Perbedaan Pendapat Ulama tentang: Apakah Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?


Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
Dari Busrah bintu Shafwan radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 154, dishahihkan Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Ibnu Ma’in dan selainnya. Kata Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu: “Hadits ini paling shahih dalam bab ini.” Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 174)
Dalam riwayat At-Tirmidzi rahimahullahu disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Siapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia berwudhu.”
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata tentang hadits ini: “Hadits shahih di atas syarat Al-Bukhari dan Muslim.” (Al-Jami’ush Shahih, 1/520)
Sementara Thalaq bin Ali radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya? Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab:
“Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari (tubuh)nya?” (HR. At-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullahu: “Hadits ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkan sanadnya dalam Al-Misykat)
Dua hadits di atas menerangkan, yang pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu sementara hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana dua hadits di atas bertentangan makna secara dzahirnya maka dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Pertama, berpendapat menyentuh kemaluan membatalkan wudhu seperti pendapatnya Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, Az Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, Al-Laits, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam pendapatnya yang masyhur dan selain mereka. Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi 1/56; Al-Mughni 1/117; Al-Muhalla 1/223; Nailul Authar 1/282)
Kedua, berpendapat dengan hadits kedua bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu. Hadits ini dijadikan pegangan oleh mereka, seperti ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda, ‘Imran bin Hushain, Al-Hasan Al-Bashri, Rabi’ah, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya dan selain mereka. (Sunan Tirmidzi, 1/57; Al-Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)
Ketiga, mereka yang berpendapat dijamak atau dikumpulkannya antara dua hadits yang sepertinya bertentangan tersebut, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dan yang lainnya, yang menyatakan apabila menyentuhnya dengan syahwa [1] maka hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah dan kalau menyentuhnya tanpa syahwat maka tidak mengapa akan tetapi disenangi baginya apabila dia berwudhu [2], dengan (dalil) hadits Thalaq. Pendapat inilah yang penulis pilih dan memandangnya sebagai pendapat yang rajih, walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah pendapat yang juga kuat di mana pendapat ini banyak dipilih dan dibela oleh ahlul ilmi, seperti di antaranya Al-Imam Ash-Shan’ani (di dalam Subulus Salam, 1/104), Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu (Nailul Authar, 1/283; Ad-Darari Al-Mudhiyyah hal. 36) dan yang lainnya. Namun penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Asy-Syaikh Al-Albani radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu”, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam keadaan seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Karena secara kebiasaan menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah dibarengi dengan syahwat. Perkara ini adalah perkara yang jelas sebagaimana yang kita ketahui.
Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu” tidak bisa dijadikan dalil oleh madzhab Al-Hanafiyyah untuk menyatakan bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun hadits ini merupakan dalil bagi orang yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat tidaklah membatalkan wudhu. Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat maka dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian terkumpullah di antara dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku ketahui. Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hal. 103)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Apabila seseorang menyentuh dzakarnya maka disenangi baginya untuk berwudhu secara mutlak, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak. Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib baginya berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini tidak ditunjukkan secara dzahir dalam hadits. Dan aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya namun demi kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (Syarhul Mumti’, 1/234)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Footnote:
[1] Karena dalam keadaan demikian ini sangat memungkinkan keluarnya madzi.
[2] Juga disenangi wudhu di sini dalam rangka kehati-hatian, Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[Faidah di atas diambil dari Majalah Asy Syariah no. 13/II/1426 H/2005, dalam artikel "Pembatal-pembatal Wudhu Bagian-2" tulisan Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari, hal. 53-54]

Adzan: Keutamaan, Variasi dan Dzikirnya


Nama eBook: Keutamaan Adzan, Variasi dan Dzikirnya
Penulis: Syaikh Sa’id bin Ali al-Qahthani & Syaikh
Salman As-Sunaidi

