Bereskan Pakaian Sebelum Shalat

Pakaian merupakan nikmat yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berikan
kepada para hamba-Nya. Namun terkadang ada sebagian di antara kaum muslimin salah dalam membuat pakaian dan salah dalam memakai pakaian ,sehingga mereka terkadang memakai pakaian yang seyogyanya belum dipakai, eh malah dipakai. Pakaian yang mestinya dipakai oleh anak kecil, duh malah dipakai oleh orang dewasa. Oleh karena itu, kita akanmenyaksikan beberapa kesalahan berikut:
Pakaian merupakan nikmat yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berikan kepada para hamba-Nya. Namun terkadang ada sebagian di antara kaum muslimin salah dalam membuat pakaian dan salah dalam memakai pakaian , sehingga mereka terkadang memakai pakaian yang seyogyanya belum dipakai, eh malah dipakai. Pakaian yang mestinya dipakai oleh anak kecil, duh malah dipakai oleh orang dewasa. Oleh karena itu, kita akan menyaksikan beberapa kesalahan berikut:
• Shalat dengan Memakai Pakaian Ketat yang Membentuk Tubuh, dan Aurat
Memakai pakaian yang ketat dan sempit, dibenci menurut syari’at Islam. Bahkan daapt menimbulkan mudharat dari sisi kesehatan. Sehingga jika memakai pakaian yang ketat, akan menggambarkan kedua auratnya atau salah satunya, dan sebagian mereka sulit untuk melakukan sujud. Maka dari sisi ini saja sudah dapat dipastikan keharaman memakai pakaian seperti ini. Lebih memperihatinkan lagi, sebagian orang yang berpenampilan dengan pakaian ketat, jarang melaksanakan shalat, bahkan ada yang tidak melaksanakan shalat sama sekali.
Al-HafizhIbnuHajar dalam Fathul Bari (1/476) menceritakan dari Ibnu Asyhab tentang orang yang memendekkan celananya dalam shalat, padahal dia mampu memanjangkan celananya, ia berkata, ”Dia mengulangi shalat pada waktu itu, kecuali jika pakaiannya tebal, dan sebagian ulama’ Hanafiyyah memakruhkannya”. Padahal keadaan celana mereka pada waktu itu bentuknya sangatlah lebar, maka apa lagi dengan celana [pantalon] yang sempit sekali.
Al-Allamah Albany-rahimahullah- berkata, ”Pada celana [pantalon] itu terdapat dua musibah. MusibahPertama, Pemakainya menyerupai orang kafir. Sedangkan orang muslim dahulu mengenakan celana yang lebar dan, longgar. Sebagian orang Suriah dan Lebanon masih mengenakannya. Kaum muslimin tidak mengenal celana [pantalon] ini, kecuali tatkala mereka dijajah. Sehingga tatkala penjajah itu hengkang, mereka meninggalkan perilaku-perilaku yang buruk, dan kaum muslimin pun mengikutinya disebabkan ketololan dan kebodohan mereka. Musibah kedua, Celana [pantalon] ini membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki batasannya adalah dari lutut sampai ke pusar. Padahal orang yang sedang shalat diwajibkan agar keadaaannya jauh dari memaksiati Allah, karena dia sedang sujud kepada-Nya. Maka Anda akan lihat kedua pantatnya terbentuk dengan jelas!? Bahkan, anggota tubuhnya yang ada di antara keduanya [kemaluan-pen.] terbentuk!! Bagaimana bisa orang yang demikian ini melakukan shalat mengahadap Rabb semesta Alam?? Yang sangat mengherankan, mayoritas pemuda-pemuda yang menamakan dirinya remaja muslim, mereka mengingkari wanita-wanita yang berpakaian ketat,karena membentuk tubuhnya. Sementara pemuda ini sendiri lupa dirinya, karena pemuda ini sendiri ternyata terjatuh pada kemungkaran yang dia ingkari itu. Tidak ada perbedaaan antara seorang wanita yang berpakaian ketat dan seorang lelaki yang memakai pantalon, karena keduanya sama-sama membentuk kedua pantatnya. Sedangkan pantat laki-laki dan pantat perempuan adalah aurat, keduanya sama hukumnya. Maka wajib bagi para pemuda untuk mengetahui musibah yang telah menimpa diri-diri mereka sendiri, kecuali orang-orang yang dirahmati Allah dan jumlah mereka ini sedikit sekali. [Lihat Al-Qaul Al-Mubin fi Akhtha’ Al-Mushallin (20-21)]
