Ceramah Sunnah-Ust Subhi Abdurrahman-Musibah Bagi yang Meninggalkan Shalat mp3


Hukum Meninggalkan Sholat 
Penulis: Al-Ustâdz Muslim Abû Ishâq Al-Atsarî
Telah kita ketahui kesepakatan ulama tentang kafirnya orang yang menentang kewajiban shalat. Namun, bagi yang meninggalkannya karena malas, terlebih lagi ia masih mengimani bahwa shalat itu amalan yang disyariatkan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, antara yang mengkafirkan dengan yang tidak mengkafirkan dan apakah ia dibunuh atau tidak. Masalah hukum orang yang meninggalkan shalat ini memang merupakan masalah khilafiyyah sejak zaman dahulu di kalangan salaful ummah, dan perselisihannya teranggap (mu’tabar). Oleh karena itu, janganlah kita gegabah menuduh orang yang menyelisihi pendapat kita dalam hal ini, semisal kita mengatakannya Murji` (pengikut pemahaman Murji`ah, karena tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat) atau menvonisnya dengan Khariji (pengikut pemahaman Khawarij, karena mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat). Hukum asal dalam hal khilaf yangmu’tabar adalah seseorang tidak boleh mengingkari pendapat orang lain dan mencelanya. Mencela seseorang karena mengikuti pendapat ulama dari kalangan salaf (para imam yang dikenal) sama dengan mencela ulama salaf tersebut. Karena itu sekali lagi kita tegaskan, janganlah kita memboikot dan mencela saudara kita dalam permasalahan-permasalahan yang kita dapati para ulama kita juga berbeda pendapat di dalamnya. Memang masalah fiqih yang seperti ini, kita dapati para ulama sering berbeda pendapat, dan mereka pun melapangkan bagi saudaranya selama permasalahan itu memang dibolehkan/dilapangkan untuk berijtihad.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan bahwa permasalahan meninggalkan shalat ini termasuk permasalahan yang sangat besar yang pada hari ini banyak orang terjatuh di dalamnya (ditimpa musibah dengan tidak menunaikannya). Dan ulama beserta para imam dari kalangan umat ini, yang dahulu maupun sekarang, berselisih pendapat tentang hukumnya. (Mukaddimah kitab Hukmu Tarikish Shalah hal. 3)
Orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja berarti ia telah melakukan dosa yang teramat besar. Dosanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih besar daripada dosa membunuh jiwa yang tidak halal untuk dibunuh, atau dosa mengambil harta orang lain secara batil, atau dosa zina, mencuri dan minum khamr. Meninggalkan shalat berarti menghadapkan diri kepada hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemurkaan-Nya. Ia akan dihinakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala baik di dunia maupun di akhiratnya. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyimrahimahullahu, hal. 7) Tentang hukuman di akhirat bagi orang yang menyia-nyiakan shalat dinyatakan AllahSubhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya: “Apakah yang memasukkan kalian ke dalam neraka Saqar?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat….” (Al-Muddatstsir: 42-43) “Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari mengerjakan shalatnya….” (Al-Ma’un: 4-5) “Maka datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kerugian.”(Maryam: 59)
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama . Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dari kalangan Malikiyyah berpendapat kafir orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja walaupun ia tidak menentang kewajiban shalat. Pendapat ini dihikayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Al-Hakam bin ‘Uyainah radhiyallahu ‘anhum. Sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga berpendapat demikian4. (Al-Majmu’3/19, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403) Mereka berargumen dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 5) Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan harus terpenuhinya tiga syarat barulah seorang yang tadinya musyrik dibebaskan dari hukuman bunuh sebagai orang kafir yaitu bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Bila tiga syarat ini terpenuhi berarti ia telah menjadi seorang muslim yang terpelihara darahnya. Namun bila tidak, ia bukanlah seorang muslim. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak mau menunaikannya, berarti tidak memenuhi syarat untuk dibiarkan berjalan, yang berarti ia boleh dibunuh. Argumen mereka dari hadits adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242) Demikian pula hadits Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346, At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 574 dan juga dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hal. 299) [Lihat Tharhut Tatsrib, 1/323] Dalam dua hadits di atas dinyatakan secara umum “meninggalkan shalat” tanpa ada penyebutan “meninggalkan karena menentang kewajibannya”. Berarti ancaman dalam hadits diberlakukan secara umum, baik bagi orang yang meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya atau pun tidak. Seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullahu berkata: “Adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang adanya sesuatu dari amalan-amalan yang bila ditinggalkan dapat mengkafirkan pelakunya kecuali amalan shalat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albanirahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, demikian pula dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 562) Abdullah menyebutkan bahwa para sahabat sepakat ‘orang yang meninggalkan shalat itu kafir’ dan mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban shalat’. Karena yang mengatakan shalat itu tidak wajib, jelas sekali kekafirannya bagi semua orang. (Al-Majmu’ 3/19,Al-Minhaj 2/257, Tharhut Tatsrib 1/323, Nailul Authar 2/403) . Sementara itu, dinukilkan pula pendapat mayoritas ulama yang memandang tidak atau belum kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja. Al-Imam Abdul Haq Al-Isybili rahimahullahu dalam kitabnya Ash Shalah wat Tahajjud (hal. 96) menyatakan, “Seluruh kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah, baik ahli haditsnya maupun selain mereka, berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja dalam keadaan ia mengimani kewajiban shalat dan mengakui/menetapkannya, tidaklah dikafirkan. Namun dia telah melakukan suatu perbuatan dosa yang amat besar.
Adapun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang secara zhahir menyebutkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat, demikian pula ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dan selainnya, mereka takwil sebagaimana mereka mentakwil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman saat melakukan perbuatan zina tersebut.” Demikian pula hadits-hadits lain yang senada dengan ini. Adapun ahlul ilmi yang berpendapat dibunuhnya orang yang meninggalkan shalat, hanyalah memaksudkan ia dibunuh sebagai hukum had, bukan karena ia kafir. Demikian pendapat ini dipegangi oleh Al-Imam Malik, Asy Syafi’i, dan selain keduanya.” Al-Hafizh Al-‘Iraqi rahimahullahu berkata, “Jumhur ahlul ilmi berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat bila memang ia tidak menentang kewajibannya. Ini merupakan pendapat para imam: Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad bin Hambal. Terhadap hadits-hadits yangshahih dalam masalah hukum meninggalkan shalat ini, mereka menjawab dengan beberapa jawaban, di antaranya:
Pertama: Makna dari hadits-hadits tersebut adalah orang yang meninggalkan shalat pantas mendapatkan hukuman yang diberikan kepada orang kafir yaitu dibunuh.
Kedua: Vonis kafir yang ada dalam hadits-hadits tersebut diberlakukan kepada orang yang menganggap halal meninggalkan shalat tanpa udzur.