Pengantar:
الْحَمْدُ اللهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَـمِيْنْ، وَالصَّلاَةُ والسَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ الرَّحْمَةِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَيْنَ، أَمَّ بَعْدُ
Pada eBook ini kami menggabungkan beberapa tulisan yang tersebar kedalam satu eBook yang kami beri judul ‘Keutamaan Adzan, Variasi dan Dzikirnya‘, eBook ini kami kutib dari:
Buku ‘Keutamaan Adzan dan Imam‘ oleh Syaikh Sa’id bin Ali Wahf al-Qahthani
Dzikir-dzikir yang berhubungan dengan Adzan serta syarahnya yang kami kutib dari kitab besar Syarah Hisnul Muslim, dan
Variasi pengucapan Adzan dan Iqomah dari hadits-hadits yang shahih yang saya kutip dari buku Variasi Praktik Shalat Nabi صلى الله عليه وسلم oleh Syaikh Salman bin Umar As-Sunaidi. Adapun topik lengkap bahasan eBook ini dapat dilihat sebagai berikut:
Keutamaan Adzan dan Imam
Muqoddimah
Pengertian Adzan & Qomat
Hukum Adzan & Qomat
Keutamaan Adzan
Pengertian Imamah & Imam
Keutamaan Imamah dalam Shalat
Dzikir-dzikir Adzan
Menjawab Bacaan Adzan
Dzikir Setelah Muadzin Bersyahadat
Dzikir Setelah Adzan
Berdoa antara Adzan dan Iqamah
Variasi Adzan dan Iqomah
Variasi Adzan
Limabelas Kalimat
Sembilanbelas Kalimat
Tujuhbelas Kalimat
Variasi Menggabungkan Takbir Adzan
Variasi Iqomah
Sebelas Kalimat
Tujuhbelas Kalimat
Download:
Keutamaan Adzan, Variasi dan Dzikirnya
Download CHM atau Download ZIP
http://ibnumajjah.wordpress.com

Video Gerakan Sholat – Sikap Sebelum Rukuk




Ketika Hendak Rukuk
1. Dianjurkan untuk diam sejenak ketika hendak rukuk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberhenti sejenak, cukup untuk bernafas. (HR. Abu Daud, Hakim, dan dishahihkan Al-Albani)
2. melakukan takbir intiqal ketika hendak rukuk.
  • Takbir intiqal adalah takbir perpindahan dari satu rukun ke rukun lainnya.
  • Dianjurkan mengangkat tangan ketika takbir intiqal, sebagaimana ketika takbiratul ihram. Ini berdasarkan keterangan Ibnu Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa mengangkat tangan setinggi pundak ketika memulai shalat (takbiratul ihram), hendak rukuk dan ketika bangkit dari rukuk (i’tidal). (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Karena takbir intiqal ini merupakan takbir perpindahan maka takbir ini dilakukan ketika bergerak menuju rukuk, bukan sebelum rukuk atau setelah sempurna rukuk.
Abu Hurairah menceritakan:
كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إذا قام إلى الصّلاة يكبّر حين يقوم، ثم يكبر حين يركع، ثم يقول: سمع الله لمن حمده، حين يرفع صُلبَه من الرّكعة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai takbiratul ihram ketika berdiri tegak, kemudian takbir lagi ketika turun rukuk, kemudian membaca ‘sami’allaahu liman hamidah’ ketika bangkit i’tidal” (HR. Bukhari)

Kesalahan ketika rukuk dalam sholat

  1. Tidak membaca takbir intiqal ketika rukuk. Kesalahan ini bisa membatalkan shalat karena takbir intiqal termasuk kewajiban dalam shalat. Keterangan ini ditegaskan oleh As-Syaukani dalam Nailul Authar (2/279).
  2. Membaca takbir rukuk setelah rukuk sempurna. Kesalahan ini banyak terjadi pada imam, dengan harapan makmum tidak mendahului imam. Namun perbuatan ini dinilai oleh sebagian ulama hambali, bisa membatalkan shalat jika dilakukan secara sengaja. (Al-Qaulul Mubin, 116). Imam Ibnu Utsaimin menyebutkan: Ada sebagian ulama yang mengatakan, jika ada orang yang melakukan takbir intiqal sebelum rukuk atau setelah sempurna rukuk, maka takbirnya tidak dinilai. (As-Syarhul mumti’, 3/87).
  3. Tidak mengangkat tangan ketika takbir hendak rukuk. Meskipun takbir ini tidak wajib, namun meremehkan takbir ketika hendak rukuk, menunjukkan sikap kurang perhatian dengan kesempurnaan shalat.