Antara laki-laki dan wanita, sama-sama terjerumus dalam kesalahan tersebut. Akan tetapi di zaman kita sekarang ini, kaum lelaki yang paling banyak yang terjerumus ke dalamnya ketika shalat, sebab kaum laki-laki tidaklah melaksanakan shalat, kecuali dengan mengenakan pantalon dan banyak dari mereka celananya sangat ketat -Laa Haula Wala Quwwata Illa Billah-.
Padahal seorang sahabat pernah berkata,
“Rasulullah telah melarang seorang lelaki yang shalat dengan menganakan sirwal [celana longgar-pen.] yang tidak ada di atasnya ridaa’ (pakaian)”. [HR. Abu Dawud (no. 636) dan Al-Hakim. Hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahih Al-Jami’ (6830) karya Syaikh Al-Albaniy]
Adapun jika pantalon itu lebar (tidak sempit), maka shalat dengan pakaian itu sah. Tetapi yang lebih utama, selain memakai pakaian itu, anggota badan antara lutut dan pusar juga ditutup dengan gamis panjang. Namun tentunya gamis tersebut di atas mata kaki bagi laki-laki, karena menutupi aurat yang demikian itulah yang sempurna.
• Shalat dengan Memakai Pakaian Tipis dan Transparan
Demikian pula dimakruhkan shalat dengan dengan pakaian ketat yang bisa membentuk aurat dan membentuk sebagian tubuh. Juga tidak bolehnya shalat dengan pakaian transparan yang dapat memperlihatkan badan yang berada dibalik kain tersebut. Sebagian orang ter-fitnah dengan memakai pakaian yang dinamakan “stil” dengan maksud menampakkan anggota badannya yang dinilai oleh syari’at sebagai aurat. Mereka menampakkannya secara sengaja. Akibatnya, mereka telah menjadi tawanan dan budak-budak syahwat, adat dan tradisi. Didukung pula keberadaan da’i-da’i yang membolehkan pakaian seperti itu, justru memotivasi mereka agar memakainya. Kemudian menetapkan keutamaannnya bagi mereka atas mode yang lainnya dengan slogan “mode tersebut adalah mode terkini yang relevan dengan zaman” berdasarkan pemkiran seorang reformis kefasikan dan kedurhakaan. [Lihat Al-Qaul Al-Mubin(hal. 22)]
Termasuk di antara kesalahan dalam memakai pakaian tipis dan transparan:
• Shalat dengan Memakai Pakaian Tidur (Piyama)
Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
”Seseorang telah berdiri mengahadap Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, lalu dia bertanya kepadanya tentang shalat memakai pakaian satu lembar, maka beliau berkata,
”Apak ah kalian semua mendapati dua lembar pakaian?!”
Kemudian lelaki itu bertanya kepada Umar. Maka Umar berkata,”Jika Allah memberi keleluasaan, maka hendaklah kalian memberi keleluasaan; seseorang shalat dengan memakai pakaian jubah dan sarung,dengan jubah dengan pakaian luar, dengan celana panjang dan gamis”. [HR. Al-Bukhariydalam Shahih-nya (365), Malik dalam Al-Muwaththa’ (1/140/31), Muslim dalam Shahih-nya (515), Abu Dawud dalam As-Sunan (625), An-Nasa‘iy dalam Al-Mujtaba (2/69), Ibnu Majah dalam As-Sunan (1047), dan lainnya]
Abdullah bin umar pernah melihat Nafi’ sedang shalat sendirian dengan memakai pakaian satu lembar, maka Ibnu Umar pun bertanya, ”Bukankah saya telah memberikan kepadamu dua lembar pakaian?” Nafi’ menjawab, “Ya, betul”. Ibnu Umar berkata, ”Apakah engkau mau keluar ke pasar dengan memakai pakaian satu lembar?” Nafi’ berkata, ”Tidak”. Ibnu Umar berkata,
”Maka Allah lebih berhak agar seseorang berhias dihadapan-Nya”. [HR. Ath-Thahawiy dalamSyarhul Ma’any Atsar(1/377-378)]
Demikianlah orang yang shalat dengan pakaian tidur, ia tak malu memakai pakaian tidurnya yang kadang tipis dan ketat di hadapan Allah. Namun di lain sisi, dia malu di hadapan manusia saat memakai pakaian seperti itu ke pasar!
