Allah Begitu Dekat pada Orang yang Berdoa


Sudah begitu lama, ingin agar harapan segera terwujud. Beberapa waktu terus menanti dan menanti, namun tak juga impian itu datang. Kadang jadi putus asa karena sudah seringkali memohon pada Allah. Sikap seorang muslim adalah tetap terus berdo’a karena Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a. Boleh jadi terkabulnya do’a tersebut tertunda. Boleh jadi pula Allah mengganti permintaan tadi dengan yang lainnya dan pasti pilihan Allah adalah yang terbaik.
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)
Sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata,
 “Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat sehingga kami cukup bersuara lirih ketika berdo’a ataukah Rabb kami itu jauh sehingga kami menyerunya dengan suara keras?” Lantas Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas. (Majmu’ Al Fatawa, 35/370)
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedekatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kedekatan Allah pada orang yang berdo’a (kedekatan yang sifatnya khusus).” (Majmu’ Al Fatawa, 5/247)
Perlu diketahui bahwa kedekatan Allah itu ada dua macam:
Kedekatan Allah yang umum dengan ilmu-Nya, ini berlaku pada setiap makhluk.
Kedekatan Allah yang khusus pada hamba-Nya dan seorang muslim yang berdo’a pada-Nya, yaitu Allah akan mengijabahi (mengabulkan) do’anya, menolongnya dan memberi taufik padanya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)
Kedekatan Allah pada orang yang berdo’a adalah kedekatan yang khusus –pada macam yang kedua- (bukan kedekatan yang sifatnya umum pada setiap orang). Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a dan yang beribadah pada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits pula bahwa tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Allah adalah ketika ia sujud. (Majmu’ Al Fatawa, 15/17)
Siapa saja yang berdo’a pada Allah dengan menghadirkan hati ketika berdo’a, menggunakan do’a yang ma’tsur (dituntunkan), menjauhi hal-hal yang dapat menghalangi terkabulnya do’a (seperti memakan makanan yang haram), maka niscaya Allah akan mengijabahi do’anya. Terkhusus lagi jika ia melakukan sebab-sebab terkabulnya do’a dengan tunduk pada perintah dan larangan Allah dengan perkataan dan perbuatan, juga disertai dengan mengimaninya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)
Dengan mengetahui hal ini seharusnya seseorang tidak meninggalkan berdo’a pada Rabbnya yang tidak mungkin menyia-nyiakan do’a hamba-Nya. Pahamilah bahwa Allah benar-benar begitu dekat dengan orang yang berdo’a, artinya akan mudah mengabulkan do’a setiap hamba. Sehingga tidak pantas seorang hamba putus asa dari janji Allah yang Maha Mengabulkan setiap do’a.
Ingatlah pula bahwa do’a adalah sebab utama agar seseorang bisa meraih impian dan harapannya. Sehingga janganlah merasa putus asa dalam berdo’a. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Do’a adalah sebab terkuat bagi seseorang agar bisa selamat dari hal yang tidak ia sukai dan sebab utama meraih hal yang diinginkan. Akan tetapi pengaruh do’a pada setiap orang berbeda-beda. Ada yang do’anya berpengaruh begitu lemah karena sebab dirinya sendiri. Boleh jadi do’a itu adalah do’a yang tidak Allah sukai karena melampaui batas. Boleh jadi do’a tersebut berpengaruh lemah karena hati hamba tersebut yang lemah dan tidak menghadirkan hatinya kala berdo’a. … Boleh jadi pula karena adanya penghalang terkabulnya do’a dalam dirinya seperti makan makanan haram, noda dosa dalam hatinya, hati yang selalu lalai, nafsu syahwat yang menggejolak dan hati yang penuh kesia-siaan.” (Al Jawaabul Kaafi, hal. 21). Ingatlah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829, Ahmad 2/362. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Jika memahami hal ini, maka gunakanlah do’a pada Allah sebagai senjata untuk meraih harapan.
Penuh yakinlah bahwa Allah akan kabulkan setiap do’a. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Lalu pahamilah bahwa ada beberapa jalan Allah kabulkan do’a. Dari Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: [1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, [2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan [3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do’a-do’a kalian.” (HR. Ahmad 3/18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid). Boleh jadi Allah menunda mengabulkan do’a. Boleh jadi pula Allah mengganti keinginan kita dalam do’a dengan sesuatu yang Allah anggap lebih baik. Atau boleh jadi pula Allah akan mengganti dengan pahala di akhirat. Jadi do’a tidaklah sia-sia.
Ingatlah wejangan yang amat menyejukkan hati dari cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata,
 Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah) berlakukan (bagi hamba-Nya)” (Lihat Siyaru A’laamin Nubalaa’ 3/262 dan Al Bidaayah wan Nihaayah 8/39). Pilihan Allah itulah yang terbaik.
Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 7 Jumadats Tsaniyah 1432 H (10/05/2011)
Artikel www.muslim.or.id

SHALAT FARDHU DAN NAFILAH PADA SATU TEMPAT


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Sahalih Al-utsaimin ditanya : "Bagaimana hukumnya seseorang shalat fardhu pada satu tempat lalu ia melakukan shalat sunnat (nafilah) pada tempat itu sendiri .?"
Jawaban:
Masalah diatas tidak jadi suatu penghalang. Tetapi para ulama berpendapat bahwa jika seseorang shalat fardhu pada suatu tempat, sebaiknya di pindah tempat bila mau shalat sunnat berdasarkan keterangan hadits Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan agar shalat jangan disambung dengan shalat lainnya hingga yang melakukannya keluar dulu atau berkata-kata".
Hal ini diperhatikan karena syari'at sangat menjaga batas pemisah antara shalat fardhu dengan nafilah, kecuali jika shaf shalat penuh berdesakan, maka hal itu tak perlu dilakukan sebab dapat menggangu yang ada. Karena itu, sebaiknya shalat sunnat dilakukan di rumah, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumah kecuali shalat fardhu".
Nabi-pun tak pernah melakukan shalat nafilah kecuali di rumahnya.
[Disalin dari buku Fatawa Syekh Muhammad Al-Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-Fatwa Al-'Ustaimin, oelh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Gema Risalah Pres, hal. 136-137,146-148 dan 158-159 alih bahasa Prof.Drs.KH Masdar Helmy]