Awal Waktu Mulai Shalat Jum’at


Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam rahimahullah berkata :
waktu shalat jum'at 1
Para ulama’ bersepakat bahwa akhir waktu shalat jum’at adalah selesainya waktu shalat dzuhur, yaitu dengan masuknya waktu shalat ashar.
waktu shalat jum'at 2
Mereka berselisih pendapat tentang awal waktunya : Imam yang tiga (Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i) berpendapat : Bahwa waktunya dimulai ketika matahari tergelincir ke barat, seperti waktu shalat dzuhur. Mereka berdalil dengan hadits riwayat Bukhari (904) dari Anas, dia berkata : “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat jum’at ketika matahari sudah bergeser (condong) ke barat.”
waktu shalat jum'at 3
Dalam pendapat yang masyhur dari beliau, Imam Ahmad berpendapat : bahwa waktunya dimulai dengan mulai masuknya shalat i’ed. Beliau berdalil dengan hadits riwayat Muslim (858), dari Jabir : “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu shalat jum’at, lalu kami pergi menuju onta kami, dan kami mengistirahatkannya ketika matahari bergeser ke barat.”
waktu shalat jum'at 4
Namun mayoritas ulama’ melakukan ta’wil yang jauh pada hadits diatas serta hadits semisalnya.
Hadits Anas riwayat Bukhari tidak menafikan hadits Jabir riwayat Muslim. Karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang shalat jum’at sebelum matahari bergeser ke barat dan terkadang setelahnya.
waktu shalat jum'at 5
Yang lebih afdhal adalah shalat jum’at setelah matahari bergesar ke barat, karena inilah yang sering dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamserta waktu yang disepakati oleh kaum muslimin. Berkumpul bersama-sama dan tidak berpecah belah lebih utama dan lebih baik. Wallahul Muwaffiq.
Sumber : Taudiih Al Ahkam, Jilid 2, hal. 568
http://abukarimah.wordpress.com

Gerakan Sholat – Wajibnya Tuma’ninah




Tuma’ninah Dalam Setiap Rukun Shalat

Sebelum membahas rukun-rukun shalat setelah membaca surat, perlu kita pahami terlebih dahuku tentang satu rukun dalam shalat yang sering dilupakan. Itulah tumakninah.
1. Tuma’ninah adalah tenang sejenak setelah semua anggota badan berada pada posisi sempurna ketika melakukan suatu gerakan rukun shalat. Tumakninah ketika rukuk berarti tenang sejenak setelah rukuk sempurna. Tuma’ninah ketika sujud berarti tenang sejenak setelah sujud sempurna, dst.
2. Tuma’ninah dalam setiap gerakan rukun shalat merupakan bagian penting dalam shalat yang wajib dilakukan. Jika tidak tuma’ninah maka shalatnya tidak sah. Dalil yang menunjukkan wajibnya tumakninah:
  • Suatu ketika ada seseorang yang masuk masjid kemudian shalat dua rakaat. Seusai shalat, orang ini menghampiri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu berada di masjid. Ternyata Nabi menyuruh orang ini untuk mengulangi shalatnya. Setelah diulangi, orang ini balik lagi, dan disuruh mengulangi shalatnya lagi. Ini berlangsung sampai 3 kali. kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadanya cara shalat yang benar. Ternyata masalah utama yang menyebabkan shalatnya dinilai batal adalah kareka dia tidak tumakninah. Dia bergerak rukuk dan sujud terlalu cepat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibn Majah dan yang lainnya)
  • Dari Hudzifah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau pernah melihat ada orang yang tidak menyempurnakan rukuk dan sujud ketika shalat, dan terlalu cepat. Setelah selesai, ditegur oleh Hudzaifah, “Sudah berapa lama anda shalat semacam ini?” Orang ini menjawab: “40 tahun.” Hudzaifah mengatakan: “Engkau tidak dihitung shalat selama 40 tahun.” (karena shalatnya batal). Lanjut Hudzaifah:
وَلَوْ مِتَّ وَأَنْتَ تُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَاةَ لَمِتَّ عَلَى غَيْرِ فِطْرَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jika kamu mati dan model shalatmu masih seperti ini, maka engkau mati bukan di atas fitrah (ajaran) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”  (HR. Ahmad, Bukhari, An-Nasai).
3. Karena tuma’ninah hukumnya wajib maka kita tidak boleh bermakmum dengan orang yang shalatnya terlalu cepat dan tidak tumakninah. Bermakmum di belakang orang yang shalatnya cepat dan tidak tumakninah, bisa menyebabkan shalat kita batal dan wajib diulangi.
4. Jika secara tidak sengaja kita mendapatkan imam yang gerakannya terlalu cepat maka kita harus memisahkan diri dan shalat sendirian.
5. Orang yang terlalu cepat shalatnya, sehingga tidak tuma’ninah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai orang yang mencuri ketika shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أسوأ الناس سرقة الذي يسرق من صلاته
“Pencuri yang paling jelek adalah orang yang mencuri shalatnya.” Setelah ditanya maksudnya, beliau menjawab: “Merekalah orang yang tidak sempurna rukuk dan sujudnya.” (HR. Ibn Abi Syaibah, Thabrani, Hakim, dan dishahihkan Ad-Dzahabi).