Ibnu Abdil Barr-rahimahullah- berkata dalam At-Tamhid (6/369), “Sesungguhnya ahli ilmu menganjurkan seseorang memakai beberapa pakaian, memperindah pakaiannya, keharumannya, dan bersiwak ketika hendak shalat semampunya”.
Sesungguhnya para fuqaha berkata ketika membahas syarat-syarat sahnya shalat pada pembahasan menutupi aurat, “Dalam menutupi aurat disyaratkan memakai pakaian yang tebal. Jadi, pakaian yang transparan yang memperlihatkan warna kulit, tidak mencukupi. [Lihat Al-Mughny (1/617) dan Nihayah Al-Muhtaaj (2/8) dan Al-Libas wa Az-Zinah fii Asy-syariah Al-Islamiyyah (hal. 99), I’anah Ath-Thalibin (1/113), Hasyiyah Qalyubiy wa Umairah, dan Al-Mughni (1/617)]
Laki-laki dan perempuan wajib berpakaian yang demikian, baik dia shalat sendiri atau pun berjama’ah. Setiap orang yang membuka auratnya dalam keadaan dia mampu menutupinya, maka shalatnya tidak sah. Meskipun dia shalat sendirian di tempat yang gelap, karena adanya ijma’ ulama tentang wajibnya menutupi aurat sebagaimana Allah berfirman,
”Hai Anak adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap memasuki masjid.” (QS. Al A’raf : 31)
Kata “az-zinah” (perhiasan) disini adalah pakaian; “masjid” adalah shalat. [Lihat Ad-Din Al-Khalish (2/101) At-Tamhid (6/379)]
• Shalat dengan Pakaian Tipis yang Menampakkan Warna Kulit
Ucapan Umar yang lalu menjelaskan tentang pakaian yang paling banyak dipakai untuk menutupi badan dan menggabungkan satu pakaian dengan pakaian yang lain. Beliau tidak bermaksud membatasi satu jenis pakaian. Bahkan beliau menyamakan dengan sesuatu yang bisa menggantikannnya. Atsar dari Umar itu juga menunjukkan wajibnya menutupi aurat dalam shalat. Dengan demikian, shalat dengan memakai pakaian dua lembar lebih utama daripada memakai pakaian satu lembar.
Al Qadhi’ Iyadh menjelaskan bahwa tidak adanya perselisihan dalam masalah ini. [Lihat Fath Al-Bari (1/476) dan Al-Majmu’ (3/181)]
Al-Imam syafi’iy -rahimahullah- berkata, ”Jika seseorang shalat dengan mengenakan gamis yang menampakkan auratnya, maka pakaian itu tidak mencukupi shalatnya. [Lihat Al-Umm (1/78)]
Peringatan: Aurat perempuan harus lebih tertutup daripada laki-laki!
Imam Syafi’iy-rahimahullah- juga berkata, ”Jika seseorang perempuan shalat hanya dengan memakai pakian dan tutup kepala,yang pakaian itu mensifatkan dirinya, maka lebih saya cintai dia tidak melakukan shalat, kecuali dengan mengenakan jilbab di atasnya serta merenggangkan jilbabnya dari dirinya, supaya tidak nampak seluruh tubuh atau badannya”. [Lihat Al-Umm (1/78)]
Jadi, wajib bagi seorang wanita tidak shalat dengan memakai pakaian yang terbuat dari bahan nylon dan chyfon, sebab dengan memakai pakaian transparan, berarti dia membuka auratnya, meskipun itu lebar dan menutupi seluruh badannya.
Dalilnya, Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
”Di akhir umatku akan muncul wanita yang berpakaian, akan tetapi telanjang…..” . [HR. Malik dalam Al-Muwaththo’ (2128) dan Muslim dalam Shohih-nya (2128)]
Ibnu Abdil Barr-rahimahullah- berkata, ”Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- memaksudkan para wanita yang memakai pakaian yang menampakkan (bentuk tubuh) lagi tipis, namun tidak menutupi. Jadi, mereka dinamakan berpakaian, akan tetapi pada hakekatnya telanjang”. [Lihat Tanwir Al-Hawalik (3/103)]
Sebagian fuqaha’ menyebutkan, “Pakaian yang tipis di awal kita memandang, maka ada tidaknya pakaian itu sama. Berdasarkan hal itu, maka tak ada shalat bagi pemakainya”. [Lihat Bulghah As-Salik (1/104)]
Sebagian dari mereka menjelaskan, bahwa pakaian para salaf tidak membentuk auratnya, entah karena transparannya atau hal-hal yang lainnya, atau karena sempitnya. [Lihat Syarh Ad-Durar ala Mukhtasar Khalil (1/42)]
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah

Puisi Haji : Di Rawdah Tak Pernah Sepi

Oleh : H. Budiman S.Hartoyo

Di Rawdah tak pernah sepi
beragam harap decap-berdecap
Berebut sujud, serambut tak beringsut
doa terisak, kelopak mata kejap-berkejap
Di Rawdah tak pernah sepi

Di Rawdah kucium aroma kesturi
terbayang Tuan berkelebat lewat
Jubah merah tanpa terompah
enggan rasanya berpisah lagi
 Di Rawdah kucium aroma kesturi

Di Rawdah terbayang Tuan berseri
sesaat kuingat sepantun santun
Anta syamsun, anta badrun
anta nurun, fauqa nuri....
Di Rawdah terbayang Tuan berseri

Di Rawdah tak seorang berniat pulang
berhamburan salam, ya Marhaban
Merindukan jannah dalam sujud tersedu
mengenang senyum Tuan, siapa mampu
 Di Rawdah tak seorang berniat pulang

(Sumber: Puisi H.Budiman S.Hartoyo/1992)




Takbir Intiqal

Intiqal artinya perpindahan, takbir intiqal berarti takbir yang diucapkan pada saat berpindah dari satu posisi ke posisi lainnya di dalam shalat, misalnya dari berdiri ke ruku’, dari ruku’ ke sujud.
Pendapat yang shahih di kalangan ulama adalah disyariatkannya takbir ini berdasarkan beberapa hadits shahih yang menetapkannya, di antaranya:
Dari Abu Hurairah bahwa apabila Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam berdiri shalat beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku’, kemudian mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’ ketika mengangkat tulang sulbinya dari ruku’, kemudian mengucapkan pada saat berdiri, ‘Rabbana walakal hamdu’, kemudian bertakbir ketika turun untuk sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit dari sujud, kemudian bertakbir ketika sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepala dari sujud, kemudian beliau melakukan hal itu dalam seluruh shalatnya sampai selesai. Beliau juga bertakbir ketika bangkit dari dua rakaat setelah duduk. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari Mutharrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir berkata, “Aku shalat di belakang Ali bin Abu Thalib bersama Imran bin Hushain, jika dia sujud dia bertakbir, jika dia mengangkat kepalanya dia bertakbir, jika dia bangkit dari dua rakaat dia bertakbir. Selesai shalat Imran memegang tanganku, dia berkata, “Orang ini telah mengingatkanku dengan shalat Muhammad saw.” Atau dia berkata, “Orang ini telah shalat bersama kami dengan shalat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasalam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Perbedaan terjadi di antara para ulama, apakah takbir intiqal ini wajib?
Jumhur ulama di antara mereka adalah Imam yang tiga Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i berpendapat, takbir intiqal sunnah tidak wajib. Sementara Imam Ahmad berpendapat, takbir intiqal wajib.