Menjama` Shalat karena Hujan


Sebagai agama kemudahan, Islam senantiasa memberikan kemudahan kepada seorang Muslim untuk melakukan ibadahnya bilamana menghadapi kondisi yang menyulitkannya. Salah satunya dalam kondisi hujan turun, di mana dibolehkan menjamak shalat.
Pengertian Jamak
Jamak artinya menggabungkan. Menjamak shalat artinya menggabungkan antara dua shalat dalam satu waktu, yaitu menggabungkan antara shalat yang empat raka’at saja; shalat Zhuhur dan ‘Ashar, shalat Maghrib dan ‘Isya.
Dalil-Dalil Mengenai Menjamak Shalat Karena Hujan
Sesungguhnya ada banyak nash yang terkait dengan hal ini dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alahi wasallam, di antaranya:
Hadits dari Ibn ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam shalat Zhuhur dan ‘Ashar secara bersama-sama (menjamaknya), maghrib dan ‘Isya juga secara bersama-sama (menjamaknya), bukan dalam kondisi ketakutan atau perjalanan.” (HR.Muslim) Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Bukan dalam kondisi takut dan hujan.” (HR.Muslim) Imam Malik mengomentari, “Menurutku, itu dilakukan saat hujan turun.”
Dari Shafwan bin Sulaim, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar di hari di mana hujan turun dengan lebat.” (HR.Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)
Dari Nafi’, bahwa penduduk Madinah selalu menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya di malam di mana hujan turun dengan lebat, lalu Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma shalat bersama mereka, tidak mencela mereka.” (HR.Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)
Imam Malik meriwayatkan dari Nafi’, bahwa bila para Amir menjamak shalat Maghrib dan ‘Isya di saat hujan, Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma juga menjamak shalat bersama mereka.’ (HR.Malik)
Pendapat Ulama Seputar Menjamak Shalat Karena Hujan
Terdapat beragam pendapat ulama fiqih dengan keempat mazhabnya dalam masalah ini, namun karena keterbatasan ruang, di sini akan dikemukakan pendapat yang kuat saja, yang menyinkronkan antara pendapat-pendapat mazhab tersebut. Yaitu boleh menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar, Maghrib dan ‘Isya karena turunnya hujan seperti pendapat mazhab asy-Syafi’i. Menjamak shalat dalam kondisi ini tidak hanya khusus untuk shalat Maghrib dan ‘Isya saja sebagaimana dikemukakan mazhab Hanbali dan Maliki, tetapi juga -seperti disebutkan dalam hadits- bahwa beliau shallallahu 'alahi wasallam menjamak shalat Zhuhur dan ‘Ashar.
Selain itu, juga tidak disyaratkan berkelanjutannya hujan agar shalat pertama bersambung dengan shalat kedua sebagaimana pendapat asy-Syafi’i. Tetapi bila sudah ada sebab untuk menjamak, yaitu hujan, seperti ada mendung di langit dan menetesnya air di atas tanah, maka boleh menjamak. Hal ini berdasarkan jamak yang dilakukan
Umar Radhiallahu ‘anhu, “Di hari di mana hujan turun dengan lebat” dan jamak yang dilakukan penduduk Madinah, “Di malam di mana hujan turun dengan lebat.” Di sini, lebatnya hujan dikaitkan dengan ‘hari’ atau ‘malam,’ bukan dengan ‘saat didirikannya shalat.’ Ini lebih umum dari sekedar adanya kondisi hujan turun saat shalat sedang didirikan, sebab al-Yaum (hari) disebut ‘Mathir’ bilamana banyak turun hujan (lebat), sekalipun dinaungi oleh kondisi cerah saat shalat sedang didirikan. Hukum ini didasari pada kaidah, “Bila ditemukan sebab hukum, maka boleh mendahulukan ibadah berdasarkan syarat hukum tersebut.”
Syarat Menjamak Shalat Karena Hujan
Jamak tersebut dilakukan terhadap dua shalat siang; Zhuhur dan ‘Ashar, dan dua shalat malam; Maghrib dan ‘Isya. Tidak boleh menjamak shalat siang dengan shalat malam, seperti menjamak shalat ‘Ashar dengan shalat Maghrib, atau menjamak shalat malam dengan shalat fajar, seperti menjamak shalat ‘Isya dan Shubuh, atau menjamak shalat Shubuh dan Zhuhur.
Niat. Namun di sini, para ulama berbeda pendapat mengenai letak niat tersebut. Bahkan al-Muzanni, murid Imam asy-Syafi’i mengatakan tidak disyaratkannya niat, sebab Nabi shallallahu 'alahi wasallam sering menjamak shalat, namun tidak terdapat riwayat yang menyebutkan beliau meniatkan jamak. Pendapat ini didukung oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiah. Di antara argumentasi yang dikemukakannya adalah bahwa tatkala Nabi shallallahu 'alahi wasallam shalat Zhuhur di ‘Arafah bersama para shahabatnya, beliau tidak memberitahukan terlebih dulu kepada mereka bahwa setelah itu akan shalat ‘Ashar, tapi kemudian setelah itu, beliau shalat ‘Ashar bersama mereka. Sementara para shahabatnya pun tidak meniatkan jamak. Ini adalah shalat Jamak Taqdim. Demikian pula tatkala keluar dari Madinah, beliau shalat ‘Ashar bersama mereka di Dzi al-Hulaifah dengan dua raka’at saja, namun tidak menyuruh mereka untuk meniatkan Qashar (Memendekkan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at).
Tertib (Berurutan). Imam an-Nawawi menyebutkan, disyaratkan pada jamak Taqdim untuk memulainya dengan shalat pertama (shalat pada waktu itu), sebab itu adalah waktunya, sedangkan shalat kedua mengikutinya. Sebab Nabi shallallahu 'alahi wasallam menjamak pun demikian, sedang beliau shallallahu 'alahi wasallam sering bersabda, “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.” Andaikata seseorang memulai dengan shalat kedua terlebih dulu, maka tidak sah shalatnya, dan ia wajib mengulanginya dengan mengerjakan shalat yang pertama secara jamak.
Berturut-turut antara kedua shalat yang dijamak. Artinya, tidak boleh ada jeda waktu yang terlalu panjang. Dan panjangnya jeda ini merujuk kepada tradisi. Akan tetapi menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiah, hal ini tidak disyaratkan sama sekali. Beliau berargumentasi, “Pendapat yang benar, tidak disyaratkan berturut-turut sama sekali, baik di waktu shalat pertama atau di waktu shalat kedua, sebab batasan tentang itu tidak terdapat di dalam syariat, demikian pula, menjaga hal itu dapat menggugurkan tujuan Rukhshah.”
Menjamak Shalat Karena Hujan Di Rumah
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalam mazhab Syafi’i sendiri terdapat dua pendapat; ada yang mengatakan tidak boleh dan ada yang mengatakan boleh. Demikian pula dalam mazhab Hanbali.
Di antara alasan pendapat yang membolehkannya, pengarang kitab Manar as-Sabil berkata, “Sebab bila ditemukan ‘udzur, maka kondisi kesulitan dan tidaknya sama dalam hal itu, seperti dalam perjalanan. Alasan lainnya, karena Nabi shallallahu 'alahi wasallam pernah menjamak pada saat hujan, padahal antara biliknya dan masjid tidak ada sesuatu pun.
Boleh Tidak Shalat Berjamaah Di Masjid Dan Apa Yang Diucapkan Muazin
Dalam hal ini, terdapat beberapa hadits, di antaranya:
Dari Abu al-Malih, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam memerintahkan kepada muazinnya pada perang Hunain, (agar memanggil) :“Shalluu fi rihaalikum, [Shalat (dilakukan) di kendaraan].” (HR.Abu Daud)
Dari Nafi’, bahwa Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma singgah di Dhanjan pada malam yang dingin, lalu ia memerintahkan muazin agar memanggil, “Shalluu fi rihaalikum, [Shalat (dilakukan) di kendaraan].” (HR.Abu Daud)
Dari Ibn ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma, bahwa ia mengumandangkan azan shalat pada malam yang dingin dan berangin. Maka beliau shallallahu 'alahi wasallam bersabda, “Ingatlah! Shalatlah kamu di kendaraan.” Ibn ‘Umar berkata, “Sesungguhnya bila malam dingin dan turun hujan, Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam menyuruh muazin, “Ingatlah! Shalatlah kamu di kendaraan.” (HR.Abu Daud)
Ibn ‘Abbas Radhilallahu ‘anhuma pernah berkata kepada muazinnya pada hari di mana hujan turun, “Bila kamu mengumandangkan Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah, maka janganlah kamu kumandangkan, Hayya ‘Alash Shalah (Mari menuju kemenangan), tetapi kumandangkanlah, Shallu Fi Buyutikum (Shalatlah kamu di rumah-rumah kamu). Saat itu orang-orang seolah protes, maka Ibn ‘Abbas berkata, “Ini sudah dikerjakan oleh orang yang lebih baik dariku, sesungguhnya Jum’at itu ‘Azam dan sesungguhnya aku tidak suka menyusahkan kamu untuk berjalan dalam kondisi tanah berlumpur dan licin.” (HR.al-Bukhari)
Ibn ‘Umar menceritakan dari Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bahwa beliau memerintahkan muazin agar mengumandangkan azan waktu shalat, kemudian menyerukan, “Shalatlah di kendaraan-kendaraan kamu.!” Hal itu di malam yang dingin dan turun hujan dalam perjalanan. (HR.Abu Daud)
(Bulletin An Nuur/Sumber: Bahts Mukhtashar Fi al-Jam’i Baina ash-Shalatain Fi al-Mathar, DR.Sa’duddin bin Muhammad al-Kabbi).

APAKAH ORANG YANG BUNUH DIRI DISHALATKAN?


Tanya: Saya mau bertanya, apakah orang yang meninggal karena bunuh diri wajib disolatkan? Karena Nabi shallallahu 'alaihiwasallam kan pernah tidak bersedia menyolatkan sahabatnya yang meninggal karena masih punya hutang dan baru bersedia menyolatkan jenazah tersebut setelah hutang tersebut dibayar oleh sahabat yang lain.
(P.G Budi)
Jawab:
Alhamdulillah, washshalaatu wassalaamu 'alaa rasulillah.
 
Tidak kita ragukan lagi bahwa bunuh diri termasuk dosa besar. Alloh ta'aalaa berfirman:
 
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS.an-Nisaa: 29).
Rasululloh shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
Artinya: Barangsiapa minum racun lalu mati, maka racunnya akan berada di tangannya, dia akan meneguknya pada hari kiamat di neraka jahannam dan dia kekal selama-lamanya. (HR.Bukhari: 5778, Muslim: 109)
Apakah orang yang bunuh diri boleh dishalatkan?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini hingga terpolar menjadi tiga pendapat;
Pertama: Tidak disholatkan
Berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh bahwasanya Rasululloh didatangkan seorang jenazah laki-laki yang bunuh diri dengan anak panah, maka Rasululloh tidak menyolatinya. (HR.Muslim: 978)
Inilah pendapat yang dipilih oleh Umar bin Abdil Aziz dan al-Auza’i. (Lihat Syarah Shohih Muslim 7/47)
Kedua: Disholatkan
Inilah pendapat yang dipilih oleh al-Hasan, an-Nakho’I, Qotadah, Malik, Abu Hanifah, Syafi’I dan mayoritas ulama. Mereka menjawab tentang hadits Jabir diatas bahwa apa yang dilakukan Rasululloh shallallahu 'alaihi wa sallam hanya sebagai peringatan untuk manusia agar tidak meniru perbuatan orang yang bunuh diri tersebut, bukan karena haram dishalatkan, oleh karenanya para sahabat pun menyolatkannya.
 
Hal ini persis dengan kasus orang yang punya hutang yang tidak disholati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, sebagai peringatan bagi manusia agar jangan menganggap ringan masalah hutang piutang dan tidak meremehkan dalam melunasinya.
 