Ketiga: Meninggalkan shalat terkadang dapat mengantarkan pelakunya kepada kekafiran, sebagaimana dinyatakan bahwa ‘perbuatan maksiat adalah pos kekafiran’.
Keempat: Perbuatan meninggalkan shalat adalah perbuatan orang-orang kafir.” (Tharhut Tatsrib, 1/324-325) Dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya dengan sesuatu (syirik) dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa`: 48) Sementara tidak mengerjakan shalat bukan perbuatan syirik, namun salah satu perbuatan dosa besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan untuk diberikan pengampunan bagi siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Juga hadits-hadits yang banyak, di antaranya hadits ‘Ubadah ibnush Shamitradhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shalat lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan di antara kelima shalat tersebut karena meremehkan keberadaannya maka ia mendapatkan janji dari sisi Allah untuk Allah masukkan ke surga. Namun siapa yang tidak mengerjakannya maka tidak ada baginya janji dari sisi Allah, jika Allah menghendaki Allah akan mengadzabnya, dan jika Allah menghendaki maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Dawud no. 1420 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albanirahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud) Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba nanti pada hari kiamat adalah shalat wajib. Jika ia sempurnakan shalat yang wajib tersebut maka sempurna amalannya, namun jika tidak dikatakanlah, ‘Lihatlah, apakah orang ini memiliki amalan tathawwu’ (shalat sunnah)?’ Bila ia memiliki amalan tathawwu’, disempurnakanlah shalat wajib yang dikerjakannya dengan shalat sunnahnya. Kemudian seluruh amalan yang difardhukan juga diperbuat semisal itu.” (HR. Ibnu Majah no. 1425 dan lainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah dan Al-Misykat no. 1330-1331) Demikian pula hadits dalam Ash-Shahihain yang dibawakan oleh ‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Siapa yang mengucapkan, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, ‘Isa adalah hamba Allah, putra dari hamba perempuan Allah, kalimat-Nya yang Dia lontarkan kepada Maryam dan ruh ciptaan-Nya, dan surga itu benar adanya, neraka pun benar adanya’, maka orang yang bersaksi seperti ini akan Allah masukkan ke dalam surga apa pun amalannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 139) Dalam satu riwayat Al-Imam Muslim (no. 141) dibawakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka Allah haramkan neraka baginya.” Selain itu, banyak didapatkan dalil yang menunjukkan tidak kekalnya seorang muslim yang masih memiliki iman walau sedikit di dalam neraka, bila ia telah mengucapkan syahadatain, seperti hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berikut ini. Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya’ir (satu jenis gandum). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat burrah (satu jenis gandum juga). Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat semut yang sangat kecil.” (HR. Al-Bukhari no. 44 dan Muslim no. 477) Ulama yang berpandangan tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat tidaklah kemudian membebaskan pelakunya dari hukuman atau meringan-ringankan hukumannya. Bahkan sebaliknya, hukuman berat dijatuhkan sebagaimana yang akan kita baca dalam keterangan berikut ini. Ibnu Syihab Az-Zuhri, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Umar bin Abdil ‘Aziz, Abu Hanifah, Dawud bin ‘Ali dan Al-Muzani berpendapat, orang yang meninggalkan shalat karena malas, tidaklah divonis kafir, namun fasik. Ia harus ditahan atau dipenjara oleh pemerintah muslimin dan dipukul dengan pukulan yang keras sampai darahnya bercucuran. Hukuman ini terus ditimpakan padanya sampai ia mau bertaubat dan mengerjakan shalat atau sampai mati dalam penjara10. Hukuman bunuh tidak sampai dijatuhkan padanya kecuali bila ia menentang kewajiban shalat, karena ada hadits Ibnu Mas’udradhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini: “Tidak halal ditumpahkan darah seseorang yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja dan ia bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali salah satu dari tiga golongan, yaitu seseorang yang sudah/pernah menikah melakukan perbuatan zina, karena jiwa dibalas jiwa (seseorang membunuh orang lain maka balasannya ia diqishash/dibunuh juga), dan orang yang meninggalkan agamanya, berpisah dengan jamaahnya kaum muslimin.” (HR. Al-Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 4351) [Al-Majmu' 3/19, Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7-8] Dalam hadits di atas tidak disebutkan hukum bunuh untuk orang yang meninggalkan shalat. (Al-Minhaj, 2/257) Madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa ada udzur, ia diminta bertaubat dari perbuatannya. Bila tidak mau bertaubat maka dibunuh dengan cara dipenggal dengan pedang menurut pendapat jumhur. Namun hukuman bunuh ini dijatuhkan sebagai hukum had baginya bukan dibunuh karena kafir. Setelah meninggal, ia dikafani, dishalati, dan dikuburkan di pemakaman muslimin. (Al-Majmu’ 3/17, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403) Dari keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa(22/40-53) sehubungan dengan perkara shalat ini, tampak bahwa beliau membagi manusia menjadi empat macam: Orang yang menolak untuk mengerjakan shalat sampai ia dibunuh, sementara di hatinya sama sekali tidak ada pengakuan akan kewajiban shalat dan tidak ada keinginan untuk mengerjakannya. Orang ini kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. Orang yang terus-menerus meninggalkan shalat sampai meninggalnya, sama sekali ia tidak pernah sujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia pun tidak mengakui kewajibannya maka orang ini pun kafir. Orang yang tidak menjaga shalat lima waktu, ini adalah keadaan kebanyakan manusia. Sekali waktu ia mengerjakan shalat, pada kali lain ia meninggalkannya. Orang yang keadaannya seperti ini berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’alamenghendaki akan diadzab, kalau tidak maka Allah Subhanahu wa Ta’alaakan mengampuninya. Dalilnya adalah hadits ‘Ubadah ibnush Shamitradhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan di atas. Kaum mukminin yang menjaga shalat mereka. Inilah yang mendapat janji untuk masuk surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dari perbedaan pendapat yang ada, penulis sendiri lebih condong pada pendapat yang menyatakan tidak kafir. Dan inilah pendapat yang menenangkan hati kami,wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata ketika menguatkan pendapat ini, “Terus-menerus kaum muslimin saling mewarisi dengan orang yang meninggalkan shalat (dari kalangan kerabat mereka). Seandainya orang yang meninggalkan shalat itu kafir dan tidak akan diampuni dosanya, tentu tidak boleh mewarisi dan tidak mewariskan harta kepada kerabatnya. Adapun jawaban argumen yang dibawakan oleh yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan hadits Jabir, hadits Buraidah dan riwayat Abdullah ibnu Syaqiq, adalah bahwa hadits-hadits tersebut dibawa maknanya kepada orang yang meninggalkan shalat akan menjadi serikat bagi orang kafir dalam sebagian hukum yang diberlakukan kepadanya, yaitu ia wajib/harus dibunuh. Dengan takwil ini terkumpullah nash-nash syariat dan kaidah-kaidah yang telah disebutkan.” (Al-Majmu’, 3/19) Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan, “Aku berpandangan bahwa yang benar adalah pendapat jumhur. Adapun riwayat yang datang dari sahabat bukanlah nash yang memastikan bahwa yang mereka maksudkan dengan kufur adalah kufur yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka.” (Ash-Shahihah, 1/174) Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber: http://www.asysyariah.com

