid saja. Ibnu Hazm bahkan mengatakan bahwa tidak ada khilaf (perselisihan pendapat) dalam hal ini.
Sanggahan: Ayat di atas disebutkan “فَلَا يَقْرَبُوا” (janganlah mendekati) dan tidak disebut “فلا يدخلوا” (janganlah memasuki). Yang dimaksud dalam masjid dalam ayat di atas adalah tetap masjidil haram (tempat thowaf), itu dikatakan ‘jangan mendekati’. Karena bila telah sampai perbatasan tanah haram, maka non muslim tidak boleh melewatinya, itu dinamakan janganlah mendekati masjidil haram.
Dalil lain yang jadi argumen pendapat ini adalah firman Allah Ta’ala,
 “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.” (QS. Al Hajj: 25). Pendapat ini beralasan bahwa yang dimaksud masjidil haram dalam ayat ini adalah seluruh Makkah. Sanggahan: Yang dimaksud Masjidil Haram adalah tetap masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah. Inilah makna tekstual (zhohir) dari ayat Al Qur’an sebagaimana pendapat Imam Nawawi dan Ibnul Qayyim.
Pendapat Terkuat
Dari penjelasan di atas, berdasarkan dalil terkuat dan sanggahan-sanggahan yang diberikan, maka kami lebih tenang pada pendapat kedua yang menyatakan bahwa Masjidil Haram tempat dilipatgandakan pahala bukanlah seluruh Makkah atau seluruh tanah haram, tapi khusus di masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah (yaitu Masjidil Haram yang kita kenal).
Jadi bagi laki-laki jika berada di tanah haram Makkah dan tidak jauh serta tidak menyulitkan, hendaklah ia berusaha shalat di Masjidil Haram agar mendapatkan pahala melimpah. Sedangkan wanita, jika ia tetap shalat di rumah atau di hotelnya, maka itu tetap lebih baik dari shalat di Masjidil Haram, artinya pahalanya tetap lebih banyak. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ummu Humaid,
Aku telah mengetahui bahwa engkau senang sekali jika dapat shalat bersamaku. …  (Namun ketahuilah bahwa) shalatmu di rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad no. 27135. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan). Bayangkan, ini yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan pada wanita, padahal shalat di Masjid Nabawi mendapatkan pahala 1000 kali dari masjid lainnya. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap perintahkan ia shalat di rumahnya dan itu lebih baik untuknya. Demikian penjelasan yang kami dapatkan dari guru kami Syaikh Hammad Al Hammad hafizhohullah, imam masjid Jami’ah Malik Su’ud Riyadh KSA, pada pelajaran Kitab Tauhid dua pekan yang lalu (21/10/1432 H).
Wallahu a’lam bish showab. Wallahu waliyyut taufiq. Walhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah, wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Referensi utama: Tulisan Syaikh ‘Abdul Lathif bin ‘Audh Al Qorni dalam Mawqi’ Muslim yang kami nukil dari www.dorar.net.




Kiat Sholat Khusyuk


Pertanyaan: Bagaimana bisa melakukan ibadah shalat dengan khusyuk? Selama ini saya sering dalam shalat terlintas hal-hal yang tidak diinginkan.
Dijawab oleh Ustadz Abu Zubair Al-Hawaary, Lc.
Silakan saksikan jawaban beliau pada video ini, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin.
YUFID TV
http://yufid.tv
Link [download id="265"]
Sumber: youtube.com