Al-Qodhi 'Iyaadh mengatakan: “Pendapat mayoritas ulama adalah menyolati setiap muslim, baik yang mati karena sebab hukuman pidana, dirajam, bunuh diri atau anak zina”. (Syarah Shohih Muslim 7/47)
Ketiga: Hendaknya orang yang terpandang dari kalangan ahli ilmu dan kebaikan tidak menyolatinya
Ini adalah pendapat Malik dalam salah satu riwayat dan selainnya. (Lihat Syarah Shohih Muslim 7/47)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah condong mengikuti pendapat ini dan berkata: “Boleh bagi manusia umum untuk menyolatinya, adapun para pemuka agama yang menjadi panutan, seandainya mereka tidak menyolatinya sebagai peringatan dan pelajaran bagi yang lain sebagaimana yang dilakukan Nabi maka ini adalah benar, Allohu A’lam( Majmu’ Fatawa 24/289)
Pendapat ini dikuatkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Ahkam al-Janaaiz hal.83-84. Allohu A’lam. (Lihat Shohih Fiqhis Sunnah 1/646-647)
 



Posisi Duduk Dalam Shalat


Pendapat Pertama: Duduk Dalam sholat Adalah Mutlak Iftirasy, Baik Duduk Diantara Dua Sujud, Tasyahud Awal, Maupun Tasyahud Akhir
Yaitu pendapat Imam Hanafi dan yang sepaham dengannya, bahwa duduk dalam sholat adalah mutlak iftirasy, baik duduk di antara dua sujud, tasyahud awal, maupun tasyahud akhir
Pendapatnya ini berdalil dengan beberapa hadits, diantaranya yaitu:
Perkataan Aisyah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
”Beliau Rasulullah mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rekaat/rekaat kedua, saat itu beliau hamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” (Shahih Muslim no. 498).
Perkataan Wail bin Hujr:
”Aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat; beliau hamparkan telapak kaki kirinya dan menegakkan telapak kaki kanannya.” (Ibnu Khuzaimah no.691, Al-Baihaqi no.72, Ahmad no.316), Al-Thabrani no.33). Dalam riwayat Tirmidzi dengan lafal: ”Tatkala duduk tasyahud beliau hamparkan kaki kirinya dan tangan kirinya diletakan pada pahanya sementara itu kaki kanannya ditegakkannya.” (Sunan Tirmidzi no.292).
Hadit-hadits tersebut, dan hadits lain yang senada, menunjukkan disebutkannya duduk iftirasy baik waktu tasyahud maupun bukan.
Pendapat Kedua: Duduk Dalam Shalat Adalah Tawaruk, Baik Pada Tasyahud Awal, Atau Akhir, Maupun Diantara Dua Sujud
Adalah pendapat Imam Malik, dan yang sepaham dengannya, bahwa duduk dalam shalat adalah tawaruk, baik pada tasyahud awal, atau akhir, maupun di antara dua sujud
Pandangan ini dibangun di atas hadits-hadits berikut:
Perkataan Abdullah Ibnu Umar :
”Bahwasanya sunnah shalat (ketika duduk) adalah engkau tegakkan telapak kaki kananmu dan melipat yang kiri!” (Shahih al-Bukhari no.793, bersama Fatul Bari).
Perkataan Abdullah Ibnu Mas’ud :
”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan tasyahud kepadaku dipertengahan shalat dan di akhirnya.”
Katanya lagi,
”Beliau mengucapkan (tasyahud tersebut) jika duduk di pertengahan shalat dan di akhirnya di atas warik (bagian atas paha/pantat)-nya yang kiri…” (Musnad Ahmad 4369)
Hadits-haduts tersebut menyebutkan adanya duduk tawaruk dalam shalat, baik di tengah maupun akhirnya.
Mereka juga mendasarkan pada kiyas, bahwa perbuatan tersebut adalah diulang-ulang dalam shalat, maka sesuatu yang diulang-ulang dalam shalat mestinya mempunyai satu sifat/bentuk. Seperti halnya berdiri dan sujud. (Syarh Muwatha, oleh Qadhi Abul Walid Sulaiman al-Naji)
Pendapat Ketiga: Duduk Akhir Didalam Shalat Yang Memiliki Satu Tasyahud, Yakni Duduk Iftirasy dan Jika Memiliki Dua Tasyahud, Tasyahud Awal Dengan Iftirasy dan Yang Akhir Dengan Tawaruk
Pendapat Imam Ahmad dan yang sepaham. bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud dengan yang memiliki dua tasyahud cara duduknya berbeda. Shalat yang memiliki satu tasyahud, duduk akhirnya sama dengan cara duduk di antara dua sujud, yakni iftirasy. Sementara bila shalatnya memiliki dua tasyahud, maka tasyahud awal dengan cara iftirasy, sedangkan yang kedua dengan cara tawaruk. Ini merupakan pendapat yang masyur dari Imam Ahmad. (Fathul Bari, Ibnu Rajab al-Hambali V/164).
Pendapat Hambali. ”Tidak boleh duduk tawaruk kecuali dalam shalat yang mempunyai dua tasyahud, duduk tawaruk dilakukan pada tasyahud yang akhir.” (Zadul Mustaqni’ Ahmad bin Hambal)
Dalilnya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengisahkan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat dengan takbir dan membaca dengan ‘alhamdulillahi rabbil ‘alamin’. Bila beliau rukuk, beliau tidak menegakkan kepalanya dan tidak pula menundukkannya, namun antara keduanya. Bila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau tidak langsung sujud hingga tegak lurus. Apabila beliau bangun dari sujud, beliau tidak langsung sujud lagi hingga duduk sempurna. Serta tiap dua rekaat, beliau mengucapkan tahiyat dan duduk iftirasy.” (HR. Muslim)
Jadi pendapat yang rajih (kuat), wallahu a’lam bish shawab, adalah tahiyat akhir untuk sholat yang memiliki satu tasyahud dilakukan dengan iftirasy.
Pendapat Keempat: Duduk Yang Bukan Duduk Akhir Adalah Iftirasy, Sedangkan Duduk Yang Dilakukan Pada Tasyahud Akhir Dengan Tawaruk
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan yang sepaham. Mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun satu tasyahud.
Syafi’i berpandangan bahwa asal duduk dalam shalat adalah tawaruk. Dikecualikan sebagaimana perkataan Muzani bahwa Syafi’i berkata, ”Duduk pada rekaat kedua di atas kanannya.” (Al-Hawi al-Kabir hal.171).
Ibnu Rusyd mengambarkan pandangan syafi’i, ”Pada tasyahud awal mereka mengikuti madzab Hambali sementara pada tasyahud akhir mengikuti madzab Maliki.” (Bidayatul Mujtahid hal.261).
Hadits dari Muhammad bin Amr bin Ath’.
Ia pernah duduk bersama sepuluh orang sahabat. Kami membincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba Abu Humaid al-Sa’idi berkata, ”Dibanding kalian aku lebih hafal tentang shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku pernah melihat beliau apabila bertakbir dijadikannya kedua tangannya berhadapan dengan kedua pundaknya. Apabila rukuk, beliau letakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya. Bila mengangkat kepalanya (dari ruku), beliau berdiri lurus (i’tidal) sehingga kembali setiap tulang belakang ke tempatnya. Kemudian apabila sujud, beliau letakkan kedua tangannya tanpa menghamparkan maupun menggenggam, sementara ujung-ujung jarinya kedua kakinya dihadapkan ke kiblat. Apabila duduk pada dua rekaat (rekaat kedua), beliau duduk di atas (hamparan) kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). Sementara apabila duduk pada rekaat akhir, beliau majukan kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk di tempatnya (di lantai alias duduk tawaruk).” (Shahih al-Bukhari no.828).
Hadits tersebut ada yang menggunakan lafal lain :
Dalam riwayat Abdul Fadhi Abdul Hamid bin Ja’far al-Anshari al-Ausi disebutkan,
”Hingga pada saat sajdah yang diikuti dengan salam”.
Sementara pada riwayat Ibnu Hibban,
”(Pada rekaat) yang menjadi penutup shalat beliau mengeluarkan kaki kiri dan duduk dengan tawaruk pada sisi kirinya.” (Fathul Bari II/360).
Sementara itu dalam Shahih Ibni Khuzaimah (I/587). Sunan al-Tirmidzi no.304, dan Musnad Ahmad no.23088 hadits tersebut dicatat dengan redaksi:
“Hingga rekaat yang padanya selesailah shalat.”
Lain lagi dalam Sunan al-Nasai no.1262,
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika pada dua rekaat yang padanya berakhirlah shalat.”
Kiranya menurut pendapat keempat ini, yaitu mereka berpandangan bahwa duduk yang bukan duduk akhir adalah iftirasy, sedangkan duduk yang dilakukan pada tasyahud akhir dengan tawaruk. Tidak dibedakan antara shalat yang memiliki dua tasyahud ataupun satu tasyahud. Kesimpulan ini juga pernah diajukan oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat setelah melakukan penelitian yang cukup dalam dan lama. Sebelumnya hal ini sudah ditegaskan oleh Abul Ula Mubarakfuri, ”…Pendapat yang menjadi pandangan Imam Syafi’i dan yang sepaham mempunyai nash yang jelas dan tegas. Inilah madzhab yang kuat.” (Tuhfatul Ahwadzi II/155).
Berbeda dengan pendapat dari pihak yang condong kepada pandangan Hambali. Bahwa menurut mereka, hadits Abu Humaid di atas khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahud seperti shalat yang empat atau yang tiga rekaat, karena susunan haditsnya memang menunjukkan seperti itu. Susunan ini secara tekstual mengkhususkan bahwa duduk tawaruk hanya ada pada tasyahud yang kedua.
Jawabannya: Sebenarnya yang dipersoalkan adalah shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan masalah empat rekaatnya. Kita coba urutkan hadits Abu Humaid di muka:
Pertama: Berkata Muhammad bin Amr bin Atha’, ”Kami memperbincangkan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Ini menunjukkan bahwa para sahabat sebanyak sepuluh orang bersama Muhammad bin Amr bin Atha’ tengah membahas sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Berkata Abu Humaid al-Sa’di mengatakan secara umum kepada sahabat-sahabat lainnya bahwa dia paling tahu tentang sifat shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian menjelaskan tanpa ,mengkhusukan shalat yang 2, 3, atau 4 rekaat.
Ketiga: Di antara al-Sa’idi ialah: mengangkat kedua tangan, rukuk, i’tidal, dan sujud. Apakah semua sifat shalat tersebut khusus untuk shalat yang empat rekaat?
Kemudian hadits Abdullah bin Mas’ud yang dicatat oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihahnya no.670 memperkuat hadits Abu Humaid tersebut.
Dipertegas dan diperkuat dengan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, ”Jika engkau duduk di pertengahan shalat bersikaplah tentang (thuma’ninah) dan hamparkan paha kirimu (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahud.” (Sunan Abu Dawud no.802, menurut Al-Albani sanadnya hasan, dalam Ashlu Shafatis Shalah, Al-Albani: III/831-832).
Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhiri shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafal ”Jika duduk pada rekaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy)”. Lafal ini menunjukan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat, bukan akhir shalat. Yang dimaksud ”arrak’atain” bukan ”dua rekaat”, tetapi ”rekaat yang bukan akhir shalat” alias rekaat kedua. Jadi hadits ini menjelaskan bahwa duduk iftirasy dilakukan dipertengahan shalat. Sedangkan lafal hadits Abu Humaid ”dan jika beliau duduk pada rekaat terakhir”, dengan berbagai lafalnya merupakan nash yang bersifat manthuq sharih (penunjukan lafal yang sesuai pada ucapannya); hal ini lebih didahulukan daripada mafhum. Hadits Aisyah, Ibnu Hujr, Ibnu Zubair tentang duduk iftirasy adalah umum sebagaimana hadits Ibnu Umar tentang tawaruk; tidak disebutkan apakah pada pertengahan shalat ataukah diakhirnya. Karena itu hadits yang umum (mutlak) tersebut dibawa kepada yang muqattad (mengikat khusus), pada hadits Abu Humaid dimuka.
Perlu diingat pula bahwa shalat yang dimaksud satu tidak hanya yang dua rekaat, dalam shalat witir ada satu, tiga rekaat. Ada juga empat rekaat dan lima rekaat dengan satu tasyahud. Apakah kiranya ada hadits yang menjelaskan tentang duduk selain dua re kaat? Pemahaman Imam Syafi’i di muka memecahkan masalah ini. Tetapi ada yang menarik dari ungkapan Imam Nawawi, dari madzhab Syafi’i, ”Seandainya seorang ketika pada posisi duduk, kapanpun, dengan iftirasy, tawaruk, bersila, iq’a, atau bahkan selonjor tetaplah sah shalatnya meskipun itu menyelisihi.” (Syarh Shahih Muslim, hal.438). Wallahu a’lam.
Majalah Fatawa Vol.IV/No.11/Dzulqa’dah 1429
(Sumber: alquran-sunnah.com)