7 KEUTAMAAN/MANFAAT SHOLAT 5 WAKTU


Keutamaan Shalat


Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhuma  berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun atas lima pondasi: Yaitu persaksian bahwa tidak ada sembahan (yang berhak disembah) melainkan Allah, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya,mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada sembahan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka darikukecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 21)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata: Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya. Rabb kita Jalla wa ‘Azza berfirman kepada para malaikat-Nya -padahal Dia lebih mengetahui-, Periksalah shalat hamba-Ku, sempurnakah atau justru kurang?” Sekiranya sempurna, maka akan dituliskan baginya dengan sempurna, dan jika terdapat kekurangan maka Allah berfirman, “Periksalah lagi, apakah hamba-Ku memiliki amalan shalat sunnah?” Jikalau terdapat shalat sunnahnya, Allah berfirman, “Sempurnakanlah kekurangan yang ada pada shalat wajib hamba-Ku itu dengan shalat sunnahnya.” Selanjutnya semua amal manusia akan dihisab dengan cara demikian.” (HR. Abu Daud no. 964, At-Tirmizi no. 413, An-Nasai no. 461-463, dan Ibnu Majah no. 1425. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2571)

Penjelasan ringkas:
Shalat merupakan rukun Islam kedua dan merupakan amalan yang paling utama dan paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- menjadikannya sebagai penjaga darah dan harta, sehingga kapan seseorang meninggalkannya maka darah dan hartanya akan terancam. Karena sangat pentingnya shalat ini, sampai-sampai dialah amalan pertama yang hamba akan dihisab dengannya pada hari kiamat. Di dalam hadits Ibnu Mas’ud secara marfu’ disebutkan:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الصَّلَاةُ وَأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ
“Amalan pertama yang dengannya seorang hamba dihisab adalah shalat dan sesuatu pertama yang diputuskan di antara para manusia adalah mengenai darah.” (HR. An-Nasai no. 3926 dan selainnya)
Maksudnya, amalan yang berhubungan antara hamba dengan Allah, maka yang pertama kali dihisab darinya adalah shalat. Sementara amalan berhubungan antara makhluk dengan makhluk lainnya, maka yang pertama kali dihisab adalah dalam masalah darah.
Hadits Abu Hurairah di atas juga menunjukkan keutamaan shalat sunnah secara khusus, bahwa dia dijadikan sebagai penyempurna dari kekurangan yang terjadi dalam shalat wajib, baik kekurangan dari sisi pelaksanaan zhahir maupun kekurangan dari sisi batin dan roh shalat tersebut, yaitu kekhusyuan. Wallahu a’lam
http://al-atsariyyah.com/keutamaan-shalat.html
==============================================================================

Keutamaan Shalat 5 Waktu


Shalat adalah ibadah yang agung, ibadah yang dibuka dengan takbir dan ditutup dengan salam, dan dia adalah ibadah yang terpenting setelah kedua kalimat syahadat. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan”. (HR. Al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 19)
Shalat adalah penghubung antara hamba dengan Rabbnya, karena ketika shalat hamba sedang berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla guna berdoa kepada-Nya. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu’alaihiwasallam beliau bersabda:
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ } قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ: { الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ: { مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ } قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ: { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ: { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ } قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur’an di dalamnya, maka shalatnya masih mempunyai hutang, tidak sempurna” Tiga kali. Ditanyakan kepada Abu Hurairah, ” Kami berada di belakang imam?” Maka dia menjawab, “Bacalah Ummul Qur’an dalam dirimu, karena aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Allah berfirman, ‘Aku membagi shalat antara Aku dengan hambaKu, dan hambaku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, ‘Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.’ Maka Allah berkata, ‘HambaKu memujiKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang.’ Allah berkata, ‘HambaKu memujiKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Pemilik hari kiamat.’ Allah berkata, ‘HambaKu memujiku.’ Selanjutnya Dia berkata, ‘HambaKu menyerahkan urusannya kepadaKu.’ Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Hanya kepadaMulah aku menyembah dan hanya kepadaMulah aku memohon pertolongan.’ Allah berkata, ‘Ini adalah antara Aku dengan hambaKu. Dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta’. Apabila hamba tersebut mengucapkan, ‘Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat.’ Allah berkata, ‘Ini untuk hambaKu, dan hambaKu mendapatkan sesuatu yang dia minta.” (HR. Muslim no. 598)

Shalat lima waktu mempunyai beberapa keistimewaan dibandingkan semua ibadah wajib lainnya, di antaranya:
a.    Shalat 5 waktu merupakan ibadah yang Allah Ta’ala syariatkan kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wasallam secara langsung tanpa perantara malaikat. Berbeda halnya dengan kewajiban lainnya yang diwajibkan melalui perantara malaikat.
b.    Shalat 5 waktu diwajibkan di langit sementara kewajiban lainnya diwajibkan di bumi.
Karenanya sangat pantas kalau shalat 5 waktu dikatakan sebagai ibadah badan yang paling utama.