Masalah Jahar atau Sirr Basmalah


Masalah jahar  (bukan zahar) dan sirr ketika membaca basmallah di dalam sholat ada dua pendapat ulama. Yang rajih Insya Allah adalah imam membaca basmalah dengan sir. Karena demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Aku sholat di belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallama, di belakang Abu Bakar dan di belakang Umar. Maka aku tidak pernah mendengar seorangpun dari mereka membaca Bismillahir rohmanir rahim”.[1]
Selain itu karena dia bukanlah termasuk ayat Al-Fatihah[2].
Akan tetapi jika sesekali imam menjaharkannya tidak mengapa. Karena ada riwayat yang mengisyaratkan demikian sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah di dalam kitab Zaadul Ma’ad, akan tetapi kata beliau Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallama lebih sering men-sirr-kannya.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan kalau imam menjaharkan dalam rangka menghindari fitnah atau ta’liif  orang-orang yang mazhabnya jahar, maka itu tidak apa-apa.[3]
Imam Az-Zaila’I menuturkan, “Sebagian ulama menjaharkan basmalah guna menghindari hal yang tidak baik (Saddan Lidz-Dari’ah). Ia melanjutkan, “Boleh bagi seseorang meninggalkan yang afdhol untuk Ta’liiful Qulub dan menyatukan, serta menghindari sesuatu yang membuat orang lari. Sebagaimana Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallama meninggalkan pemugaran ka’bah dan membangunnya kembali di atas pondasi Ibrahim, dengan alasan orang-orang qurasiy baru meninggalkan jahiliyyah, beliau shollallahu ‘alaihi wa sallama khawatir itu akan membuat mereka lari. Dan beliau memandang mendahulukan maslahah bersatu sekalipun membiarkan ka’bah seperti itu.
Dan tatkala Ar-Robi’ mengingkari Ibnu Mas’ud yang menyempurnakan sholat di belakang Ustman[4], Ibnu Mas’ud menjawab, “Perselisihan itu adalah buruk”.
Ahmad dan lainnya telah menegaskan itu dalam masalah basmalah, menyambung witir dan lainnya. Yang mana seseorang meninggalkan yang afdhol kepada sesuatu yang boleh tetapi  tidak utama. Dalam rangka menjaga kesatuan hati  makmum atau untuk mengenalkan mereka kepada sunnah dan semisalnya, dan ini merupakan landasan besar dalam (masalah) Sadd Adz-Dzari’ah”.[5]
Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, “Yang benar dikatakan, “Masalah ini adalah masalah yang lapang. Dan pendapat yang membatasi pada satu tidak mungkin. Dan setiap yang berpegang kepada satu riwayat[6] dia benar dan berpegang kepada As-Sunnah. Yang sempurna adalah mengikuti Al-Mushthofa shollallahu ‘alaihi wa sallama dalam segala keadaan. Maka kadang dijaharkan dan lebih sering di sirr-kan. Kepada Allah kita meminta tolong, dan Dialah yang menunjuki kepada jalan yang lurus”.[7]

[1] Dikeluarkan oleh Muslim no. (399) kitab Ash-Sholah bab. Hujjah Man Qola Laa Yajhar bil Basmalah.
[2] Fatawa Ibnu Utsaimin 13/109.
[3] Ibid.
[4] Ketika di Mina. Padahal Ibnu Mas’ud berpendapat sholat dilakukan dengan qoshor sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar rodhiyallahu ‘anhum ajma’in.
[5] Nasbur Royah (1/328).
[6] Dalam masalah ini.
[7] Al-Qowlul Mubin hal. (234).
(Sumber: telagahati.online)

Bolehkah Wanita Haid Masuk Masjid?


Wanita haid juga butuh akan ibadah. Begitu pula ia butuh akan ilmu. Bagaimanakah jika ia mengalami haid sedangkan butuh akan siraman rohani atau pelajaran ilmu syar’i yang cuma ditemukan di masjid? Apakah ia boleh memasuki masjid dalam keadaan haid?
Syaikh Kholid Mushlih –hafizhohullah- ditanya, “Apakah boleh wanita haid menghadiri majelis Al Qur’an (di masjid)?”
Jawab beliau, “Wanita haidh boleh saja masuk masjid jika ada hajat, inilah pendapat yang lebih tepat. Karena terdapat dalam kitab shahih (yaitu Shahih Muslim) bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada ‘Aisyah, “Berikan padaku sajadah kecil di masjid.” Lalu ‘Aisyah berkata, “Saya sedang  haid.” Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu.”[1] Hal ini menunjukkan bahwa boleh saja bagi wanita haid untuk memasuki masjid jika: (1) ada hajat dan (2) tidak sampai mengotori masjid. Demikian dua syarat yang mesti dipenuhi bagi wanita haid yang ingin masuk masjid.
Adapun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan,
 “Tidak dihalalkan masjid bagi wanita haid dan orang yang junub.[2] Ini hadits yang tidak shahih. Para ulama hadits menyatakan demikian bahwa hadits tersebut tidaklah shahih. Sehingga hadits tersebut tidak bisa jadi pendukung untuk melarang wanita haid masuk masjid.
Adapun jika ada yang mengqiyaskan wanita haid dengan orang junub, ini jelas qiyas (analogi) yang tidak memiliki kesamaan. Karena junub boleh masuk masjid jika dia berwudhu untuk memperingan junubnya, ini yang pertama. Yang kedua, junub adalah hadats karena pilihannya yang sendiri dan ia mungkin saja menghilangkan hadats tersebut. Hal ini berbeda dengan wanita haid. Wanita yang mengalami haid bukanlah atas pilihannya sendiri. Jika wanita haid mandi sekali pun selama darahnya masih mengalir, itu tidak bisa menghentikan darah haidnya. Intinya, tidak bisa disamakan antara wanita haid dan orang yang junub sehingga qiyasnya nantinya adalah qiyas yang jelas berbeda (qiyas ma’al faariq).”
Fatwa beliau dinukil dari Youtube pada link: http://www.youtube.com/watch?v=Yx-hTMp7jYc
* Syaikh Kholid Mushlih: murid senior sekaligus menantu Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin

Artikel Muslim.Or.Id


[1] Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan,
Dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Ambilkan untukku khumroh (sajadah kecil) di masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”, jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidmu itu bukan karena sebabmu” (HR. Muslim no. 298).
[2] HR. Abu Daud no. 232. Hadits ini dikatakan dho’if oleh Syaikh Al Albani.

Pelajaran Penting Seputar Wudhu (Episode 1,2 dan 3)

Pemateri: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Lokasi: Kantor Yufid.TV
Pada pelajaran kali ini, Ustadz Abduh menjelaskan tentang perkara penting yang harus diperhatikan dan diamalkan oleh setiap muslim dan muslimah berkaitan tentang ibadah wudhu. Semoga penjelasan beliau bermanfaat bagi kaum muslimin. Selamat menyimak.
YUFID TV
-http://yufid.tv




Sekali Lagi Tentang Sholat Dhuha - Surat yang Dibaca ketika Shalat Dhuha


Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz
Bagaimana Derajat Hadist ini:
Menurut Ibnu Abidin yang sebaiknya dibaca pada shalat dhuha adalah surat Asy-Syam pada rakaat pertama dan surat Ad-Dhuha pada rakaat kedua.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Uqban bin Amir, “Kami diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat dhuha dengan membaca sejumlah surat. Di antaranya Asy-Syams dan Adh-Dhuha.”
Sementara dalam Nihayatul Muhtaj disebutkan bahwa yang lebih utama membaca surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas karena surat Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Alquran dan Al-Kafirun setara dengan seperempat Alquran.
Ana kutip dari :
1. http://anggrafansclub.wordpress.com/2012/01/23/apakah-ada-bacaan-surat-khusus-dalam-shalat-dhuha/
2. http://www.syariahonline.com/v2/shalat/2479-surat-yang-dibaca-dalam-shalat-dhuha.html
Dari: Muhammad Nawir