Sujud Syukur Dan Sujud Tilawah


Penulis: Ust. Zuhair bin Syarif [Majalah SALAFY/Edisi XXIV/1418/1998/AHKAM]
Untuk melengkapi pembahasan masalah sujud sahwi pada edisi sebelum ini, kali ini kami akan menerangkan tentang sujud tilawah dan sujud syukur. Hal ini agar tidak terkesan dalam benak kita bahwa sujud yang disyariatkan selain sujud yang biasa dalam shalat hanya sujud sahwi saja.
a. Sujud Tilawah
Sujud tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan menangis lalu berkata : ‘Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku mengabaikannya, maka neraka bagiku.’ “ (Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi)
Dengan hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta’ala dan sesuai dengan contoh Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu 'anha :
Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut tertolak. (HR. Muslim)
Kemudian dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus … .(Al Bayyinah : 5)
Sedangkan kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Jika engkau berlaku syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu. (Az Zumar : 65)
Definisi Sujud Tilawah
Secara bahasa tilawah berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, sujud tilawah artinya sujud yang dilakukan tatkala membaca ayat sajdah di dalam atau di luar shalat.
Disyariatkannya Sujud Tilawah Dan Hukumnya
Sujud tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi dengan kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi.
Di antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah :
1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata :
Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada surat (idzas sama’un syaqqat) dan (iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 1407, Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan Nasa’i dalam Sunan-nya juga 2/161)
2. Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu 'anhu bersabda :
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud pada surat An Najm. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)
Dari hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya sujud tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Umar radhiallahu 'anhu pernah membaca surat An Nahl pada hari Jum’at. Tatkala sampai kepada ayat sajdah, beliau turun seraya sujud dan sujudlah para manusia.
Pada hari Jum’at setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai pada ayat sajdah tersebut, beliau berkata :
Wahai manusia, sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud. Barangsiapa yang sujud maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa. [ Pada lafadh lain : “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan sujud tilawah, melainkan jika kita mau.” ] (HR. Bukhari)
Perbuatan Umar radhiallahu 'anhu di atas dilakukan di hadapan para shahabat dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan ijma’ para shahabat bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam dan Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menyatakan : “Tidak ada nash yang mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al Qur’an, hadits, ijma’, maupun qiyas … .” (Taudlihul Ahkam, halaman 167)
Pendapat lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan oleh Madzhab Hanbali. Mereka berdalil dengan surat Al Insyiqaq :
Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak sujud. (Al Insyiqaq : 20-21)
Dengan adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman ketika dibacakan ayat Al Qur’an tidak mau bersujud. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat yang rajih (kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah diterangkan di depan. Wallahu A’lam.
Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :
Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca surat An Najm. (HR. Bukhari)
Pada hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :
Saya pernah membacakan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam surat An Najm, tetapi beliau tidak bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak wajib hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kadang-kadang bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak sujud. Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca --dalam hal ini Zaid bin Tsabit-- tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.
Hal ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiallahu 'anhu tidak bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama beliau radhiallahu 'anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.
Tempat-Tempat Disyariatkannya Sujud Tilawah
Ada beberapa pendapat mengenai tempat dalam Al Qur’an yang mengandung ayat-ayat sajdah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Shan’ani dalam Subulus Salam juz 1, halaman 402-403 :
1. Pendapat Madzhab Syafi’i
Sujud tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap adanya sujud tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu surat Qaaf sampai An Nas, ada juga yang berpendapat surat Al Hujurat sampai An Nas).
2. Pendapat Madzhab Hanafi
Sujud tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung pada surat Al Hajj, kecuali hanya satu sujud.