Jumhur ulama berpedoman kepada hadits tentang pengajaran Nabi saw kepada seorang laki-laki yang shalat dengan tidak baik, di dalamnya Nabi saw tidak menyinggung takbir intiqal, padahal yang beliau ajarkan merupakan perkara-perkara mendasar di dalam shalat, ini menunjukkan bahwa takbir intiqal bukan wajib, karena jika ia wajib maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam pasti mengajarkannya kepada laki-laki itu.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam masuk masjid, lalu seorang laki-laki masuk dan shalat, kemudian dia datang seraya memberi salam kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam, beliau bersabda, “Kembalilah, shalatlah karena kamu belum shalat.” Maka dia kembali, dia shalat seperti dia shalat (pada kali pertama), kemudian dia datang seraya memberi salam kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam, beliau bersabda, “Kembalilah, shalatlah karena kamu belum shalat.” Hal ini terulang tiga kali. Lalu laki-laki itu berkata, “Demi dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak bisa selainnya, ajarilah aku.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Jika kamu berdiri shalat maka bertakbirlah, kemudian bacalah al-Qur`an yang mudah bagimu, kemudian ruku’lah sehingga kamu bertuma’ninah dalam keadaan ruku’, kemudian bangkitlah sehingga kamu beri’tidal dalam keadaan berdiri, kemudian sujudlah sehingga kamu bertuma’ninah dalam keadaan sujud, kemudian bangkitlah sehingga kamu bertuma’ninah dalam keadaan duduk. Lakukanlah hal itu dalam seluruh shalatmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Adapun apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Mutharrif bin Abdullah di atas maka ia hanya sebatas perbuatan, dan sekedar perbuatan tidak menetapkan kewajiban. Ini menurut jumhur ulama.
Imam Ahmad melihat bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam selalu menjaga takbir ini sebagaimana dalam dua hadits di atas, pada saat yang sama beliau bersabda,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Al-Bukhari dari Malik bin al-Huwairits).
Di samping itu dalam hadits tentang pengajaran Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam kepada seorang laki-laki yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa`i dari Rifa’ah bin Rafi’ terdapat tambahan takbir-takbir lain selain takbiratul ihram.
Rifa’ah bin Rafi’ berkata, aku sedang duduk di sisi Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau, dia masuk masjid lalu dia shalat.. –Selanjutnya terjadi apa yang terjadi dalam hadits Abu Hurairah- Laki-laki itu berkata, “Aku tidak mengerti apa yang salah dariku?” Maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya shalat salah seorang di antara kalian tidak sempurna sehingga dia menyempurnakan wudhu sebagaimana yang Allah perintahkan…Kemudian dia bertakbir dan ruku’….Kemudian dia bertakbir dan sujud…” Di akhir hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Shalat salah seorang dari kalian tidak sempurna sehingga dia melakukan itu.” Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib no. 536/15.
Penulis berkesimpulan, lebih bijak tidak melihat masalah ini dari sisi hukum, wajib dan tidaknya, akan tetapi melihat dari sisi bahwa ia merupakan salah satu syiar shalat dan ia sebagai sebuah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam yang selalu beliau lakukan. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasalam. Wallahu a’lam.(alsofwah)

Letak Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Menyentuh Bumi Ketika Sujud