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah…
Bacaan Sholat Dhuha
Terdapat sebuah hadis yang menganjurkan untuk membaca surat As Syams pada rakaat pertama dan membaca surat Ad dhuha pada rakaat kedua. Hadis tersebut berbunyi:
 “Shalatlah dua rakaat dhuha dengan membaca dua surat dhuha, yaitu surat Was syamsi wadhuhaa haa dan surat Adh dhuha.
Dalam riwayat yang lain terdapat tambahan: “Barangsiapa yang mengamalkannya maka dia diampuni.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ar Ruyani dalam Musnad­-nya dan Ad Dailami (2:242) dari jalur Musyaji’ bin ‘Amr. Hadis ini juga disebutkan oleh Al Hafidz Ibn Hajar dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari dan tidak dikomentari. Beliau hanya menyatakan bahwa bacaan surat tersebut ada kesesuaian bacaan dengan shalat yang dikerjakan. Namun yang benar, hadis di atas adalah hadis palsu. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al Albani, beliau mengatakan: “Hadis ini palsu, cacatnya ada pada Musyaji’ bin Amr. Ibn Ma’in berkomentar tentang Musyaji’: “yang saya tahu dia (musyaji’) adalah seorang pendusta.” (Silsilah Hadis Dhaif dan Palsu, hadis ke-3774).
Hadis ini juga didhaifkan oleh Al Munawi dalam Faidlul Qodir dengan alasan adanya perawi yang bernama Musyaji’ bin Amr. Imam Ad Dzahabi dalam Ad Dlu’afa’ mengatakan dengan menukil perkataan Ibn Hibban: “Dia memalsukan hadis dari Ibn Lahi’ah dan dia adalah dhaif.” (Faidlul Qodir, 4:201).
Dari dua penjelasan ini, dapat diambil kesimpulan dengan yakin bahwa hadis yang menganjurkan shalat dhuha dengan bacaan tertentu adalah hadis dhaif. Artinya tidak ada anjuran untuk mengkhususkan shalat dhuha dengan bacaan tertentu, baik di rakaat pertama, rakaat kedua, maupun doa setelah shalat dhuha.
Dalam masalah ini, terdapat satu kaidah terkait masalah ibadah yang penting untuk diketahui:
“Membatasi setiap ibadah yang sifatnya mutlak dengan tata cara tertentu –misalnya waktu, tempat, bacaan, jumlah, dan yang lainnya- tanpa ada keterangan dalil yang shahih termasuk salah satu bentuk bid’ah.” (Qowa’id Ma’rifatil Bida’, Hal. 52)
Karena hadis yang dijadikan dalil untuk menetapan dua surat di atas adalah hadis palsu maka tidak selayaknya dijadikan pegangan untuk mengkhususkan bacaan tertentu dalam shalat dhuha. Karena hadis palsu bukanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara mengkhususkan bacaan tertentu untuk ibadah yang sifatnya umum (tidak ditentukan bacaannya) padahal tidak ada dasarnya, termasuk salah satu perbuatan bid’ah. Wallahu a’lam.
As Syaikh Ibn Baz rahimahullah pernah ditanya tentang bacaan surat As Syamsi dan Ad dhuha ketika shalat dhuha. Beliau menjawab:
“Adapun yang sesuai sunah, engkau membaca surat yang mudah menurutmu setelah membaca Al Fatihah. Dalam bacaan tersebut tidak ada batasan tertentu, karena yang wajib hanya Al Fatihah sedangkan tambahannya adalah sunah. Maka jika setelah Al Fatihah engkau membaca surat As Syamsi, Al Lail, Ad dhuha, Al Insyirah, dan surat-surat yang lainnya, ini adalah satu hal yang baik.” (Majmu’ Fatawa dan Maqalat Ibn Bazz, 11).
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Biats (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com