Shaff Wanita Yang Paling Baik

Jika kaum wanita melakukan sholat jauh dari jama'ah laki-laki,maka shaff yang paling utama bagi mereka adalah shaff yang pertama,kemudian yang setelahnya.hal ini berdasarkan sabda rosulullloh sollallohu alaihi wasallam :
" Sesungguhnya Alloh dan para Malaikat-nya bersholawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaff - shaff terdepan".HR.Abu Daud (no.650) dan Nasa'i (II/90) dengan sanad yang sahih.
Adapun jika mereka melakukan sholat di belakang pria,maka shaff terbaik bagi mereka adalah yang paling akhir, dan yang paling jelek adalah yang paling pertama.
Letak shaff bagi kaum Wanita
Di syari'atkan bagi kaum Wanita untuk melakukan sholat di belakang kaum Pria.berdasarkan hadist anas bin malik beliau berkata  :
"Aku melakukan sholat bersama anak yatim dirumah kami di belakang Rosululloh sallallohu alaihi wasallam sedangkan ibuku  - Ummu sulaim  -berada di belakang kami".HR.Bukhori (no.870)
catatan :
Jika seorang Wanita berdiri pada shaff kaum pria atau didepannya ,maka batallah sholatnya berdasarkan pendapat yang lebih tepat,kecualil ketika berada dalam keadaan dorurat,atau ia tidak mengetahuinya.Wallohu a'lam.
Faedah :
Jika kaum Wanita melakukan sholat dibelakang kaum pria,dimana kaum wanita bisa melihat kaum pria ,maka wajib atas kaum wanita untuk tidak mengangkat kepala dari sujud kecuali kaum pria telah mengangkat kepalanya dan telah tegak sehingga kaum wanita tidak bisa memandang sedikitpun dari aurat kaum pria.hal ini berdasarkan hadist Sahl semoga Alloh meridloinya :
"Adalah kaum pria melakukan sholat bersama Nabi sollallohu 'alihi waslllam dengan mengikatkan sarungnya di leher - leher mereka  (karena sempit) bagaikan keadaan anak kecil, lalu dikatakan kepada kaum wanita, "janganlah kalian mengangkat kepala kalian sehingga kaum pria telah tegak  duduk".HR.Bukhori (no.362)
Kesimpulan :
Apabila kaum Wanita berada dibelakang kaum pria dengan pembatas kaca yang transparan ,maka kaum wanita tidak boleh berdiri dari sujud atau ruku kecuali kaum pria sudah berdiri tegak.yang afdhol tertutup,sehingga tidak terjadi fitnah.
Apabila antara shaff pria dan shoff wanita kosong maka hal itu tidak mengapa.
yang di maksud sejelek shaff wanita adalah yang paling awal adalahmengurangi pahalanya.
shoff wanita tetap harus di belakang shoff pria selagi masih bisa mendengar bacaan imam.
Di kutip dalah kitab FIQHU ASSUNNAH LI ANNISA  yang di karang oleh Abu malik kamal bin as sayyid salim.dalam bab sholat berjamaah bagi wanita dan di ambil pula dari fatawa ulama mutaakhirah
(Sumber: alquran-sunnah.com)

Adab Imam Dan Makmum Dalam Shalat Berjamaah (Gambar)

Berikut adalah Adab Imam Dan Makmum dalam shalat berjamaah yang kami kutip dari  "ar-risalah", silahkan klik dibawah ini............


(gambar bisa diperbesar)

Jual Beli saat Azan Jumat


Yang artinya, “Wahai orang-orang beriman, apabila terdengar azan yang menyeru untuk menunaikan shalat Jumat maka bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.s. Al-Jumuah:9)
Ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan haramnya transaksi jual beli pada hari Jumat, semenjak azan yang dikumandangkan saat khatib di atas mimbar sampai shalat Jumat selesai dilakukan.
An-Nawawi Asy-Syafi'i mengatakan, “Karena kita katakan bahwa transaksi jual beli saat itu diharamkan maka haram pula berbagai transaksi, kegiatan produksi, dan berbagai aktivitas yang menyibukkan serta menghalangi seseorang untuk berangkat ke masjid untuk mengerjakan shalat Jumat.” (Al-Majmu’, 4:500)
Transaksi jual beli ini hukumnya haram jika salah satu dari penjual atau pun pembeli adalah orang yang wajib menghadiri shalat Jumat. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang keduanya tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat Jumat --misalnya: dua orang perempuan mengadakan transaksi jual beli-- maka hukumnya adalah tidak mengapa.
Jika transaksi jual beli sudah terlanjur dilakukan, sahkah transaksi jual beli yang dilakukan?
Ulama bersilang pendapat dalam masalah ini. Syafi'iyyah dan Hanafiyyah menilai transaksi tersebut sah namun pelakunya berdosa, sedangkan Imam Ahmad dan Daud Azh-Zhahiri menilai transaksi tersebut tidak sah.
Pendapat pertamalah yang lebih kuat karena larangan dalam hal ini berkaitan dengan perkara di luar transaksi jual belinya itu sendiri.
ReferensiTamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah, karya Adil bin Yusuf Al-Azzazi, jilid 3, hlm. 324--325.

Kesalahan-Kesalahan Makmum Dalam Shalat

Termasuk di antara manfaat yang dapat dipetik dari sholat berjamaah ialah saling memberikan pengajaran ilmu syari antar jamaah satu dengan yang lainnya. Salah satu contohnya: Terkadang seorang salah dalam tatacara sholat maka jamaah lain yang tahu kemudian membenarkannya. Inilah rohmat yang Alloh turunkan kepada umat ini lewat syariat sholat berjamaah. Berikut ini akan kami sampaikan beberapa kesalahan yang seringkali terjadi dalam praktek sholat berjamaah sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin secara umum.
Tidak Memperhatikan Kerapian dan Kelurusan Shof
Para pembaca yang semoga dirahmati Alloh, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda yang artinya, “Sebaik-baik shof bagi laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan shof yang paling buruk adalah yang paling akhir. Sedangkan shof yang terbaik bagi wanita adalah paling belakang dan yang paling buruk adalah yang paling depan.” (HR. Muslim). Tapi sungguh sangat disayangkan sebagian kaum muslimin tidak berlomba-lomba untuk mendapatkan kebaikan ini, bahkan mereka malah menghindari dan enggan untuk memposisikan diri pada shof yang pertama, dengan mereka mempersilahkan orang lain untuk berada di shaf depan. Kaidah Fiqhiyah mengatakan: “Mengutamakan orang lain dalam masalah ibadah adalah terlarang”.
Kesalahan lain yang banyak muncul adalah tidak meluruskan ataupun merapatkan shof. Rosululloh bersabda yang artinya, “Luruskan shof-shof kalian, karena lurusnya shof termasuk kesempurnaan sholat.” (HR. Bukhori Muslim)
Mendahului Maupun Menyertai Gerakan Imam
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Tidakkah orang yang mengangkat kepalanya mendahului imam merasa takut kalau Alloh merubah kepalanya menjadi kepala keledai.” (HR. Bukhori, Muslim)
“Sesungguhnya ubun-ubun orang yang merunduk dan mengangkat kepalanya mendahului imam berada di dalam genggaman setan.” (HR. Thobroni dengan status hasan)
Adapun larangan membarengi gerakan imam maka dasarnya adalah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika imam telah ruku’ maka ruku’-lah kalian dan jika imam bangkit maka bangkitlah kalian.” (HR. Al Bukhori). Dari hadits ini diambil kesimpulan terlarangnya mengakhirkan atau melambatkan gerakan dari imam. Adapun yang diperintahkan adalah mengikuti atau mengiringi gerakan imam.
Sibuk Dengan Berbagai Macam Doa Sebelum Takbirotul Ihrom
Sering kali kita lihat sebagian kaum muslimin sebelum sholat menyibukkan melafalkan niat. Sebagian mereka membaca surat An Naas dengan dalih untuk menghilangkan was-was setan. Begitu juga ada makmum yang mengatakan: Sami’na wa ‘Atho’na ketika mendengar perintah untuk meluruskan shof dari imam: Sawwuu shufuufakum! Padahal perintah dari imam tadi butuh pelaksanaan, bukan butuh jawaban. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Hendaklah kaum muslimin bersegera meninggalkan segala macam tatacara ibadah yang tidak bersumber dari beliau.
Sibuk Dengan Sholat Sunah Padahal Telah Iqomah
Terkadang kita jumpai seseorang yang malah sibuk dengan sholat nafilah/sunnah ketika iqomat telah dikumandangkan atau yang lebih parah malah memulai sholat sunnah baru dan tidak bergabung dengan sholat wajib. Hal ini menyelisihi sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam yang artinya: “Apabila iqomah sudah dikumandangkan, maka tidak ada sholat kecuali sholat wajib.” (HR. Muslim)
Menarik Orang Lain di Shof Depannya Untuk Membuat Shof Baru
Hadits-hadits yang menjelaskan masalah ini bukan termasuk hadits yang yang shohih, maka perbuatan ini tidak boleh dilakukan bahkan dia wajib bergabung dengan shof yang ada jika memungkinkan. Jika tidak maka boleh dia sholat sendiri di shof yang baru, dan sholatnya dianggap sah karena Alloh tidaklah membebani seorang kecuali sesuai kemampuannya (Lihat Silsilah Al Hadits Ash Shohihah wal Maudu’at). Wallohu A’lam.
***
(Sumber: www.muslim.or.id)