Dalam praktek shalat, sebagian kaum muslimin ada yang meletakkan tangan dahulu sebelum lutut pada saat akan sujud dan ada yang sebaliknya lutut dahulu kemudian tangan. Lalu mana yang benar dalam masalah ini !.
Sebelum menguraikan perbedaan pendapat para ulama dan dalil setiap pendapat dalam masalah ini, terlebih dahulu kami akan detailkan letak perbedaan pendapat para ulama tersebut guna memahami masalah ini dengan baik dan benar.
Mendetailkan letak perbedaan pendapat termasuk perkara yang penting. Dan menelantarkan hal tersebut akan menimbulkan beberapa dampak yang negatif, diantaranya :
Penggambaran masalah tidak di atas hakikat sebenarnya.
Timbulnya ketimpangan dalam penerapan masalah.
Lahirnya masalah-masalah lain yang membuat permasalahan tersebut semakin rumit dan bertele-tele.
Bisa mengantar ke jalur berlebihan dalam masalah agama, padahal sikap berlebihan tersebut merupakan perkara yang tercela dalam syari’at Islam yang penuh dengan kemudahan ini.
Letak Perbedaan Pendapat Dalam Masalah Ini
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa 22\449 :
“Adapun sholat dengan keduanya (yaitu dengan meletakkan lutut sebelum tangan atau meletakkan tangan sebelum lutut-pent.) adalah boleh menurut kesepakatan para ‘ulama. Bila orang yang sholat menginginkan, (boleh) ia meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan bila ia menginginkan, (boleh) ia meletakkan kedua tangannya kemudian kedua lututnya dan sholatnya shohihah (sah/benar) pada dua keadaan (tersebut) menurut kesepakatan para ‘ulama. Tapi (para ‘ulama) berselisih tentang (mana) yang lebih afdhol”.
Dari uraian Ibnu Taimiyah di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Para ulama sepakat bahwa siapa yang sholat, baik ia meletakkan tangan dahulu kemudian lutut ketika akan sujud atau ia mendahulukan lutut lalu tangannya, maka shalatnya adalah sah dan benar.
Para ulama sepakat bahwa meletakkan tangan dahulu kemudian lutut atau sebaliknya, keduanya adalah perkara yang boleh dilakukan dalam shalat.
Letak perbedaan pendapat para ulama hanyalah pada yang mana lebih afdhol (utama) antara meletakkan tangan dahulu lalu lutut dan mendahulukan lutut kemudian tangan.
Uraian Pendapat Para Ulama
Tentang mana lebih afdhol antara meletakkan tangan dahulu lalu lutut atau mendahulukan lutut kemudian tangan, ada tiga pendapat dikalangan para ‘ulama :
Pendapat pertama: Tangan dahulu kemudian lutut. Ini pendapat Imam Al-Auza’iy dan salah satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Ahmad. Bahkan Ibnu Hazm berlebihan dalam menguatkan pendapat ini sehingga beliau menganggap bahwa meletakkan tangan sebelum lutut adalah perkara yang wajib.
Pendapat kedua: Lutut dahulu kemudian tangan. Ini pendapat Muslim bin Yasar, An-Nakh’iy, Sufyan Ats-Tsaury, Abu Hanifah dan dua muridnya Muhammad dan Abu Yusuf, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Ibnul Mundzir. Pendapat ini juga dihikayatkan dari ‘Umar bin Khaththab dan anaknya ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma. At-Tirmidzy dan Al-Khaththaby mengatakan bahwa ini adalah pendapat kebanyakan para ‘ulama.
Pendapat ketiga: Boleh tangan dahulu kemudian lutut dan boleh lutut dahulu kemudian tangan. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Malik dan Ahmad.
Baca : Al-Mughny 2/193, Al-Inshof 1/65, Al-Majmu’ 3/395, Syarah Ma’any Al-Astar 1/254-256, Al-Muhalla 4/128, Al-Fatawa 22/449 dan Fathul Bary 2/291.
(Sumber: Tuntunan Sholat Lengkap)
Diberdayakan oleh Blogger.