30 Kesalahan Dalam Sholat

"Sesungguhnya yang petama kali akan dihisab atas seorang hamba pada hari kiamat adalah perkara shalat. Jika Shalatnya baik, maka baikpula seluruh amalan ibadah lainnya, kemudian semua amalannya akan dihitung atas hal itu."
(HR. An Nasa'I : 463)
Banyak orang yang lalai dalam shalat, tanpa sengaja melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak diketahuinya, yang mungkin bisa memubat amalan shalatnya tidak sempurna.
kami akan paparkan kesalahan yang sering terjadi dalam shalat.
1. Menunda–nunda Shalat dari waktu yang telah ditetapkan
Hal ini merupakan pelanggaran berdasarkan firman Allah
"Sesungguhnya shalat suatu kewajiban yang telah ditetepkan waktunya bagi orang-orang beriman". (QS. An-Nisa : 103)
2. Tidak shalat berjamah di masjid bagi laki-laki
Rasullah  bersabda, "Barang siapa yang mendengar panggilan (azan) kemudina tidak menjawabnya (dengan mendatangi shalat berjamaah), kecuali uzur yang dibenarkan". (HR. Ibnu Majah Shahih) Dalam hadits bukhari dan Muslim disebutkan. "Lalu aku bangkit (setelah shalat dimulai) dan pergi menuju orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, kemudian aku akan membakar rumah-rumah mereka hingga rata dengan tanah."
3. Tidak tuma'minah dalam shalat
Makna tuma'minah adalah, seseorang yang melakukan shalat, diam (tenang) dalam ruku'.i'tidal,sujud dan duduk diantara dua sujud. Dia harus ada pada posisitersebut, dimana setiap ruas-ruas tulang ditempatkan pada tempatnya yang sesuai. Tiak boleh terburu-buru di antara dua gerakan dalam shalat, sampai dia seleasi tuma'ninah dalam posisi tertentu sesuai waktunya. Nabi  bersabda kepada seseorang yang tergegesa dalam shalatnya tanpa memperlihatkan tuma;minah dengan benar, "Ulangi shalatmu, sebab kamu belum melakukan shalat."
4. Tidak khusu' dalam shalat, dan melakukan gerakan-gerakan yang berlebihan di dalamnya.
Rasulallah  bersabda, "Sesungguhnya, seseorang beranjak setelah megnerjakan shalatnya dan tidak ditetapkan pahala untuknya kecuali hanya sepersepuluh untuk shalatnya, sepersembilan, seperdelapan, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga atau setangah darinya. " (HR. Abu Dawud, Shahih) mereka tidak mendapat pahala shlatnya dengan sempurna disebabkan tidak adanya kekhusyu'an dalam hati atau melakukan gerakan-gerakan yang melalaikan dalam shalat.
5. Sengaja mendahului gerakan iman atau tidak mengikuti gerakan-gerakannya.
Perbuatan ini dapat membatalkan shalat atau rakaat-rakaat. Merupakan suatu kewajiban bagi mukmin untuk mengikuti imam secara keseluruhan tanpa mendahuluinya atau melambat-lambatkan sesudahnya pada setiap rakaat shalat. Rasulallah  bersabda, "Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti keseluruhannya. Jika ia bertakbir maka bertakbirlah, dan jangan bertakbir sampai imam bertakbir, dan jika dia ruku' maka ruku'lah dan jangan ruku' sampai imam ruku' ". (HR. Bukhari)
6. Berdiri untuk melngkapi rakaat yang tertinggal sebelum imam menyelesaikan tasyahud akhir dengan mengucap salam ke kiri dan kekanan
Rasulallah  bersabda, "Jangan mendahuluiku dalam ruku', sujud dan jangan pergi dari shalat (Al-Insiraf)". Para ulama berpedapat bahwa Al-Insiraf, ada pada tasyahud akhir. Seseorang yang mendahului imam harus tetap pada tempatnya sampai imam menyelesaikan shalatnya (sempurna salamnya). Baru setalah itu dia berdiri dan melengkapi rakaat yang tertinggal.
7. Melafadzkan niat.
Tidak ada keterangan dari nabi  maupun dari para sahabat bahwa meraka pernah melafadzkan niat shalat. Ibnul Qayyim rmh menyatakan dalam Zadul-Ma'ad "Ketika Nabi  berdiri untuk shalat beliau mengucapkan "Allahu Akbar", dan tidak berkata apapun selain itu. Beliau  juga tidak melafalkan niatnya dengan keras.
8. Membaca Al-Qur'an dalam ruku' atau selama sujud.
Hal ini dilarang, berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi  bersabda, "saya telah dilarang untuk membaca Al-Qur'an selama ruku' atau dalam sujud." (HR. Muslim)
9. Memandang keatas selama shalat atau melihat ke kiri dan ke kanan tanpa alasan tertentu.
Rasulallah  bersabda, "Cegalah orang-orang itu untuk mengangkat pandangan keatas atau biarkan pandangan mereka tidak kembali lagi". (HR. Muslim)
10. Melihat ke sekeliling tanpa ada keperluan apapun.
Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa ia berkata, "Aku berkata kepada Rasulallah  tentang melihat ke sekeliling dalam shalat Beliau  menjawab, "Itu adalah curian yang sengaja dibisikan setan pada umat dalam shalatnya". (HR. Bukhari)
11. Seorang wanita yang tidak menutupi kepala dan kakinya dalam shalat.
Sabda Rasulallah  "Allah tidak menerima shalat wania yang sudah mencapai usia-haid, kecuali jiak dia memakai jilbab (khimar)". (HR. Ahmad)
12. Berjalan di depan orang yang shalat baik orang yang dilewati di hadapanya itu sebagai imam, maupun sedang shalat sendirian dan melangka (melewati) di antara orang selama khutbah shalat Jum'at.
