Sujud Syukur Dan Sujud Tilawah


Penulis: Ust. Zuhair bin Syarif [Majalah SALAFY/Edisi XXIV/1418/1998/AHKAM]
Untuk melengkapi pembahasan masalah sujud sahwi pada edisi sebelum ini, kali ini kami akan menerangkan tentang sujud tilawah dan sujud syukur. Hal ini agar tidak terkesan dalam benak kita bahwa sujud yang disyariatkan selain sujud yang biasa dalam shalat hanya sujud sahwi saja.
a. Sujud Tilawah
Sujud tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :
Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan menangis lalu berkata : ‘Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku mengabaikannya, maka neraka bagiku.’ “ (Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi)
Dengan hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta’ala dan sesuai dengan contoh Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu 'anha :
Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut tertolak. (HR. Muslim)
Kemudian dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus … .(Al Bayyinah : 5)
Sedangkan kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Jika engkau berlaku syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu. (Az Zumar : 65)
Definisi Sujud Tilawah
Secara bahasa tilawah berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, sujud tilawah artinya sujud yang dilakukan tatkala membaca ayat sajdah di dalam atau di luar shalat.
Disyariatkannya Sujud Tilawah Dan Hukumnya
Sujud tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi dengan kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi.
Di antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah :
1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, beliau berkata :
Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada surat (idzas sama’un syaqqat) dan (iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 1407, Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan Nasa’i dalam Sunan-nya juga 2/161)
2. Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu 'anhu bersabda :
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud pada surat An Najm. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)
Dari hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya sujud tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Umar radhiallahu 'anhu pernah membaca surat An Nahl pada hari Jum’at. Tatkala sampai kepada ayat sajdah, beliau turun seraya sujud dan sujudlah para manusia.
Pada hari Jum’at setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai pada ayat sajdah tersebut, beliau berkata :
Wahai manusia, sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud. Barangsiapa yang sujud maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa. [ Pada lafadh lain : “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan sujud tilawah, melainkan jika kita mau.” ] (HR. Bukhari)
Perbuatan Umar radhiallahu 'anhu di atas dilakukan di hadapan para shahabat dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan ijma’ para shahabat bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam dan Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menyatakan : “Tidak ada nash yang mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al Qur’an, hadits, ijma’, maupun qiyas … .” (Taudlihul Ahkam, halaman 167)
Pendapat lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan oleh Madzhab Hanbali. Mereka berdalil dengan surat Al Insyiqaq :
Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak sujud. (Al Insyiqaq : 20-21)
Dengan adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman ketika dibacakan ayat Al Qur’an tidak mau bersujud. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat yang rajih (kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah diterangkan di depan. Wallahu A’lam.
Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :
Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca surat An Najm. (HR. Bukhari)
Pada hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :
Saya pernah membacakan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam surat An Najm, tetapi beliau tidak bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak wajib hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kadang-kadang bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak sujud. Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca --dalam hal ini Zaid bin Tsabit-- tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.
Hal ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiallahu 'anhu tidak bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama beliau radhiallahu 'anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.
Tempat-Tempat Disyariatkannya Sujud Tilawah
Ada beberapa pendapat mengenai tempat dalam Al Qur’an yang mengandung ayat-ayat sajdah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Shan’ani dalam Subulus Salam juz 1, halaman 402-403 :
1. Pendapat Madzhab Syafi’i
Sujud tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap adanya sujud tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu surat Qaaf sampai An Nas, ada juga yang berpendapat surat Al Hujurat sampai An Nas).
2. Pendapat Madzhab Hanafi
Sujud tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung pada surat Al Hajj, kecuali hanya satu sujud.