ADAB IMAM DALAM SHALAT BERJAMA’AH

Seorang muslim yang baik, berusaha untuk menyempurnakan setiap amalnya. Karena hal itu sebagai bukti keimanannya. Maka shalat harus menjadi perhatian utamanya.
Dapat dibayangkan, bagaimana ketika imam bertakbir, terlihat para makmun bertakbir sambil mengangkat tangannya secara serempak; ketika imam mengucapkan amin terdengar keserasian dalam mengikutinya.
Tidak salah, jika ada yang mengatakan, bahwa persatuan dan kesatuan umat terlihat dari lurus dan rapat suatu shaf, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan kalian" [1]
Pembahasan ini terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, adad-adab imam.
Kedua, adab-adab makmum.
Tidak diragukan lagi, bahwa tugas imam merupakan tugas keagamaan yang mulia, yang telah diemban sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ; begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

Banyak hadits yang menerangkan tentang fadhilah imam. Diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tiga golongan di atas unggukan misik pada hari kiamat,” kemudian beliau menyebutkan, diantara mereka, (ialah) seseorang yang menjadi imam untuk satu kaum sedangkan mereka (kaum tersebut) suka kepadanya. Pada hadits yang lain disebutkan, bahwa dia memperoleh pahala seperti pahala orang-orang yang shalat di belakangnya.[2]
Akan tetapi -dalam hal ini- manusia berada di dua ujung pertentangan.
Pertama :
Menjauhnya para penuntut ilmu dari tugas yang mulia ini, tatkala tidak ada penghalang yang menghalanginya menjadi imam.
Kedua
: Sangat disayangkan “masjid pada masa sekarang ini telah sepi dari para imam yang bersih, berilmu dari kalangan penuntut ilmu dan pemiliknya –kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah-Bahkan kebanyakan yang mengambil posisi ini dari golongan orang-orang awam dan orang-orang yang bodoh. Semisal, dalam hal membaca Al Fatihah saja tidak tepat, apalagi menjawab sebuah pertanyaan si penanya tentang sebuah hukum atau akhlak yang dirasa perlu untuk agama ataupun dunianya. Mereka tidaklah maju ke depan, kecuali dalam rangka mencari penghasilan dari jalannya dan dari pintunya. Secara tidak langsung, -para imam seperti ini- menjauhkan orang-orang yang semestinya layak menempati posisi yang penting ini. Hingga, -sebagaimana yang terjadi di sebagian daerah kaum muslimin- sering kita temui, seorang imam masjid tidak memenuhi kriteria kelayakan dari syarat-syarat menjadi imam. Oleh karenanya, tidaklah aneh, kita melihat ada diantara mereka yang mencukur jenggot, memanjangkan kumis, menjulurkan pakaiannya (sampai ke lantai) dengan sombong, atau memakai emas, merokok, mendengarkan musik, atau bermu’amalah dengan riba, menipu dalam bermua`amalah, memberi saham dalam hal yang haram, atau istrinya bertabarruj, atau membiarkan anak-anaknya tidak shalat, bahkan kadang-kadang sampai kepada perkara yang lebih parah dari apa yang telah kita sebutkan di atas”. [3]
Di bawah ini, akan dijelaskankan tentang siapa yang berhak menjadi imam, dan beberapa adab berkaitan dengannya, sebagaimana point-point berikut ini.
Pertama : Menimbang Diri, Apakah Dirinya Layak Menjadi Imam Untuk Jama’ah, Atau Ada Yang Lebih Afdhal Darinya?
Penilaian ini tentu berdasarkan sudut pandang syari’at. Diantara yang harus menjadi penilaiannya ialah: [4]
1). Jika seseorang sebagai tamu, maka yang berhak menjadi imam ialah tuan rumah, jika tuan rumah layak menjadi imam.
2). Penguasa lebih berhak menjadi imam, atau yang mewakilinya. Maka tidaklah boleh maju menjadi imam, kecuali atas izinnya. Begitu juga orang yang ditunjuk oleh penguasa sebagai imam, yang disebut dengan imam rawatib.
3). Kefasihan dan kealiman dirinya. Maksudnya, jika ada yang lebih fasih dalam membawakan bacaan Al Quran dan lebih ‘alim, sebaiknya dia mendahulukan orang tersebut. Hal ini ditegaskan oleh hadits yang diriwayatkan Abi Mas`ud Al Badri Radhiyallahu 'anhu , dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya" [5]
4). Seseorang tidak dianjurkan menjadi imam, apabila jama’ah tidak menyukainya. Dalam sebuah hadits disebutkan:
"Tiga golongan yang tidak terangkat shalat mereka lebih satu jengkal dari kepala mereka: (Yaitu) seseorang menjadi imam suatu kaum yang membencinya"[6]
Berkata Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang mulia (ahli ilmu, pent), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian, dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya".
Kebanyakan, kebencian yang timbul terkhusus pada zaman sekarang ini -berasal dari permasalahan dunia. Jika ada di sana dalil yang mengkhususkan kebencian, karena kebencian (didasarkan, red.) karena Allah, seperti seseorang membenci orang yang bergelimang maksiat, atau melalaikan kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka kebencian ini bagaikan kibrit ahmar (ungkapan untuk menunjukkan sesuatu yang sangat langka, pen.). Tidak ada hakikatnya, kecuali pada bilangan tertentu dari hamba Allah. (Jika) tidak ada dalil yang mengkhususkan kebencian tersebut, maka yang lebih utama, bagi siapa yang mengetahui, bahwa sekelompok orang membencinya -tanpa sebab atau karena sebab agama- agar tidak menjadi imam untuk mereka, pahala meninggalkannya lebih besar dari pahala melakukannya.[7]
Berkata Ahmad dan Ishaq,“Jika yang membencinya satu, dua atau tiga, maka tidak mengapa ia shalat bersama mereka, hingga dibenci oleh kebanyakan kaum.” [8]
Kedua : Seseorang Yang Menjadi Imam Harus Mengetahui Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat, Dari Bacaan-Bacaan Shalat Yang Shahih, Hukum-Hukum Sujud Sahwi Dan Seterusnya.
Karena seringkali kita mendapatkan seorang imam memiliki bacaan yang salah, sehingga merubah makna ayat, sebagaimana yang pernah penulis dengar dari sebagian imam sedang membawakan surat Al Lumazah, dia mengucapkan”Allazi jaama`a maalaw wa `addadah”, dengan memanjangkan “Ja”, sehingga artinya berubah dari arti ‘mengumpulkan’ harta, menjadi ‘menyetubuhi’nya [9] . Na`uzubillah.
Ketiga : Mentakhfif Shalat.
Yaitu mempersingkat shalat demi menjaga keadaan jama’ah dan untuk memudahkannya. Batasan dalam hal ini, ialah mencukupkan shalat dengan hal-hal yang wajib dan yang sunat-sunat saja, atau hanya mencukupkan hal-hal yang penting dan tidak mengejar semua hal-hal yang dianjurkan[10]. Diantara nash yang menerangkan hal ini, ialah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu:
"Jika salah seorang kalian shalat bersama manusia, maka hendaklah (dia) mentakhfif, karena pada mereka ada yang sakit, lemah dan orang tua. (Akan tetapi), jika dia shalat sendiri, maka berlamalah sekehandaknya" [11]
Akan tetapi perlu diingat, bahwa takhfif merupakan suatu perkara yang relatif. Tidak ada batasannya menurut syari’at atau adat. Bisa saja menurut sebagian orang pelaksanaan shalatnya terasa panjang, sedangkan menurut yang lain terasa pendek, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya, hendaklah bagi imam -dalam hal ini- mencontoh yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa penambahan ataupun pengurangan yang dilakukan beliau n dalam shalat, kembali kepada mashlahat. Semua itu, hendaklah dikembalikan kepada sunnah, bukan pada keinginan imam, dan tidak juga kepada keinginan makmum.[12]

Keempat : Kewajiban Imam Untuk Meluruskan Dan Merapatkan Shaf.