3. Pendapat Madzhab Hanbali
Sujud tilawah terdapat pada lima belas tempat. Mereka menghitung dua sujud pada surat Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.
Pendapat pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak sujud pada surat-surat mufashal sejak berpindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud, 1403)
Ibnu Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini : “Hadits ini dlaif, pada sanadnya terdapat Abu Qudamah Al Harits bin ‘Ubaid. Haditsnya tidak dipakai.” Imam Ahmad berkata : “Abu Qudamah haditsnya goncang.” Yahya bin Ma’in berkata : “Dia dlaif.” An Nasa’i berkata : “Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits mungkar.” Abu Hatim berkata : “Dia syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya (keraguannya).”
Ibnul Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata : “Muhammad bin Abdurrahman menyerupainya dalam kejelekan hapalannya dan aib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan haditsnya.”
Padahal telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya beliau sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika membaca surat iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya termasuk surat-surat mufashal).
Beliau masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau tujuh tahun. Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah. Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi Ibnu Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati keshahihannya, sedangkan hadits Ibnu Abbas dlaif. Wallahu A’lam. (Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 273)
Pendapat pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : “Aku sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebelas sujud yaitu, Al A’raaf, Ar Ra’d, An Nahl, Bani Israil, Al Hajj, Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Shad, dan Ha Mim As Sajdah. Tidak ada padanya surat-surat mufashal.”
Abu Dawud berkata : “Riwayat Abu Darda dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang sebelas sujud ini sanadnya dlaif. Hadits ini tidak ada pada riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai.”
Pendapat kedua terbantah dengan hadits ‘Amr bin ‘Ash : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membacakan kepadanya lima belas (ayat) sajdah. Tiga di antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan dua pada surat Al Hajj.” (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)
Hadits ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan bahwa sujud tilawah ada lima belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam mengomentari hadits ini, Syaikh Al Albani berkata : “Kesimpulannya, hadits ini sanadnya dlaif. Umat telah menyaksikan kesepakatannya.
Namun, meskipun hadits ini dlaif, tapi didukung oleh kesepakatan umat untuk beramal dengannya. Juga hadits-hadits shahih mendukungnya, hanya saja, sujud yang kedua pada surat Al Hajj tidak didapat pada hadits dan tidak didukung oleh kesepakatan. Akan tetapi shahabat bersujud ketika membaca surat ini. Dan hal ini termasuk hal yang dianggap masyru’, lebih-lebih tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihinya. Wallahu A’lam.” (Tamamul Minnah, halaman 270)
Adapun kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :
1. Al A’raf ayat 206.
2. Ar Ra’d ayat 15.
3. An Nahl ayat 50.
4. Maryam ayat 58.
5. Al Isra’ ayat 109.
6. Al Hajj ayat 18.
7. Al Hajj ayat 77.
8. Al Furqan ayat 60.
9. An Naml ayat 26.
10. As Sajdah ayat 15.
11. Shad ayat 24.
12. An Najm ayat 62.
13. Fushilat ayat 38.
14. Al Insyiqaq ayat 21.
15. Al ‘Alaq ayat 19.
Tata Cara Sujud Tilawah
Tata cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara hadits yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di atas. Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata : “Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma pernah turun dari kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai kendaraannya. Ketika membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudlu.” Demikian penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.
Beliau menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits dari Nafi dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : “Janganlah seseorang sujud kecuali dalam keadaan suci.” Maka cara menggabungkannya adalah bahwa yang dimaksud dengan ucapannya suci adalah suci kubra (Muslim, tidak kafir) … . Ucapan ini dikuatkan dengan hadits : “Seorang musyrik itu najis.”
Ketika mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin bersama kaum musyrikin padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki wudlu) yang dibuat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata : “Pada dasarnya semua kaum Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat sajdah) dalam keadaan wudlu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang bersegera untuk sujud karena takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudlu ketika ada halangan atau gangguan wudlu.
Hal ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin, musyrikin, dari golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud bagi semuanya, padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudlunya. Dari sini diketahui bahwa sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang berwudlu maupun yang tidak. Wallahu A’lam.”
Jadi, kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudlu maupun yang tidak.
Termasuk dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf mengenai hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam.
Adapun yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan dalam shalat. Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud tilawah diluar shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq : “Apabila seseorang membaca ayat sajdah diluar shalat, hendaklah mengucapkan takbir.”
Beliau (Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar yang dikatakan Syaikh Al Albani bahwa : “Sanadnya shahih.”
Adapun ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini diungkapkan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 272. Wallahu A’lam.
Dari kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak melakukan sujud tilawah :