3. Pendapat Madzhab Hanbali
Sujud tilawah terdapat pada lima belas tempat. Mereka menghitung dua sujud pada surat Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.
Pendapat pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak sujud pada surat-surat mufashal sejak berpindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud, 1403)
Ibnu Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini : “Hadits ini dlaif, pada sanadnya terdapat Abu Qudamah Al Harits bin ‘Ubaid. Haditsnya tidak dipakai.” Imam Ahmad berkata : “Abu Qudamah haditsnya goncang.” Yahya bin Ma’in berkata : “Dia dlaif.” An Nasa’i berkata : “Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits mungkar.” Abu Hatim berkata : “Dia syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya (keraguannya).”
Ibnul Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata : “Muhammad bin Abdurrahman menyerupainya dalam kejelekan hapalannya dan aib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan haditsnya.”
Padahal telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu bahwasanya beliau sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika membaca surat iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya termasuk surat-surat mufashal).
Beliau masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau tujuh tahun. Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah. Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi Ibnu Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati keshahihannya, sedangkan hadits Ibnu Abbas dlaif. Wallahu A’lam. (Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 273)
Pendapat pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : “Aku sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebelas sujud yaitu, Al A’raaf, Ar Ra’d, An Nahl, Bani Israil, Al Hajj, Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Shad, dan Ha Mim As Sajdah. Tidak ada padanya surat-surat mufashal.”
Abu Dawud berkata : “Riwayat Abu Darda dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang sebelas sujud ini sanadnya dlaif. Hadits ini tidak ada pada riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai.”
Pendapat kedua terbantah dengan hadits ‘Amr bin ‘Ash : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membacakan kepadanya lima belas (ayat) sajdah. Tiga di antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan dua pada surat Al Hajj.” (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)
Hadits ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan bahwa sujud tilawah ada lima belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam mengomentari hadits ini, Syaikh Al Albani berkata : “Kesimpulannya, hadits ini sanadnya dlaif. Umat telah menyaksikan kesepakatannya.
Namun, meskipun hadits ini dlaif, tapi didukung oleh kesepakatan umat untuk beramal dengannya. Juga hadits-hadits shahih mendukungnya, hanya saja, sujud yang kedua pada surat Al Hajj tidak didapat pada hadits dan tidak didukung oleh kesepakatan. Akan tetapi shahabat bersujud ketika membaca surat ini. Dan hal ini termasuk hal yang dianggap masyru’, lebih-lebih tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihinya. Wallahu A’lam.” (Tamamul Minnah, halaman 270)
Adapun kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :
1. Al A’raf ayat 206.
2. Ar Ra’d ayat 15.
3. An Nahl ayat 50.
4. Maryam ayat 58.
5. Al Isra’ ayat 109.
6. Al Hajj ayat 18.
7. Al Hajj ayat 77.
8. Al Furqan ayat 60.
9. An Naml ayat 26.
10. As Sajdah ayat 15.
11. Shad ayat 24.
12. An Najm ayat 62.
13. Fushilat ayat 38.
14. Al Insyiqaq ayat 21.
15. Al ‘Alaq ayat 19.
Tata Cara Sujud Tilawah
Tata cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara hadits yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma di atas. Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata : “Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma pernah turun dari kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai kendaraannya. Ketika membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudlu.” Demikian penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.
Beliau menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits dari Nafi dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : “Janganlah seseorang sujud kecuali dalam keadaan suci.” Maka cara menggabungkannya adalah bahwa yang dimaksud dengan ucapannya suci adalah suci kubra (Muslim, tidak kafir) … . Ucapan ini dikuatkan dengan hadits : “Seorang musyrik itu najis.”
Ketika mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin bersama kaum musyrikin padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki wudlu) yang dibuat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata : “Pada dasarnya semua kaum Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat sajdah) dalam keadaan wudlu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang bersegera untuk sujud karena takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudlu ketika ada halangan atau gangguan wudlu.
Hal ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin, musyrikin, dari golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud bagi semuanya, padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudlunya. Dari sini diketahui bahwa sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang berwudlu maupun yang tidak. Wallahu A’lam.”
Jadi, kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudlu maupun yang tidak.
Termasuk dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf mengenai hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam.
Adapun yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan dalam shalat. Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud tilawah diluar shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq : “Apabila seseorang membaca ayat sajdah diluar shalat, hendaklah mengucapkan takbir.”
Beliau (Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar yang dikatakan Syaikh Al Albani bahwa : “Sanadnya shahih.”
Adapun ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini diungkapkan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 272. Wallahu A’lam.
Dari kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak melakukan sujud tilawah :