Ketika shaf dilihatnya telah lurus dan rapat, barulah seorang imam bertakbir, sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakannya.
Dari Nu`man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu berkata,”Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskan shaf kami. Seakan-akan beliau meluruskan anak panah. Sampai beliau melihat, bahwa kami telah memenuhi panggilan beliau. Kemudian, suatu hari beliau keluar (untuk shalat). Beliau berdiri, dan ketika hendak bertakbir, nampak seseorang kelihatan dadanya maju dari shaf. Beliaupun berkata:
"Hendaklah kalian luruskan shaf kalian, atau Allah akan memecah-belah persatuan kalian" [13]
Adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu mewakilkan seseorang untuk meluruskan shaf. Beliau tidak akan bertakbir hingga dikabarkan, bahwa shaf telah lurus. Begitu juga Ali dan Utsman c melakukannya juga. Ali sering berkata,”Maju, wahai fulan! Ke belakang, wahai fulan!”[14]
Salah satu kesalahan yang sering terjadi, seorang imam menghadap kiblat dan dia mengucapkan dengan suara lantang,”Rapat dan luruskan shaf,” kemudian dia langsung bertakbir. Kita tidak tahu, apakah imam tersebut tidak tahu arti rapat dan lurus. Atau rapat dan lurus yang dia maksud berbeda dengan rapat dan lurus yang dipahami oleh semua orang?!
Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, “Adalah salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki kawannya.” Dalam satu riwayat disebutkan,“Aku telah melihat salah seorang kami menempelkan bahunya ke bahu kawannya, kakinya dengan kaki temannya. Jika engkau lakukan pada zaman sekarang, niscaya mereka bagaikan keledai liar (tidak suka dengan hal itu, pen).”[15]
Oleh karenanya, Busyair bin Yasar Al Anshari berkata, dari Anas Radhiyallahu 'anhu,“Bahwa ketika beliau datang ke Madinah, dikatakan kepadanya,’Apa yang engkau ingkari pada mereka semenjak engkau mengenal Rasulullah n ?’ Beliau menjawab,’Tidak ada yang aku ingkari dari mereka, kecuali mereka tidak merapatkan shaf’.” [16]
Berkata Syaikh Masyhur bin Hasan-hafizhahullah-,“Jika para jama’ah tidak mengerjakan apa yang dikatakan oleh Anas dan Nu`man Radhiyallahu 'anhu, maka celah-celah tetap ada di shaf. Kenyataanya, jika shaf dirapatkan, tentu shaf dapat diisi oleh dua atau tiga orang lagi. Akan tetapi, jika mereka tidak melakukannya, niscaya mereka akan jatuh ke dalam larangan syari’at. Diantaranya;
1). Membiarkan celah untuk syetan dan Allah Azza wa Jalla putuskan perkaranya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Luruskanlah shaf kalian, dan luruskanlah pundak-pundak kalian, dan tutuplah celah-celah. Jangan biarkan celah-celah tersebut untuk syetan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambung (urusan)nya. Barangsiapa yang memutuskan shaf, niscaya Allah akan memutus (urusan)nya.”[17]
2). Perpecahan hati dan banyaknya perselisihan diantara jama’ah.
3). Hilangnya pahala yang besar, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, diantaranya sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
"Sesungguhnya Allah dan MalaikatNya mendo’akan kepada orang yang menyambung shaf" [18 [19]
Kelima : Meletakkan Orang-Orang Yang Telah Baligh Dan Berilmu.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallm:
"Hendaklah yang mengiringiku orang-orang yang telah baligh dan berakal, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka, dan janganlah kalian berselisih, niscaya berselisih juga hati kalian, dan jauhilah oleh kalian suara riuh seperti di pasar" [20].
Keenam : Menjadikan Sutrah (Pembatas) Ketika Hendak Shalat.
Hadits yang menerangkan hal ini sangat mashur. Diantaranya hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu :
"Janganlah shalat, kecuali dengan menggunakan sutrah (pembatas). Dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu. Jika dia tidak mau, maka laranglah dia, sesungguhnya bersamanya jin." [22]
Sedangkan dalam shalat berjama’ah, maka kewajiban mengambil sutrah ditanggung oleh imam. Hal ini tidak perselisihan di kalangan para ulama.[23]

Nabi telah menerangkan, bahwa lewat di hadapan orang yang shalat merupakan perbuatan dosa. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Jika orang yang lewat di hadapan orang shalat mengetahui apa yang dia peroleh (dari dosa, pen), niscaya (dia) berdiri selama empat puluh, (itu) lebih baik daripada melewati orang yang sedang shalat tersebut.”

Salah seorang rawi hadits bernama Abu Nadhar berkata,“Aku tidak tahu, apakah (yang dimaksud itu, red.) empat puluh hari atau bulan atau tahun.[24]
Ketujuh : Menasihati Jama’ah, Agar Tidak Mendahului Imam Dalam Ruku’ Atau Sujudnya, Karena (Seorang) Imam Dijadikan Untuk Diikuti.
Imam Ahmad berkata,“Imam (adalah) orang yang paling layak dalam menasihati orang-orang yang shalat di belakangnya, dan melarang mereka dari mendahuluinya dalam ruku’ atau sujud. Janganlah mereka ruku’ dan sujud serentak (bersamaan) dengan imam. Akan tetapi, hendaklah memerintahkan mereka agar rukuk dan sujud mereka, bangkit dan turun mereka (dilakukannya) setelah imam. Dan hendaklah dia berbaik dalam mengajar mereka, karena dia bertanggung jawab kepada mereka dan akan diminta pertanggungjawaban besok. Dan seharusnyalah imam meperbaiki shalatnya, menyempurnakan serta memperkokohnya. Dan hendaklah hal itu menjadi perhatiannya, karena, jika dia mendirikan shalat dengan baik, maka dia pun memperoleh ganjaran yang serupa dengan orang yang shalat di belakangnya. Sebaliknya, dia berdosa seperti dosa mereka, jika dia tidak menyempurnakan shalatnya.”[25]
Kedelapan : Dianjurkan bagi imam, ketika dia ruku’ agar memanjangkan sedikit ruku’nya, manakala merasa ada yang masuk, sehingga (yang masuk itu) dapat memperoleh satu raka’at, selagi tidak memberatkan makmum, karena kehormatan orang-orang yang makmum lebih mulia dari kehormatan orang yang masuk tersebut.
Demikianlah sebagian adab-adab imam yang dapat kami sampaikan. Insya Allah, pada mendatang akan kami terangkan adab-adab makmun.
Wallahu `a`lam.
[Sumber: A.Halim Naro/Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

ADAB ADAB MASJID

Bagi kaum muslimin, masjid merupakan tempat mulia yang dijaga dari berbagai hal yang mencemarinya, baik maknawi ataupun lahiri. Masjid, juga memiliki nilai-nilai khusus bagi orang-orang beriman, tempat pengagungan nama-nama Allah, syari'at Allah ditegakkan, tempat berhubungan langsung dengan Sang Pencipta, tempat seorang muslim berniaga dengan Penciptanya, tempat yang harus dijaga dari kotoran dan najis.