Rasulallah  bersabda, "Jika orang yang melintas didepan orang yang sedang shalat mengetahui betapa beratnya dosa baginya melakukan hal itu, maka akan lebih baik baginya untuk menunggu dalam hitungan 40 tahun dari pada berjalan didepan orang shalat itu".(HR. Bukhari dan Muslim). Adapun lewat diantara shaf orang yang sedang shalat berjamaah, maka hal itu diperbolehkan menurut jumhur bedasarkan hadits Ibnu Abbas: "Saya datang dengan naik keledai, sedang saya pada waktu itu mendekati baligh. Rasulallah  sedang shalat bersama orang –orang Mina menghadap kedinding. Maka saya lewat didepan sebagian shaf, lalu turun dan saya biarkan keledai saya, maka saya masuk kedalam shaf dan tidak ada seorangpun yang mengingkari perbuatan saya". (HR. Al-Jamaah). Ibnu Abdil Barr berkata, "Hadits Ibnu Abbas ini menjadi pengkhususan dari hadits Abu Sa'id yang berbunyi "Jika salah seorang dari kalian shalat, jangan biarkan seseorangpun lewat didepannya". (Fathul Bari: 1/572)
13. Tidak mengikuti imam (pada posisi yang sama) ketika datang terlambat baik ketika imam sedang duduk atau sujud.
Sikap yang dibenarkan bagi seseorang yang memasuki masjid adalah segera mengikuti imam pada posisi bagaimanapun, baik dia sedang sujud atau yang lainnya.
14. Seseorang bermain dengan pakaian atau jam atau yang lainnya.
Hal ini mengurangi kekhusyu'an. Rasulallah  melarang mengusap krikil selama shalat, karna dapat merusak kekhusyu'an, Beliau  bersabda, "Jika salah seorang dari kalian sedang shalat, cegahlah ia untuk tidak menghapus krikil sehingga ampunan datang padanya". (Hadits Shahih Riwayat Ahmad)
15. Menutup mata tanpa alasan
Hal ini makruh sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, "Menutup mata buka dari sunnah rasul. Yang terbaik adalah, jika membuka mata tidak merusak kekhusyu'an shalat, maka lebih baik melakukannya. Namun jika hiasan, ornament dsn sebagainya disekitar orang yang shalat atau antara dirinya dengan kiblat mengganggu konsentrasinya, maka dipoerbolehkan menutup mata. Namun demikian pernyataan untuk melakukan hal itu dianjurkan(mustahab) pada kasus ini. Wallahu A'lam.
16. Makan atau minum atau tertawa.
"Para ulama berkesimpulan oragn yang shalat dilarang makan dan minum. Juga ada kesepakatan diantara mereka bahwa jika seseorang melakukannya dengan sengaja maka ia harus mengulang shalatnya.
17. Mengeraskan suara hingga mengganggu orang-orang di sekitarnya.
Ibnu Taimuiyah menyatakan, "Siapapun yang membaca Al-Qur'an dan orang lain sedang shlat sunnah, maka tidak dibenarkan baginya untuk membacanya dengan suara keras karean akan mengganggu mereka. Sebab, Nabi  pernah meninggalkan sahabat-sahabatnya ketika merika shalat ashar dan Beliau  bersabda, "Hai manusia setip kalian mencari pertolongan dari Robb kalian. Namun demikian, jangan berlebihan satu sama lain dengan bacaan kalian".
18. Menyela di antara orang yang sedang shalat.
Perbuatan ini teralarang, karena akan mengganggu. Orang yang hendak menunaikan shalat hendaknya shalat pada tempat yang ada. Namun jika ia melihat celah yang memungkinkan baginya untuk melintas dan tidak mengganggu, maka hal ini di perbolehkan. Larangan ini lebih ditekankan pada jama'ah shalat Jum'at, hal ini betul-betul dilarang. Nabi  bersabda tentang merka yang melintasi batas shalat,"Duduklah! Kamu mengganggu dan terlambat datang".
19. Tidak meluruskan shaf.
Nabi  bersabda, "Luruskan shafmu, sesungguhnya meluruskan shaf adalah bagian dari mendirikan shalat yang benar"(HR. Bukhari dan Muslim).
20. Mengangkat kaki dalam sujud.
Hal ini bertentangan dengan ynag diperintahkan sebagaimana diriwayatkan dalam dua hadits shahih dari Ibnu Abbas, "Nabi  telah memerintah bersujud dengan tujuh anggota tubuh dan tidak mengangkat rambur atau dahi (termasuk hidung), dua telapak tangan, dua lutut, dan dua telapak kaki." Jadi seseorang yang shalat (dalam sujud), harus dengan dua telapak kaki menyentuk lantai dan menggerakan jari-jari kaki menghadao kiblat. Tiap bagian kaki haris menyentuk lantai. Jika diangkat salah satu dari kakinya, sujudnya tidak benar. Sepanjang dia lakukanutu dalam sujud.
21. Melatakkan tangan kiri dia atas tangan kanan dan memposisikannya di leher.
Hal ini berlawanan dengan sunnah karena Nabi  meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan meletakkan keduanya di dada beliau. Ini hadits hasan dari beberapa sumber yang lemah di dalamya. Tapi dalam hubungannya saling menguatkan di antara satu dengan lainnya.
22. Tidak berhati-hati untuk melakukan sujud dengan tujuh angota tubuh(seperti dengan hidung, kedua telapak tangan, kedua lutuk dan jari-jari kedua telapak kaki).
Rasulallah  bersabda, "Jika seorang hamba sujud, maka tujuh anggota tubuh harus ikut sujud bersamanya: wajah, kedu telapak tangan kedua lutut dan kedua kaki". (HR. Muslim)
23. Menyembunyikan persendian tulang dalam shalat.
Ini adala perbuatan yang tidak dibenarkan dalam shalat. Hal ini didasarkan pad sebuah hadits dengan sanad yang baik dari Shu'bah budak Ibnu Abbas yang berkata, "Aku shalat di samping Ibnu Abbas dan aku menyembunyikan persedianku." Selesai shalat di berkata, "Sesungguhnya kamu kehilangan ibumu!, karena menyembunyikan persendian ketika kamu shalat!".