Selain dari keistimewaan di atas, shalat 5 waktu secara umum dan beberapa shalat di antaranya secara khusu mempunyai keutamaan yang lain, di antaranya:
a.    Shalat 5 waktu akan menghapuskan semua dosa dan kesalahan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الصَّلَاةُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya adalah penghapus untuk dosa antara keduanya selama tidak melakukan dosa besar.” (HR. Muslim no. 342)
Dari Utsman bin Affan radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“Tidaklah seorang muslim didatangi shalat fardlu, lalu dia membaguskan wudlunya dan khusyu’nya dan shalatnya, melainkan itu menjadi penebus dosa-dosanya terdahulu, selama dia tidak melakukan dosa besar. Dan itu (berlaku) pada sepanjang zaman.” (HR. Muslim no. 335)
Pada kedua hadits di atas dikecualikan dosa-dosa besar, karena memang dosa besar tidak bisa terhapus dengan sekedar amalan saleh, akan tetapi harus dengan taubat dan istighfar. Karenanya, yang dimaksud dengan dosa pada kedua hadits di atas adalah dosa-dosa kecil.
Adapun patokan dosa besar adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma:
اَلْكَبَائِرُ كُلُّ ذَنْبٍ خَتَمَهُ الله ُبِنَارٍ أَوْ لَعْنَةٍ أو غَضَبٍ أَوْ عَذَابٍ
“Dosa-dosa besar adalah semua dosa yang Allah akhiri dengan ancaman neraka atau laknat atau kemurkaan atau adzab.” (Riwayat Ibnu Jarir dalam tafsirnya terhadap surah An-Najm: 32)
Walaupun asalnya ada perbedaan antara dosa besar dengan dosa kecil, akan tetapi beliau radhiallahu anhu juga pernah berkata:
لاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الْاِسْتِغْفَارِ, وَلاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الْإِصْرَارِ
“Tidak ada dosa besar jika selalu diikuti dengan istighfar dan tidak ada dosa kecil jika dia dilakukan terus-menerus.”

b.    Shalat subuh senantiasa dihadiri dan disaksikan oleh para malaikat dan dia juga menjadi saksi.
Allah Ta’ala berfirman:
أقم الصلاة لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقرءان الفجر إنّ قرءان الفجركان مشهودا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isra`: 78)

c.    Shalat ashar yang merupakan shalat wustha -sebagaimana dalam riwayat Al-Bukhari- dikhususkan penyebutannya dibandingkan shalat-shalat lainnya.
Dan ini menunjukkan keistimewaan shalat ashar -dari satu sisi- dibandingkan shalat lainnya. Allah Ta’ala berfirman:
حافظوا على الصلوات والصلواة الوسطى
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.” (QS. Al-Baqarah: 238)

d.    Menjaga shalat subuh dan ashar merupakan sebab terbesar masuk surga dan selamat dari neraka.
Dari Imarah bin Ru’aibah radhiallahu anhu dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَنْ يَلِجَ النَّارَ أَحَدٌ صَلَّى قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya.” (HR. Muslim no. 1003)
Dari Abu Musa radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa mengerjakan shalat pada dua waktu dingin, maka dia akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari no. 540 dan Muslim no. 1005)
Dari Jundab bin Abdullah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمْ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَيُدْرِكَهُ فَيَكُبَّهُ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
“Barangsiapa shalat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah, oleh karena itu jangan sampai Allah menuntut sesuatu dari kalian sebagai imbalan jaminan-Nya, sehingga Allah menangkapnya dan menyungkurkannya ke dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 1050)
Dari Jarir bin ‘Abdullah radhiallahu anhu dia berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لَا تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنْ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لَا تُغْلَبُوا عَلَى صَلَاةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terlewatkan untuk melaksanakan shalat sebelum terbit matahri dan sebelum terbenamnya, maka lakukanlah.” (HR. Al-Bukhari no. 521 dan Muslim no. 1002)

e.    Meninggalkan shalat 5 waktu -atau salah satunya- dengan sengaja karena malas secara terus-menerus adalah kekafiran.
Allah Ta’ala berfirman:
وخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا إلا من تاب وآمن وعمل صالحا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)
Seandainya orang yang meninggalkan shalat itu masih mukmin, maka tentunya tidak dipersyaratkan ketika dia bertaubat dia harus beriman.
Ini dipertegas dalam hadits Jabir radhiallahu anhuma dia berkata: Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Sungguh, yang memisahkan antara seorang laki-laki dengan kesyirikan dan kekufuan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 116)
Juga dalam Abdullah bin Buraidah dari ayahnya radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ تَرْكُ الصَّلَاةِ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“(Pemisah) di antara kami dan mereka (orang kafir) adalah meninggalkan shalat, karenanya barangsiapa yang meninggalkannya maka sungguh dia telah kafir.” (HR. Ahmad no. 21929)
http://al-atsariyyah.com/keutamaan-shalat-5-waktu.html
==============================================================================