1. Tidak diharuskan berwudlu.
2. Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.
3. Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para fuqaha.
Tentang masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani yang berbunyi : “Dari Abu Abdirrahman As Sulami berkata bahwa Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah kemudian beliau sujud tanpa berwudlu dan tanpa menghadap kiblat dan beliau dalam keadaan mengisyaratkan suatu isyarat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lihat Fathul Bari juz 2 halaman 645)
Namun, untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur fuqaha, sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.
4. Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.
5. Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang membaca sujud dan tidak bila tidak.
6. Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring) seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah munqathi’ (terputus sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.
7. Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah :
Wajahku sujud kepada Penciptanya dan Yang membukakan pendengaran dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. (HR. Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasa’i 1128, dan Al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)
Tidak ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh Al Albani.
b. Sujud Syukur
Sujud syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari nikmat yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali Bassam dalam Taudlihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.
Hukum Sujud Syukur
Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya. Di antara hadits-hadits yang digunakan adalah :
a. Hadits dari Abi Bakrah :
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam apabila datang kepadanya berita yang menggembirakannya, beliau tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 7/20477, Abu Dawud 2774, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al Iqamah, Abdul Qadir Irfan menyatakan bahwa sanadnya shahih. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani)
b. Hadits :
Bahwasanya Ali radhiallahu 'anhu menulis (mengirim surat) kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan tentang masuk Islamnya Hamdan. Ketika membacanya, beliau tersungkur sujud kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata : “Keselamatan atas Hamdan, keselamatan atas Hamdan.” (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam Al Maghazi 4349. Lihat Al Irwa’ 2/226)
c. Hadits Anas bin Malik :

Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau sujud syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini terdapat Ibnu Lahi’ah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata : “Sanad ini tidak ada masalah karena ada syawahidnya.”
d. Hadits Abdurrahman bin Auf :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam datang kepadaku dan memberi kabar gembira seraya berkata : “Sesungguhnya Rabbmu berkata kepadamu, ‘barangsiapa membaca shalawat kepadamu, Aku akan memberi shalawat kepadanya. Dan barangsiapa memberi salam kepadamu, Aku akan memberi salam kepadanya.’ “ Maka aku sujud kepada-Nya karena rasa syukur. (HR. Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)
Hadits-hadits di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim Al Hilali sebagai berikut : “Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang berakal untuk menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-hadits ini. Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu 'anhum.
Di antara atsar-atsar para shahabat adalah :
1. Sujud Ali radhiallahu 'anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.
2. Sujud Ka’ab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim 8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460, 6/378-390.
Menanggapi atsar-atsar ini Syaikh Salim berkata : “Oleh karena itu, seorang yang bijaksana tidak meragukan lagi untuk menyatakan disyariatkannya sujud syukur.
Barangsiapa menyangka bahwa sujud syukur merupakan perkara bid’ah, maka janganlah menengok kepadanya setelah peringatan ini.” (Lihat Bahjatun Nadhirin, jilid 2 halaman 325)
Bagaimana syarat-syarat dilaksanakannya sujud syukur?
Imam Shan’ani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud syukur di atas : “Tidak ada pada hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya syarat wudlu dan sucinya pakaian dan tempat.”
Imam Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul ‘Abbas, Al Muayyid Billah, An Nakha’i, dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa syarat sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.
Imam Yahya mengatakan pula : “Tidak ada sujud syukur dalam shalat walaupun satu pendapat pun.”
Abu Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul Authar, juz 3 halaman 106)
Imam Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudlu, suci pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat. Wallahu A’lam.
Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Disyariatkannya sujud tilawah dalam shalat dan diluar shalat. Jika diluar shalat, bagi yang mendengar ayat sajdah sujud jika yang membacanya sujud. Sedangkan sujud syukur hanya dilakukan diluar shalat.
2. Hukum sujud tilawah dan sujud syukur adalah sunnah.
3. Sujud tilawah ada pada 15 tempat. Sedangkan sujud syukur dilakukan pada waktu mendapatkan kabar gembira yang besar. Bukan hanya pada setiap mendapatkan kenikmatan saja, karena nikmat Allah itu selalu diberi kepada kita. Juga dilakukan ketika terlepas dari mara bahaya.
4. Sujud tilawah dan sujud syukur boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.