1. Tidak diharuskan berwudlu.
2. Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.
3. Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para fuqaha.
Tentang masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani yang berbunyi : “Dari Abu Abdirrahman As Sulami berkata bahwa Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah kemudian beliau sujud tanpa berwudlu dan tanpa menghadap kiblat dan beliau dalam keadaan mengisyaratkan suatu isyarat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lihat Fathul Bari juz 2 halaman 645)
Namun, untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur fuqaha, sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.
4. Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.
5. Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang membaca sujud dan tidak bila tidak.
6. Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring) seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah munqathi’ (terputus sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.
7. Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah :
Wajahku sujud kepada Penciptanya dan Yang membukakan pendengaran dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. (HR. Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasa’i 1128, dan Al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)
Tidak ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh Al Albani.
b. Sujud Syukur
Sujud syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari nikmat yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali Bassam dalam Taudlihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.
Hukum Sujud Syukur
Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya. Di antara hadits-hadits yang digunakan adalah :
a. Hadits dari Abi Bakrah :
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam apabila datang kepadanya berita yang menggembirakannya, beliau tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 7/20477, Abu Dawud 2774, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al Iqamah, Abdul Qadir Irfan menyatakan bahwa sanadnya shahih. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani)
b. Hadits :
Bahwasanya Ali radhiallahu 'anhu menulis (mengirim surat) kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan tentang masuk Islamnya Hamdan. Ketika membacanya, beliau tersungkur sujud kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata : “Keselamatan atas Hamdan, keselamatan atas Hamdan.” (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam Al Maghazi 4349. Lihat Al Irwa’ 2/226)
c. Hadits Anas bin Malik :

Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau sujud syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini terdapat Ibnu Lahi’ah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata : “Sanad ini tidak ada masalah karena ada syawahidnya.”
d. Hadits Abdurrahman bin Auf :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam datang kepadaku dan memberi kabar gembira seraya berkata : “Sesungguhnya Rabbmu berkata kepadamu, ‘barangsiapa membaca shalawat kepadamu, Aku akan memberi shalawat kepadanya. Dan barangsiapa memberi salam kepadamu, Aku akan memberi salam kepadanya.’ “ Maka aku sujud kepada-Nya karena rasa syukur. (HR. Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)
Hadits-hadits di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim Al Hilali sebagai berikut : “Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang berakal untuk menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-hadits ini. Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu 'anhum.
Di antara atsar-atsar para shahabat adalah :
1. Sujud Ali radhiallahu 'anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.
2. Sujud Ka’ab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim 8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460, 6/378-390.
Menanggapi atsar-atsar ini Syaikh Salim berkata : “Oleh karena itu, seorang yang bijaksana tidak meragukan lagi untuk menyatakan disyariatkannya sujud syukur.
Barangsiapa menyangka bahwa sujud syukur merupakan perkara bid’ah, maka janganlah menengok kepadanya setelah peringatan ini.” (Lihat Bahjatun Nadhirin, jilid 2 halaman 325)
Bagaimana syarat-syarat dilaksanakannya sujud syukur?
Imam Shan’ani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud syukur di atas : “Tidak ada pada hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya syarat wudlu dan sucinya pakaian dan tempat.”
Imam Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul ‘Abbas, Al Muayyid Billah, An Nakha’i, dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa syarat sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.
Imam Yahya mengatakan pula : “Tidak ada sujud syukur dalam shalat walaupun satu pendapat pun.”
Abu Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul Authar, juz 3 halaman 106)
Imam Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudlu, suci pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat. Wallahu A’lam.
Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Disyariatkannya sujud tilawah dalam shalat dan diluar shalat. Jika diluar shalat, bagi yang mendengar ayat sajdah sujud jika yang membacanya sujud. Sedangkan sujud syukur hanya dilakukan diluar shalat.
2. Hukum sujud tilawah dan sujud syukur adalah sunnah.
3. Sujud tilawah ada pada 15 tempat. Sedangkan sujud syukur dilakukan pada waktu mendapatkan kabar gembira yang besar. Bukan hanya pada setiap mendapatkan kenikmatan saja, karena nikmat Allah itu selalu diberi kepada kita. Juga dilakukan ketika terlepas dari mara bahaya.
4. Sujud tilawah dan sujud syukur boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.