Keutamaan Shalat Berjamaah

Abu Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama’ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo’akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia’. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 649)
Dari Abu Musa Radhiyallaahu ‘anhu  dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلَاةِ أَبْعَدُهُمْ إِلَيْهَا مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ الَّذِي يُصَلِّيهَا ثُمَّ يَنَامُ
“Manusia paling besar pahalanya dalam shalat adalah yang paling jauh perjalannya, lalu yang selanjutnya. Dan seseorang yang menunggu shalat hingga melakukannya bersama imam, lebih besar pahalanya daripada yang melakukannya (sendirian) kemudian tidur.” (HR. Muslim no. 662)
Dari Abu Ad-Darda`  dia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya).” (HR. Abu Daud no. 547, An-Nasai no. 838, dan sanadnya dinyatakan hasan oleh An-Nawawi dalam Riyadh Ash-Shalihin no. 344)
Dari Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” (HR. Al-Bukhari no. 131 dan Muslim no. 650)

Penjelasan ringkas:
Karena besarnya urgensi shalat berjamaah bagi keumuman lingkungan kaum muslimin dan bagi setiap individu yang ada di dalamnya, Allah Ta’ala menjanjikan untuknya pahala yang besar dan Ar-Rasul -alaihishshalatu wassalam- senantiasa memotifasi untuk mengerjakannya. Dan beliau -alaihishshalatu wassalam- mengabarkan bahwa shalatnya seseorang secara berjamaah jauh lebih utama daripada shalat sendirian dan bahwa shalat berjamaah merupakan sebab terjaganya kaum muslimin dari setan. Keutamaan yang pertama untuk individu dan yang kedua untuk masyarakat kaum muslimin.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/keutamaan-shalat-berjamaah.html
http://kaahil.wordpress.com

Cara Menjamak Shalat Jika Sudah Tiba Di Tempat Muqim


Tanya :
Jika kita melakukan safar dari kota A  ke kota B (tempat Muqim) berangkat sebelum shalat dhuhur tapi berniat untuk menjamak takhir ketika sampai di tempat muqim (perkiraan sampai ba’da ashar) bolehkah yang seperti ini? Lalu bagaimanakah tata cara shalatnya, 2-2 atau 2-4?
Jawab :
Diperbolehkan dalam menjamak untuk menjamak taqdim atau menjamak takhir untuk seorang musafir yang akan melakukan perjalanan atau sedang dalam perjalanan, sesuai dengan kemudahannya. Adapun mengqashar shalat, hanya keringanan dalam safar saja. Dalam kondisi yang ditanyakan oleh penanya, bila dia tiba kota tempat menetapnya, dia hanya boleh menjamak 4-4 tanpa mengqasharnya. Wallâhu A’lam.
http://dzulqarnain.net