5. Pada sujud tilawah disunnahkan takbir di dalam atau di luar shalat, sedangkan sujud syukur tidak.
6. Pada sujud tilawah dan sujud syukur tidak disyaratkan berwudlu terlebih dahulu.
Wallahu A’lam. (Sumber [Majalah SALAFY/Edisi XXIV/1418/1998/AHKAM])

TATACARA SHOLAT ORANG SAKIT


Oleh : Asy Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
Para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mampu melakukan shalat dengan berdiri hendaknya shalat sambil duduk, dan jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat sambil berbaring dengan posisi tubuh miring dan menghadapkan muka ke kiblat. Disunnatkan miring dengan posisi tubuh miring di atas tubuh bagian kanan. Dan jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berbaring miring, maka ia boleh shalat dengan berbaring telentang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada `Imran bin Hushain:
“Shalatlah kamu sambil berdiri, dan jika kamu tidak mampu, maka sambil duduk, dan jika tidak mampu, maka dengan berbaring”. (HR. Bukhari).
Dan Imam An-Nasa’i menambahkan: “… lalu jika tidak mampu, maka sambil telentang”. Barangsiapa mampu berdiri, akan tetapi tidak mampu ruku` atau sujud, maka kewajiban berdiri tidak gugur darinya. Ia harus shalat sambil berdiri, lalu ruku’ dengan isyarat (menundukkan kepala), kemudian duduk dan sujud dengan berisyarat, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“…Dan berdirilah karena Allah (dalam shalat-mu) dengan khusyu’.`”. (Al-Baqarah: 238).
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Shalatlah kamu sambil berdiri”.
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (At-Taghabun: 16).
Dan jika pada matanya terdapat penyakit, sementara para ahli kedokteran yang terpercaya mengatakan:
“Jika kamu shalat bertelentang lebih memudahkan pengobatanmu”, maka boleh shalat telentang. Barangsiapa tidak mampu ruku`dan sujud, maka cukup berisyarat dengan menundukkan kepala pada saat ruku’ dan sujud, dan hendaknya ketika sujud lebih rendah daripada ruku`. Dan jika hanya tidak mampu sujud saja, maka ruku` (seperti lazimnya) dan sujud dengan berisyarat. Jika ia tidak dapat membungkukkan punggungnya, maka ia membungkukkan lehernya; dan jika punggungnya memang bungkuk sehingga seolah-olah ia sedang ruku`, maka apabila hendak ruku`, ia lebih membungkukkan lagi sedikit, dan di waktu sujud ia lebih membungkukkan lagi semampunya hingga mukanya lebih mendekati tanah se-mampunya. Dan barangsiapa tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka dengan niat dan bacaan saja, dan kewajiban shalat tetap tidak gugur darinya dalam keadaan bagaimanapun selagi ia masih sadar (berakal), karena dalil-dalil tersebut di atas. Dan apabila ditengah-tengah shalat si penderita mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan sebelumnya, seperti berdiri, ruku`, sujud atau berisyarat dengan kepala, maka ia berpindah kepadanya (melakukan apa yang ia mampu) dengan meneruskan shalat tersebut. Dan apabila si sakit tertidur atau lupa melakukan shalat atau karena lainnya, ia wajib menunaikannya di saat ia bangun atau di saat ia ingat, dan tidak boleh menundanya kepada waktu berikutnya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa tertidur atau lupa melakukan shalat, maka hendaknya ia menunaikannya pada saat ia ingat, tidak ada tebusan lain baginya kecuali hanya itu”. Lalu beliau membaca firman Allah:
“dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu”. (Thaha: 14).
Tidak boleh meninggalkan shalat dalam keadaan bagaimanapun; bahkan setiap mukallaf wajib bersungguh-sungguh untuk menunaikan shalat pada hari-hari sakitnya melebihi hari-hari ketika ia sehat. Jadi, tidak boleh baginya meninggalkan shalat wajib hingga lewat waktunya, sekalipun ia sakit selagi ia masih sadar (kesadarannya utuh). Ia wajib menunaikan shalat tersebut menurut kemampuannya. Dan apabila ia meninggalkannya dengan sengaja, sedangkan ia sadar (masih berakal) lagi mukallaf serta mampu melakukannya, walaupun hanya dengan isyarat, maka dia adalah orang yang berbuat dosa. Bahkan ada sebagian dari para Ahlul `ilm (ulama) yang mengkafirkannya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Perjanjian antara kita dengan mereka (orang munafiq) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya maka kafirlah ia”.
Dan sabdanya:
“Pokok segala perkara adalah Al-Islam, tiangnya Islam adalah shalat dan puncak Islam adalah jihad di jalan Allah”
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
“(Pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim di dalam Shahih-nya).
Dan pendapat ini yang lebih shahih, sebagaimana yang dijelaskan di dalam ayat-ayat Al-Qur’an tentang shalat dan hadits-hadits tersebut. Dan jika ia kesulitan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka boleh menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya’, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, sesuai kemampuannya. Dan jika ia mau boleh memajukan shalat Asharnya digabung dengan shalat Zhuhur atau mengakhirkan Zhuhur bersama Ashar di waktu Ashar. Atau jika ia menghendaki, boleh memajukan Isya’ bersama Maghrib atau mengakhirkan Maghrib bersama Isya’. Adapun shalat Subuh, (tetap dilakukan seperti biasa) tidak bisa dijama’ dengan shalat sebelum atau sesudahnya, karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Inilah hal-hal yang berhubungan dengan orang sakit dalam bersuci dan melakukan shalat. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga menyembuhkan orang-orang sakit dari kaum muslim dan menghapus dosa-dosa mereka, dan mengaruniakan ma`af dan afiat kepada kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, Pimpinan Dewan Ulama Senior dan Kajian Ilmiyah dan Fatwa, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Dzikir Diwaktu Pagi Dan Petang-Hisnul Muslim



BACAAN DI WAKTU PAGI
DAN SORE

75- أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
75. Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Allah tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Al-Baqarah: 255). [1]

76. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai Subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia. Raja manusia. Sem-bahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia. [2]

77- أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَذَا الْيَوْمِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ.