24. Membunyikan dan mepermainkan antar jari-jari (tasbik) selama dan sebelum shalat.
Rasulallah, "Jika salah seorang dari kalian wudhu dan pergi kemasjid untuk shalat, cegahlah dia memainkan tangannya karena (waktu itu) ia sudah termasuk waktu shalat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi)
25. Menjadikan seseorang sebagai imam, padahal tidak pantas, dan ada orang lain yang lebih berhak.
Merupakan hal yang penting, bahwa seorang imam harus memiliki pemahaman tentang agama dan mampu membaca Al-Qur'an dengan benar. Sebagaimana sabda Nabi  "Imam bagi manusia adalah yang paling baik membaca Al-Qur'an" (HR. Muslim)
26. Wanita masuk ke masjid dengan mempercantik diri atau memakai harum-haruman.
Nabi  bersabda, "Jangan biarkan perrempuan yang berbau harum menghadiri shalat isya bersama kita." (HR. Muslim)
27. Shalat dengan pakaian yang bergambar, apalagi gambar makhluk bernyawa.
Termasuk pakaian yang terdapat tulisan atau sesuatu yang bisa merusak konsentrasi orang yang shalat di belakangnya.
28. Shalat dengan sarung, gamis dan celana musbil melebihi mata kaki).
Banyak hadits rasulallah  yang meyebutkan larangan berbuat isbal diantaranya :
A. Rasulallah  bersabda : sesungguhnya allah tidak menerima shalat seseorang lelaki yang memakain sarung dengan cara musbil." (HR. Abu Dawud (1/172 no. 638)
B. Rasulallah  bersabda : Allah  tidak (akan) melihat shalat seseorang yang mengeluarkan sarungnya sampai kebawah (musbil) dengan perasaan sombong." (Shahih Ibnu Khuzaimah 1/382)
C. Rasulallah  bersabda : "Sarung yang melebihi kedua mata kaki, maka pelakunya di dalam neraka." (HR.Bukhari : 5887)
29. Shalat di atas pemakaman atau menghadapnya.
Rasulallah berabda, "Jangan kalian menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena sesungguhnya aku telah melarang kalian melakukan hal itu." (HR. Muslim : 532)
30. Shalat tidak menghadap ke arah sutrah (pembatas).
Nabi melarang perbuatan tersebut seraya bersabda :"Apabila salah seorang diantara kalian shalat menghadap sutrah, hendaklah ia mendekati sutahnya sehingga setan tidak dapat memutus shalatnya. (Shahih Al-Jami' : 650)
Inilah contoh perbuatan beliau "Apabila beliau shalat di temapt terbuka yang tidak ada seorangpun yang menutupinya, maka beliau menamcapkan tombak di depannya, lalu shalat menghadap tombak tersebut, sedang para sahabat bermakmum di belakangnya. Beliau  tidak membiarkan ada sesuatu yang lewat di antara dirinya dan sutrah tresebut." Shifat Shalat Nabi, karya Al-Albani (hal : 55)

Dirangkum dari
"40 Kesalahan Shalat oleh Syaikh Muhammad Jibrin & Al Qaulu Mubin fi Akhthail Mushallin, Syaikh Mansyhur Hasan Salman.
Dan Diterbikan Oleh Al-Amin Publising
Diberdayakan oleh Blogger.