Allah berfirman, Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS. An-Nur: 36-37).
Al-Allamah Ibnu Katsir rahimahullah berkata, Ketika Allah memberikan permisalan tentang hari seorang muslim dengan apa yang ada di dalamnya berupa petunjuk dan ilmu dengan pelita-pelita di dalam kaca bening dan dinyalakan dengan minyak yang baik, maka hal itu ibarat pelita yang terang, menyebutkan tempatnya yakni di masjid-masjid yang merupakan tempat di bumi yang paling Allah cintai, yang merupakan rumahNya. Tempat Dia diibadahi dan diesakan di dalamnya. Maka Allah berfirman, Di rumah-rumah (masjid-masjid) yang Allah telah perintahkan agar disebut ... (QS. An-Nur: 36).
Yakni, Allah memerintahkan dengan mengikatkan diri dengan-Nya dan menyucikannya dari najis, permainan yang melalaikan dan ucapan serta perbuatan yang tidak pantas.Sebagaimana dikatakan oleh All bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas tentang ayat ini, "(Sesungguhnya) Allah melarang perbuatan yang melalaikan di dalamnya." Demikian pula dikatakan oleh Ikrimah, Abu Shalih, Adh-Dhahak, Nafi Ibnu Jubari, Abu Bakar Ibnu Abi Hatsmah dan Sufyan Ibnu Husein serta para ulama' tafsir lainnya. Dan Qatadah berkata, Yakni masjid-masjid yang Allah telah perintahkan untuk membangunnya, memakmurkannya dan menyucikannya. (Tafsir Ibnu Katsir 3/390) Demikianlah Allah menjelaskan secara khusus tentang masjid, sebagai tempat yang paling dicintai Allah dibandingkan tempat-tempat lainya di muka bumi. Karena itu, hendaklah seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengetahui adab-adab dan hal-hal berkaitan dengan masjid, hingga kemudian mengamalkannya.
Adab-Adab Masjid
1. Berdo'a ketika keluar rumah menuju ke masjid Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Sa'ad,
Allohummaj ‘alfii qolbii nuuron, wa fii bashorii nuuron, wa fii sam’ii nuuron, wa ‘ayyamiinii nuuron, wa ayyasaarii nuuron, wa fawqii nuuron, wa tahtii nuuron, wa amaamii nuuron, wa kholfii nuuron, wa azhzhomlii nuuron.
“Ya Allah! Jadikanlah dalam hatiku suatu cahaya, dalam pandanganku suatu cahaya, dalam pendengaranku suatu cahaya, dari arah kananku suatu cahaya, dari arah kiriku suatu cahaya, di atasku suatu cahaya, di bawahku suatu cahaya, di depanku suatu cahaya, di belakangku suatu cahaya dan limpahkanlah kepadaku dengan cahaya (H.R.Bukhari- Muslim)
2. Berdo'a ketika memasuki masjid dan mendahulukan kaki kanan
Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam kitab Al-Adzkar, dari Abu Humaid atau Abu Usaid, Rasulullah bersabda, Apabila salah seorang di antara kalian memasuki masjid, maka bershalawatlah kepada Nabi, kemudian katakanlah,
Allohummaftaflii abwaa ba rohmatik
“Ya Allah, bukakanlah untuku pintu-pintu rahamat-Mu” (H.R. Muslim)
Dan apabila keluar, katakanlah,
Allohumma innii as aluka min fadhlik.
”Yaa Allah aku mohon kepada-Mu akan karunia-Mu.” (Riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah serta yang lainnya dengan sanad yang shahih)
Dan dalam riwayat Ibnu Sunni disebutkan, Dengan nama Allah dan shalawat. (Lihat Hishnul Muslim dan Shahihul Kalimut Thayyib, hal. 31)
doa yang agak panjangnya untuk memasuki masjid
A’udzubillahil ‘aliyyil ‘azhiim, wabiwajhihil kariim, wa bisulthoonihil qodhiim, minasy syaythoonirrojiim, Alhamdulillahi robbil ‘aalamiin. Allohumma sholli wa salim ‘alii Muhammad, wa ‘alii alaa Muhammad. Allohummagh firlii dzunuubii waf tahlii abwaaba rohmatik.
“Aku berlindung kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung dan dengan Dzat-Nya yang Maha Mulia dan kekuasaan-Nya yang tidak berpermulaan, dari gangguan syetan yang terlaknat. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Ya Allah, rahmatilah Muhammad dan juga rahmati keluarganya. Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.” (H.R. Abu Daud)
Mendahulukan kaki kanan ketika memasuki masjid, berdasarkan hadits 'Aisyah, Rasulullah menyukai mendahulukan yang kanan dalam bersandal, bersisir, bersuci dan seluruh kegiatannya.(Muttafaqun 'alaih)
3. Mengucapkan salam kepada orang yang berada di dalam masjid Allah berfirman, Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini), hendaklah kamu memberikan salam kepada penghuninya salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberkati lagi baik. (QS. An-Nur: 61)
 
Imam Nawawi dalam kitab Riyadhush Shalihin, bab Cara Salam, membawakan sebuah hadits, Suatu hari, Rasulullah lewat di masjid dan terdapat sekelompok wanita sedang duduk-duduk. Maka, beliau melambaikan tangannya sambil dengan salam. (HR. Tirmidzi dan beliau berkata, "Hadits hasan.")
4. Berdo'a ketika keluar dari masjid dan mendahulukan kaki kiri
Lihat keterangan poin no. 2, dan disebutkan dalam riwayat yang lain ada tambahan, Berdasarkan riwayat Anas, memasuki masjid memulai dengan kaki kanan, dan apabila keluar memulai dengan kaki kiri, termasuk sunnah. (Al-Rith 1/623)
5. Shalat tahiyatul masjid
Dari Abu Qatadah, Rasulullah bersabda, Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua rakaat sebelum duduk.(HR. Muslim)
. Menjauhkaan diri dari bau yang tidak sedap
Dari Jabur, Rasulullah bersabda, Barangsiapa yang memakan bawang putih atau bawang merah dan bawang bakung, maka hendaklah ia menjauhi kami dan masjid kami dan duduk di rumahnya. Beliau diberi satu panci sayuran, lalu mendapati bau yang tidak sedap, beliau (pun) bertanya. Beliau diberitahu tentang sayuran yang ada pada panci tersebut lalu bersabda, "Mendekatlah kalian kepadanya kepada sebagian sahabatnya." Ketika melihatnya dan membenci untuk memakan, beliau bersabda, Makanlah, sesungguhnya aku sedang bermunajat kepada Dzat yang tidak sedang kali munajati.(HR. Muslim)
Dalam riwayat lain,
Barangsiapa memakan bawang putih atau bawang merah dan bawang bakung, maka janganlah dia mendekati masjid kami, sebab para malaikat terganggu oleh apa yang mengganggu bani Adam.
Imam Nawawi berkata dalam syarah (penjelasan hadits)nya, Para ulama berkata, Hadits ini merupakan dalil tentang larangan bagi orang yang memakan bawang putih dan sejenisnya untuk memasuki masjid, walaupun masjid dalam keadaan kosong. Sebab, berdasarkan keumuman hadits, masjid merupakan tempat para malaikat. (Syarah Muslim 4/212)
7. Menjaga kebersihan dan kesucian masjid
Hendaknya masjid dijaga dari segala kotoran dan najis, baik itu rambut ataupun sampah yang berserakan, potongan kuku ataupun ludah dan lain-lain. Disebutkan dalam riwayat berikut ini. Dari Anas bin Malik, Nabi bersabda, Meludah di masjid merupakan satu kesalahan, dan dendanya adalah menimbunnya.(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kitab Riyadhush Shalihin, Imam Nawawi menukil ucapan Abdul Mahasin Ar-Ruyani, yang dimaksud dengan menimbunnya, yaitu mengeluarkannya dari masjid. Tetapi, apabila masjid itu berlantai dan berkapur, kemudian menginjak-injaknya dengan sepatu atau yang lainnya, sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang-orang jahil (tidak mengerti), bukan menimbunnya. Bahkan merupakan kesalahan yang berlipat dan memperbanyak kotoran di dalam masjid. Maka, bagi yang melakukan hal ini, wajib untuk mengelap dengan bajunya, atau tangannya atau selainnya dan (lalu) mencucinya.
Dalam riwayat 'Aisyah, bahwasanya Rasulullah melihat ingus atau ludah atau dahak di tembok kiblat, maka beliau pun mengeriknya. (Muttafaqun 'Alaih)
Dari Anas, Rasulullah bersabda, Sesungguhnya, masjid ini tidaklah patut untuk sesuatu dari kencing dan kotoran, kecuali untuk dzikir kepada Allah, shalat dan membaca Al-Qur'an.(HR. Muslim)
Dalam hadits ini, terdapat petunjuk Nabi, bahwasanya masjid merupakan tempat yang dikhususkan untuk ibadah, seperti shalat, dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur'an dan majelis-majelis ilmu. Dan tidak layak untuk sesuatu yang kotor dan najis, secara lahiriyah ataupun maknawi.
8. Tidak menghunus senjata di dalam masjid
Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari membuat bab, "Menyarungkan Ujung-ujung Panah Apabila Memasuki, Lewat Masjid", kemudian beliau membawakan hadits Jabir, ia (Jabir) berkata, Seseorang lewat memasuki masjid dan bersamanya anak panah, maka Rasulullah bersabda kepadanya, "Sarungkanlah ujungnya." Dan jalur yang lain dalam bab sesudahnya, Barangsiapa melewati masjid-masjid kami, atau pasar-pasar kami dengan membawa tombak, maka hendaklah ia menyarungkan ujung-ujungnya. dengan tangannya hingga tidak melukai seorang muslimpun.
Dari hadits-hadits tersebut, dapat diambil faidah, yakni adanya isyarat dari Nabi mengenai agungnya darah seorang muslim, sedikit maupun banyak. Juga sebagai penegasan tentang kehormatan seorang muslim dan bolehnya membawa senjata ke masjid.
9. Tidak lewat di hadapan orang yang sedang shalat.
Disebutkan dalam riwayat Abu Juhaim, Rasulullah bersabda,Seandainya orang yang lewat di hadapan orang (yang sedang) shalat itu mengetahui dosa yang akan ditanggungnya, maka menunggu selama empat puluh dan hal itu lebih baik baginya daripada lewat di hadapan orang shalat.
Abu Nadhr (perawi hadits) berkata, Saya tidak tahu, apakah beliau mengatakan empat puluh hari, atau empat puluh bulan atau empat puluh tahun. (Riwayat Jama'ah)
10. Tidak menerapkan hukum had dan qishah di masjid Diriwayatkan dari Hakim bin Hazm, Nabi bersabda, Tidak boleh menerapkan hukum had di masjid dan jangan pula qishash. (HR. Ahrnad, Hakim, Daruquthni, dan Baihaqi. Ibnu Hajax dalm kitab At-Talkhis berkata,"Sanadnya tidak mengapa.")
11. Tidak mengeraskan suara di masjid
Dari As-Saib bin Yazid, ia berkata,
Ketika aku sedang berdiri di masjid, tiba-tiba seseorang melempariku dengan kerikil. Akupun menoleh kepadanya, ternyata dia adalah Umar bin Khattab. la berkata, "Pergilah dan datangkan dua orang tersebut." Akupun membawa kedua orang tersebut. Umar bertanya, "Siapa atau darimana kalian?" Keduanya menjawab, "Dari Tha'if." Umar kemudian berkata, "Seandainya kalian adalah penduduk negeri ini, tentu akan membuat kalian pingsan, kalian meninggikan suara di masjid Rasulullah. (Riwayat Al-Bukhari)
12. Tidak mengadakan jual beli di masjid
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah bersabda, Apabila kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah, "Semoga Allah tidak menjadikan untuk dalam perdaganganmu." (Riwayat At-Tirmidzi, Ad-Darimi dan Al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Syarh Riyadhush Shalihin) Kedua hadits ini mengandung larang melakukan perdagangan dunia di masjid, sebab masjid merupakan tempat perdagangan akhirat antara makhluk dan khaliqnya.
13. Tidak mencari atau mengumumkan barang yang hilang
Abu Hurairah meriwayatkan, bahwasanya Nabi bersabda, Barangsiapa mendengar seseorang mencari kehilangan di dalam masjid, maka katakanlah, "Allah tidak mengembalikannya kepadamu, sebab masjid tidak dibangun untuk ini." (Riwayat Muslim)
Yakni, tidaklah masjid dibangun untuk urusan dunia. Tetapi dibangunnya masjid ialah untuk berdzikir, membaca Al-Qur'an, shalat, majelis ilmu dan untuk kemaslahatan kaum muslimin di dunia dan akhirat, tidak untuk kepentingan pribadi atau golongan. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim Al-Hilali)
14. Tidak memasukkan atau membawa gambar atau buku-buku yang bergambar ke dalam masjid.
Masjid merupakan tempat mulia dan memiliki kehormatan. Tidaklah layak memasukkan masjid sesuatu yang haram ke dalam masjid, karena malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan juga gambar,
Dari Ibnu Umar, ia berkata,Jibril berjanji kepada Rasulullah untuk menemuinya, dan terlambat hingga hal ini terasa berat bagi Rasulullah. Kemudian beliau keluar dan menemui Jibril dan mengadu padanya. Maka dia berkata, Sesungguhnya kami tidak memasuki rumah yang padanya terdapat anjing dan gambar. (Riwayat Al-Bukhari)
Syaikh Abdul Aziz Ibnu Salman berkata, di dalam Al-Manahilul Hisan, Dan yang perlu dicermati dan diwaspadai serta dijauhi dari masjid-masjid adalah buku-buku yang terdapat gambar-gambar yang bernyawa seperti huruf-huruf hijaiyah untuk anak SD kelas 1, buku muthala'ah, dan buku-buku ilmu pengetahuan umum, sebab kebanyakan para pengajar datang ke masjid dengan membawa buku-buku tersebut untuk mengulang pelajaran dan apabila selesai ia meletakkannya di masjid. [Kemudian beliau membawakan hadits di atas. Demikian pula dengan pakaian yang bergambar, baik untuk orang dewasa maupun anak-anak. (Lihat lebih lengkap tentang Fatawa ibnu Utsaimin di dalam masalah Aqidah dan juga Fiqih)
15. Ikhtilat (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram pada suatu tempat) di dalam masjid
Hal ini dilarang, dan tidak hanya di masjid, tetapi juga di tempat manapun. Karena, nash yang melarang tentang ikhtilat bersifat umum. Dari Uqbah ibnu Amir, Rasulullah bersabda, Hati-hatilah kalian dalam bergaul dengan wanita. Seseorang Anshar berkata, "Ya Rasulullah, bagaimana dengan ipar?" Beliau bersabda, "Ipar adalah maut." (Muttafaqun 'alaih)
Demikian pula dengan khalwat [bersunyi-sunyi] antara laki-laki dan perempuan.
Rasulullah bersabda, Janganlah seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita, sebab (yang) ketiganya adalah syetan. (Riwayat Imam Ahmad dari Umar ibnu Khattab)
16. Tidak memakai wewangian khusus bagi wanita
Dari Zainab, isteri dari Abdullah ibnu Mas'ud, ia berkata, Rasulullah bersabda kepada kami, Jika salah seorang di antara kalian shalat di masjid, maka janganlah menyentuh wewangian. (Riwayat Muslim)
17. Tidak memakai pakaian yang dapat mengganggu kekhusyu'an shalat orang lain
Dari Anas bin Malik, Adalah kain baju milik Aisyah dijadikan sebagai gordin sisi rumahnya. Maka Nabi pun bersabda kepadanya, Jauhkanlah gordin (beraneka warna) ini dari (sisi) kami, sebab gambar-gambarnya senantiasa nampak dalam shalatku. (Riwayat Al-Bukhari)
18. Tidak membaca syair-syair di dalam masjid
Dari Amr ibnu Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Bahwasanya Rasulullah melarang jual beli di masjid dan mencari sesuatu yang hilang atau membacakan syair. (Riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah dengan isnadnya hasan)
Lihat Syarah Riyadhush Shalihin
Syaikh Salim Al-Hilali berkata dalam syarahnya,"Boleh membacakan syair di masjid apabila terdapat maslahat bagi kaum muslimin atau anjuran untuk memerangi musuh atau mengejek kaum musyrikin, sebagaimana Rasulullah memerintahkan Hisam bin Tsabit untuk mengejek orang-orang kafir." (Syarh Riyadhush Shalihin 3/194)
19. Tidak membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, baik dalam masalah agama ataupun dunia
Berdasarkan hadits dari As-Saib ibnu Yazid dalam Shahih Bukhari (Lihat poin no. 10. 31Al-Path 1/668). Ibnu Hajar dalam syarahnya berkata, Bab "Meninggikan suara di dalam masjid" Penulis (yakni Imam Bukhari -red. vbaitullah) dengan judul ini mengisyaratkan adanya khilaf tentang masalah ini. Imam Malik membencinya secara mutlak, baik tentang ilmu, ataupun selainnya.Sedangkan yang lain membedakan antara sesuatu yang berkaitan dengan tujuan agama atau manfaat dunia, dengan sesuatu yang tidak ada faidahnya sama sekali. Al-Bukhari menunjukkan, tidak dilarang sebagai isyarat bahwasanya larangan (tersebut) berlaku untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya, dan tidak dilarang untuk sesuatu yang bersifat darurat. (Al-Fath 1/668)
Dan termasuk di dalamnya adalah bersenda gurau maupun ucapan dan perbuatan yang mengarah kepada perbuatan-perbuatan dosa, seperti ghibah, namimah, dan lainnya.
Hal-Hal Yang Boleh Dilakukan Di Dalam Masjid
Masjid, selain memiliki kekhususan untuk beribadah kepada Allah, seperti shalat, dzikir, membaca Al-Qur'an dan i'tikaf dan lainnya, juga dibolehkan untuk melakukan hal-hal lain sebatas yang telah dijelaskan oleh Pembuat syari'at. Diantaranya,
1. Mengadakan majelis Ilmu
Berdasarkan hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri dari Muawiyah di dalam Shahih Muslim disebutkan,
Sesungguhnya Rasulullah keluar menuju halaqah dari para sahabat. Maka, beliaupun bersabda, " Apa yang menyebabkan kalian duduk-duduk di sini?" Mereka menjawab, "Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah, memujiNya, atas hidayahNya kepada kami kepada Islam dan karuniaNya kepada kami."