77. “Kami telah memasuki waktu pagi dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Bagi-Nya kerajaan dan bagiNya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala se-suatu. Hai Tuhan, aku mohon kepada-Mu kebaikan di hari ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan hari ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Tuhan, aku berlin-dung kepadaMu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Wahai Tuhan! Aku berlindung kepadaMu dari siksaan di Neraka dan kubur.”[3]

78- اَللَّهُمَّ بِكَ أَصْبَحْنَا، وَبِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوْتُ وَإِلَيْكَ النُّشُوْرُ.

78. “Ya Allah, dengan rahmat dan pertolonganMu kami memasuki waktu pagi, dan dengan rahmat dan perto-longanMu kami memasuki waktu sore. Dengan rahmat dan pertolonganMu kami hidup dan dengan kehendakMu kami mati. Dan kepadaMu kebangkitan (bagi semua makhluk).” [4]

79- اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

79. “Ya Allah! Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkau-lah yang mencip-takan aku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.”[5]

80- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَصْبَحْتُ أُشْهِدُ وَأُشْهِدُ حَمَلَةَ عَرْشِكَ، وَمَلاَئِكَتَكَ وَجَمِيْعَ خَلْقِكَ، أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ. (4×)

80. “Ya Allah! Sesungguhnya aku di waktu pagi ini mempersaksikan Engkau, malaikat yang memikul arasyMu, malai-kat-malaikat dan seluruh makhlukMu, bahwa sesungguhnya Engkau adalah Allah, tiada Tuhan yang berhak disem-bah kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiMu dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu.” (Dibaca empat kali waktu pagi dan sore).[6]

81- اَللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِيْ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ بِأَحَدٍ مِنْ خَلْقِكَ فَمِنْكَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، فَلَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُ.

81. “Ya Allah! Nikmat yang kuterima atau diterima oleh seseorang di antara makhlukMu di pagi ini adalah dariMu. Maha Esa Engkau, tiada sekutu bagi-Mu. BagiMu segala puji dan kepadaMu panjatan syukur (dari seluruh makhluk-Mu).”[7]

82- اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اَللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. (3×)

82. “Ya Allah! Selamatkan tubuhku (da-ri penyakit dan yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkan pendengaranku (dari penyakit dan maksiat atau sesuatu yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkan penglihatanku, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Eng-kau. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlin-dung kepadaMu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau.” (Di-baca tiga kali di waktu pagi dan sore).[8]

83- حَسْبِيَ اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ. (7×)

83. “Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhanku), tiada Tuhan (yang ber-hak disembah) kecuali Dia, kepadaNya aku bertawakal. Dia-lah Tuhan yang menguasai ‘Arsy yang agung.” (Dibaca tujuh kali waktu pagi dan sore).[9]

84- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ.

84. “Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesung-guhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, ke-luarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tenteramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah! Peli-haralah aku dari muka, belakang, ka-nan, kiri dan atasku. Aku berlindung dengan kebesaranMu, agar aku tidak disambar dari bawahku (oleh ulat atau bumi pecah yang membuat aku jatuh dan lain-lain).”[10]

85- اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرُّهُ إِلَى مُسْلِمٍ.

85. “Ya Allah! Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, wahai Tuhan pencipta langit dan bumi, Tuhan segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang hak kecuali Engkau. Aku berlin-dung kepadaMu dari kejahatan diriku, setan dan balatentaranya, dan aku (berlindung kepadaMu) dari berbuat ke-jelekan terhadap diriku atau menyeret-nya kepada seorang muslim.”[11]

86- بِسْمِ اللهِ لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. (3×)
86. “Dengan nama Allah yang bila dise-but, segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya, Dia-lah Yang Ma-ha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Dibaca tiga kali).[12]

87- رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا. (3×)

87. “Aku rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi (yang diutus oleh Allah).” (Dibaca tiga kali).[13]

88- يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ.

88. “Wahai Tuhan Yang Maha Hidup, wahai Tuhan Yang Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekalipun sekejap mata (tan-pa mendapat pertolongan dariMu).”[14]

89- أَصْبَحْنَا وَأَصْبَحَ الْمُلْكُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذَا الْيَوْمِ: فَتْحَهُ، وَنَصْرَهُ وَنُوْرَهُ، وَبَرَكَتَهُ، وَهُدَاهُ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْهِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهُ.