5. Pada sujud tilawah disunnahkan takbir di dalam atau di luar shalat, sedangkan sujud syukur tidak.
6. Pada sujud tilawah dan sujud syukur tidak disyaratkan berwudlu terlebih dahulu.
Wallahu A’lam. (Sumber [Majalah SALAFY/Edisi XXIV/1418/1998/AHKAM])

Bacaan Dalam Shalat Maghrib & Isya


Dari Jubair bin Muth’im -radhiallahu anhu- berkata:
“Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam membaca surat Ath-Thur dalam shalat Maghrib.” (HR. Al-Bukhari no. 765 dan Muslim no. 463)
Dari Jabir -radhiallahu anhu- dia berkata:
“Biasanya Muadz shalat bersama Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, kemudian dia datang, lalu mengimami kaumnya. Maka pada suatu malam, dia melakukan shalat Isya’ bersama Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, kemudian setelah itu dia mendatangi kaumnya, lalu mengimami mereka. Dalam shalatnya dia membaca surat Al-Baqarah, maka seorang laki-laki keluar dari shalatnya, kemudian shalat sendirian, lalu pergi. Maka mereka berkata kepadanya, “Apakah kamu berlaku munafik wahai fulan?” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah, aku akan mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, lalu aku akan mengabarkan kepada beliau (perbuatan Muadz ini).” Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam seraya berkata, “’Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami para pekerja penyiram (tanaman) bekerja pada siang hari (sehingga kecapekan), dan sesungguhnya Mu’adz shalat Isya’ bersamamu, kemudian dia datang mengimami kami dengan membaca surah Al-Baqarah.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam menghadap Mu’adz seraya bersabda, “Wahai Mu’adz, apakah kamu tukang fitnah (yang membuat orang lari dari agama, pent.). Bacalah dengan surat ini dan bacalah dengan ini.” (HR. Al-Bukhari no. 664 dan Muslim no. 465)
Dalam riwayat Al-Bukhari:
“Mengapa kamu tidak membaca saja surat ‘Sabbihisma rabbika’, atau dengan ‘Wasysyamsi wa dluhaahaa’ atau ‘Wallaili idzaa yaghsyaa’?” Karena yang ikut shalat di belakangmu mungkin ada orang yang lanjut usia, orang yang lemah, atau orang yang punya keperluan.”
Al-Bara’ bin Azib -radhiallahu anhu- berkata:
“Saya pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat shalat Isya membaca ‘WATTIINI WAZZAITUUN (surah At-Tiin) ‘. Dan belum pernah kudengar seorang pun yang lebih indah suaranya, atau bacaannya daripada beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 766 dan Muslim no. 464)
Penjelasan ringkas:
Bacaan surah Nabi -alaihishshalatu wassalam- di dalam shalatnya berbeda-beda antara satu shalat dengan shalat yang lainnya. Terkadang dalam shalat maghrib beliau membaca surah yang pendek dari surah-surah mufashshal dan terkadang beliau membaca surah mufashshal yang panjang, seperti surah Ath-Thur. Surah-surah mufashshal adalah mulai dari surah Qaf sampai An-Naas, dengan perinciang sebagai berikut: Surah Qaf sampai An-Naba` adalah thiwal al-mufashshal (surah mufashshal yang panjang), surah An-Naba` sampai Adh-Dhuha adalah awasith al-mufashshal (surah mufashshal yang pertengahan), dan surah Adh-Dhuha sampai akhir adalah qishar al-mufashshal (surah mufashshal yang pendek).
Adapun dalam shalat isya, maka beliau telah memerintahkan Muadz untuk membaca surah Al-A’la atau Adh-Dhuha atau Al-Lail, sementara beliau sendiri membaca surah At-Tiin.