Beberapa Adab dan Etika dalam Berdzikir



Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ.
“Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak menjaharkan suara, pada pagi dan petang, serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai.” [Al-A’râf: 205]
Dalam ayat yang mulia ini, terdapat sejumlah adab dan etika berkaitan dengan dzikir kepada Allah Ta’âlâ.
Berikut uraiannya.
Pertama: dalam ayat di atas, termaktub perintah untuk berdzikir kepada Allah. Telah berlalu, pada tulisan sebelumnya, berbagai perintah untuk berdzikir beserta keutamaan berdzikir kepada Allah dan besarnya anjuran dalam syariat untuk hal tersebut. Seluruh hal tersebut memberikan pengertian akan pentingnya arti berdzikir dalam kehidupan seorang hamba.
Kedua: firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu pada dirimu,” mengukir sebuah etika yang patut dipelihara dalam berdzikir kepada llahi, yaitu dzikir hendaknya dalam diri dan tidak dijaharkan. Yang demikian itu lebih mendekati pintu ikhlas, lebih patut dikabulkan, dan lebih jauh dari kenistaan riya. Ibnul Qayyimrahimahullâh menyebut dua penafsiran frasa “pada dirimu”:
  1. Bermakna dalam hatimu.
  2. Bermakna dengan lisanmu sebatas memperdengarkan diri sendiri.
Namun, penafsiran kedualah yang lebih tepat berdasarkan dalil kelanjutan ayat “… dan dengan tidak menjaharkan suara,” sebagaimana yang akan diterangkan.
Ketiga: firman-Nya, “dengan merendahkan diri,” mengandung etika indah yang patut mewarnai seluruh ibadah, yaitu hendaknya dzikir dilakukan dengan merendahkan diri kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Hal yang demikian lebih mendekati makna ibadah yang mengandung pengertian merendah dan menghinakan diri serta tunduk dan bersimpuh di hadapan-Nya. Dengan menjaga etika ini, seorang hamba akan lebih mewujudkan hakikat penghambaan dan lebih mendekati kesempurnaan rasa tunduk kepada Allah Jallat ‘Azhamatuhu. Kapan saja seorang hamba berpijak di atas kaidah ini dalam seluruh ibadahnya, niscaya ia akan semakin mengenal jati dirinya sebagai seorang hamba yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan, sebagai seorang hamba yang harus bersikap tawadhu dan membuang segala kecongkakan.
Keempat: firman-Nya, “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu … dan rasa takut,”maksudnya adalah berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam keadaan khawatir bila terdapat kekurangan pada amalanmu dan dalam keadaan takut bila amalanmu tertolak atau tidak diterima. Etika ini adalah ketentuan tetap yang mesti dipelihara oleh setiap muslim dan muslimah dalam melaksanakan setiap ibadah.
Sangatlah banyak keterangan dari Al-Qur`an dan hadits yang mengingatkan etika agung yang banyak dilalaikan oleh sejumlah manusia ini. Di antara keterangan tersebut adalah firman Allah Jalla Jalâluhu yang menjelaskan keadaan orang-orang beriman yang bersegera menuju kebaikan,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ.
“Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” [Al-Mu`minûn: 60-61]
Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallamtentang firman-Nya “Dan orang-orang yang memberikan apa-apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut …,” “Apakah yang dimaksud adalah orang yang berzina, mencuri, dan meminum khamar?” Maka Nabi n menjawab,
لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُوْمُ وَيُصَلِّي وَيَتَصَدَّقُ وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ
Bukan, wahai putri Ash-Shiddiq, melainkan yang dimaksud adalah orang yang berpuasa, menunaikan shalat, dan bersedekah, tetapi ia khawatir bila (amalan)nya tidak diterima.” [1]
Kelima: firman-Nya, “dan dengan tidak menjaharkan suara,” juga merupakan etika yang patut diperhatikan karena berdzikir dengan tidak mengeraskan suara akan lebih mendekati khusyu’ serta lebih indah dalam benak dan pikiran. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa, dalam sebuah perjalanan, terdapat sekelompok shahabat yang menjaharkan suaranya kala berdoa maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka,
أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا، وَهُوَ مَعَكُمْ
“Wahai sekalian manusia, kuasailah diri-diri kalian dan rendahkanlah suara kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada yang tuli tidak pula kepada yang tidak hadir. Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama dengan kalian.” [2]
Ath-Thabary rahimahullâh berkata, “Hadits (di atas) menunjukkan makruhnya menjaharkan suara ketika berdoa dan berdzikir. Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi’in.”[3]
Dalam hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِي الصَّلَاةِ
Ketahuilah bahwa setiap orang di antara kalian bermunajat kepada Rabb-nya maka janganlah sekali-sekali sebagian di antara kalian mengganggu sebagian yang lain, jangan pula sebagian di antara kalian mengangkat suaranya terhadap sebagian yang lain dalam membaca, -atau beliau berkata-, … dalam shalat. [4]