89. ”Kami masuk pagi, sedang kerajaan hanya milik Allah, Tuhan seru sekalian alam. Ya Allah, sesungguhnya aku me-mohon kepadaMu agar memperoleh ke-baikan, pembuka (rahmat), pertolongan, cahaya, berkah dan petunjuk di hari ini. Aku berlindung kpadaMu dari kejelekan apa yang ada di dalamnya dan keja-hatan sesudahnya.”[15]

90- أَصْبَحْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ.

90. “Di waktu pagi kami memegang agama Islam, kalimat ikhlas, agama Nabi kita Muhammad T, dan agama ayah kami Ibrahim, yang berdiri di atas jalan yang lurus, muslim dan tidak tergolong orang-orang musyrik.”[16]

91- سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ. (100×)

91. “Maha Suci Allah, aku memujiNya.” (Dibaca seratus kali).[17]

92- لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. (10× أو 1× عند الكسل)

92. “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca sepuluh kali, atau cukup sekali dalam keadaan malas).[18]

93- لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. (100× إذا أصبح)

93. “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang berkuasa atas segala sesuatu.” (Dibaca seratus kali setiap pagi hari).[19]

94- سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ: عَدَدَ خَلْقِهِ، وَرِضَا نَفْسِهِ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ. (3× إذا أصبح)

94. “Maha Suci Allah, aku memujiNya sebanyak makhlukNya, sejauh kerela-anNya, seberat timbangan arasyNya dan sebanyak tinta tulisan kalimatNya.” (Dibaca tiga kali setiap pagi hari).[20]

95- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً. (إذا أصبح)

95. Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu ilmu yang manfaat, rizki yang baik dan amal yang diterima. (Dibaca pagi hari). [21]

96- أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ. (100× في اليوم)
96. Aku memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepadaNya. (Dibaca 100 kali dalam sehari). [22]

97- أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. (3× إذا أمسى)

97. Aku berlindung dengan kalimat-kali-mat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakanNya. (Dibaca 3 kali pada sore hari). [23]

98- اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ. (10×)

98. Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada Nabi kami Muhammad. (Dibaca 10 kali). [24]

Dzikir Setelah Salam/Hisnul Muslim MP3

Doa Hisnul Muslim - 22 Dzikir Setelah Shalat

Powered by mp3skull.com

25- BACAAN SETELAH SALAM
66- أَسْتَغْفِرُ اللهَ (ثلاثا) اَللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ.
66. “Aku minta ampun kepada Allah,” (dibaca tiga kali). Lantas membaca: “Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dan dariMu keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Yang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.”[1]
67- لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ، اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.
67. “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya puji dan bagi-Nya kerajaan. Dia Maha Kuasa atas se-gala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang memberi apa yang Eng-kau cegah. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya (selain iman dan amal shalihnya). Hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan.”[2]
68- لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إِيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ.
68. “Tiada Tuhan (yang berhak disem-bah) kecuali Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan dan pujaan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali (dengan pertolongan) Allah. Tia-da Tuhan (yang hak disembah) kecuali Allah. Kami tidak menyembah kecuali kepadaNya. Bagi-Nya nikmat, anugerah dan pujaan yang baik. Tiada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Allah, dengan memurnikan ibadah kepadaNya, sekalipun orang-orang kafir sama ben-ci.”[3]
69- سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَاللهُ أَكْبَرُ (33 ×) لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ.
69. “Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah. Dan Allah Maha Besar. (Tiga puluh tiga kali). Tidak ada Tuhan (yang hak disembah) kecuali Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan. BagiNya pujaan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.”[4]
70. Membaca surah Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas setiap selesai shalat (far-dhu).[5]
71. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat (fardhu).[6]
72- لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ. (10× بعد صلاة المغرب والصبح)
72. “Tiada Tuhan (yang berhak disem-bah) kecuali Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan, bagi-Nya segala puja. Dia-lah yang menghi-dupkan (orang yang sudah mati atau memberi roh janin yang akan dilahirkan) dan yang mematikan. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.” Diba-ca sepuluh kali setiap sesudah shalat Maghrib dan Subuh.[7]
73- اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً.
73. “Ya Allah! Sesungguhnya aku mo-hon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang halal dan amal yang diteri-ma.” (Dibaca setelah salam shalat Su-buh).[8]


[1] HR. Muslim 1/414.
[2] HR. Al-Bukhari 1/255 dan Muslim 1/414.
[3] HR. Muslim 1/415.
[4] “Barangsiapa yang membaca kalimat tersebut setiap selesai shalat, akan diampuni kesalahannya, sekalipun seperti busa laut.” HR. Muslim 1/418.
[5] HR. Abu Dawud 2/86, An-Nasai 3/68. Lihat pula Shahih At-Tirmidzi 2/8. Ketiga surat dinamakan al-mu’awidzat, lihat pula Fathul Baari 9/62.
[6] “Barangsiapa membacanya setiap selesai shalat, tidak yang menghalanginya masuk Surga selain mati.” HR. An-Nasai dalam Amalul Yaum wal Lailah No. 100 dan Ibnus Sinni no. 121, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ 5/329 dan Silsilah Hadits Shahih, 2/697 no. 972.
[7] HR. At-Tirmidzi 5/515, Ahmad 4/227. Untuk takhrij hadits tersebut, lihat di Zaadul Ma’aad 1/300.
[8] HR. Ibnu Majah dan ahli hadits yang lain. Lihat kitab Shahih Ibnu Majah 1/152 dan Majma’uz Zawaaid 10/111.
Diberdayakan oleh Blogger.