Pelajaran lain dari hadits-hadits di atas:
a.    Surah maghrib, isya termasuk shalat jahriyah. Karenanya para sahabat mengetahui surah yang Nabi -alaihishshalatu wassalam- baca.
b.    Suatu masjid yang punya imam ratib tidak mengerjakan shalat berjamaah kecuali setelah imam ratib datang.
c.    Semangat para sahabat untuk shalat di belakang Nabi -alaihishshalatu wassalam-.
d.    Seorang imam ratib harus shalat lagi mengimami makmumnya walaupun dia telah shalat sebelumnya.
e.    Orang yang sudah shalat wajib lalu masuk ke sebuah masjid yang tengah didirikan shalat wajib yang sama, maka hendaknya dia ikut shalat bersama mereka, dan shalat wajibnya untuk kedua kalinya ini dihukumi sebagai shalat sunnah.
f.    Bolehnya orang yang shalat sunnah mengimami orang yang shalat wajib.
g.    Bolehnya imam berbeda niatnya dengan makmum.
h.    Bolehnya memisahkan diri dari jamaah shalat lalu shalat sendiri jika ada uzur syar’i yang membolehkan. Bahkan terkadang wajib bagi dia untuk keluar dari jamaah shalat, misalnya jika dia berhadats.
i.    Harusnya mengklarifikasi sebuah perbuatan kepada pelakunya sebelum menjatuhkan hukum kepadanya, apalagi kalau hukumnya berupa pengkafiran atau menghukumi seorang itu munafik.
j.    Bolehnya makmum mengadukan imam masjid kepada penguasa jika imamnya melakukan kesalahan dalam shalat.
k.    Orang yang melakukan suatu amalan yang lahiriahnya jelek, hendaknya dia menyebutkan uzurnya ketika melaksanakan amalan tersebut. Agar dia tidak mendapatkan tuduhan dan celaan yang tidak pantas dia terima.
l.    Dalam meluruskan kekeliruan hendaknya tidak pandang bulu, walaupun yang melakukan kekeliruan itu adalah seorang yang berilmu atau orang yang dekat dengan dirinya.
m.    Ancaman yang keras bagi orang/dai yang membuat manusia lari dari dakwah ahlussunnah, baik akibat kesalahan mereka dalam menerapkan manhaj  ataukah karena memang sifatnya yang keras dan kurang merahmati orang awam. Dia dinyatakan oleh Nabi -alaihishshalatu wassalam- sebagai tukan fitnah, yakni yang membuat kerusakan.
n.    Bolehnya mentahdzir tanpa menasehati terlebih dahulu.
o.    Di antara sikap dari: Berlemah lembut dan penuh kompromi kepada orang awam, selama tidak mengantarkan kepada perbuatan melanggar agama.
p.    Harusnya dibedakan antara kesalahan manhaj dan metode dengan kesalahan penerapan. Kesalahan manhaj bisa mengeluarkan seseorang dari ahlussunnah, tapi tidak demikian dengan kesalahan penerapan.
q.    Di antara sifat syariat Islam adalah: Tatkala dia melarang dari sesuatu karena suatu sebab maka dia akan menganjurkan sesuatu yang mirip dengan itu tapi tidak melanggar sunnah.
r.    Yang menjadi patokan dalam ibadah adalah kualitas (ikhlas dan mutaba’ah), bukan kuantitas. Karenanya tidak selamanya orang yang bacaannya panjang itu lebih besar pahalanya daripada yang bacaannya pendek, bisa saja sebaliknya.
s.    Hendaknya imam memperhatikan maslahat dan keadaan makmum dalam hal panjangnya bacaan, lamanya ruku’ dan sujud, dan seterusnya. Dan bukan hanya memandang dirinya, apakah dia sanggup mengerjakannya ataukah tidak.
t.    Disunnahkan untuk memperindah suara dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur`an, selama masih dalam koridor kaidah-kaidah tajwid.
Wallahu Ta’ala A’lam, wafauqa kulli dzi ilmin alim.