Beliau bersabda, "Demi Allah, tidakkah kalian duduk-duduk karena hal tersebut?" Mereka berkata, "Demi Allah, tidaklah kami bermajelis kecuali untuk hal tersebut." Beliau bersabda, Sesungguhnya, aku tidaklah menyuruh kalian untuk bersumpah yang merupakan keburukan dari kalian. Namun, Jibril datang kepadaku mengabarkan, bahwasanya Allah menyanjung kalian di hadapan para malaikat.
2. Tidur di dalam masjid
Imam Al-Bukhari di dalam Shahihnya membawakan, "Bab: Tidurnya Lelaki Di Dalam Masjid" dan membawakan beberapa hadits. Di antaranya hadits yang diriwayatkan dari Sahl Ibnu Sa'd, ia berkata,
Rasulullah mengunjungi rumah Fatimah dan tidak mendapatkan Ali di dalamnya. Maka beliau bertanya, "Kemana anak pamanmu?" Dia (Fatimah) nenjawab, "Antara aku dan dia ada sesuatu. Dia memarahiku, kemudian keluar dan tidak tidur siang bersamaku."Maka Rasulullah pun bersabda kepada seseorang, "Carilah ia!" Maka orang tersebut datang dan berkata, "Wahai Rasulullah, dia sedang tidur di masjid." Maka Rasulullah pun datang, sedangkan dia dalam keadaan berba-ring. Selendangnya jatuh dari pundaknya, dan dia terkena tanah. Maka mulailah Rasulullah mengusapi tanah tersebut darinya dan berkata, "Bangunlah Abu Turab, bangunlah Abu Turab. " (Riwayat Bukhari)
3. Latihan ketangkasan di dalam masjid
Hal ini sebagaimana diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya dari 'Ai-syah, ia berkata, Aku melihat Rasulullah, suatu hari berdiri di pintu kamarku. Dan pada saat itu, para budak sedang bermain di dalam masjid dan Rasulullah menghalangiku dengan selendangnya. Aku melihat permainan mereka. Dan di dalam riwayat lain, Aku melihat Nabi, sementara para budak dari Habsy sedang bermain dengan tombak mereka
4. Pengobatan darurat bagi yang sakit
Pada perang Khandaq, Sa'ad ibnu Muadz terluka tangannya, maka Nabi memasang tenda di masjid agar beliau dapat menjenguknya dari dekat. Dan tidak ada yang membuat mereka (penghuni tenda Bani Ghifar) terkejut di dalam masjid terdapat juga tenda Bani Ghifar kecuali darah yang mengalir ke arah mereka. Mereka berkata, "Wahai penghuni tenda, apakah yang mengalir ke arah kami dari arah kalian?" Ternyata luka Sa'ad mengalirkan darah sehingga ia pun meninggal dalam tenda itu.
Demikianlah beberapa hal yang dapat di rangkum berkaitan dengan adab-adab di dalam masjid. Semoga bermanfaat dan semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk mengamalkannya. Amiin.



Diberdayakan oleh Blogger.