Keenam: hendaknya dzikir itu dilakukan dengan hati dan lisan, bukan dengan hati saja. Etika ini dipetik dari firman-Nya “… dan dengan tidak menjaharkan suara.”Menjaharkan sesuatu berarti mengangkat dan mengumumkan suara. Oleh karena itu, ayat ini adalah nash bahwa dzikir itu dilakukan dengan lisan, tetapi tidak dijaharkan. Demikian simpulan keterangan sejumlah ahli tafsir mengenai ayat ini.
Ketujuh: firman-Nya “… pada pagi dan petang,” menunjukkan keutamaan berdzikir pada dua waktu ini: pagi dan petang. Keistimewaan berdzikir pada dua waktu ini dikarenakan banyaknya ketenangan dan kesempatan pada waktu tersebut, serta kebanyakan urusan kehidupan manusia berada di antara keduanya, sedang para malaikat naik mengangkat amalan hamba pada dua waktu ini. Oleh karena itu, di antara rahmat Allah dan kemurahan-Nya, kita dianjurkan untuk memperbanyak dzikir pada pagi dan petang serta dijanjikan berbagai keutamaan dengan mengamalkan berbagai dzikir yang dituntunkan pada dua waktu itu. Insya Allah, pada tulisan yang akan datang, akan dijelaskan berbagai dzikir yang dituntunkan untuk dibaca pada pagi dan petang.
Kedelapan: pada akhir ayat diterangkan, “… serta janganlah kamu termasuk sebagai orang-orang yang lalai,” yaitu janganlah engkau termasuk sebagai orang-orang yang dilupakan dan dipalingkan dari berdzikir kepada Allah sebab Allah Ta’âlâtelah mengingatkan,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah maka Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.” [Al-Hasyr: 19]
Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan sifat orang yang beriman,
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ. رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ.
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid, yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada pagi dan petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan tidak pula oleh jual beli dari berdzikir kepada Allah, (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut terhadap suatu hari yang (pada hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.”[An-Nûr: 36-37]
Allah Subhânahu mengabarkan bahaya terhadap orang-orang yang berpaling dari dzikir,
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ.
“Barangsiapa yang berpaling dari dzikir (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Qur`an), Kami mengadakan syaithan (yang menyesatkan) baginya maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” [Az-Zukhruf: 36]
لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا.
“Agar Kami memberi cobaan kepada mereka padanya. Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada Rabb-nya, niscaya dia akan dimasukkan oleh-Nya ke dalam adzab yang amat berat.” [Al-Jinn: 17]
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى.
“Dan barangsiapa yang berpaling dari dzikir kepada-Ku, sesungguhnya penghidupan yang sempit baginya dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” [Thâhâ: 124]
Seluruh nash ayat di atas memberikan pesan dan pelajaran agar seorang hamba tidak pernah putus dari dzikir, walaupun dzikir yang dia lakukan hanya sedikit.
Kesembilan: dari keterangan-keterangan yang berkaitan dengan ayat yang tertera pada awal pembahasan, nampaklah kesalahan yang sering dilakukan oleh sejumlah kaum muslimin yang berdzikir secara berjamaah dan diiringi oleh suara keras. Sesungguhnya hal tersebut adalah sebuah kemungkaran dan bid’ah dalam agama yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Etika yang tercatat dalam agama kita adalah apa-apa yang telah kami terangkan. Tiada nukilan sah yang menunjukkan adanya syariat berdzikir secara berjamaah, bahkan yang tercatat dalam perjalanan umat ini adalah bahwa bid’ah pertama yang muncul dalam bab ibadah adalah bid’ah dzikir berjama’ah yang dilakukan oleh sekelompok manusia di Kûfah pada masa Abdullah bin Mas’ûdradhiyallâhu ‘anhu, sedang Abdullah bin Mas’ûd telah mengingkari hal tersebut dan menganggapnya sebagai bid’ah dalam agama yang tidak pernah diamalkan oleh Nabi dan para shahabatnya. Demikianlah keterangan para ulama dalam buku-buku yang menjeiaskan tentang firqah-firqah (sekte-sekte) yang menyimpang dari ajaran Islam yang lurus.
Semoga Allah Ta’âlâ memberi hidayah kepada kita semua menuju jalan yang lurus serta menjaga kita dari fitnah dunia dan kesesatan. Wallâhu A’lam.


[1] Dikeluarkan oleh Ahmad, At-Tirmidzy, Ibnu Jarîr, Al-Hâkim, dan Al-Baghawy sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahâdits Ash-Shahîhah karya Al-Albâny.
[2] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits Abu Musa Al-Asy’aryradhiyallâhu ‘anhu.
[3] Sebagaimana dinukil dalam Fath Al-Bâry 9/189.
[4] Dikeluarkan oleh Ahmad 3/94, Abu Dawud no. 1332, An-Nasâ`iy dalam Al-Kubrâ`5/32, Ibnu Khuzaimah no. 1162, ‘Abd bin Humaid no. 883, Al-Hâkim 1/454, Al-Baihaqy 3/11 dan dalam Syu’ab Al-Imân 2/543, serta Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhîd 23/318. Dianggap shahih di atas syarat Asy-Syaikhain oleh Syaikh Muqbil sebagaimana dalam Ash-Shahîh Al-Musnad Mimmâ Laisa Fî Ash-Shahîhain.
http://dzulqarnain.net
Diberdayakan oleh Blogger.