Pembahasan Lengkap Shalat Sunnah Rawatib

Tanya:
Assalaamualaykum warohmatullahi wabarokatuh. Saya baru belajar mendalami agama Allah yg sebenarnya, yg mengikut al-Qur’an dan hadist dan sunnah para sahabat dan imam. Ada yg ingin saya tanyakan? Masalah shalat sunnah dalam menjalankan shalat lima waktu. Ada yg boleh dikerjakan dan tidak. Maksudnya shalat sunnah yang boleh dikerjakan waktu mengerjakan shalat wajib lima waktu: Yg mana boleh di kerjakan dan mana yang tidak?
Tolong diberi penjelasannya …
Fauzan <fauzan@gmail.com>
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Mungkin yang anda maksud adalah shalat sunnah rawatib (yang berada sebelum dan setelah shalat wajib). Ada tiga hadits yang menjelaskan jumlah shalat sunnah rawatib beserta letak-letaknya:
1. Dari Ummu Habibah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)
Dan dalam riwayat At-Tirmizi dan An-Nasai, ditafsirkan ke-12 rakaat tersebut. Beliau bersabda:
“Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmizi no. 379 dan An-Nasai no. 1772 dari Aisyah)
2. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu dia berkata:
“Aku menghafal sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa shalat sunnat sepuluh raka’at yaitu; dua raka’at sebelum shalat zuhur, dua raka’at sesudahnya, dua raka’at sesudah shalat maghrib di rumah beliau, dua raka’at sesudah shalat isya’ di rumah beliau, dan dua raka’at sebelum shalat subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 937, 1165, 1173, 1180 dan Muslim no. 729)
Dalam sebuah riwayat keduanya, “Dua rakaat setelah jumat.”
Dalam riwayat Muslim, “Adapun pada shalat maghrib, isya, dan jum’at, maka Nabi r mengerjakan shalat sunnahnya di rumah.”
3. Dari Ibnu Umar dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerjakan shalat (sunnah) empat raka’at sebelum Ashar.” (HR. Abu Daud no. 1271 dan At-Tirmizi no. 430)
Maka dari sini kita bisa mengetahui bahwa shalat sunnah rawatib adalah:
a. 2 rakaat sebelum subuh, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
b. 2 rakaat sebelum zuhur, dan bisa juga 4 rakaat.
c. 2 rakaat setelah zuhur
d. 4 rakaat sebelum ashar
e. 2 rakaat setelah jumat.
f. 2 rakaat setelah maghrib, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
g. 2 rakaat setelah isya, dan sunnahnya dikerjakan di rumah.
Lalu apa hukum shalat sunnah setelah subuh, sebelum jumat, setelah ashar, sebelum maghrib, dan sebelum isya?
Jawab:
Adapun dua rakaat sebelum maghrib dan sebelum isya, maka dia tetap disunnahkan dengan dalil umum:
Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Di antara setiap dua adzan (azan dan iqamah) itu ada shalat (sunnah).” Beliau mengulanginya hingga tiga kali. Dan pada kali yang ketiga beliau bersabda, “Bagi siapa saja yang mau mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 588 dan Muslim no. 1384)
Adapun setelah subuh dan ashar, maka tidak ada shalat sunnah rawatib saat itu. Bahkan terlarang untuk shalat sunnah mutlak pada waktu itu, karena kedua waktu itu termasuk dari lima waktu terlarang.
Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata:
“Orang-orang yang diridlai mempersaksikan kepadaku dan di antara mereka yang paling aku ridhai adalah ‘Umar, (mereka semua mengatakan) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang shalat setelah Shubuh hingga matahari terbit, dan setelah ‘Ashar sampai matahari terbenam.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no. 1367)
Adapun shalat sunnah sebelum jumat, maka pendapat yang rajih adalah tidak disunnahkan. Insya Allah mengenai tidak disyariatkannya shalat sunnah sebelum jumat akan datang pembahasannya tersendiri, wallahu Ta’ala a’lam.
[PustakaSunnah.Wordpress.Com]
sumber : al-atsariyyah.com

Ceramah · Abdullah Shaleh Hadrami · Hadits Arbain No 3

 Slahkan klik dibawah ini untuk mendengarkan atau mendownload

Ceramah · Abdullah Shaleh Hadrami · Hadits Arbain No 3

Ceramah · Abdullah Shaleh Hadrami · Pembahasan Kitab Zaadul Ma'aad

Ceramah dari Ustadz Abdullah Shaleh Hadrami ini membahas Kitab Zaadul Ma'aad karangan Ibnu Qoyim al Jauizah. Pada ceramah ini akan dibahas mengenai: Bersuci dan wudhu, Sifat Shalat Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam, Dzikir Ba'da Shalat Fardhu, Shalat-shalat Sunnah Nabi.
Untuk mendengarkan atau mendownload silahkan klik dbawah ini.

Ceramah · Abdullah Shaleh Hadrami · Pembahasan Kitab Zaadul Ma'aad

Awal Ramadhan 1432 H, Senin 1 Agustus 2011

Alhamdulillah akhirnya Ramadhan yang  kita nanti-nantikan telah datang. Insya Allah kita akan mengawali shaum pada hari Senin tanggal 1 Agustus 2011.
Berikut adalah keputusan dari Kementrian Agama Republik Indonesia: 
Jakarta (Pinmas)--Pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan awal puasa Ramadhan 1432 H jatuh pada hari Senin, 1 Agustus 2011. Keputusan tersebut menyusul sidang itsbat yang berlangsung Minggu sore (31/7) di Operation Room Kementerian Agama, Jakarta.
Sidang penetapan awal Ramadhan yang dipimpin Menteri Agama Suryadharma Ali di dihadiri Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin, Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Wahyu Widiana, Sekjen Kemenag Bahrul Hayat, Dirjen Bimas Islam Nasaruddin Umar, pimpinan ormas-ormas Islam, duta besar negara sahabat, dan anggota Badan Hisab dan Rukyat Kemenag.
"Setelah mencermati laporan Badan Hisab Rukyat, pertimbangan para ulama, kita semua sepakat 1 Ramadhan 1432 hijriyah jatuh pada hari Senin, 1 Agustus 2011," kata Menteri Agama Suryadharma Ali seraya mengetok palu. Penetapan awal Ramadhan 1432 H juga dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Agama No 125 Tahun 2011 yang ditandatangani 31 Juli 2011.
Ketua Badan Hisab dan Rukyat, Ahmad Jauhari saat menyampaikan hasil pemantauan di seluruh Indonesia, menyebutkan bahwa perhitungan data hisab yang dihimpun oleh Direktorat Jendral Bimas Islam di beberapa titik pemantauan di seluruh Indonesia menyatakan bahwa ijtima akhir Syaban 1432H/2011 M jatuh pada Ahad 31 Juli 2011, pukul 01.40 menit WIB.
"Saat matahari terbenam pada tanggal tersebut di seluruh Indonesia , posisi hilal berada di atas ufuk pada ketinggian 4 derajat 50 menit sampai 6 derajat 55 menit," kata Jauhari yang juga Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag.
Dari hasil rukyatul hilal (pengamatan bulan baru) di 38 lokasi, lanjut Jauhari, ada empat lokasi yang menyatakan melihat hilal, yaitu di Mall GTC Makassar, Sulawesi Selatan, Bukit Condrodipo Gresik, Jawa Timur, Bangkalan, Madura, dan Cakung Jakarta Timur
Sebelumnya, perwakilan ormas mengikuti mengobservasi penampakan hilal. Observasi itu bisa disaksikan di layar yang dipasang di lantai dua gedung utama kantor Kementerian Agama (Kemenag), Jl Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, sejak pukul 17.00 WIB, Minggu (31/7/2011). Mereka melihat titik-titik observasi hilal di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia lewat layar.
Sementara itu PP Muhammadiyah juga menetapkan awal Ramadhan 1432 atau awal puasa jatuh pada Senin, 1 Agustus. Penetapan itu berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dilakukan Majelis Tarjih dan Tajdid. Disebutkan bahwa ijtima` menjelang Ramadhan 1432 H terjadi pada Ahad (31/7) pukul 01:41:00 WIB. "Kami berharap Ramadhan ini menjadi momentum bagi kita semua," kata Pengurus PP Muhammadiyah Fatah Wibisono. (ks)
Diberdayakan oleh Blogger.